Sabtu, 21 Maret 2009

Sajak-Sajak Ahmad David Kholilurrahman

http://www.infoanda.com/
Malam Tahun Baru di Gaza

1/
Tengok, di langit malam negeri-negeri Barat,
Orang ramai menyala kembang api
Dentuman pesta semalam suntuk tepi perapian

Diplasa kota, taman dan jalan bermandi cahaya
Pekik-pekak terompet bersahutan,
Tugu, patung-patung tua kusam tegak bisu

Serakan jurai kertas, sampah bertumpukan

2/
Di Gaza, langit murup-terang
Pesawat tempur menyala kembang api
Mulut-mulut tank baja menabur percon

Gugur mesiu diseling desing peluru,
Dan terompet ambulans meraung-raung,
Serpih tulang-daging berkecai, seusai
Tumpah darah, isak-tangis, sedu-sedan sansai

“Malam ini, kami pesta pora”, racau serdadu Zionis
Siang-malam membantai si tua bangka Palestina

3/
Aku menyeberangi sempadan Rafah,
Wahai Anisah Filistiniyah, tunggu daku dipintu
Kafiyeh hadiah ulang tahun darimu terselempang dileherku
Cakap pada Haniyeh;”Jangan pernah terbetik takluk!”.

Abaikan Tuan-tuan besar sibuk debat dimeja diplomasi
Beribu-ribu kali berunding, berjuta kali digunting;
Oslo, Wye River, Madrid dan Camp David mabuk pesta anggur

Kupetik setangkai ‘Awraaq Zaytun” Mahmoud Darwish,
Sayup-sayup suara parau Syekh Jasin melaung:
Intifadhah...... intifadhah........intifadhah

Heliopolis, Cairo, 1 Januari 2009



Negerimu adalah Jantung Cintaku
-kucatat rendevouz ke Jerussalem-

Berpisah berpuluh pekan,
bertentang-pandang dirembang petang.
Percakapan kita biarkan saja mengalir,
Hujan sehari membilas kemarau setahun!

Kita seperti kanak-kanak merayakan riang;
Berebutan meniup balon rupa-rupa warna,
pegang rapat-rapat, sebelum pecah meledak ke udara,
atau terlepas pegangan dilambung angin keras.

Terkenang musim panen zaitun,
melurut buah dari tangkai daun.
Malam terang bulan memandi cahaya kota tua.
"Ada tradisi puak kami, membentang majelis syair dan kasidah gambus".
Kuingat, suara-suara bergetar setiap mengucap sepatah kata tuah; Merdeka!
Ditimpal balik pekik takbir; Allahu Akbar!
Mengatasi beribu-ribu ketakutan purba.

Para lelaki kafiyeh gagah-berani maju berketapel batu,
Al-Quds terus menyeru-nyeru,
Ibu melepas anak-anaknya pergi ke sekolah, seperti mengantar ke gelanggang perang.
Di sekolah kami melatih menyelamat korban pertempuran.
Bertahun-tahun lampau, sebelum kami terusir dari tanah tumpah-darah.

"Maaf, aku melarutmu dalam sedu-sedan", belasmu lembut.
"Tertakik luka dihatimu, tergores darah dikulitku", timbalku.
Bukankah sudah kukata, negerimu adalah jantung cintaku.
Di sini dan kini; Kita sama-sama terasing sunyi!

Heliopolis, Cairo, 8 Maret 2007



Kartu Pos dari Ramallah
;- Anisah Filistiniah

Sepulang kuliah tadi, sejambang sajak kupetik ditaman sastra,
Ayo pilih sesuka hatimu bertangkai-tangkai.
Petang pun ranum dilesung pipimu.

Sebentar lagi malam segera datang berkandil bintang? tegasmu
Jelaga minyak zaitun meminyaki kening negerimu,
angin utara meluruh daun khukh
"Kau masih suka memetik bunga sajak?", tanyamu.
Bak dongeng penghantar tidur siang kanakku dulu,
seorang gadis kecil bertanya pada seorang penyair tua;
"kenapa kau asuh sajak molek dalam buayan?", jawabku bertamsil.

Bukankah semua kata-berjawab, gayung-bersambut?
Murung bertahta manja diraut elokmu.
Aku ini perindu sepasang bulbul bersiul riang dimusim semi,
agar kau tak semakin terasing jauh dari negerimu.

Airmatamu mengembun dikaki langit Ramallah.
Musim tuai mengungsi dari ladang gandum,
sebelum pintu penyeberangan ditutup.
Apalah makna sempadan; "Jika berubah pesta peluru dan rusuh mesiu!".

Malam musim gugur tahun lalu,
kutemukan sepucuk kartu pos merah delima terselip didepan pintu;
"Gubah aku dalam kasidah cintamu!".

Heliopolis, Cairo, 21 Februari 2007



Al-Hilal

Tiga anak penggembala berjalan pulang,
sepanjang gurun mendaki-menurun.
Bermandi peluh, kaki sengal ngilu.
Kantong air menyisa seteguk dua teguk
Lalu, menarah kayu bakar dipuncak bukit!

Ingat pesat Ummi tadi pagi;
"Jangan kemalaman balik ke Balad", ujar abang sulung.
Iya, siapa tahu malam ini jatuh awal ramadhan, kata abang kedua.

Tengok, bulan sabit muncul dilangit maghrib!, teriak si bungsu.

Ketiga abang-adik mengusal-ngusal mata,
mengarah pandang ke hilal mulai menampak,
mengurai tanda falak; kelahiran bulan baru.
Selengkung garis sabit terbit diufuk maghrib!

"Apakah besok kita memulai puasa?", tanya si bungsu

Sebaiknya, kita lekas pulang saja, saran si sulung.
Kasih berita sama tuan Syeikh dimasjid nanti.

Ketiga bersaudara berjalan gegas,
debu gurun berterbangan,
sekawanan kambing mengembik berkejaran.
Sekebat kayu bakar terpanggul dipundak

Dari sutuh rumah kotak,
Ummi menyambut penuh cemas;
"Kenapa kalian tampak terburu-buru?".
Dipuncak bukit tadi, kami menyaksi terbitnya bulan baru!

Heliopolis, Cairo, 15 September 2007



Malam Bermadah Cahaya

Lelaki asing tertegun diperantauan;
"Berbilang tahun berlayar ke seberang lautan",
Puasa kali ini pun jauh dari tepian,
Rindu emak, bapak dan adik-adik rapat-rapat nian.

Bertaut kenang dipelupuk mata;
Menjelang waktu buka puasa,
Duduk melingkar ditikar pandan
Bersahaja menghadap hidangan perbukaan

Hampir maghrib tiba, nun sunyi melapah
Gelap-gulita kampung terdedah, taruhlah
mengaju tanya:"Kenapa dimalam pekat kami tak bersusah-payah?",
Diserambi ramadhan, terang kandil hati bersimbah cahaya Allah

Heliopolis, Cairo, 18 September 2007



Jatuh Rindu

1/
Berdelau zuhrah dilangit subuh,
Kecamuk ombak rindu rusuh,
Sejengkal musim gugur sehelai luruh.
Kenapa kelindan kapalku tertuju cemerlang bintang jauh?

2/
Musafir lalu membelah sahara,
Melipir jarak lembah waaha;
Jelang malam tiba, petang pun menyurut mata.
Unggun api kemah-kemah badui,
Harum kopi meresuk, duhai adui;
“Singgahlah, hirup secangkir melepas capai", tawar Sheikh Kabilah.

3/
Bulan jatuh,
Langit runtuh,
Aku lusuh,
Hilang musuh,

;"Angkat sauh, kecipak kayuh, majnun jauh!".

4/
Seribu badai menyuruk hujan,
Secebis pun belum bertentang-pandang,
Berbekal berani tertahan, mungkin
Lamat-lamat cemas menelan, ingin;
;“Kapalku jatuh rindu kilau zuhrah dilangit subuh!”.

Heliopolis, Cairo, 26 September 2007

Sajak-Sajak Esha Tegar Putra

http://www.pikiran-rakyat.com/
Duri dalam Kopi

masokhis. sebut aku duri dan kau akan menemukanku
sebagai lelaki tanpa mata hati, lelaki di gulungan ombak
lelaki yang berseluncur lewat matamu. sebab hari telah
lain, sayang, rinai telah membenamkan pulau-pulau kita
dan kau berdayung dalam diri yang amuk. tetap aku duri
menusuk waktu dengan lirikan yang runcing.

sadistik. menemukan lurah berbatu, kita. matamu yang lain
menelan jejak di sepanjang jalan. dedaun itu remuk dan
sisa kopi dalam plastik tinggal dedak, juga bayangan silam.
lurah telah mengubahku jadi maut, sayang, dan percakapan
akan kutelan sebagai lengah yang tertinggal.

Kandangpadati. 2007



Cerita Pinangan
--Iyut Fitra & Zarni Jamila

kupinang kau seumpama puisi, lekat di hati
kupinang kau yang menari, bersentuhlah jemari
: mari bertarian di puisi!

penari itu telah menghapus catatan silamnya
untuk dirimu berpuisi di lembaran barunya,
sepanjang dirinya sanggup melentikkan jemari.
dan desember, kubayangkan kertas-kertas merah jambu
berloncatan dari mulut kekasih kecilmu.
seperti petasan yang dihamburkan kekanak
ke atap rumah tua itu, akan ada letupan-letupan geli.
tapi pesta akan khidmat, ucapan segera sakral,
tentunya kegaiban yang selalu kau bisikkan
akan membungkus mimpi malammu

di tempat manakah kisah yang membadai kau titipkan?
aku melihat pelaminan berhias lengkap dalam dirimu
gelanggang ramai telah merentang di halaman
muda-mudi dengan mulut berbusa
membicarakan pakaian yang akan kaukenakan
di hari yang telah dihitung para tetua.
tapi tak sesiul punai pun berisyarat inai telah dipasang.
kau meminang sesuatu dalam dirinya
serupa kisah percintaan bunga yang sering kau tanami
kini akan menumbuh seladang cerita
bakal peneman tidurmu

Kandangpadati, 2007



Pecahan Bulan

atau mungkin tidak.
malam menukik tajam dalam rumpang saku baju
aku yang gugu, malu mengucap takut,
dan gemetar yang sengaja disurukkan
meski kau bertikai dengan selendang abu abu itu.
tentang kucuran peluh di leher jenjangmu
bukankah pernah kusiramkan seliur indah di mabuk mudamu?
mungkin sengaja kau melupa, dan ingatlah sekadarnya.

lalu tentang pecahan bulan di gerai rambutmu, tersangkut peluh.
(ah, bau kematian menyengat-menarilah barang sebentar
selagi di gerai rambutmu berjatuhan pecahan bulan. belajarlah
mengemudi malam yang lahir menemani rusuhmu)
"aku ingin selalu berjalan di sebelah kananmu

pengganti rusuk yang hilang."
dan aku tak merasa hilang tulang
tersebab dari lama badan lindap.
atau mungkin tidak.
tikai yang kita rahasiakan membikin sakit yang nikmat
: aku tak lagi bertubuh, sayang...

kandangpadati, 2007



Gelisah Penakik Getah

sungguh aku yang berdandan
serupa memoles petang gamang
dalam cahaya mulai remang
makin bertumbuh saja cupang cupang di kuduk pesisiran
dan telah mengapit tetumbuh payau yang berbagai tangkai
sepanjang cuaca dan bahkan sekian lama
tertanam di antara runtunan bebuah khatulistiwa
aku yang tak sempat lagi menyebut sesiapa
yang bergumam beriring serak suara segala malam
tertuang dalam sekian lama perang di badan
hingga yang tertelungkup bukan lagi kalah

sungguh aku yang meluka dalam sayatan
dikepal musim luka kayu yang timbul getah
hujan lama menuai gelisah penakik
cuma bau karet kering lekat di badan
hingga mereka mulai menghitung jejak padam
dalam pandam tempat orang orang kalah tersemayam

2007

Jumat, 20 Maret 2009

Sajak-Sajak Indrian Koto

http://www.pikiran-rakyat.com/
Hujan yang Tersesat

aku menggenggam tanganmu lagi
sebentuk usaha terakhir mempertahankan
diri dari kesakitan yang panjang. sebab hujan
akan turun dari tubuh kita, mula-mula.

mestinya hujan tak turun di sini
di musim kemarau yang terlambat pulang.
tapi dunia bukan hanya milik
kita yang hanya bisa berkata-kata.

juni, bantalku basah, sapardi.
aku terapung di ranjang yang menjelma
kolam renang. langit mendung, barusan
hujan istirah, barangkali ia capek
melarikan diri dari kerja main-main ini.

aku menggenggam tanganmu lagi,
serupa masa kanak yang tidak
memerlukan lambang dan tanda-tanda.
dunia hanyalah kepingan-kepingan lukakata
yang merapatkan diri sukarela.
malam serupa permainan kecil
memaksa kita masuk ke ranjang, ke bibir
rahim. usia melaju begitu jauh. tak ada
stasiun di sini. segalanya
melewati rel panjang menuju langit yang barangkali
segera runtuh. seperti tubuhku yang tenggelam
kian dalam. terbenam ke dasar hatimu.

"sukma, tubuh ini milikmu," teriak seorang penyair
yang membenci hujan. tapi malam yang main-main
ini, hujan yang tersesat ini pecah di kepalanya
serupa dia, aku pun tak ada jika sukma
sudah tak ada.

aku menggenggam tanganmu, lagi
dan ingin lagi. aku perlu berjemur di halaman
sempit itu, di mana rumput-rumputnya
yang kembali hijau menantangku
untuk berlabuh. tapi sapardi telah
merontokkan segala rencana
bagi seorang pembenci hujan semacam aku
yang selalu basah tiba-tiba.

yogya, juni 2007



Malam Pengembara

malam ini aku menggigil, sayang
biarkan aku pulang

aku berbaring, telah sempurna aku
berbaring
yang tersisa hanya sakit
dan penderitaan saja

di luar, di jalanan itu
orang-orang tampak bahagia dan malam
ranum-sempurna
dan aku pun merasa semakin kesepian

aku membenci dunia dan sekutu-sekutunya
menelantarkanku begitu saja
pada hidup yang begitu-begitu saja

sesekali kami berdamai juga
sebab kebencian tidak terletak
pada soal maaf-memaafkan
tetapi untuk kesempatan dan kesempatan

yang kumiliki saat ini hanyalah
kesadaran bahwa aku tak sedang memiliki

maka biarkanlah aku pulang
melepas segala kelana
sejenak dari tubuhku.



Taman

kita tersesat di sebuah taman
ketika malam membuka selubungnya.
kau tampak senang, setelah seharian
bermain di dalam rumah, bersembunyi
dalam luka tubuhku.

"aku ingin bermain sebentar." teriakmu
lalu melompat tiba-tiba. "tunggu, ya."
kau tahu, aku mengidap agorafobia
dan hanya ingin segera pulang saja.

"tetapi aku hanya bermain. sebentar
saja." katamu. aduh, menunggu
dan ditinggalkan ialah semacam
permainan yang menakutkan
serupa petak umpet di masa kanak
-yang selalu mendebarkan.
dan aku tak mau kau disembunyikan waktu.

Mei, 2007



Serupa Gema

Mencintaimu, serupa melempar batu
ke dasar lembah, gemanya tak akan
sampai padamu.

Jika kau raba wajahku
dengan kedua tanganmu yang lembut
dan bibirmu yang penuh, aku
tak punya kuasa untuk membiarkanmu
menebar perangkap demi perangkap.

Aku merasa tak memiliki apa-apa
di dunia yang semakin sempit ini. Aku
membenci dunia dengan seluruhnya.
Sudah lama aku tak percaya apa-apa.
Sebab yang tampak baik sekalipun
adalah pembunuh yang paling sadis.

Mencintaimu kini,
adalah melempar batu ke jurang dalam.
Melempar, melempar dan sepenuhnya melempar.

0707

Jumat, 13 Maret 2009

Sajak-Sajak Indra Tjahyadi

http://www.suarapembaruan.com/
Jalan Menuju Masa Lalu

Bulan pipih tugur di langit suntuk. Di likut senyap kabut
tubuh yang ringkih hanya menyisakan batuk. Selalu
kubaca wajahmu di sela sunyi dan rasa kantuk. Wajahmu
adalah sebentang jalan menuju masa lalu, tempat hujan dan rasa
sakit menciptakan kebisingan tak berujud.
Kesunyian adalah sehelai daun yang jatuh di malam larut.
Kota makin bisu, makin sumuk. Kegelapan menyerap
segala pengetahuanku yang cuma seteguk.
Ingatan nafasmu adalah pisau, mengoyak habis
segala harapan dan gerak batinku. Bulan pipih tugur di langit suntuk.
Derita membawaku sampai pada kekelaman tak berbentuk.
Hanya nyala lilin yang kecil yang tertangkap oleh tatapanku.
Seonggok makam batu meretak di bumi jauh. Sesosok
hantu terus gentayangan dari kampung ke kampung,
makin jauh dari sorga, makin jauh dari peluk.
"Tebing begitu tinggi, kasihku, hati begitu sepi
begitu perih begitu pedih merindu!" Sebab kita tak
lagi bertemu, kini kulupakan segala percakapan. Dan bulan
pipih tugur, terus tugur. Dan langit suntuk, makin suntuk. Serupa
sebentang jalan menuju masa lalu.

2008



Wajahmu Adalah Masa Silam
dan Kota Hanya Terik


wajahmu adalah masa silam
kota hanya terik
hanya bising
hanya jadi tempat mukim
bagi maut dan segala yang terasing
tapi (sungguh) di kota yang hanya terik
hanya bising itu
pernah kulihat sosokmu manis
berdiri di simpang jalan
menggenggam sejambak kembang
tapi mengapa kau hanya diam
tak sapaku barang sebait
tidakkah kau kenali
berdiriku di samping
melankoli
begitu putus asa memanggilmu
lewat debu
lewat deru
lewat matahari?
"asmara adalah hantu asing
tapi di dadanya seorang penyair
akan tertawa atau menangis..."
kiranya kini aku telah mahir
(makin mahir!)
bertepuk sebelah tangan
memainkan cinta yang hening
merasakan rindu yang kering
wajahmu adalah masa silam
dan kota hanya terik
cuma terik
hanya bising
cuma bising
hanya jadi tempat mukim
tak kurang
tak lebih

2008



Hikayat Pejalan Malam

Yang ia miliki hanyalah selajur jalan yang terus
memanjang dalam gelap dalam pengap
dalam senyap lanskap dan jauh dekap. Yang ia
kenali hanya setapak jejak yang terus lenyap digerus
kembara antara malam dan rumah tak ada.

2008



Pohon Subuh

Ke tengah subuh, tubuh yang dingin makin gigil. Antara dinding
dan selimut kuning, mata yang kering hanya menangkap
gelap bertangkup hening. Siapakah yang mampu
mengeja keluasan tangis kedalaman gerimis? Aku hanyalah
pohon-seonggok pohon!-dengan tulang-tulangnya kering, telah lama dilupakan musim, makin uzur dikungkung renta dan alpa iklim.

2008



Kurasa Aku Telah

kurasa aku telah tenggelam
dan kehabisan waktu
tapi meski begitu
tak akan kubiarkan rinduku
mampus dan kau
dan tanah membusukkannya
jadi belatung
sebab kasihku utuh
cintaku satu
kiranya kuingin bebas
dari segala kantuk
dari segala sumuk
dari segala amuk
dari segala suntuk
dari segala kutuk
meski kelak maut
menundungku jadi hantu:
terus kelayapan
terus gentayangan
dari kampung ke kampung
dimuntahi para pemabuk
dicemooh para penuduh
dan hidup
yang keras kepala dan acuh ini
kian melupakanku darimu
dan kau
dan aku
makin dihempas jarak
kian terpisah
makin jauh dari peluk
makin sepi dari cumbu
: "o kurasa aku telah tenggelam
dan kehabisan waktu!"

2008.



Lagu Perpisahan

jangan tunggu aku datang, puan
aku tak bakal datang
bara dalam dada
telah padam
diguyur hujan
berderas-deras
sungguh:
aku pernah punya harap
bersanding dua-dua
bak pinang dibelah dua
tapi:
nasib lain bicara
maka:
jauhkan saja raga
dari asmara
maka:
bila nanti ada jumpa, puan
jangan biarkan
mata beradu pandang
sudah palingkan saja rupa
tutupkan saja mulut
rapat-rapat
biarkan semuanya diam
jadi rahasia dalam ingatan
lamat-lamat melapuk
lambat-laun terlupa
akan tetapi:
bila puan tak sengaja
tangkap rupa
beradu pandang
usahlah meratap
sunggingan saja
senyum barang seutas
sekali saja
kecil saja
lantas ucapkan:
"selamat tinggal.
selamat jalan."
tanpa gaung
tanpa gema
sekali saja
sekali saja
pelan
pelan
seakan hanya jiwa
bakal mendengar

2008.



Kusimpan Diriku dalam Gelap Tak Teraba

Kusimpan diriku dalam gelap tak teraba. Kampung
kampung jadi asing, jadi ganjil dalam ingatan.
Tak ada lagi yang bisa ditunggu, bahkan
jejak pun cuma tinggal kabur, tinggal pudar dalam kehampaan.
Tak kunyanyikan lagu kepergian, sebab setiap kata
senantiasa gagal terucap. Kau, detak jam yang berhenti
di dasar jurang waktu menganga. Sekali merintih.
Sekali memekik. Sekali terabaikan. Selalu dilupakan.

2008.



DI STASIUN

Keretaku telah datang, puan, jangan menangis
jangan meratap, sampaikan saja pada hatimu bimbang
: aku hanya sejenak tualang sebentar pasti pulang,
kembali berpeluk mesra di hangat ranjang.

2008



MAUT MEMBURU

Kelak kukenang tengkukmu. Bau tengkumu. Rindu yang dingin
membeku dalam sedeku. Cinta yang bingung menyelinap
di balik selimut, membangun jalan setapak bercecabang di dasar
kalbuku. Tak pernah kuminta pagi yang riuh, rumput yang rumbut,
meski umur kian dekat pada kubur. Di Prabalingga kupeluk tubuhmu.
Bayang-bayang tubuhmu. Segenap kerenggangan mendudukkanku di sudut
kelabu. Serupa malam dilikut kabut. Dan maut memburu.

2008.

Rabu, 11 Maret 2009

Sajak-Sajak Oka Rusmini

http://www2.kompas.com/
Gestural
(bersama AH)

"aku mencium daging tumbuh. inikah judi? ketika perempuan berebut membuka pintu, melepas pakaian. membuang tubuh di kain hitam atau putih. melebarkan paha, mencari lubang, lalu menusukkan besi. perempuan berwajah pucat itu melambaikan tangan. tanpa senyum, tanpa perasaan, menyumpahi kami dengan kata-kata kasar. meludahi kami dengan kutukan"

"masuk! timbang dagingmu!"

"keping awan di dagingmu, telah membunuh calon anak-anakmu"

2001



Ritus

"aku tak lagi memiliki tubuh, apalagi hati. Apa kau masih mengenalku? Seorang laki-laki tanpa detak jam di tubuhnya. Bahkan tak mampu kumiliki tubuhmu. Aku takut warnamu, aku takut wujudku sendiri!"

"usiamu singkat. Carilah tubuh yang lain, kau tanami daging, gumpalan darah, dan air mataku. Kelak kau temukan ladang puisiku, mungkin dia rapuh dan penuh penyakit. Kau tak akan mengenalku"

2001

Sajak-Sajak Esha Tegar Putra

http://pr.qiandra.net.id/
Sepatutnya Ini Perkabungan 1

di padang, antara batu-batu banyak ia selipkan
sedahan kopi
yang semalam baru ia patah dari ladangnya

maka bersabarlah sebelum tumbuh, dagang bakal dihanyutkan
melewati pantai yang tak lagi mengekalkan kebersuaan
badan-badan dermaga kian tipis.
digerus tajam garam
setajam rindumu, setajam cintamu, pergumulan kian menjauh.

duh sekian panjang jalan dipepat, setiap jejak dituahkan
"aku menyamun malammu, merompak tidurmu.
di sudut mana pun kau bersembunyi,
aku akan tetap menyauhmu!"
di padang, di antara batang-batang kopi
yang tumbuh merbak (dan sekian dahannya tentu telah dipatah orang lewat)

kau tak ingat
bahwa apa dikebat di tiap uratnya telah menjadi kelupaanmu?

2008



Sepatutnya Ini Perkabungan 2

telah diendapkan kau ke rimbanya
ke sarang kunang-kunang yang gatal cahayanya
kau telah dipasangkan sayap,
sehabis belajar bunuh kupu-kupu
(sayap mengkilat, sayap penghormatan)
maka kini, kau jadi induk dari kunang-kunang
induk yang bersayap lebar dan mengkilat
induk yang menjelmakan ketakutan akan cuaca rimba
kini kau induk dari segala macam pelarian

"induk, pasanglah sebuah tudung di kepalamu
tudung sebesar badanmu, sebelum hujan turun
dan membuat sayapmu lunak
tentunya kau akan iba hati sekiranya tak kuingatkan"

"anggaplah aku pertanda dari cuaca,
ingin aku mengundangmu pada sebuah sarang
yang tersusun dari macam dedaun rimba
agar kau ingat
siapa yang pernah ajarkan kau cara terbang"

aku ingin terus menyebutmu induk dari kunang-kunang
sementara rimba mulai menyerpih cuacanya, biarlah.
sekiranya sayapmu berlepasan, akan kubisikkan sesuatu
kau ingat cara terbang tanpa sayap?

Kandangpadati, 2008



Sepatutnya Ini Perkabungan 3
-si sayang

dahan yang patah-patah berubah
menjadi juru tunjuk,
tumbangnya batang-batang
telah diamsalkan sebagai ketakutan akan cuaca ganjil

"yang merapuh yang merabuk dalam diri
semacam petaka gila penggaduh picingan mata,
yang dilihat tak lagi terbaca, yang diraba tak lagi terasa.
ke sudut angin, tempat si sayang dimakamkan, turutlah"
maka tersuratlah, tahun yang menyimpan ketakutan
takut semirip perkabungan. (tapi apakah ini sebenarnya perkabungan?)
di lindapnya bebunyian rimba
para peladang menyelipkan bebijian ke lapuk kayu.
diserunya langit, agar langit berkabar tentang hujan
tapi gabak sendiri tak menampak
sebagaimana lembah, tempat sungai yang
biasanya menyimpan dingin dan pengharapan ladang
kini jauh dari aliran. dan batuan yang menunggu

dan sisa-sisa lempung di tepian
jadi hunian serangga api

ketakutankah yang bersiponggang?
tapi ini lebih mirip perkabungan, seketika
si sayang dilupakan

Kandangpadati, 2008



Sepatutnya ini Perkabungan 4

rebung lisut dalam kuali. api yang basi melidah
lama berkecimpung bau dedak dan gulambai
sudah, terimalah setitik kuah yang tak bergaram
buat peneman kudapan, buat melupa rasa

Kandangpadati, 2008



Rambut Bau Jeruk

terapunglah bibirmu, beras baru ditanak di belakang,
gelas kopiku retak, sedang mereka telah menyeduh kopi
berkali-kali. aku masih mengeja rambut yang bau jeruk
juga kalimat yang berkali-kali mati tersambar kedip mata.
kalaulah ini petaka yang bakal meraja, mari berdendang,
bakal perintang-rintang hati yang rusuh.

di halaman gerai rambutmu tampak jelas dimain angin
kubayangkan perhelatan di depan mata, denganmu, doa-
doa purba yang dibaca tetua dalam tujuh ruang rumah gadang
tersihir menjadi kerumunan bujang-gadis yang sedang berjoget
"duh, mata mana yang takkan membendung hujan lebat
pokok (tali) nyawa dipegang lalu dikusut orang"

tentang garis tangan siapa yang sanggup membaca,
dan aku mau berladang saja, bermalam-malam lamanya
di tempatku terus menafsir dirimu.
sumpah, bau rambut jerukmu terbawa sampai parak siang.

2008



Tukang Puisi

beberapa gelitik lagi kau akan sampai
pada tempat yang bernama sakit.
sekian mantera, bakal tuah
penebar fitnah ke daging, telah mengapung
dalam sumur. aku cuma ingin kau, bermandi
dengan sumpah gaek yang cair.
sungguh sebegitu tajamnya jangkrik berbunyi
tapi ini malam adalah kuasa ucapku.
lecut aku berpuluh kata umpat
maka berkali-kali lipat kata pengikat
bakal lesat dan menghuni serat dagingmu.
maka sebelum pengikat itu bergetah,
berlendir, dan pecah dalam badanmu
sumpahlah dengan sebaris kalimat:
karibkan aku dengan lembab puisimu!

Kandangpadati, 2008

Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono

kompas.com
 
(Den Sastro meninggal juga, akhirnya. Di sebuah laci di lemari kamar tidurnya ditemukan berkas-berkas kertas yang bertulisan tangan, sejumlah sajak yang semuanya tanpa judul. Mungkin-kata mereka-sajak-sajak itu ada kaitannya dengan seorang perempuan yang bernama Rahayu, tokoh rekaan yang ada dalam benak lelaki tua itu.)

Sajak-Sajak Toni Lesmana

http://www.pikiran-rakyat.com/
Kalakay

Kuring kalakay
Pulas asak tambaga. Layung nu agung
Nitipkeun kekecapan sapanjang urat

Kuring kalakay
Muntang kana pituduh angin
Tepung ogé jeung taneuh kadeudeuh

Masrahkeun geugeut
Mulangkeun raga
Apan sukma geus dipetik imut waktu



Di Kawali

Aya sajak jojorélatan
Ngaracaan tunggul purnama tunggul waktu
Kuring ngalungsar dina tapak dampal suku

Aya sajak sasar
Midangdam akar cahaya akar mangsa
Kuring kumarayap dina tapak dampal leungeun

Aya sajak katalimbeng
Sasab ti batu ka batu ti gurat ka aksara
Kuring leyur ngamalir dina garis-garis simpé

Aya sajak nu salawasna néangan raga



Rohang Rusiah

Lar sup ka rohang anjeun
Can kungsi kasampak
Ukur seungit kasturi
Naratas balébat

Hayang tepung jeung anjeun
Jempling émpang
Ngaliwatan sarébu lawang
Sajak dibebekel

Geus lagedu
Pulang anting saban janari
Sakadar hayang nepikeun simpé
Bet kadungsang-dungsang dina dada sorangan

Boa enya anjeun leuwih betah dina urat beuheung
Boa enya anjeun simpé



Heubeul Isuk

Urang néangan panonpoé dina bacacar kalakay
Dipaluruh kana sora-sora manuk
Kalah manggih walungan

Genclangna nyalabarkeun tiris
Jangjang kukupu. Makam batu
Lumut nétélakeun beueus waktu

Urang néangan panonpoé kana saban raheut tatangkalan
Buah pineus. Mireng gerentes geutah jeung seuneu
Bet hayang nyadap langit



Katineung

Saréngséna ngudar sagalana
Hareupeun anjeun. Saban tempat
Hamo kapupus
Bangku awi, batu curug, patung alun-alun, tihang-tihang masjid
Tuluy ngayambang sapanjang walungan simpe
Nu ngamuara ka anjeun

Sajak-Sajak Baban Banita

http://pr.qiandra.net.id/
Almanak

ibu selalu melarangku
menyobek almanak
padahal ingin sekali
aku membuat topi pesta
dan perahu
bagi pacar manjaku

--bahkan almanak 10 tahun lampau
yang ada catatan burungku disunat 22 Desember--
ibu memang rajin
sejak aku lahir almanak
tersimpan rapi di lemari

kini ibu sudah pulang
berpisah waktu dan tak memerlukan almanak lagi
almanak-almanak itu kulebur jadi kertas daur ulang
dan kubuat almanak baru

di almanak baru ada catatan ibu yang tak mau hilang
yaitu saat burungku disunat 22 Desember

maka jadilah almanak baru itu
semua bergambar burungku
yang pucat meneteskan darah
di tangan ibu

2005



Daun Yang Gugur

"daun itu gugur karena dipukul angin," ucapmu
"bukan. Itu karena jarum waktu," kilahku

dan sepanjang siang itu kita bertengkar kata
tentang daun yang kita jadikan perahu
dalam pelayaran menuju laut
kita tak pernah berebut tempat
hanya kadang-kadang kau memelukku
di setiap kelokan yang menganga ular

"hai, daun itu gugur karena kita ingin
menjadikannya perahu. Lihatlah
dia begitu erat mengingatkan usia."

lalu, sebelum sampai di laut luas
kita berpencar dihembus angin. Melayang seperti daun

yang gugur. Kita belum sempat bertanya
kenapa kita gugur daun.

2005

Sajak-Sajak Fitra Yanti

http://pr.qiandra.net.id/
Pelampung Keramba

kukira, angin hanya kabar biasa
menemani angguk cemara
ragu
kala pagi jatuh di laman gigil
penuh lunau

"bangun, kau mesti meraih subuh di mata pukat, sayang"

lantunan ungu serupa cambuk
tiap sebentar berkesiur
menggoyang pelampung keramba
sesekali mengkuncindani mata pancing
orang-orang berbaju dingin
dengan lesung pipi merona apel
riang menghadang rindu
pada sekawanan kulari

dibawa bergelut ke bibir
bila ia kesepian amis

begitulah aku,
melewati langit
tiap pintu waktu berderit

namun, senja selalu patah
di ujung dayung
terus menepi
ke sebuah dermaga latah
dan, aku
terus di belah risau
tentang esok yang tak terjual

"biarlah, sayang meski sisik-sisik
bertumbuhan di sebatang badanmu
besok tetaplah kayuh sang subuh dengan semangat fajar"

Kampung Gigil, Desember 2007



Sepi Itu, Belum Juga Padam

semua sepi padam sendiri*)
tapi tidak padaku
aku mengeja ngilu
sajak-sajak
terlulur
di gurik waktu
selalu saja tega
melubangi aku

bayangan kabut terus memisau
di ujung mata
dan tarian angin bersijingkat
memarkan, leburkan aku lumat-lumat
mendemamkan sekujur

lagi, ingin kusampaikan:
"ia tak pernah habis"

*) meminjam sebaris sajak marhalim zaini



Igau Perempuan Siak

selamanyakah aku di balik kaca
perempuan payau membaca kepulangan
di tikungan penat
di gerigi jembatan
berpendar mengejar bayangan sajak
anak-anak

selamanyakah aku mendandani sunyi
serupa pengasingan ibu-ibu muda
di lapak-lapak sore
sayup angin berdesir pada dada lapuk
kisahkan senyum yang pernah berniat jadi hujan

"lakimu baru saja pulang berkuli
dari seberang Malaka!"

berkemaslah aku dengan sejumput setia
menghisap aroma daun pandan
dari tubuh terpiuh peluh
isi rahim dengan janin lugu
sebentar lagi orang-orang melihatnya berkecimpung
ke badan siak
ke buih yang telah lama mengalirkan bangkai

seperti kapal-kapal bubar
ketika kaca retak
tak ada siapa-siapa di sana

September, 2007



Karam di Tepi

aku bukan pelaut
yang seketika terkesiap
melihat ciri badai
namun kugasak juga perahu ini
ke laut lepas yang setiap hari kausuguhkan

"melayari matamu
gelombangnya mengajakku karam
padahal masih di tepi,"

2007



Aku di Laut Lain

aku hanya riak dari laut yang lain

sesekali meramaikan ombak
lalu
susup

Agustus 2007



Berbagi Ladang

bisakah kita resapi luka waktu
bisu
ngilu

masuklah ke balik wajah samar
mengintip di jendela pondok
kebunnya ditindih kaki kota
sembunyi perih diam-diam
beku
sepi

benih kita
tak mungkin tumbuh
di sepetak tanah
miliknya

Desember, 2006

Sajak-Sajak Pandapotan M.T. Siallagan

http://www.lampungpost.com/
Sajak Nikah
: hanna p

jika kita menikah, aku ingin anak-anak kita lahir jadi burung
dan membangun sarang di rambutmu. hidup pasti tak pernah sepi
akan selalu kutemukan engkau dengan sanggul yang penuh cericit
seperti memasuki lagi masa kanak-kanakku di dusun terpencil
selalu kutiup seruling di situ, mengiringi burung-burung bernyanyi
bukankah kita bertemu dalam melodi hidup yang melengking-lengking?
jika kita menikah, aku ingin anak-anak kita lahir jadi burung
dan membangun sarang di rambutmu. hidup pasti selalu sejuk
senantiasa akan kutemukan engkau dengan sanggul beraroma hutan,
ilalang, juga rumput-rumput yang dirajut jadi sarang itu
dan akupun akan selalu ingat sejarahku: lelaki gunung
bukankah kita telah berjanji seteguh bukit-bukit?

Kamarpilu, Pekanbaru, 2004



Ingin Mati

lewat lengang yang mengaliri kamar
derita mengirim bayangmu ke lorong tidurku
wajahmu mengapung di atas gelap
matamu merangkai lengang jadi kepingan usia
dan mimpiku saling berkejaran dengan rasa takut
sebab kealpaan jasadmu selalu membawa keranda
kita tidur diselimuti kematian

Kamarpilu, Pekanbaru, 2003



Sekilas Info, Tuan

di hutan-hutan kampung kami, tuan
anak-anak mengibarkan bendera di pucuk jutaan pohon
sebab ranting dan daun-daun telah beterbangan jadi asap
mereka rindu pada lambaian angin, kangen pada belaian bayu
jika berkenan, berilah sedikit sumbangan membeli bendera
masih ada jutaan hektar lagi yang harus dihiasi, tuan
agar tuan dapat melihat merah putih tanah mereka
tanah darah dan tulang mereka

Kamarpilu, Pekanbaru, 2003



Suara Penyair

aku telah membakar tubuhku dengan api kata
tapi kau sebut di jemariku masih tumbuh mawar
telah melepuh mataku oleh bara kalimat
tapi selalu kaulihat sungai jernih memantulkan bulan di situ
aku telah memanggang jiwaku dengan sajak-sajak
tapi kaubilang di dalamnya masih terbentang hutan hijau
telah menjadi arang jantungku oleh syair-syair
tapi selalu kaudengar denyut kesucian di situ
kapan kau paham makna kepedihan?

Kamarpilu, Pekanbaru, 2003



Kota Mekar dalam Mimpi Kami

setiap kali mimpi kami mengembara pada malam-malam lengang
dan jejak-jejak kami berpecahan jadi bintang-bintang,
kami selalu membangun kota ini jadi kebun dan ladang-ladang semarak
daun-daun menyalakan warna hijau, melambai memulihkan letih kami,
menari mengiringi mimpi yang kerlap-kerlip seperti gemerlap lampu
dan cahaya melukis harapan-harapan kami jadi bunga-bunga
bermekaran menyalakan taman di sepanjang jalan-jalan yang kami ibadahi
maka wewangianpun berhamburan dari pucuk-pucuk rumput
menguapkan aroma sejuk dari peluh dan airmata kami
dan karena ketabahan kami, embun-embun berkilatan
berpantulan jadi gelombang yang menggemuruhi nafas kami
geloranya memahat-mahat kedamaian jadi rangkaian bukit-bukit
dari kota ini kami manatapnya seperti sedang berkunjung
dan membawa doa-doa ke dalam hati kami. kami temui keheningan
dan menjadi takjub: alangkah indah kota kami, tertata rapi dalam mimpi,
terawat indah dalam doa-doa. dan kami makin bergairah
menyulam rakaat-rakaat jadi bentangan alam, jadi hamparan sajadah
kami lalu membangun istana-istana peristirahatan di sepanjang jiwa kami
dan terus membesarkan kota ini dengan mimpi yang menggelora karena doa-doa
taman-taman kami tanami dengan senyuman
setiap sudut kami pagari dengan pelangi yang dijemput hati kami
dari langit tak berkabut. asap dan api yang merimbun menyesatkan
usia kami ke dalam lindap resah, telah kami halau dengan hujan airmata
dan hutan-hutan itu telah kembali menjadi kokoh memagari rumah kami
dan di langit biru, keriangan kami bersilangan, mengepak-ngepak jadi burung
dan mencericitkan tembang-tembang sorga di atas atap-atap rumah kami
angin berhembus saban waktu. merangkai nyala mentari dan senyum rembulan
jadi jembatan. kami melintasinya sambil bersiul menemani kupu-kupu
dan capung-capung yang membingkai sukacita kami jadi ombak-ombak kecil
di sepanjang sungai yang mengalir tenang di rongga darah kami
seperti seruling gembala di padang-padang hijau,
kebahagiaan kami melengking, mengirimkan nyanyian ikan-ikan
dari dasar sungai yang mengekalkan batu-batu jadi keheningan di jiwa kami
dari dasar laut yang mengokohkan karang-karang jadi ketabahan di hati kami
tapi, setiap kali kami terjaga, kota dan tanah kami selalu pecah
taman, kebun dan ladang-ladang memuing, terbang jadi debu,
harapan dan mimpi-mimpi kami tersesat. tapi kami selalu menguntai doa-doa
dan berdamai dengan resah yang mendera di hati kami
agar rumah kami bisa membesar jadi sarang damai

Kamarpilu, Pekanbaru, 2003

Sajak-Sajak Skylashtar Maryam

http://kompas.co.id/
SEBUAH PERCAKAPAN TENTANG CINTA

"Ibu tak suka puisi cinta yang kamu tulis. Gantilah!" kata guruku
Aku heran lalu mengambil carikan kertas yang ia berikan. "Kenapa?" tanyaku penasaran
"Suram," gumamnya. "Tak cocok untuk gadis seumuranmu."
"Tapi cinta memang pekat, legam, dan gelap, Ibu."
"Tidak, anakku. Cinta itu merah muda."
"Lalu sejak kapan cinta memiliki warna?"
Ibu guru tercenung
"Tapi Ibu tidak suka dengan apa yang kau tulis."
"Karena apa?"
"Cinta legam tak cocok untuk gadis seusiamu."
"Memangnya cinta bertanya dahulu'berapa umurmu?' sebelum ia mengoyak hatiku?"
"Dengarlah, cinta itu indah. Kamu saja yang tak tahu."
"Apa yang Ibu tahu tentang cinta? Katakan padaku!"
"Mmm...cinta membuat hati kita serasa lapang."
Ia pasti bohong, elak pikiranku. "Rindu yang beranak pinak di dada membuatku sesak, Bu. Bahkan tak ada lagi tempat untuk menampung setitik air pun di sana."
"Ah, cinta juga membuat bahagia."
"Bahagia dari mana? Cinta yang seperti apa?"
"Banyak pasangan yang saling mencintai dan hidup bahagia karenanya."
"Ibu pikir perceraian yang aku tonton di tivi setiap hari itu apa? Kenapa saling meninggalkan kalau memang saling mencintai dan hidup bahagia?"
"Ya, barangkali ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dan menyebabkan pertengkaran."
"Kalau begitu, kenapa cinta yang membahagiakan itu tidak datang melerai?"
"Kamu salah anakku, barangkali cinta mereka telah hilang."
Aku jadi bingung. "Jadi apanya yang istimewa dari sesuatu yang bisa hilang begitu saja?"
"Tidak, tidak. Cinta juga bisa mendamaikan."
Aih, mungkin Bu guru ini amnesia lalu lupa sejarah manusia.
"Bu, kemana cinta saat terjadi peperangan?"
Ibu guru terdiam. Lalu katanya. "Ada, pasti ada."
"Di mana? Bukankah seharusnya ia muncul untuk membawa kedamaian?"
Ia tampak ragu. "Di suatu tempat."
"Di hati mereka yang cinta kekuasaan? Sehingga membantai sesama manusia karenanya?"
"Eh..."
"Di dada mereka yang cinta keserakahan? Meraup dan menghancurkan segalanya tanpa belas kasihan?"
"Mmmmhhh..."
"Di dalam kalbu mereka yang cinta kekuatan? Menggilas yang lemah, rela menumpahkan darah untuk mendapatkannya?"
Ibu guru terlihat berang. "Kenapa sih kamu tak percaya pada apa yang Ibu katakan?"
"Karena Ibu mengatakan tentang cinta, sesuatu yang Ibu tak tahu apa itu."
"Kalau kamu sudah besar nanti, kamu pasti tahu."
"Kalau aku sudah besar nanti, bolehkah aku membuat puisi tentang cinta yang seperti itu?"
Ibu guru pun mendesah pasrah. "Ya, terserahmulah. Pokoknya, ganti puisi yang kau buat tadi. Sekarang!"

Nagoya, 30 Januari 2009



TAPI KEMANA?

Desau angin dibuat-buat
Desah kita berebut tempat
“Jangan kemana-mana” rengekmu
ada yang terasa ngilu
memangnya aku siapa?
Seseorang tanpa rumah tak bisa pulang kemana-mana*

Sejenak kuletakkan buku
Kemudian menidurimu
Gaung rindu pun berlalu
Kota itu mangabur dalam labirinku

Kilau lampu di ruang tamu
Nafas tidurmu di samping kiriku
Gemerisik tirai jendela
Aku terjaga sebab dahaga
Serentak limbung disergap kecewa
Rumah ini bukan rumahku ternyata
Kasur ini bukan pula kasurku
Tempat ini sudah jelas bukan tempatku
Engkau kini bukan milikku
Aku ingin pulang
Tapi kemana?

*Rumah Kenangan, Nenden Lilis Aisyah
Nagoya, 4 Pebruari 2009



HATI SEPI SENDIRI

Benarkah itu kau wahai hati?
Berdesir lembut dalam kemelisut sepi?
Merintih bisu bawakan kidung luka terdalam
Hingga ku membuat kesimpulan
Kau tengah sekarat, tak lagi punya aura tuk menyangga nyawa

Suaramukah yang kudengar wahai hati?
Apakah itu isak?
Sampai kapan kau akan menangis dalam diam?
Kapan kau berhenti menyimpan sakitmu sendiri?
Dan kapan kau tahu saatnya untuk berhenti?

Lobam Mas, 19 Pebruari 2009



CPNS

Kucatat sebuah birokrasi dalam benakku
Lembaran kertas berangka melayang-layang jengah
“Inikah hidup?”
tanyaku pada debu



TRANSFORMASI

Dulu...
aku hanya debu
sekarang berubah jadi abu

Kini...
aku hanya bisu,
nanti mungkin berubah jadi kelu

Kelak...
aku hanya langit
lalu berubah berpeluk galaksi

Suatu saat...
aku hanya jantera
Barangkali cuma bisa jadi roda

Kemudian...
entah mau jadi apa lagi



CANDU WAKTU

Sebab waktu adalah candu bagi hati yang patah
sedangkan suasana yang tidak sepadan
hanya ilusi langit
Namun, remah-remah kemukus masih
sempat membuat kita terpukau
Padahal,
kita masih tergenggam pada rahim bumi yang sama
memancang kenangan kehangatan
di ketinggian tsurayya

sebab waktu adalah
candu...



INSPIRASI

Tak akan pernah kulepaskan diriku dari nikotin,
Bagaimana bisa, jika setiap kepulan asapnya menghasilkan puisi
Bukankah itu yang setiap penyair cari?
Inspirasi
“Aku ini binatang jalang”*
setiap makian kulahap juga
tak terkecuali kata cinta
atau surat cinta palsu yang mengajak mesum
setiap desahan nafas adalah kata mutiara
dan gambar-gambar komik mengajakku menjadi plagiat
menjual mimpi dan harga diri
Edie Brickell pun mengutuk diamku

* Aku: Chairil Anwar

Sajak-Sajak Agus R. Sarjono

pikiran-rakyat.com
 
The Rock of Sadness
 
Aku pun bagai kibaran bendera dari negeri-negeri
yang gugup untuk merdeka. Perempuanku, dengan nanar
kupandangi wajahmu, keabadian yang terkoyak
oleh lenganku yang lancung. Gemetar nadiku
menghitung tahun-tahun bersamamu. Hari-hari bunga

Sajak-Sajak Doel CP Allisah

http://m.infoanda.com/
BULAN SERIBU BULAN

akan datang doa-doa yang mengalir kerelaan tanpa batas tinggal di dalamnya adalah impian dan kerinduan terdalam dari harapanku kepadamu

masa cemerlang itu adalah udara yang kuhirup senantiasa dan anugrah keindahan itu adalah titik terang dalam langkahku yang payah

merindukanmu kekasih, adalah nikmat terindah dalam beku malam yang melelapkan dan kesempurnaan lega adalah, kembali ke dalam dekapmu yang hangat melayang-layang dalam harum doa-doa serta shalawat sepanjang malam

membayangkan senyummu kekasih, tinggallah segala beban di luar dan aku melambung ke dalam sunyi dalam kidung surgawi paling tinggi biar tak terpisahkan lagi!



NYANYIAN MIRIS

dalam riuh gerimis, engkau pulang kesenyapan abadi dan rentangan kabut airmata seribu dewa melelehkan genangan darah pada langit terbuka aku nyanyikan puji-pujian laut lengkung daratan jauh pada batas tatapan yang menenggelamkan isak tangismu semalam

pada kekosongan yang menyesakkan seribu hari sia-sia kita persiapkan menggenggam harapan dan kenisbian waktu kepedihan telah merejam mimpimu menghanguskan hati lembut dan cinta tiba-tiba aku menggigil, menaiki rahasia cahya matamu semua menyeretku pada kenangan dan kematian semua menyeretku dalam kelu abadi

melepasmu ke lorong panjang sejarah hatiku letih, riuh gerimis dan airmata mengingatkan aku pada jalanan basah menggigil antara batas ada dan tiada dan bayanganmu yang samar hilang dalam kelindapan daun-daun semuanya menyeretku pada kenangan dan kematian semuanya menyeretku ke dalam kelu abadi!

*) Doel CP Allisah lahir di Banda Aceh, 3 Mei 1961.

Sajak-Sajak Mochtar Pabottingi

http://kompas-cetak/
Selalu Aku Menjelma dalam Hujan

Pada mulanya adalah panah-panah air
yang menari berloncatan di atas genang
di tabuh tambur daunan pohon-pohon pisang
Pada mulanya adalah mandi telanjang
di deras hujan di pancuran rumah berjenjang
di tingkah jingkrak kaki-kaki kencur
di kitar deru liuk batang-batang nyiur
Dari desa. Aku menjelma
Dan tumbuh. Dalam hujan
Di kota aku hadir pada lengkung kanopi kaca
waktu di atasnya awan berguguran
Aku hadir pada tetes-tetes gerimis saat menjelma sungai-sungai kecil
yang saling berpacu di kaca jendela
saat pesawat meluncur lepas landas
Aku hadir pada rintik di alismu yang kuseka dengan jemari
sebelum ciuman tak terlerai
Aku hadir pada siut angin baur hujan deru jalanan. Sebelum kasih pupus
Diringkus desau
Di suatu mesin waktu. Siapakah membuka bendungan raksasa
di angkasa. Sehingga rindu kembali menyiram
Siapakah melepas partikel-partikel masa kecil. Sehingga menyerbu
berseliweran. Menyatu dalam limbubu
dalam deru angin daunan bayang-bayang
Siapakah di sana itu. Yang kembali mandi telanjang
di bawah pancuran rumah berjenjang
Selalu aku menjelma
Dalam hujan

Rawamangun, Jakarta, 2003



Babadan, Rembang Kabut

Hingga ketinggian ini kawanan kabut menyerbu
Membelah waktu. Sementara kandil-kandil pilu
berayun di pucuk-pucuk cemara
di dasar lembah. Yang mengabur
ke masa lampau
Di bawah sana. Di lereng Merapi
Masihkah utuh dan padu
kenanganmu padaku sebagai kenanganku padamu
di jajaran pohon kelabu
Masihkah terekam desis-desis lahar. Saat birahi
menindih ngarai
seperti bisik tak berbatas hari. Dulu sekali
Sebelum tersapu bisu lindu
Pada lengang
Terus saja guncang bergema dari tembang
Terus saja delirium bergaung dari igau
Terus saja lampias berdesah dari balik gumpalan- gumpalan kabut
di sepanjang gugusan lembah
Meluluh lava. Dan angin windu

Yogyakarta, Musim Hujan, 2002

Buat sepasang sahabat: Lukia & Suwarsono

Sajak-Sajak Ahmad Nurullah

http://kompas-cetak/
Pada Sebuah Resepsi: Pengantin Purba

1

Ia datang dari sebuah dunia yang jauh
dari ubun-ubunku: "Ketika ayah dan ibumu berpengantin
di mana kau ada?"
Ruang pecah. Waktu berhambur
dan melengkung jadi sungai
Detik-detik mengucur deras
Berlari dari muara
Di tepinya aku menyusur
menyisir jejak yang tenggelam:
pada batu-batu
pada moyang rumputan
pada jam yang berlumut
detik-detik yang karatan.


2

Masa silam bagai kawanan serangga
merayap bangkit dari punggung jam:
Bukit-bukit cair
menciut lagi jadi puting
jalanan kelupas
berseruak belukar:
kadal, cengkerik, ular, dan belalang
mengerut lagi jadi telur
Pohonan surut
pulang lagi pada bijinya
Kotoran sapi melayang
ditelan lagi lubang anusnya
Kerut-kerut wajah luntur
Dunia kembali jadi muda.


3

Kampung-kampung tajam oleh bau dengkul dan garam
Dan kernyit pikulan para pedagang
dan celoteh ringan para petani
berhambur dari celah-celah waktu
dari detik-detik yang tersimpan
pada tabung ingatan. Atau semacam ingatan.


4

Sore terbit. Orang-orang baru pulang dari ladang
usai menanam harapan
pada biji-biji jagung dan kedelai
pada buncis, ketela, dan bungkah-bungkah garam:
Hari esok adalah butir-butir keringat
yang menetes dari kerja.


5

Langit gelap. Di bawah matahari yang bergeluyur jauh
ke rongga malam. Kudengar gamelan semayup bertabuh
Seperti kemerisik sisik ular di pohon ara.
Kidung tentang percintaan melilit telinga
dalam nada minor yang terjungkal
Angin berlari
menculik uap nasi
dan gurih asap lodeh
dari sebuah pesta yang basi.


6

Pelaminan terang:
Pengantin pria berblangkon
bersungkil keris Adipoday
Pengantin perempuan berkonde
berhias rantai kembang Putri Kuning
Ruang gaduh oleh celoteh pinisepuh
Senyum-senyum mekar seperti kembang
Juga tawa dan basa-basi murahan
Keanggunan-keanggunan yang dangkal.
Kusalami sepasang pengantin:
"Selamat hidup baru, Ayah.
Selamat hidup baru, Ibu.
Saya datang." Aku terisak
"Terima kasih. Anda siapa?"
"Tentu saja saya anakmu."
Ruang kembali pecah
Detik-detik terburai
Malam berlari
Di langit kudengar rohku mengerang
Surga meledak
Hanya Tuhan-sekiranya kudengar-
Diam-diam pun terisak
Sampai sekarang.

Jakarta, 2000



Pada Tidur di Sebuah Sore

"Izinkan aku berteduh di dalam mimpimu, Nak," kataku,
beberapa menit setelah ia lelap. Aku melangkah. Di luar,
udara rusuh. Pohon-pohon beringas. Kota-kota berasap. Kata-kata
tak henti berbiak: jadi angin, jadi api, jadi petir.
Sejarah berhambur-bagai rombongan kelelawar tersembur
dari ruang kastil tua. Di tanah para tukang sihir
Negeri horor. Negeri tukang banyol.
Di selatan, lebih jauh dari selatan. Di ujung mata angin
Anakku membangun rumah di atas kelopak kembang
Di pucuknya lagi, di celah rimbun daunan
matahari berpendar: menebar cahayanya yang hijau
"Sehijau mimpimu, Nak."
Anakku berlari riang
Bersama kelinci, bebek, dan kucing
Berpegangan tangan. Berpelukan-
Tawa berderai
Waktu tersucikan.
Di pinggir cakrawala. Di tapal batas antara bumi dan
kelopak mata. Kudengar tiba-tiba bom meledak-
Aku terlonjak dan melompat ke luar dari mimpinya:
Kota-kota koyak. Bumi retak
Sejarah berhambur
kental dan gelap.
Di kamar, di ruang dan waktu yang bergerak mengusung
gerimis sore. Anakku menggeliat. Kutatap wajahnya:
Wow! Pada keningnya sebilas cahaya matahari
masih berjejak. Suatu tanda:
Ada sesuatu yang masih berharga
ke arah gelap. Bahwa bumi masih
layak dipijak.

Jakarta, 2002



Bersyukurlah Kau Tidak Lahir dari Hujan
- Untuk Orang Yang Tak Ada

Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan, sebab
langit tetap lebih teduh dibanding semua rumah yang terpacak
di bumi
Bukan, bukan soal di sini tak ada surga
tetapi di sini terlalu banyak neraka
bahkan di kamar tidurmu
Bumi ini, yang mewarisi pengetahuan pertama dari
darah Habil, bukan saja kampung yang kumuh,
tapi juga pedih
Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan
Jangan! sebab kulitmu terlalu halus untuk setiap debu dan kotoran
untuk semua mimpi dan harum bangkai
Bersyukurlah, dan jangan sekali-sekali bermimpi
untuk datang
Kubayangkan: di langit tubuhmu bening
bagai sepasang sayap kupu-kupu belum dilukis
oleh benda-benda, oleh pelbagai cuaca, oleh airmata
Bersyukurlah kau jadi orang yang tak ada
Bertahanlah terus untuk tak ada
Tak pernah ada!

Jakarta, 2003

Sajak-Sajak Fitrah Anugrah

http://www.sinarharapan.co.id/
Bulan Kawin

Bayangkan aku menuju kotamu, masuki rumahmu, melamarmu berijab-qabul
depan penghulu,baca sahadat, disaksikan orangtua, serahkan mas kawin
sejumlah uang, lalu pegang tanganmu pasang cincin emas di jari dan
kucium lembut hmhmhm...kubimbing ke pelaminan, melihat para tamu beri
amplop, jabat tangan mereka, akhirnya kita kawin, kuajak kau ke kamar
penuh bunga dan kado.

Bayangkan aku hadir ke pesta nikahmu, melihat engkau bersanding di
kursi pengantin bersama dia, kau bersedia tapi dia tersenyum, dia
pegang tanganmu-kau genggam kembali tangannya, suapin engkau dan kau
suapin dia, kau+dia hampiri aku bersalaman, aku pulang ucapkan
“selamat” sedang kau+dia masuk kamar, tutup pintu, tak ada suara lagi.

Bayangkan aku menulis puisi di sepi malam dalam kamar sempit, rokok
tinggal sebatang, tak cukup uang buat beli, tinggal selembar buat
sarapan, lalu kurangkai kata cinta buatmu yang jauh, tiba-tiba dewi
bulan hampiri, ajak aku bercumbu dalam istana miliknya, habiskan malam
dengannya, hingga ada ketukan di pintu, pemilik kontrakan berteriak,
minta uang sewa atau aku pergi, dan aku diusir, kembali cari tumpangan
kamar, berharap ada cinta tersisa dan dibuang di jalanan.

Bayangkan dalam kamar tidur kukirim e-mail ke laptopmu, “Kamu kesepian
malam ini my honey? Weekend ke mana besok”, kau membalas “terserah mas.
aku menunggumu dalam sepi”, kau+aku menuju vila pungak bukit, kusewa
satu malam dua hari, kita bersenang-senang, hangatkan dingin malam,
nikmati kesejukan, hidup, seperti dalam surga, tak ada masalah,
panggilan pak bos terbenam kabut, dalan satu selimut menunggu mentari,
hingga kilat cahaya terobos jendela, berkemas pulang, pelukan dalam
sedan, kau+aku berpisah, tapi ada janji bercinta kembali.

Bekasi, 16112008



Bulan Kawin 2

Bulan purba itu masih malu-malu tersenyum
dia bersembunyi dalam garis cakrawala
oh sang pelayar gagah berani menjangkau
angkat sauh layarkan hasrat untukmu bulan

Di ujung sang putri pandang laut
ditemani seribu janji dan oleh-oleh
namun bulan belum hadirkan bayang
serombongan perahu jauh datang
buat meminang

Malam itu pelayar lagukan cinta
tentang bulan yang menunggu hadirnya
menari-nari+menyanyi-nyanyi pada badai
melajukan angan hingga berbusa
dan lihat pintu surga telah terbuka buatnya
ia akan berrumah di sana bersama perahunya

Pagi ini bulan bersemayam dalam peluk samudra
tak ada yang ditunggu selain ombak
membawa pecahan-pecahan layar dan kayu
sang putri tersenyum lalu kuburkan
dalam kamar kosongnya

Dia akan berdandan lagi
menunggu bulan lepas dari pelukan

Bekasi, 18112008



Warung Kopi Depan Pabrik Suzuki

Sehitam aspal jalan, sehitam kopi panas
mengingat mimpi yang tak pernah terjadi
kami harus berhitung berapa kata akan pergi
keringat tlah terkuras, dan kami harus minggir
dengar kembali merdu denting gelas beradu ramai ocehan

Merasakan nikmat kopi, merasakan asap pembuangan
kami adalah orangorang terbuang yang melayangkan angan
pada tanggal muda, terlihat wajah panas anak+istri menyambut
bibir bertanya “bawa apa?”.
Tapi kopi ini sudah dingin.

Mungkin sudah cukup tenggelam pekat kopi
ternyata Bos belum datang. semakin kental pekat
selubungi harapan.
Oh...kami harus pesan kopi lagi.
Kami akan mengutang lagi. kami mengoceh lagi tentang harapan.
Kami berdoa “Semoga Bos menemui kami lalu bayarkan kopi ini”

Bekasi, 03112008



Gadis Mannequin

gadis, kau berdiam dalam kotak-sinetron
wajahmu cantik seperti mannequin depan toko
tertawamu laksana si kuntilanak gentayangan
dan tangismu seperti kesedihan pengemis depan toko

mataku terajam elokmu, tubuhmu lenggak-lenggok
bagai ikan dalam jala, aku lelah memandang
tapi wangi aroma buat aku menari-nari atas panggung
lalu kalungkan selendang di lehermu
menarilah bersamaku gadis malam ini

oh gadis, kau terseret malam lalu tenggelam pada cahaya
yang kau tak tahu asalnya. kau pun mati seperti kunang
kau tinggalkan bapakibu yang menunggu di luar panggung
lalu kau lahirkan bocahbocah yang takakan lagi lihat pagi

Bekasi 20-12-2008

Sajak-Sajak Ahmad David Kholilurrahman

http://batampos.co.id/
Dalam Perkekalan Rindu (3)

Sadarlah dirinya, dipandang musafir fakir;
Berlain bangsa, berbeda bahasa
Terasing jauh dari tanah kelahiran,

"Alamak, dizaman kini menyisa kisah cinta ala istana".
Patuh tunduk pada duli kuasa kaum bangsawan.

Sadarlah dirinya, ditidakkan digelanggang mata ramai;
Siang-malam duduk termenung, menanggung jatuh rindu
Pada gadis perawan kota tua bersejarah.

Seujung kuku pun, tak gentar jiwanya,
Ingin menyatakan kemerdekaan asasi hatinya

Sadarlah dirinya, selama ini menempuh rintangan;
Tingkahnya dipandang salah,
Menjatuhkan airmuka Tuan terhormat

Mencampak harga diri kalangan atas
Dituduh mengacau jalan pikiran bangsa feodal

Sadarlah dirinya, sengaja disisik-siang;
Setelah ditimbang dacing bendawi,
Nasibnya tak ubah pesakitan terpasung

Loyang tercampak dari emas,
Benang tersisih dari sutera

Heliopolis, Cairo, 15 Maret 2008



Dalam Perkekalan Rindu (4)

Belum lagi runtuh gunung harapanku,
Menanggung gemetar cinta tersunyi
Seperti gelegas rindu yang tak kutahu berpangkal?

Kota tua bergedung coklat pudar, terkepung rapat
Gerbang beratap melengkung, tertutup erat
Matahari musim dingin merebah ke ufuk barat

Sekawanan pasukan berkuda, menembus batas langit
Gumpalan debu beterbangan, memupus tersedan jerit
Memercik kilat pedang, gemerincing zirah terberandang

Dari tingkap Istana bercat coklat tua,
Sepasang mata hijau zaitun melabuh senja,
Pandang jauh, berbisik pada angin musim kering;
“Hai Musafirku, tak pernah kulupa kebaikan hatimu!”.

Kenapa menabur bibit sajak sepanjang pengembaraan?

Biar kutahu kuncup rindu bertunas seri,
Mekar bunga ditaman-taman hangat musim semi
Meruah semerbak wangi, menunggu dipetik tangan halus kekasih
Sebelum embun menumpuk, mendahulu kumbang hirup mahkota sari

Heliopolis, Cairo, 22 Maret 2008



Dalam Perkekalan Rindu (5)

Menghirup semerbak ranggi rindu
dihantar sejuk-hangat angin musim semi
Kuncup kembang melontar kumbang
Mengecup serbuk putik sari, jatuh berderai

Taman teduh menebar harum rerumputan
Burung-burung kecil terbang bertempiaran,
Riang mematuk ulat-serangga, reranting dahan berjuluran

Dibawah rerimbun pokok kayu,
Musafir duduk rehat menenang pikir
Menyandar pundak, dibangku besi bertuang tersimpai rapi

Gurat-gurat cerah terlukis diroman wajah lelah,
Bercakap hanya menambah beban marah

Pengembara bukan wazir raja, pembisik setia lingkar Istana
Bukan mulut pendongeng pasar malam
Memintal liur berbenang bual hikayat
Bermalam-malam merebut mata pendengar

Sungguh, menulis sajak pilihan bijak
Kelak mengorak jejak, gelegak tapak pemberontak

Heliopolis, Cairo, 3 April 2008

Sajak-Sajak Sindu Putra

http://kompas-cetak/
Namaku Rama-rama

mengenakan topeng rama
para penari yang mengelilingi api itu
menangkapku:
"aku namakan kau rama-rama"
maka namaku rama-rama
nama yang mengingatkan pada cinta
jembatan api, taman buah terlarang dan
mata rama
yang mengawasi bayang-bayang
dan menandai tubuhku
dengan sentuhan tangannya
"aku sentuhkan tanganku
agar tubuhmu basah
lantas terbakar"
dan seperti pahlawan
ia pun menghilang ke dalam api
tinggallah aku
namaku rama-rama
mata rama mengawasi
dari tempat yang tak pernah aku tempuh



Dongeng Anjing Api

anjing itu datang. -mengenakan tubuhnya
seperti yang dikenal kini: binatang malam
bersayap air. bertaring bunga. berkelamin api
dongeng pun tumbuh
perahu kupu-kupu.hewan geladag
bah dan gunung pasir
mengikuti cahaya. -sehitam malam, bayangannya
mengintai. serupa cahaya, meraih warna
tapi bebunga yang mewangi dari telapak tangan
hanya mekar hitam-putih
anjing itu mendengus
mengendus daging terbakar
anjing api itu tak pernah tua
tak pernah kehilangan lapar
dikenakannya taring rama-rama
diperasnya susu merpati
matanya tak lagi menunjukkan arah gelap
matanya berdarah
sementara, -waktu adalah musim kawin
gonggongannya menjadi isyarat berbagi birahi
di dunia yang senantiasa basah oleh liurnya
seluas rumah potong terbuka yang abadi



Di Mana Alamat Seorang Penyair

di mana rumah seorang penyair
aku tanyakan alamat buruk itu!
lihatlah, wahai tanganku
hujan mendirikan rumah air
apakah ini rumah seorang
yang menumbuhkan beburung
dengan bulu kata-kata
seekor burung yang memberi nama sebatang pohon
(sebatang pohon yang memberi alamat bagi seekor burung)
seekor burung yang mengenakan sayap bebunga
mengenakan mahkota dedaun
mengenakan paruh kambium dan taring cahaya
dan bertahtakan istana rumput
tapi, ciumlah wahai tanganku
hutan hujan terbakar, sungai sehitam kemarau
dan kota yang penuh warna cahaya
gelap dan lembab
di mana kini rumah seorang penyair
tempat aku temukan alamat nasib baikburuk
dengarlah, wahai tanganku
siapakah akhir mata yang terpejam
siapakah awal dari kelamin
setua burung, membuat gerakan melingkar
memekarkan bulu ekor dan
merebahkan bulu sayap
sembari berkata: di mana rumah seorang penyair!

Sajak-Sajak Zeffry J Alkatiri

http://www.infoanda.com/
SUDAH SEJAK LAMA MEREKA KALAH

Pada saat anak-anak Yahudi
berebut masuk Yale, Berkley, dan MIT,
anak-anak Syek dan Emir Kuwait, Oman, Bahrain,
dan Arab Saudi berebut masuk hotel di London,
New York, Paris, Pattaya, dan Jakarta.
Sementara anak muda Yahudi sibuk main saham di WTC,
anak-anak Syekh dan Emir itu menghabiskan duit
Moyangnya di meja judi.
Sementara para istri diplomat Yahudi ikut bekerja,
para istri Syekh itu rajin berbelanja.
Sementara pengusaha Yahudi kasak-kusuk melobi,
para Syekh dan Emir itu asyik berendam di bak mandi.
Sementara masyarakat Yahudi rajin mengumpulkan dana,
para Syekh dan Emir itu berpesta dengan para harimnya.
Sementara orang Yahudi berjuang meluaskan wilayah
di jalur Gaza, para Syekh dan Emir itu
membuka pintu bagi Cowboy Amerika.

Jelas, sudah lama mereka kalah.
Saat wilayahnya belum ditemukan minyak mentah,
predator Anglo-Saxon sudah menguasai Timur Tengah.
Apa mereka menyangka sudah bebas dan kaya?
Padahal, sampai sekarang nasib mereka
tidak pernah berubah
Tetap dijajah oleh para Baron perambah
yang sejak dulu sampai sekarang
pun selalu hadir
dan pelan-pelan menjerat leher kita.

Maret 2003-2004



ISA HADIR

Agustinus mendengar cerita tentang dia.
Akan kuhentikan waktu! Katanya.
Tiga jurus kemudian, tiga kepala ahli nujum terpenggal,
Karena tak mampu menunjukkan arah bintang kejora di timur.
Beribu malam telah dilalui. Beribu mimpi telah dicerna.
Tinggal sisa satu malam untuk mencatat mimpi terakhirnya.
Tetapi, Agustinus terlalu lelah, termangu di singgasana.
Di tengah padang pasir. Saat malam merambat ke puncak.
Seorang fakir Badui tak sengaja melihat
sebuah cahaya melengkung
Jatuh ke tanah.
Di tengah laut, tiga ekor ikan paus
jamuran melihat kedua kali kejadian itu.
Lalu mereka teringat pada cerita induknya:
Tentang kehadiran Isa di bumi.

2005



BEIJING 1969

Setelah Kennedy dan Martin Luther King tewas,
Bob Dylan berkeyakinan, "Ini saatnya jaman berganti".
Mendengar itu, Mao membiarkan ratusan dahan tua meranggas
Hingga ribuan kelopak bunga berguguran.



BEIJING 2004

Lengan kanan Dewi Liberty tergilas gerigi besi.
Tetapi, obornya masih menyisakan kerlip di mata anak-anak
Yang sedang memamah Big Burger dan Milkshake di sebuah taman kota.

2003-2004

Sajak-Sajak Sunaryono Basuki Ks

http://www.suarakarya-online.com/
DI PUNCAK EIFFEL

tak terdengar deru angin
di lingkaran tertutup ini
hanya peta jarak
tergambar di dinding
antara Eiffel dan San Francisco
sampai Jakarta
24.000 km terbentang
antara dua titik
yang bergoyang-goyang di puncak ini
tak terdengar deru angin
hanya isak
akan masa yang lepas
dari tangkap
haruskah kita melangkah terus
seperti ini
dari satu titik ke titik lain
dalam peta bumi
yang tercantyum di puncak Eiffel
siapakah dapat menjawab
teka-teki?



DI ATAS SAJADAHKU

Tidakkah kau begitu kasih padaku
di atas sajadah ini
kau deraskan terangMu
kau dendangkan merduMu
kau riwayatkan sukacita

Aku telah menemukan hamparanMu
dalam kasihMu
yang mempertumukan tenang dan gelap
yang mendekatkan timur dan barat
telah kuedari bumi
dan melihat senyumMu
yang selalu membimbingku
telah kulangkahkan hidup
dan kutadahkan tanganku
menerima riwayat
yang Kau kisahkan padaku
tentang Ophelia
alangkah kokoh tanganMu
menggumpal-gumpalkan pasir
yang merupa wajahku

Jakarta. Subuh



DI ATAS KLM LEONARDO DA VINCI

di bawah langit lazuardi
tersapu warna magenta
menyala di kaki pesawat
di cakrawala
kulihat senyumku
di lautan kapas
kudengar napasmu
di deru pesawatku
kudengar isakmu
aku sedang melangkah
menjauh dari kisah nyata
tentang perpisahan
yang tak pernah sengaja kita kehendaki
tak kuasa kita sesali
jangan kita menangis lagi karena perpisahan
sebab langit dan bumi tiada batas
yang nampak hanyalah angan-angan
jangan kita menangis lagi
karena fajar telah tiba
menyingkap gelap yang ditinggalkan pesawat
sekarang dapat kita pandang tanpa berkedip
masa yang mengalir

Schipol, Amsterdam



SELAMAT TIDUR

selamat tidur kuucapkan padamu.
Ketika aku bangun pagi
di tingkat enam Rue Raymond Losserand
dari jendela cahaya pagi
membayang dalam kaca berembun
sebuah taman terhampar
di antara menara
orang melintas bus melintas
selamat tidur kehendakku
letakkan kepalamu di dadaku
agar kau dapat impikan
bayang-bayang
agar kau dapat nikmati
bayang-bayang
agar kau dapat dekap
bayang-bayang
agar kau dapat cecap
bayang-bayang

hidup hanyalah melangkah
dalam bayang-bayang

Paris

Sajak-Sajak Dina Oktaviani

cetak.kompas.com
 
Trinitas (3)
 
aku menghadap ke luar jendela, ke dahan dan rumputan
yang baru tumbuh, menumbuhkan kerinduan yang sengit
: aku menghadap kepadamu, tak bisa menjerit
udara adalah satu-satunya yang sebanding denganmu sore ini
yang menjadi nafasku meski ia diam atau menghambur

Sajak-Sajak Teguh Ranusastra Asmara

http://sastrakarta.multiply.com/
Sajak Akhir Tahun

ketika rindu lepas di ujung senja
angin melecut pada rahim puisi
ada bayangan yang mengaca
menatap sisa-sisa usiaku
begitu sepi

(tidurlah, dengan silang mautmu
yang ditinggalkan di ruji-ruji almanak
dan sementara Tuhan mengejangkan impian)

sepanjang jalan kecil ini
bulan telah mengasingkan ketakutan, di balik arloji
maka lahir bendera penyair
tanpa genderang kerajaan
hanya kelam dan duka
membalut wajahku

(tak usah tersedu
air matamu adalah pembrontakan
yang memberangkatkan siul-siul kebebasan)

Yogya, 1970



T a m a n

kuhitung langkah-langkah kaki dalam sepi taman
ketika hari tanpa suara, tegak kembali
jadi barisan waktu yang terlepas

angin tiba-tiba merendahkan lagu-lagu rindu
dan terbukalah nada fales pada angka
rahasia yang memberat, di ruangka
: belum bernama

Yogya, 1969



Malam Satu Suro

bergegas melintas gelombang, kabarpun sampai
di sini masih tersimpan warisan di batu
dupa dan kemenyan jadilah ceritera
mengundang mitos penuh berkah

doapun dilepas lewat kembang staman
ketika lembar almanak berganti
mengantar hasrat di malam satu suro
di sisi aroma penjaja cinta purba

ribuan kaki tertancap di pasir
dan hatimu kembali membeku di antara
rimbun rumput pantai yang mengering
segalanya pasrah menatap gugusan bintang jatuh.

Yogya, 1972



M a l i o b o r o

masih adakah yang kau becarakan malam ini?
sebait puisi jatuh menyeret peluit kereta
dari balik tembok, degup nafasmu
menyisakan luka batin
yang kau sanding dalam lipatan koran minggu

disini kau menguji janji
terpateri dalam kesetiaan
ketika jam menghitung untung rugi
dan gelisah senantiasa terbuang
di malioboro yang sepi

Yogya, 1970



S e n d i r i

aku berbaring disini di atas dipan
sebuah genting kaca, dimukaku
bercermin dalam bulan pucat
adakah yang kau rindukan malam ini ?
hanya sebuah bulan, di mataku
di balik genting kaca
pada tanggal dua yang merana, aku selalu begini
berpeluk guling tanpa kawan
mungkin tak ada lagi cinta buat orang lumpuh
sedang hatiku terus mengembara
ingin menarik bulan, di balik genting kaca

Yogya, 1969

Sajak-Sajak Hamdy Salad

http://m.infoanda.com/
BIDADARI BUMI

Akulah bidadari yang turun ke bumi membawa satu panji: cahaya matahari!

Kugali makam tirani sepanjang zaman dan kusulam selendang sutra dari kafannya lalu kalungkan pada leher mahkota manusia, bukan lelaki atau perempuan bukan budak atau tuan

Kukobarkan api dan panas bumi membakar istana dan kerajaan sampai hangus jiwa-jiwa tak berperi jadi berlian, cinta segala yang dihidupi sebab bumi bukanlah asal kematian bukan juga panah besi yang ditancapkan ke dalam dada cucu adam dan hawa

Akulah bidadari yang turun ke bumi membawa satu janji: muka-muka berseri!

2006



SEPASANG CERMIN LUKA

buku takdir terbuka semua kata kan terlahir dan kembali ke halaman muka

Bayang-bayang menggambar dunia melihat wajah sendiri penuh debu segumpal darah mencair dan merembes ke dalam tanah tanpa akhir nama-nama berpaling dari kartu menilap cahaya sekeping waktu tak ada genderang bisa ditabuh kecuali mimpi dan guling terjatuh

Para pendaki tertambat ombak para pelaut tersambar kabut percakapan sunyi sejarah maut

Jejak usia mengerang di ranting pohon seperti burung menyusun sarangnya menetaskan telur bagi pemangsa yang hitam memakan daging hitam yang putih memakan daging putih tulang-tulang berserakan dalam jiwa dan merintih mencari asal usulnya

Anak pergi meninggalkan rahim rahim pergi meninggalkan ibu ibu pergi meninggalkan kayu api api berkobar di jantung lima benua

lenyap segala rupa gelap tak terkira

Sepasang cermin mengeringkan luka menunggu daging baru dari tubuhmu

2006

Sajak-Sajak TS Pinang

http://m.kompas.com/
Mabuk

kami tumbuh dari kelopak bunga kamboja di tanggul kolam koi. kami besar di kelopak teratai
yang berenang di tengah kolam. kami dewasa di kelopak mata, tempat kami mula-mula
belajar dusta.
setelah cukup usia, kami mulai belajar menyelam. merunut sulur akar dan sisik-sisik ikan
yang rontok. kami menghanyut bersama arus sungai. menghilir. berkelok. kami mulai
menghafal batu-batu yang kami jumpai. ada yang ramah. ada yang garang.
kami berenang. kadang kami mengayuh dengan jujur. kadang curang. kami sedang mencari
rahasia kecantikan rembulan. keelokan yang membuat kembang berebut mekar, membuat
birahi ombak lautan. keelokan yang membuat kami mabuk cemburu.
di danau, kami bertamu pada kelopak-kelopak narsisus, kembang yang tenggelam dalam air
matanya sendiri akibat tak habis sesalnya mencuri rahasia rembulan. ia mengutuk dirinya
sendiri. terlalu cintanya pada wajah sendiri, tak sudi ia mengutuk yang lain.
tiba-tiba kami mual. memuntahkan purnama yang kami telan malam tadi.



Bersepeda

kami ini sepasang kaki. kami mengayuh tungkai sepeda. kiri dan kanan bergantian, sesekali
berjeda. semakin laju sepeda kami semakin kami tak tahu ke mana kami menuju. kami hanya
sepasang kaki, bukan pemegang kendali. yang kami tahu hanya membuat sepeda kami lancar
meluncur maju. kadang kami membawa penumpang, sebongkah pantat, sekarung kentang,
atau bebek calon santapan yang dipadatkan dalam keranjang. kalau kami boleh memilih,
kami lebih suka membawa telur. kami bahagia membayangkan telur itu kelak menetas
menjadi ayam yang kelak bertelur pula. skenario lingkar kehidupan. kami tak bahagia
membayangkan telur itu busuk atau punah di piring sarapan manusia. tapi kami tak bisa
terlalu memilih. kami ini sepasang kaki. kami mengayuh tungkai sepeda. mengayuh saja.



Mendangir

musim ketiga selalu mengelantang ladang-ladang kami. bumi kami mengering, keriput
menela, melungka. rengkah akibat haus yang menggarang tekak leher. di saat itulah kami
menyapa tanah kami. menggemburkan yang pejal, menguraikan yang bebal. di musim basah
kami mendangir tetanaman kami, mengusir gulma-lintah ladang yang serakah. di musim
kerontang kami mendangir tulah kemarau. menjaga agar bumi tak membatu, agar humus tak
mengabu, agar hati kami tak juga begitu.
bila tanah kami lungka, jiwa kami luka.
kami terlahir oleh dengus dan peluh petani, aroma busuk jerami menafasi paru-paru kami
sebagai embun pagi mengilaukan suri di kening kami. begitulah bau ladang menafasi kanak-
kanak kami, begitulah kami tumbuh dijiwai.
setiap ayunan gancu bersula ganda, kami mendaraskan mantra gayatri. menyapa ibu kami
yang mahasuci. kami mendangir sepenuh hati. agar zikir kami tumbuh membiji di ladang
kami.



Menatap

kami menatap setiap kata yang lewat. menduga-duga mana yang sekadar singgah, mana yang
akan menetap. kami harus bertahan agar mata kami memandang tetap. tak luput menangkap
apa saja yang menghampiri, mampir sejenak di haribaan kami.
kami sesekali bertukar mata, saling berjabat pandang. lalu kata-kata yang memercik dari
cahaya mata kami saling membuahi. begitulah cara kami menyemai puisi. dalam tatap mata
kami itu kata-kata kami bermutasi atau metamorfosa atau membasi. kami menatap setiap kata
yang lewat, singgah, mati. atau yang datang, menetap, menjadi. kami menjadi saksi bagi kata-
kata yang bermutasi jadi puisi, seperti percikan cahaya mata kami menjelma jadi kembang
atau kumbang. menjelma lupa atau kenang.
kami menatap setiap kata yang lewat, meleleh jadi kalimat, jadi hikayat, jadi kitab nubuat.
kami menatap kata-kata yang lewat. setiap demi setiap.

Sajak-Sajak Nirwan Dewanto

http://kompas-cetak/
Gong

Tengah kami cerna hamparan abu yang meluas hingga ke Prabalingga ketika kau datang tiba-tiba. Menyuapkan sebilah anak kunci ke mulutku kau berkata, “Aku pandai membuka semua pintu. Jangan lagi lari dariku.” Waktu kaulepaskan gaunmu tahulah kami bahwa tubuhmu masih setengah-matang. Tapi aku tak lagi bisa tertawa sebab baru saja kami kuburkan sang panakawan di antara batang-batang pisang.

Malam ini sungguh terlalu panjang. Maka menarilah, Adinda. Tak akan kami pulang sebab kami mahir bertepuk sebelah tangan. Menarilah. Inilah lingkaran yang akan kami berikan esok hari kepada ki lurah Baradah. Namun sekarang ambillah. Sebab tubuhmu kian merona merah.

Baiklah, bahkan lingkaran seluas padang ara-ara pun tak cukup bagimu. Telah kunyalakan segala suluh agar hutan pring dan rotan ini menjauh darimu. Dan kami tanam pokok-pokok pinang kencana di sekitarmu agar tanganmu gemas meninggi melupakan leluka para leluhur di bumi. Tapi kau ingin bergerak seperti lautan seperti awan-gemawan seperti berjelatang seperti menuju timpas perang. Kami pun tuli oleh derak sendi dan rusukmu selepas tengah malam.

Tapi kami pemujamu, bukan? Sebab parasmu murni seperti sebutir telur (seperti parasku yang tak kunjung hancur): putih yang mengeras dalam gelap keparat, dan hanya retak pada hari kiamat. Bahkan balatentara Kadiri yang mengintai dari kedua sayap panggung gentar oleh kilaumu, oleh ketelanjanganmu.

Setiap kali para penabuh menjalang hendak menggiringmu ke tepi jurang, kugaungkan diriku lirih-lirih, panjang-panjang. Kembalilah lagi ke tengah, Adinda, di mana cahaya memancar paling merah (dan meruapkan harum darah), di mana kau harus mulai belajar lagi menggerakkan jari-jemari seperti bayi.

Dan sang perias di balik tirai (kurasa ia janda, dan ia datang dari Girah, di mana aku pernah lahir) menunggu kau segera dewasa. Sungguh ia berharap kau tak lagi menyiksa ia dengan lagumu, “Tolong hitamkan alisku, Ibu! Tolong tebarkan beras kuning dan daun sirih dan pecahan pedang di kaki ranjangku agar aku segera menari segera setelah bangun pagi!”

Ah, pastilah kucegah ia menjadi ibumu.

Maka kugiring kau ke puncak (Sumeru, itulah mungkin namanya) di mana delapan penari bertubuh perunggu segera merebutmu, memandikanmu dengan hujan kelopak melur. Memasang topeng Durga ke wajahmu mereka berseru, “Kaulah lubuk kami, busur kami. Dan kamilah anak-anak panah atau benang-benang topan yang melesat darimu, sehingga mereka yang memujamu tak lagi tahu kau juru tenun atau juru tenung.” Tapi diam-diam kusisipkan bara arang ke bawah kakimu, dan si anak kunci ke celah payudaramu.

Selamat jalan, Ratna Manggali.

Aku akan lekas-lekas sembunyi. Sudah terdengar olehku kokok ayam jantan. Dan kuburan panakawan itu, tepat di bawah julai tandan pisang raja, akan segera terlihat olehmu. Kemudian, bukankah kau akan memburuku, mungkin membunuhku, bahkan sebelum surya mengemasi tirai panggung kita? Maafkan kami, sebab kami penabuh yang tak pernah mengaku (tak pernah kautahu bahwa Siwa berada di antara kami, dan oleh ia kami akan jadi serdadu yang ganas berebut kainmu). Sebab kau perawan baka, perawan paling sempurna.

Dan aku hanya lingkaran lingga. Terlalu purba, terlalu sederhana.

Tak mampu aku memuasi dahagamu.

(2006)



Torso Pualam
—untuk Gregorius Sidharta Soegijo (1932-2006)

Pakaiannya tertinggal di tepi perigi, tapi betapa gentar terang siang memekik di antara kedua susunya.

Di jalan pulang, bujang yang mengikutinya seperti bayangan itu berkata, “Puan, wajahmu dan tubuhmu adalah milik malam. Aku tak mampu mencintaimu. Mereka pun tak.”

Hari hampir senja ketika belum juga rumahnya terlihat. Mereka tiba di bawah pohon mahoni. “Ambil pahatmu,” kata dia pada si bujang. “Haluskan punggungku ketika aku berpejam mata menghadap ke utara.”

Ia lupa arah mata angin. Ia merasa kakinya tercelup ke arus kali ketika mulai memahat.

“Jika darah mengucur dari tubuhku, berhentilah.”

Tapi tubuh si perempuan berkilau-kilau ketika malam tiba. Maka ia perindah sepasang payudara itu meski ia tak akan lagi bisa minum dari sana. Dan ia sesap kembang api dari lengkung pinggang yang

kian tampak purba itu.

Makin nyaring bunyi pahatnya.

Sampai jari-jemarinya sendiri berdarah…

Kuhisap darah itu agar aku mampu mendengar tangisan sang puan dewi batari. Dia tak lagi betah di bawah pohon keramat itu sebab aku telah memberinya baju dari kain perca warna-warni.

Dan dengan kuda sembrani dari kayu mahoni kami melaju ke Bandung atau Craiova sehingga Brancusi yang selalu seperti datang dari esok hari tak lagi bersiteguh membanggakan kepala bayi atau telur dari pualam mahaputih itu.

Sesekali kaukuburkan pahatku pada lubuk perigi.

Tapi aku bukan lagi bayang-bayangmu. Wajahku menghadap ke semua penjuru. Sehingga setiap sungai membawa laut ke pangkuanku. Bahuku bertuliskan nun. Sehingga setiap akar menghisap bentang langit paling biru.

Dan setiap tangan adalah milikku yang membawa wajah dan payudaramu ke arah siang.

(2006)



Gandrung Campuhan

Kuminum apa dari cawanmu
—sari limau atau arak madu—
tetap saja kusesap tilas bibirmu.
Habis senja makin dahaga aku.
Kuiri pada kalung manikmu,
bebulir merah tak kunjung ungu,
terus saja melingkari lehermu.
Sedang lenganku, lengan perihku
membelit sebutir jantung hanya,
jantung semu milikmu. Segera sirna
ia, begitu kau membunuh surya
pada kulit kitabku, dengan kecut cuka.
Kucoba roti apa saja. Roti udara
atau roti batu. Tapi dengan selai ceri
olesan tanganmu, aku akan tega
melupakan segala nasi, segala kari.
Silau oleh album negeri salju, kau
menarik tabir magnolia. Mengigau
aku seperti batang neon terendam
suara kekasihmu separuh malam.
Telah tercuri wajahmu di Singapadu
—Durga atau Maria dari Magdala?—
sebab seperti Siwa tubuhku penuh abu
memanggul salib kayu nangka.
Di restoran itu pun segera terpercik bara
ke ujung kainmu. Sebab kau tampak tiba
dari lukisan Lempad, menjelang pagi,
tapi dengan pipi seperti telur mata sapi,
pada pelepah pisang kau sigap menari,
pada talam Siam kautahan sang koki,
hingga siap aku mencicipimu, mengulummu
dengan lidah berbalur kaldu empedu.
Tapi lambung kananku tercabik tiba-tiba
oleh pisau pacarmu. Penyadap betapa muda,
lekas ia terakan namaku pada kedua susumu
dengan getah pala dari segenap pembuluhku.
Matamu badam biru dari bawah seprei
—sepasang terakhir kubawa mati—
sambil kupahatkan busur pinggangmu
pada cermin berlumur darah lembu.

(2006)



Madah Merah

Terlalu dekat kau ke lumbung padi
sehingga rambutmu tak kilau lagi.
Terlalu pagi mungkin kauminta aku
mengunggah sembilu ke tepian dagu.
Terlalu gabah kutampi bebayangmu,
terlalu payah kautenggang lingkar nyiru.
Tapi tengah hari alismu tetap teka-teki
meski terengah lidahku ke ujung nyanyi.
Layu tanganku seperti kembang sepatu
tak lagi terperam di sebarang rambutmu.
Pada payudaramu bibirku akan lupa,
pada ani-ani buku jarimu berutang luka.
Lempang pematang oleh mata dara,
terbang kiambang oleh mara buah ara,
tapi tak lagi menjulai malai jantungku
sebab sembunyi darahmu ke pucuk meru.

(2006)



Sarapan di Undak Sayan

Antara piring putih ini
dan cakram matahari
kukekalkan sepetak roti
dengan luka ujung jari.
Antara meja tohor ini
dan gerimis sore nanti
lap penuh bara birahi
menempel ke pucat pipi.
Antara kilau sungai itu
dan gelap geligi beku
seraya cemburu, kuburu
ke ujung garpu, rambutmu,
dan ke mata pisau, matamu.
Sebab lapar tak juga milikku.

(2006)

Sajak-Sajak Gus tf Sakai

http://www2.kompas.com/
Materi Dingin

Dada yang kosong, baiklah. “Di bilikmu
mungkin memang bukan gelap. Tapi ketiadaan cahaya.
Berapa ratus tahun lagikah cahaya itu bakal sampai
ke ronggamu?” Raga cuma ilusi, materi dingin
yang sehari-hari bisa hilang.
Cahaya terus merambat. Memang. “Tapi engkau
tak mungkin hanya diam dalam gagasan kekal
bentangan
kosmos. Engkau tidur, Sayang. Hanya tidur. Dan bagianmu
bukanlah memang pantas kalau cuma mimpi?”
Lebih tinggi sedikit dari tanah, dari air, dari batu:
Materi dingin yang terus luput dari jiwa kosmik.

Payakumbuh 1997



Peniup Suling

Sekarang, mari kita keluar dari waktu. Waktu kita tak sama.
Malam bagimu, mungkin pagi bagiku. Tidakkah matahari selalu
datang pada orang-orang yang mengungkapkan diri dengan cara
berbeda?
Waktu kita tak sama. Kau meniup suling - entah kapan
dan di mana, tapi aku mendengarnya. Mungkin seseorang
membawa sejarah, dan ia tak hidup di zaman kita. Seperti engkau,
seperti aku, mungkin akan datang kembali: melampaui
dunia materi. Waktuku, mungkin pula tak datang
pada zamanmu. Begitu pula zaman orang yang kaucari.
Adakah mereka di orbit lain pada planet lain? Matahari
juga tak sama. Tapi engkau meniup suling. Tetapi aku
meniup suling. Suaranya. Mengalun lirih berputar-putar
Meliuk rincih membubung-binyar. Tubuhmu, mungkin memang
di si ni dan hancur. Tapi masa depan,
atau masa lalu, hanya milik
sulingmu, menembus ruang, waktu, bintang dan galaksi lain
yang tak kautahu.

Payakumbuh 1997



Jalan Akal, 1

Aku jatuh dari angkasa. Bumi bagiku asing. Selamat datang,
jiwa. Inilah ia, jalan akal yang terbentang. Panjang. Adakah
kautemukan pola - yang bernama raga? Entah.
Tapi lihat,
Aku dihadang oleh yang hancur, oleh yang kekal,
oleh sesuatu yang terus mengalir. Aku tidur, aku bangun,
dalam hari yang sama. Kota tumbuh, kota hancur,
hari itu juga. Bagaimanakah malam menjelma
siang - tanpa kuikut memutarnya? Bertahun-tahun,
berabad-abad
aku jatuh dari angkasa. Bumi bagiku asing.
Simpanlah ucapan selamat. Aku tersesat.
Raga siapakah, wahai, yang melikur
seperti busur pada diriku? Aku terjerat,
bertahun-tahun, berabad-abad. Adakah
seorang, entah siapa dari engkau
yang bisa kembalikan aku ke cetakan itu? Jiwa.
Aku jatuh dari angkasa. Diri bagiku asing.

Padang 1997

Sajak-Sajak F Aziz Manna

http://cetak.kompas.com/
Penabuh

kau tampar kulit kendang seperti menampar kulit kami, kau tabuh kendang seperti menyentek hidup kami, kau buat penari itu berjingkrak seperti mendorong langkah kami, kau ramai- sepikan panggung seperti mengatur rizki kami, selama irama diizinkan, tarian hidup terus berjalan, tanganmu penentu nasib kami, tapi terkadang kami berpikir: siapa yang memulai semua mimpi buruk ini? ketukanmu atau igal tubuh kami? tapi semakin kami cari jawaban selalu ia mengelabui pikiran dengan pertanyaan tambahan, beranak pinak, membandang di pikiran dan kami yakini kebingungan sebagai sebuah awal penciptaan



Dadu

kau lempar dadu seperti melempar nasib kami, tujuanmu hanya satu: selalu lewat tangga menuju kotak terakhir permainan ular tangga itu, sedang kami selalu waswas dan harus awas: jangan masuk kotak mulut ular, hidup akan berjalan mundur, kami menunggu lemparan dadumu seperti menunggu garis takdir, sedang takdir selalu di luar dugaan kami, dan dadu menjadi ancaman tersendiri bagi kami, seperti juga tanganmu, tangan yang melempar dadu, dadu yang seperti nasib kami, kami pernah belajar mengeja kata dan mengolahnya jadi senjata tapi dunia berjalan dengan pelempar dadu ugal-ugalan, kerap melanggar aturan, kami pun hanyut dalam permainan penuh kecurangan



Laut Hitam

di laut ini kami tidurkan beragam impian tentang penghujan, musim semi dan lengkung pelangi, di laut ini kami leburkan seluruh warna jadi hitam, hanya hitam, sebab hidup kami kelam, nasib kami suram, dipinggirkan siang: kerja, kerja, kerja, upah lewat begitu saja, tak pernah menyapa, tak pernah bercengkerama, tertawa, laut jadi hitam, hanya hitam, seperti lingkar bola mata kami, kota-kota gelap, menyimpan penghuni gelap dalam rumah-rumah gelap, rumah kami, anak-anak kami, doa-doa hanya rintihan, hanya umpatan, impian tak pernah sampai, tentang penghujan, musim semi dan lengkung pelangi

Sajak-Sajak W Haryanto

http://www2.kompas.com/
Nyanyian Malam

jasad menangis dan maut tumbuh di jalan yang licin,
tapi siapakah yang telah berhianat di antara kita.
pada wajah mendung, kegairahan kita adalah hantu-
hantu
dari semua kediaman. ledakan nafas kita tergelincir,
menjadi bayangan ganjil di malam yang marah.
mungkin kita tak saling memaafkan seperti lolongan anjing
di balik bukit. menyadari hamparan tanah tandus di akhir
penglihatan. dan kenangan kita hanyalah getah gema di mulut
musim: kudengar bisikanmu di balik cahaya mati, dimana
ketandusan tanah tengah bernyawa dan kekuningan.
penglihatanku melolong dengan kekalahannya yang ajaib,
dan langit hamil derita.
benakku dipenuhi maut: ladang-ladang pekikan yang berlari,
dan pikiranku lebih lapar dari tanah tandus.

Surabaya, 1998



Dari Sebuah Pantai

melihatmu membeku; terbayangkan nyala lilin yang mati
di matamu. ngilu kecemasan yang membekas,
malam belum selesai dengan alurnya yang berkelit;
kau dicumbu ajal, dan membiarkan kulitmu menjadi angus-
gumpal malam di matamu, membersitkan makna pengelanaanku,
dan mengingatkanku pada beberapa jam usiaku yang hilang tandas.
selarik awan membentuk bayang-bayangnya di dasar kolam,
kuntum mimpi terhampar, hujan yang hidup dan menggoyangkan
daun jendela. akan membuat kulit kita lebih diam dari batu.
seakan percikan cahaya yang hendak menembus ketebalan kabut;
kita pernah berperahu untuk melawan nasib, dan menyadari bisikan
ombak pada malam: bahwa kita tak pernah sampai di akhir pergulatan ini.

Watu Prapat, 1995



Kepompong Kenangan

dari lubuk kamar, bulan runtuh untuk rasa kehilanganku.
tanah tandus akan membuat bumi tua seperti sebuah lukisan
tentang kota tua di bawah laut.
usiaku terus bergerak ke pedalaman malam, membersitkan penggalan
penggalan peristiwa di dinding kamar: senyummu kadang menyakitkan
lebih garang dari ancaman nyanyian serangga.
mereguk getah beracun di mulut masa lalu, aku melolong,
ketika kabut menjadi teramat dingin. dan akhir penglihatanku
tak memahami, bagaimana mula mimpi menyulut nyawa api,
hingga terlihat anak tangga ke lubuk masa lalu, dimana aku telah
terkantuk oleh bau candunya, segala yang tak ingin kuberi arti,
seperti bau keterpesonaanku pada pepohonan.

Surabaya, 1996

Sajak-Sajak Tan Lioe Ie

http://www2.kompas.com/
Perahu Daun

Di tepi danau kita berdiri
melempar batu kanak-kanak
ke dalamnya.
Seribu purnama bercermin di air
Batu kanak-kanak berlumut sudah.
Kita masih di sini
menyaksikan angin
menjatuhkan sehelai daun
mengapung di permukaan
menjadi perahu
menjemputmu
menembus kabut
Kau pun tak tampak lagi.
Mataku bukan mata dungu ikan
yang tertipu umpan di mata kail
Tapi tak juga sanggup menyibak kabut itu
Kau tetap lenyap dari pandang
Tinggal kecipak air ditepuk angin
Angin yang lagi akan menggugurkan daun
mengapung jadi perahu
menjemput penyeberang berikutnya.



Mimpi Buruk

Bunga plastik di jemari tua
adalah kenangan
akan kumbang dan
kupu-kupu.
Mimpi kanak-kanak
dengan ranting mengurai langit
mimpi peri-peri hutan
menari di daun-daun
terkubur di kedalaman bumi
yang rekah terbakar.
Papan usang
ratap purba hutan-hutan
jejak siapa tertinggal di sana? Lebih
senyap dari kelepak kupu-kupu. Lebih
sakit dari sengat kumbang
mendengung di liang telinga kenangan.



Tak Lagi

Langit-langit
tentu bukan langit
Langit yang tampak
bukan langit yang kau rindu
Resah kau
bagai angin tak sampai
ke hampa langit tinggi
Gundah kau
serupa sinar sia-sia
menggapai gelap laut dalam
Berulang-kali kau jenguk dirimu
Sampai kau temukan
benda-benda langit
bercahaya di dalamnya
menuntunmu ke cahaya
di luar diri. Lebih dari matahari.
Cahaya bertemu cahaya
lebur jadi satu
Kau pun berkelana dalam cahaya
menyibak tabir langit
mengurai tirai laut
Dan apa yang hendak kau katakan
tak lagi kau ucapkan.

Sajak-Sajak Iyut FItra

http://www.korantempo.com/
SESEORANG YANG TERUS BERLARI
: d u

kau tentu ingat ketika kita bercakap di tepi kolam sebuah hotel
gerimis turun ragu dan matamu merah lindap setelah beberapa botol wine
“aku lelah untuk terus berlari. tapi dari kota ke kota ledakan itu terus memburu!”
ujarmu menyingkap badan. ada beberapa bekas luka menghitam
“ini bunga dari pertikaian!” diam kubuang puntung rokok ke dalam kolam
sebagaimana teman madura kita yang juga tak percaya. bahwa rusuh yang tumbuh
di tubuhmu adalah rasa cinta pada tuhan: “aku telah berkali berganti nama
demi kebenaran!” hentakmu memecah botol
aku memungut derainya. di dalamnya kulihat wajahmu yang tercabik
simpang-simpang dari arah matahari yang tak jelas

kita berpisah juga. kau seorang ambon yang dulu ke jakarta dan sekarang di aceh
di payakumbuh kotaku yang sunyi kubayangkan seseorang terus berlari
memanggul marah. puisi-puisi di pundaknya berceceran sepanjang jalan
“kurasakan tempat tidur seperti papan bertabur paku. merebahkan nasib sama saja
menikam tubuh. engkau dan aku menumpuk sengketa setinggi gunung…” tulismu
dalam pesan yang ngilu. kuingat sepasang bule australia yang bertengkar
di seberang kolam. kita seolah-olah ingin berdansa karena tertawa
tapi bukankah pertengkaran-pertengkaran serupa itu yang kita cemaskan?

kau tentu ingat ketika kita bercakap di tepi kolam sebuah hotel
aku takut ledakan-ledakan itu juga sampai ke kotaku

Payakumbuh, 2008



LUKISAN HITAM PUTIH

bila kau inginkan kenangan, kutinggalkan jejaknya di dinding ini, katamu
pada sebuah malam. kau menyebutnya perpisahan meski aku menyimpulkan
hanya sebentar kepergian. kau pasti akan kembali, ucapku berupaya merayu
lalu waktu begitu lesat. tiang-tiang lampu, jalan dan pohon bersiburu ke arah larut
selain hembus senyap tak kulihat dirimu yang menghilang di perbatasan
kemudian sering kucuri sempat membaca lukisan itu. senyummu tawar
seolah-olah ingin berkisah, kita hanya rel, kereta dan stasiun
saling membutuhkan dan pasti akan berpisahan. berkacalah pada waktu

kau tak pernah lagi berkirim kabar kecuali dua lembar foto berkebaya kuning
dan merah hati. masihkah kau terpasung oleh kenangan? tanyamu angkuh
pada baris terakhir. kulihat bangau-bangau senja bergerombolan pulang
riuh berjalinan dalam rindu pada anak, dahan dan sarang
dan seekor murai bertengger di lukisanmu. berkicau dan menitikkan airmata
sejak itulah tak ada lagi cerita dari dinding itu

Payakumbuh 2008

Sajak-Sajak D. Zawawi Imron

jawapos.com
 
MERPATI
 
seekor merpati terbang meninggalkan bulan
hinggap di tangan jadi pisau
sebuah pisau terbang bersayap daun mawar
hinggap di angan jadi buku
sebuah buku menyanyi dalam mimpi
bahwa bantal dan keringat tak pernah senadi

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae