Rabu, 11 Maret 2009

Sajak-Sajak Nirwan Dewanto

http://kompas-cetak/
Gong

Tengah kami cerna hamparan abu yang meluas hingga ke Prabalingga ketika kau datang tiba-tiba. Menyuapkan sebilah anak kunci ke mulutku kau berkata, “Aku pandai membuka semua pintu. Jangan lagi lari dariku.” Waktu kaulepaskan gaunmu tahulah kami bahwa tubuhmu masih setengah-matang. Tapi aku tak lagi bisa tertawa sebab baru saja kami kuburkan sang panakawan di antara batang-batang pisang.

Malam ini sungguh terlalu panjang. Maka menarilah, Adinda. Tak akan kami pulang sebab kami mahir bertepuk sebelah tangan. Menarilah. Inilah lingkaran yang akan kami berikan esok hari kepada ki lurah Baradah. Namun sekarang ambillah. Sebab tubuhmu kian merona merah.

Baiklah, bahkan lingkaran seluas padang ara-ara pun tak cukup bagimu. Telah kunyalakan segala suluh agar hutan pring dan rotan ini menjauh darimu. Dan kami tanam pokok-pokok pinang kencana di sekitarmu agar tanganmu gemas meninggi melupakan leluka para leluhur di bumi. Tapi kau ingin bergerak seperti lautan seperti awan-gemawan seperti berjelatang seperti menuju timpas perang. Kami pun tuli oleh derak sendi dan rusukmu selepas tengah malam.

Tapi kami pemujamu, bukan? Sebab parasmu murni seperti sebutir telur (seperti parasku yang tak kunjung hancur): putih yang mengeras dalam gelap keparat, dan hanya retak pada hari kiamat. Bahkan balatentara Kadiri yang mengintai dari kedua sayap panggung gentar oleh kilaumu, oleh ketelanjanganmu.

Setiap kali para penabuh menjalang hendak menggiringmu ke tepi jurang, kugaungkan diriku lirih-lirih, panjang-panjang. Kembalilah lagi ke tengah, Adinda, di mana cahaya memancar paling merah (dan meruapkan harum darah), di mana kau harus mulai belajar lagi menggerakkan jari-jemari seperti bayi.

Dan sang perias di balik tirai (kurasa ia janda, dan ia datang dari Girah, di mana aku pernah lahir) menunggu kau segera dewasa. Sungguh ia berharap kau tak lagi menyiksa ia dengan lagumu, “Tolong hitamkan alisku, Ibu! Tolong tebarkan beras kuning dan daun sirih dan pecahan pedang di kaki ranjangku agar aku segera menari segera setelah bangun pagi!”

Ah, pastilah kucegah ia menjadi ibumu.

Maka kugiring kau ke puncak (Sumeru, itulah mungkin namanya) di mana delapan penari bertubuh perunggu segera merebutmu, memandikanmu dengan hujan kelopak melur. Memasang topeng Durga ke wajahmu mereka berseru, “Kaulah lubuk kami, busur kami. Dan kamilah anak-anak panah atau benang-benang topan yang melesat darimu, sehingga mereka yang memujamu tak lagi tahu kau juru tenun atau juru tenung.” Tapi diam-diam kusisipkan bara arang ke bawah kakimu, dan si anak kunci ke celah payudaramu.

Selamat jalan, Ratna Manggali.

Aku akan lekas-lekas sembunyi. Sudah terdengar olehku kokok ayam jantan. Dan kuburan panakawan itu, tepat di bawah julai tandan pisang raja, akan segera terlihat olehmu. Kemudian, bukankah kau akan memburuku, mungkin membunuhku, bahkan sebelum surya mengemasi tirai panggung kita? Maafkan kami, sebab kami penabuh yang tak pernah mengaku (tak pernah kautahu bahwa Siwa berada di antara kami, dan oleh ia kami akan jadi serdadu yang ganas berebut kainmu). Sebab kau perawan baka, perawan paling sempurna.

Dan aku hanya lingkaran lingga. Terlalu purba, terlalu sederhana.

Tak mampu aku memuasi dahagamu.

(2006)



Torso Pualam
—untuk Gregorius Sidharta Soegijo (1932-2006)

Pakaiannya tertinggal di tepi perigi, tapi betapa gentar terang siang memekik di antara kedua susunya.

Di jalan pulang, bujang yang mengikutinya seperti bayangan itu berkata, “Puan, wajahmu dan tubuhmu adalah milik malam. Aku tak mampu mencintaimu. Mereka pun tak.”

Hari hampir senja ketika belum juga rumahnya terlihat. Mereka tiba di bawah pohon mahoni. “Ambil pahatmu,” kata dia pada si bujang. “Haluskan punggungku ketika aku berpejam mata menghadap ke utara.”

Ia lupa arah mata angin. Ia merasa kakinya tercelup ke arus kali ketika mulai memahat.

“Jika darah mengucur dari tubuhku, berhentilah.”

Tapi tubuh si perempuan berkilau-kilau ketika malam tiba. Maka ia perindah sepasang payudara itu meski ia tak akan lagi bisa minum dari sana. Dan ia sesap kembang api dari lengkung pinggang yang

kian tampak purba itu.

Makin nyaring bunyi pahatnya.

Sampai jari-jemarinya sendiri berdarah…

Kuhisap darah itu agar aku mampu mendengar tangisan sang puan dewi batari. Dia tak lagi betah di bawah pohon keramat itu sebab aku telah memberinya baju dari kain perca warna-warni.

Dan dengan kuda sembrani dari kayu mahoni kami melaju ke Bandung atau Craiova sehingga Brancusi yang selalu seperti datang dari esok hari tak lagi bersiteguh membanggakan kepala bayi atau telur dari pualam mahaputih itu.

Sesekali kaukuburkan pahatku pada lubuk perigi.

Tapi aku bukan lagi bayang-bayangmu. Wajahku menghadap ke semua penjuru. Sehingga setiap sungai membawa laut ke pangkuanku. Bahuku bertuliskan nun. Sehingga setiap akar menghisap bentang langit paling biru.

Dan setiap tangan adalah milikku yang membawa wajah dan payudaramu ke arah siang.

(2006)



Gandrung Campuhan

Kuminum apa dari cawanmu
—sari limau atau arak madu—
tetap saja kusesap tilas bibirmu.
Habis senja makin dahaga aku.
Kuiri pada kalung manikmu,
bebulir merah tak kunjung ungu,
terus saja melingkari lehermu.
Sedang lenganku, lengan perihku
membelit sebutir jantung hanya,
jantung semu milikmu. Segera sirna
ia, begitu kau membunuh surya
pada kulit kitabku, dengan kecut cuka.
Kucoba roti apa saja. Roti udara
atau roti batu. Tapi dengan selai ceri
olesan tanganmu, aku akan tega
melupakan segala nasi, segala kari.
Silau oleh album negeri salju, kau
menarik tabir magnolia. Mengigau
aku seperti batang neon terendam
suara kekasihmu separuh malam.
Telah tercuri wajahmu di Singapadu
—Durga atau Maria dari Magdala?—
sebab seperti Siwa tubuhku penuh abu
memanggul salib kayu nangka.
Di restoran itu pun segera terpercik bara
ke ujung kainmu. Sebab kau tampak tiba
dari lukisan Lempad, menjelang pagi,
tapi dengan pipi seperti telur mata sapi,
pada pelepah pisang kau sigap menari,
pada talam Siam kautahan sang koki,
hingga siap aku mencicipimu, mengulummu
dengan lidah berbalur kaldu empedu.
Tapi lambung kananku tercabik tiba-tiba
oleh pisau pacarmu. Penyadap betapa muda,
lekas ia terakan namaku pada kedua susumu
dengan getah pala dari segenap pembuluhku.
Matamu badam biru dari bawah seprei
—sepasang terakhir kubawa mati—
sambil kupahatkan busur pinggangmu
pada cermin berlumur darah lembu.

(2006)



Madah Merah

Terlalu dekat kau ke lumbung padi
sehingga rambutmu tak kilau lagi.
Terlalu pagi mungkin kauminta aku
mengunggah sembilu ke tepian dagu.
Terlalu gabah kutampi bebayangmu,
terlalu payah kautenggang lingkar nyiru.
Tapi tengah hari alismu tetap teka-teki
meski terengah lidahku ke ujung nyanyi.
Layu tanganku seperti kembang sepatu
tak lagi terperam di sebarang rambutmu.
Pada payudaramu bibirku akan lupa,
pada ani-ani buku jarimu berutang luka.
Lempang pematang oleh mata dara,
terbang kiambang oleh mara buah ara,
tapi tak lagi menjulai malai jantungku
sebab sembunyi darahmu ke pucuk meru.

(2006)



Sarapan di Undak Sayan

Antara piring putih ini
dan cakram matahari
kukekalkan sepetak roti
dengan luka ujung jari.
Antara meja tohor ini
dan gerimis sore nanti
lap penuh bara birahi
menempel ke pucat pipi.
Antara kilau sungai itu
dan gelap geligi beku
seraya cemburu, kuburu
ke ujung garpu, rambutmu,
dan ke mata pisau, matamu.
Sebab lapar tak juga milikku.

(2006)

Tidak ada komentar:

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae