Jumat, 21 November 2008

Sajak-Sajak S Yoga

http://www.suarapembaruan.com/
Jalan Bercecabang

bukankah ini jalan bercecabang
jalan para lelawar, ular dan srigala
jalan yang menampung hujan terakhir
sebelum pusaran laut menyedotnya
hingga sungai-sungai nampak sepi
yang tak seorang pun tahu arah tujuan
meski membawa peta dan arah mata angin
karena jalan hanya menunjukkan isyarat
para pendahulu yang rapuh oleh waktu
jejak hujan yang hilang oleh malam
jejak kemarau yang lenyap disapu banjir
tinggal tanda dan kenangan yang membekas
bagai totem purba di pohon tua
di jalan, gang dan dinding kota
yang kelam tak bercahaya serupa lorong gelap
yang dulu pernah ditemukan di puncak bukit

Situbondo, 2008



Telur

ia lebih lengkung dari alismatamu
tempat menyimpan rahasia di balik makna
lebih berwarna dari bianglala
yang menyimpan cahaya dari semesta
ia lebih putih dari gugusan sedih
yang menyelimputi rerumputan
lebih embun dari hujan airmata
bunga kamboja di kuburan
pedih ia melintasi sungai yang memanjang
sebelum terdampar di sebuah telaga
ia bukan biru seperti lautan menyimpan ombak
tempat duka burung-burung camar
ia lebih muda dari usia tangis bayi
saat dilahirkan dan mengenal warna dunia
ia lebih suka sendirian di dalam sepi
di dalam cangkang matahari
sebelum panasnya memecah kabut musim gugur
sebelum ia disebut api tempat samadi kaum lapar
sebelum hijau daun lebih hijau
dari riwayat kematian sang bunga
di mana kematian merupakan sekarat
yang nikmat
ketika berguguran ke bumi dihempas angin senja
lebih senja dari sayap burung mengibaskan waktu
lebih rindu dari batu yang tergelincir ke sungai
adalah dirimu yang tampak dalam diam
di mana kerinduan adalah waktu yang diuji duka
ia hanya sebuah telur yang tak mengenal lingkarannya
yang sepanjang hidupnya memandang kekosongan

Situbondo, 2008



Mercusuar

menjulang seolah pohon purba
di bawah tatapan sinar bulan
berdiri bagai malam tak beranjak
adakah ia akan mencari terang
sebelum semua tenggelam
terlihat punggungnya kelam gemintang
yang runcing menghadap langit
rupanya ia penasaran
tak pernah bisa meruntuhkan bintang
dengan doa dan mantra
yang ia pelajari dari isyarat bumi
ketika berguru pada seekor naga
di bawah lautan
hanya bayangan diri yang ia dapatkan
di kediaman batu dan lokan
yang membuatnya lebih bijak
ia tahan seribu birahi yang meracap
di dalam gelap
di antara gang dan lorong remang
isyarat air dan bara api
telah membuatnya lebih tabah
di antara angin dan badai
yang datang bagai kabut
yang siap menjadikannya tawanan hidup
akan kesunyian yang membekas di dinding usia
tempat dulu kapal-kapal diarahkan
ke laut luas ke jalan lapang
kini semua pejalan telah meninggalkan
sinar lampu kapal entah ke mana.
namun ia selalu menyimpan
semua rahasia para nelayan

Surabaya, 2008

Sajak-Sajak Restoe Prawironegoro Ibrahim

http://www.suarapembaruan.com/
Malam

dia datang tengah malam,
mendobrak sepi menghempaskan pendar mimpi,
lalu mengajakku merangkai kata untuk-Nya dan
mengajakku menjajaki malam meski gulita
mengajakku menyelam meski keruh dan
mencecap meski terasa pekat
untuk mencari kata sepakat.

13032008



Anak Merindu Ibu

Di teluk, anginpun menepis
pada rumput serta daun bambu
juga pada rumpun dan ikan-ikan itu
tapi laut ibunya tak pernah datang menyapa
adakah anak-anakku bermain di sana?
Hanya desis suaranya ikan-ikan mungil
yang meloncat-loncat kecil di tepinya
ibu, di sini aku senang bermain
bersama rumpun dan ganggang.

13032008



Dengan Pisau dan Gigi

wahai saudaraku,
hidup laksana sepotong roti
yang mesti kau iris
dengan pisau ketabahanmu
wahai saudaraku,
hidup bagai sepotong pisang goreng
yang mesti kau kunyah
dengan gigi keyakinanmu

13032008



Lepas Senja

dari lepas senja
telah kuhempaskan kesangsian
dengan segenap rasa
yang kemarin tersisa di ujung jiwa
....... sebatas cemas
dan kini terkapar
menggeliat bersama koral
yang dingin dan sepi
saat dengus kereta
melarikanku dalam khayali.

13032008



Pulang!

Kucemburui laut di batas senja
tapi deburnya tak juga menyapaku. Aku pun
berpaling dari kegetiran-kegetiran
Aneh, beban kenapa pundak begini berat
padahal aku sedang sendiri berkawan sunyi
Ya, akhirnya kutembus lapis langit terakhir
berlama-lama tengadah, ternyata menggelikan
Sebab, alam rupanya malu ditikam mataku
alam pun tiba kegelapan. Aku pun bergegas
pulang!

13032008



Tanpa Titik Koma?

sampai di sini aku merasa kelu
saat kabut dan jarak waktu jadi beku,
lantas siapa mesti kutanya?
nada usang telah terbuang!
........ dan aku berlari mengejar khayali
yang dengan pendarnya menawarkan harap.
sampai akhirnya aku menjadi kelu
menatap bayangku, sendiri mencari siapa,
yang mestinya kutanya
haruskah mengurai tanda
dalam dada yang tanpa titik koma?

13032008



Dua Kenangan

menua waktuku
aku merindu mesra
dua seperti senyummu dulu
dia ingatkan aku rembulan di kota,
tatap betapa potretmu kian dibalut kriput
kau menari poles lipstik; ini nyanyian, bisikmu
dan ku tak kenal lagi
antar tembok-jembatan sambung dunia
gudeg yogya
lesehan malioboro
kumpul kebo
alunan pengamen
petikan kehidupan
aku tersenyum, bayangmu menghilang
seperti katamu sepanjang jalan
dan detik ini dua kenangan

13032008

Kamis, 20 November 2008

Sajak-Sajak Tjahjono Widarmanto

http://www.republika.co.id/
REQUIM HUJAN

saban gerimis tiba
kau selalu berkata
segala waktu segera rapuh,
tangis tak lagi mampu memberi arti
segalanya jadi buta
sesuram lorong gua manusia purba

saban gerimis tiba
kau selalu ingatkan
kita musyafir yang berangkat tua
melangkah gontai seperti seekor unta
terengah-engah seberangi jazirah-jazirah,
terkantuk-kantuk tapaki jalan-jalan rumpil,
penuh berserak batu dan duri.

inilah tempat yang kita tuju! teriakmu
(jarimu menuding ke atas cakrawala,
entah melihat ketinggian apa)
inilah tempat terakhir meletakkan sujud,
isak penghabisan, dan secuil kebanggaan
barangkali bisa menjadi legenda buat anak cucu
yang kelak akan segera mewarisi tangis yang serupa

gerimis pun lebat
tak hanya saat senja
namun juga saban pagi
memaksa kita segera bersedekap jari

Ngawi/28/04/06/



BERCINTA DENGAN HANTU-HANTU

siapa tak jemu merindukan sorga
semuanya serba rahasia dan istimewa

siapa sanggup menafsirnya?

legenda-legenda itu lama mencatatnya
menjadi semacam sajak atau mantra
dunia ajaib entah darimana
gaib yang melahirkan hantu-hantu dari rahim
para perempuan yang sembunyi di balik belukar
dengan susu terbuka, lonjong, dan bergoyang-goyang
selalu menari hingga keringat meleleh jadi muara
tempat meluncur perahu-perahu — bukan milik nuh
mengusung ranjang bermotif warna-warni
mirip kursi para pengantin;
mengapa kita tak bercumbu di sana
dengan hantu-hantu bersusu lonjong
bukankah kita pecumbu abadi itu
pintar melahirkan api
membakar semuanya.

Ngawi-Surabaya, 2007



MATAHARI LAUT

sungai-sungai itu membawaku ke muara laut
mencelup kepala dan meminta beberapa rambutku

matahari asing itu menawari sebuah igauan
yang lalu lalang dari satu nafas ke desah lain
kejemuan paling bangkai

matahari itu telah menyodokkan gurun di ketiak hujan
mendesak usia dan nama-nama. juga namaku dan deretan nama lain
– mungkin juga namamu — menjadi butir-butir pasir
terasing dalam bau pesisir yang pesing

laut itu tak bisa tawarkan dahaga ini
juga saat matahari beranak dalam mangkuk minumku
saat itulah hari tercecer jauh seperti jejak-jejak musa

nasib tak pernah menunjuk mata angin laut yang pasti
kepala jadi pedih karena asin dan kerontang
matahari-matahari itu menenung rambutku jadi jerami terbakar.

Ngawi 2006/2007

Sajak-Sajak Mardi Luhung

http://www.korantempo.com/
Hantu Paus

Aku percaya pada hantu paus. Hantu dari paus yang dulu terdampar di pantai sana. Tubuhnya menampak dan menghilang. Mengambang dan melayang di gang-gang. Dan matanya yang kecil terlihat garang sekaligus lembut: "Seperti sedang mencari jalan pulang."

Pulang ke mana hantu paus? Sirip dan ekornya tak menjawab. Dan gang-gang yang sempit pun terus dilalui. Dan tubuhnya yang besar itu bisa melonjong dan menyempit. Atau malah tembus pandang. Tak ada yang dapat menahan dan memaksanya.

Hantu paus yang aku percayai tak menggigit. Sebab ketika ia melalui depan rumahku, aku cepat diloncatkannya ke punggungnya.

Aku pun diajaknya terbang. Melihat kampungku dari ketinggian.

Kampung yang penuh jala, rumah minum, perahu dan keranjang.

Hantu paus memang baik. Bahkan aku pun dimasukkan ke dalam perutnya. Di situ aku berenang dan seluncuran. Dan sesekali petak-umpet dengan usus dan limpanya. Aku selalu disembunyikan di bagian yang terdalam. Dan aku selalu menjadi pemenangnya.

Pemenang untuk melihat kenangan-kenangan yang telah disimpan dengan teliti. Kenangan tentang bumi yang ditenggelamkan.

Tenggelam juga jalan, pohon dan sungai yang ditancapkan.

Tenggelam juga siasat yang selalu menikam dari balik titah.

Sampai kemudian, hitungan pun kembali lagi. Kembali mengeringkan bumi. Dan kembali mengangkat semua yang ada. Dan semua yang ada itu pun bersorak: "Kami diangkat lagi, kami diangkat lagi!"

Dan aku mendengar gerak melayang-layang: "Jadilah, jadilah..."

Ya, saat melihat itu aku begitu bahagia. Malam yang aku lalui menjadi kebat. Dan tanpa terasa matahari hadir dengan kerudung merahnya. Dan hantu paus pun kembali mengembalikan aku di depan rumahku. Tapi, astaga, mengapa semua keluargaku menangis dan mengiba? Aku hanya mendengar ibu berkata: "Ke mana saja kau pergi selama setahun ini, Nak?" Pergi setahun! Ah, apa benar aku pergi setahun? Jangan-jangan, kini ibu tak lagi bisa menghitung waktu.

Sebab, aku hanya pergi semalam. Pergi semalam dengan hantu paus yang aku percayai itu...

(Gresik, 2007)



Hidangan Rahasia

Keperluan: kepalaku, udang kupas, soun, jamur kuping, sedap malam kering, wortel, kapri, bawang bombai, bawang putih, seledri, kecap, minyak goreng, merica, garam, kaldu, dayung dan kemudi. Dan memasaknya: kepalaku direbus. Jangan diambil dagingnya. Apalagi dipotong. Campur semuanya. Juga bumbu. Biarkan matang. Biarkan warna tampak kemerahan. Seperti warna matahari ketika mau tenggelam di laut yang sepi. Laut yang malas.

Cara menyantap: mengapa mesti gemetar saat dayung dan kemudi dihunus oleh dua tanganmu? Dan mengapa kepalaku juga mesti terbelalak? Seperti mengisyaratkan sebuah pesan dari ketinggian. Sebelum kau belah kekerasan ubun-ubunku. Dan seekor burung nazar yang turun dari angin pun mencari kekasihnya yang hilang entah ke mana. Lalu hinggap sambil mematuk dua bola mataku yang penuh kuah dan bumbu. Berebut dengan keganjilan yang tak bisa direda.

Penutupnya: pada meja, kursi, piring, gelas, serbet dan segenap sisa hidangan: bersendawalah. Dan hirup segenap aroma yang meruap dari mulut. Aroma yang mendaki undakan-undakan ombak. Sambil tak lupa memahati sebentuk perahu. Lalu melepasnya seperti para ibu pantai melepaskan anak-anaknya. Sebelum anak-anak itu takut akan kedalaman. Dan buta akan pergeseran bianglala. Yang semakin menyembunyikan wujudnya dari setiap sisa dagingku yang mendengung di perutmu...

(Gresik, 2007)



Musim Kering di Kampung

Inilah hikayat tentang musim kering itu

Anak-anak menyambitkan layang-layang. Udara penuh debu. Bendera dikibar-kibarkan. Dan di rumah ibadah suara ngaji dan doa pun meminta hujan. Lalu, dari samping gudang yang mendekati kusam, para kuli menimbang dan menyereti karung: "Selingkuhan siapa yang menjual telur ikan pari yang dibungkus daun?"

Agak ke utara, warung minum penuh tuak. Daging dan usus kambing di meja tambul. Kulit kapri berserakan di lantai. Lihatlah apa masih mirip dengan pecahan bintang yang bernyali: "Aku tak akan pulang, istriku datang bulan! Tambah segelas lagi! Kadang-kadang birahi pun mesti ditanggung! Tak ada yang tak menyimpan kenangan!"

Dan di tiap pohon yang berjajar. Pohon kering dan kecokelatan. Gambar orang yang melupakan itu tinggal separuh. Separuhnya telah dirobek setelah pilihan. Dan dari ujung gang: "Ya, idaman siapa yang bersepeda pelan? Rodanya seakan ingin lepas. Menggelinding sendiri. Atau malah tersungkur di pinggir parit yang mampat. Sakit!"

Lalu, ketika tali plastik dibentang. Terdengar dengung seperti geram sepur menderam. Terdengar seperti dua besi saling bergulat. Seperti percik dan nyala yang terhambur dari jas pesulap. Dan dari lekuk mulut si tukang perahu yang melagak: "Hai, seekor ikan paus tutul betina mati terdampar, tubuh buncit buntingnya aku awetkan dengan balok es!"

(Gresik, 2007)

Selasa, 18 November 2008

Sajak-Sajak Fitri Yani

http://www.lampungpost.com/
Seseorang yang Menyalakan Lampu

maaf, di tiap degup jantungku
aku gagal mengingatmu selalu, Tuan
sebab yang lekat kuingat tak hanya nama, alamat,
dan bau parfummu yang harum menyengat
melainkan pula lakon Mahabaratha dengan tarian asap dupa
yang tak kunjung sanggup kaupentaskan dengan sederhana
dan di tiap kerlingan mataku ini, Tuan
ada semacam lampu yang menyala menghalau gelap
setelah berkali-kali aku gagal kau dekap
tapi mengapa kini kau percaya pada bulat purnama
ketika lampu mataku sudah menyala?
Kemarilah, Tuan, nanti kubuatkan segelas kopi
sambil menemanimu merebus puisi

"ah, lakon Mahabaratha tak mungkin dipentaskan
Aku tak yakin di atas bulan, Rahwana dan Sinta gagal bercinta"
ujarmu sambil mengunyah puisi rebus dengan rakus

barangkali kau lupa, ketika gerhana tiba
lampu mataku akan habis sumbunya

Mei 2008



Di Stasiun Kereta

aku tak mungkin pulang kepadamu
mengenang tamasya, asmaraloka
atau sekadar membenarkan kerah kemejamu
aku gagal mencari nama pemberian ayah
di panggung pertunjukan busana
pasar swalayan
dan di buku harian yang tak menceritakan apa-apa
bahkan yang kukira tersimpan di balik kemejamu
apakah aku harus menanggung kesalahan
lantaran angan-angan yang kau titipkan?

Entahlah
aku tak mungkin pulang kepadamu
memulai lagi cerita dari awal
di bangku kayu sebuah taman bunga
meski aku masih belum mengerti
apa yang telah luput dari ingatanku
hingga begitu enggan kulanjutkan perjalanan ini
kereta sudah datang
tak usah mencariku
aku tak mungkin pulang kepadamu

Tanjungkarang, Juli 2008



Yang Keluar dari Mulut Ratih

"Buatkan aku patung rusa!"
pintamu sepulang tamasya
(kata-kata itu keluar dari mulutmu,
memasuki aku melalui mata
lalu berputar-putar
di sekitar otak dan telinga
-aku tandai usiamu)

aku adalah belantara, Ratih
tempat di mana kau leluasa tamasya
mencabuti rumput liar,
memetik buah mangga,
atau menggoda burung-burung
yang sedang berkicau
kau tentu akan merasa sia-sia
jika suatu masa belantaramu
berubah menjadi patung rusa
yang entah di mana habitatnya

ya. perjalanan sudah dimulai lagi, Ratih
tak perlu membuat patung rusa
untuk mengeja usia
cukup bersuil saja

Agustus 2008



Di Batas Sajak

malam tadi, kau dan sajakmu serius berdiskusi
tentang suara air yang lolos dari kran kamar mandi
kau menduga ada yang sedang membasuh diri
tanpa pamit lebih dulu
sajakmu menduga ada yang sedang mandi
dan berniat bunuh diri setelah itu
kau dan sajakmu berdebat sengit, berkelahi
lalu sama-sama terlelap oleh lelah dan penat
dan ketika terbangun, kau menjadi lupa
bila semalam kau pernah mencipta sajak
bahkan setelah mandi dan sarapan pagi
sajakmu kaubiarkan saja terkapar di meja,
lalu diculik angin dan ditawan entah di mana
petang ini, ketika berniat bunuh diri
kau mendadak teringat pada sajakmu
karena setelah diculik dan ditawan angin
sajakmu menjadi tak lagi mengenal namanya
seperti menjadi waktu
yang tak lagi menghitung gerakan matahari
yang sinarnya timbul tenggelam di atap rumah pengap
yang kerap disinggahi kenangan dan harapan

April 2008



Penjaga Pelabuhan

"bapak, biarkan kami bersaksi
bahwa kau pernah menjadi ombak
di dada kami
kelak, kami kabarkan kepergian kepada burung laut
sebagai isyarat bagi pelabuhanmu
yang mulai tunai mengatakan perjumpaan"

debur ombak
bergemuruh di dada sepasang remaja
selalu ada tanda bagi segala yang akan tiba
lewat bayang karang dan matahari yang bertegur sapa

Tanjungkarang, Februari 2008



Dongeng bagi Kaum Lansia

suatu malam ketika bulan kepenuhan sinar
seorang gadis kecil turun dari ranjang
kemudian memetik buah apel di halaman
ketika sedang memakannya, ada seekor ulat
yang tersesat dan merengek minta dikeluarkan

"betapa bulat bulan purnama di atas sana
bisakah kamu memetiknya untuk saya?"

ujar si ulat dengan kikuk, gadis kecil itu pun mengangguk
setelah bulan ia petik, si ulat pun lekas masuk
dan meliuk-liuk dalam bulan yang tergeletak di halaman
dan gadis kecil itu? kini ia bahagia dalam buah apel
yang tergantung di antara bintang-bintang

Tanjungkarang, Mei 2008



Penjaga Lampu-Lampu III
;lupita lukman

1/
Dua jam menjelang subuh wanita itu berkata kepada ketiga bocah yang sedang lelap tertidur "Nak, Ibu harus pergi mencari puisi". Lama ia terdiam, memandangi ketiga bocah itu satu per satu. Dibelainya rambut mereka, ia teteskan air bening dari matanya, berbulir, mengalir hingga ke dalam mimpi ketiga bocah itu

2/
Tak sampai hati wanita itu melihat warna malam di mulut ketiga bocahnya yang terbuka. Maka dipadamkannya lampu kamar, yang senantiasa ia nyalakan agar ketiga bocahnya tak tersesat dalam mimpi. Dan ia pun pergi, menjinjing koper berisi kenangan dan angan-angan, tanpa mengucapkan selamat tinggal. Ia tahu, ketiga bocahnya belum bisa menyalakan lampu

3/
Di mimpi ketiga bocah tadi, wanita itu menuai padi di tengah sawah, sementara mereka mengejar punai yang suka hinggap di jerami. Seperti ada percakapan yang hilang di antara pematang, menandakan musim tuai telah usai. Dari kejauahan mereka melihat air sawah berangsur-angsur bening, "Hore!! kita akan panen puisi". Tiba-tiba terbangunlah ketiga bocah itu. Ternyata hari masih gelap.

4/
Seperti punai yang tak lagi hinggap di jerami, seperti suara serunai di tengah pematang. Barangkali di sana, kehilangan akan mudah dilupakan.

5/
Ketiga bocah itu memutuskan untuk kembali lagi ke situ, ke mimpi mereka. Meski musim tuai telah usai, mereka percaya, punai akan tetap kembali, hinggap di jerami yang rebah.

September 2008

Sajak-Sajak Leon Agusta

http://www.republika.co.id/
DARI SUATU MASA

"Mungkin, masih ada yang tersisa dari prahara selain
kitab suci dan puisi," katamu, sembari bergegas pergi
Aku tak begitu sadar, apa pernah mengucapkannya
Gerangan berapa kali atau mungkin tak pernah
Tapi kenapa ada yang mendengar dan mengingatnya
Aku ingin mengatakan, kau mungkin benar
Ketika kau melangkah, meningggalkan pagar terbuka
Aku kira kamu masih akan menoleh sejenak. Kau pun
berangkat, meninggalkan suatu masa yang pincang
Menuju sebuah zaman lain yang belum bernama



KETIKA LANGIT DAN BUMI TAK LAGI TERBAYANGKAN

Apakah aku terlihat siang atau kabut atau debu-debu
Tak tahulah. Sungguh tak lagi terbayangkan
Tapi barangkali ketika itu di suatu senja yang asing
Aku pernah punya wajah buat dikenal. Wajahku
Barangkali ketika itu aku hendak mengenangnya
Sebagai tanda dari perkenalan yang diterima
Sebagai tanda dari percintaan yang selesai buat mencipta
Atau barangkali pernah pula ada perkenalan yang lain
Namun segalanya jadi lupa. Tak lagi terpikirkan. Pula
Bagaimana aku kan tahu sekiranya masih ada saat dan ketika
Masih meniti nafas dalam kesendirian yang lemas indera
Bahkan maut pun tak tersapa dan cinta pun tiada bangkit
Cuma, ada perasaan kehilangan yang melaju. Melaju.
Kehilangan di daerah pengasingan. Terhantar di sini
Dalam segala tak lagi punya warna atau ungkapan
Ketika langit dan bumi tak lagi terbayangkan



CATATAN HUKLA MEI 2008

Puluhan ribu senja tenggelam
Dalam kabut remang-remang labirin
Sejak terlihat ada pohon tumbuh di atas kertas
Dulunya kabur namun kini tampak rimbun
Menjelma jadi taman impian

Daun-daun berguguran jadi dendang kata-kata
Di atas kertas-kertas resmi, dalam aneka risalah
Memuat pasal demi pasal dan ayat demi ayat

Maka terjadilah
Bibit tumbuh bersemi di negeri nusa-antara
Lebat buahnya berjatuhan di negeri tetangga

Pasal-pasal tak sakral
Ayat-ayat pun tak suci
Hanya taman
Yang terlarang

Kini genderang mulai riuh bertalu
Barisan gelombang menderu berpacu
Tanpa bimbang dan ragu
Gemertap maju menyerbu
Hukla, ke taman impian menuju



KISAH BURUNG-BURUNG BEO

Burung beo di dalam sangkar itu
Dulunya adalah seorang filosof
Konon kata orang dia juga seorang ahli hukum
Bertahun-tahun dalam hidupnya dia telah dengan gigih
Mengajarkan kejujuran dan keadilan bagi rakyatnya
Hingga, setelah melalui perjalanan yang panjang

Dia sampai di satu tikungan berbukit batu.
Ia teramat letih.
Dan seseorang pun datang
Membisikkan sesuatu kepadanya

Kemudian, mereka menghilang di balik tikungan itu
Lama sekali tak ada kabar tentang sang filosof
Gema suaranya pun sudah menghilang
Sampai suatu hari orang-orang mulai mendengar cerita

Tentang burung-burung beo yang tinggal dalam sangkar emas
Gemuk-gemuk dan sangat manja, tapi sangat pendendam
Konon, seekor diantaranya adalah filosof itu
Kini, bila anakku Hukla Inna Alyssa mendengar

Orang-orang bicara lembut penuh petunjuk dan ajaran
Segera saja ia menutup kedua telinganya
Dan menatap dengan jelas kemudian wajahnya pucat pasi
Melihat banyaknya burung-burung beo menyamar jadi filosof

Sajak-Sajak Dahta Gautama

http://www.republika.co.id/
AKU SUNYI, DIK

tunggu aku di persimpangan ini. Meski aku pergi
tetapi tak pernah secara sungguh-sungguh.
kota kita sudah tua, Dik
orang-orang yang kujumpai di trotoar
wajahnya penuh kerutan dan selalu berjalan tergesa-gesa.
matahari juga sudah tenggelam dua jam lalu
malam penuh kilatan lampu taman.

tunggu aku dipersimpangan ini, Dik
aku pergi sebentar saja
ke ujung jalan
memetik sunyi

Lampung, April 2007



KAWAN YANG TERSESAT

(duniamu, dunia terpencil.
engkau miskin sebagai anak yang tersesat.)

aku memanggil-manggil namamu, untuk memastikan
apakah engkau masih memiliki leher dan telinga.
leher. ya. mana lehermu. aku ingin menggentungkan
rantai bermata merah delima
agar engkau bisa menghilang
dan mencuri semua mainan anak-anak
yang tak pernah bisa engkau beli.

aku memanggil-manggil namamu.
tetapi ternyata engkau
telah kehilangan leher dan telinga.

Lampung, April 2007



MATI

engkau tak pernah memahami arti
bunyi angin di halaman rumahmu.
engkau juga tak pernah bisa memahami
makna taman yang gelap tak berlampu.
kunang-kunang, kelelawar dan lengkingan
anjing tak terdengar.

engkau tak mungkin paham
bahwa tuhan pernah tak ada.

Lampung, April 2007



MENYUSURI GERIMIS

bersama angin, aku menyusuri
gerimis petang.
jam-jam berloncatan
tetapi basah ini tak pernah
sudi memahami duka-duka.
aku menulis sajak tentang
burung gereja. yang tertembak
senapan anak-anak.

ah. sepanjang malam aku mesti
mengurung diri di runtuhan
sisa hujan. sambil menggambar
warna gerimis, senapan dan burung gereja

Lampung, April 2007

Sajak-Sajak Heri Kurniawan

Tak Perlu Sesali

Kau yang layu dipucuk pena
Bendunglah segala tangis
Buka kembali kelopak matamu
Mekar menatap kebiruan

Aku yang tertatih-tatih
Memungut air matamu yang embun
Berceceran di jalanan tanpa batas
lemas



Tlah Ku Semat Janji

Melipat pintu sunyi api
Mensaljukan kembali luka-lukamu dan
tak perlu sungkan mengetuk kembali

Lembaran terang telah menanti
Menghadirkan jamuan rembulan di musim semi

Tak perlu lagi sesal
Semua telah tertinggal
Kita songsong dunia baru
Tulislah lembaran cinta
Hapuskan buram kelam

Jombang. 27 mei 2006



Bukan Siapa-Siapa

Aku bukan dia
Aku adalah aku
Dia adalah dia
Telah kulepas kau terbang
Aku takkan bermanja lagi

Jogja. 4 januari 2007



Di Tengah Arakan ayatMU

Dalam pekatnya suasana
Ku kais secerca cahaya malam
Mengugah kesadaran hati

Di tengah arakan ciptaMU
Ku panjatkan sagala rasa
Pada semilir angin
Menerpa hijaunya daun

Jerat dunia tlah usai

Jogja 06’



Aku Merindukan PenerangMu

Aku ingin memecah sunyinya malam ini
Dengan hembusan nafasMu
Menyuluh gelapnya kalbuku


kini remang telah menyelimut cahaya
memutar Tubuhku, membadai di kedangkalan,
Mengusik peraduan keceriyaan

Aku tak mampu
membuka arti simpul perjalanan yang kau ciptakan.
hingga Tapakku mengkaku
Di jalan yang telah rapi

Jogja 06’



Sekilat Waktu Bersamamu

Rasa yang telah terbias oleh perjalanan
kini telah lagi menyuguh kenang
Sayatnya gila meronta
menghantam perih malam

Sekilat waktu bersama pelukanmu itu
Antar aku pada derasnya tinta pedih
Meleleh di sela-sela rupa bayang
Luruh dalam benak

Jogja 06’



Akankah adzab…. ?

Memandang kali kering diantara manusia-manusia
Terciptalah sebutir air mata menitik
Menunjuk-nunjuk musim mengurai
Melampaui batas-batas

Aku terhenyak
Akankah sebuah adzab ini?

Cabeaan, Jogja 2007

Sajak-Sajak Tjahjono Widijanto

lampungpost.com
DI MEJA MAKAN KELUARGA

Kami senantiasa berhadapan-hadapan di meja makan ini
medan pertarungan yang galak dalam gemuruh denting gelas,
piring, sendok, garpu juga pisau roti yang meringis
saling intai sebelum saatnya tiba

Sajak-Sajak Nana Riskhi Susanti

http://www.republika.co.id/
MENGAJAKMU PULANG

Tak ada yang beda
pada hujan
dan kemarau
jeda diantaranya menguraikan doa
pada lengan sunyi

aku tak pernah lagi
mengirim rindu padamu
pada hujan
atau kemarau
sebab aku mau menidurkanmu
di atas semak perdu

aku ingin mengajakmu pulang
ke asal mula hatimu
: aku

Tegal,2008



KUTULIS PUISI DI PASIRMU

Hanya doa
sembunyi di batubatu
di mawar sunyi
di pagar rindu
di langit sengit
aku menyebut
membawa benang-benang baru
untuk hidupku
hidupmu

ia tertulis di telapak tangan
lihatlah garis-garisnya!
ia tak bisa diubah
bahkan oleh kenangan

kutulis puisi pada pasirmu

ingatkah kau pada lampu tua itu
bangku rotan coklat penuh rayap kayu
dinding putih penuh kaligrafimu
tirai hijau berderaiderai
mendengar rinduku yang tak sampai padamu
karna kupilih mawar sedang aku berduri
kusembah tiangtiang sedang aku bambu
kubaca zikir sedang aku sihir
kuhiba laut sedang aku lembah takut

kutulis puisi pada pasirmu

betapa sakit doaku yang menunggu sampai
di antara doa karang
ikan
ombak
nelayan
para pemabuk di laut itu

aku ingin mengurai cinta
seperti puisi pasir pejalan sunyi
meski terhapus gelombang
yang dikirimkan doa ikanikan
meski impian
tak cukup untuk dituliskan

anakanak surau
membaca hurufmu
di antara tiangtiang perahu
ketika matahari mulai sembunyi

dan aku masih
menulis puisi di pasirmu

Tegal, 2008

Sajak-Sajak Ridwan Rachid

Kota Kata

Sejumlah kata lama telah binasa
Temui ajal di tengah gelombang peradaban
Terkubur dalam pesatnya populasi bahasa

Tapi bukan kata jika menjadi lemah
Ambisinya melahirkan juta kata baru
Lantas menyatu

Barisan kata menjelma senjata
Menindas kepala etika
Menghancurkan sejumlah asa
Koalisi kata beranjak tertawa
Kata seolah berkuasa

Sedang sesungguhnya
Kata masih terlelap pada batas realitas
Dibuai mimpi yang tak kunjung selesai
Hanya berputar dibalik pintu-pintu makna;
--dan manusia belum temui jengah—
Walau lelah

Jogja, Februari 2008



Nominal

Menempa taramat lama
Setajam runcing baja
Cukup nyaman guna sembunyi
Dalam selimut dua warna
Terkatup di lubang tikus
Sarang siasat paling rakus

Bisa saja dipastikan
Neraca punya kelemahan
Begitu genit nominal
Jadinya enggan rasional
Nafsu tersenyum angkuh
Mencerca logika dungu
Mustahil jeruji tersentuh

Jogja, februari 2008



Serabut Mesra

Penat kembali merajut kusut
Membelit sulit terurai
Kupilah sehelai risau
Meski terkait simpul gelisah
Tergontai aku jemu
Yang semakin mengulur kacau

Pada balutan amarah
Lekas ku bergegas jengah
Ku tenun halus hati ini
Memintal serabut mesra
Bila ku tahu tubuhmu
Menggigil dalam raut dingin
Akan ku jahit fajar pagi
Menjadi gaun mentari
Ingin ku pastikan selalu
Hangat, erat mendekapmu

Jogja-Surabaya, Februari 2008

Sajak-Sajak Anis Ceha

KU DAPATI GELISAHMU

Ku dapati langkah kaki berkejaran
mencoba meretas awan
sedang jemari terlampau kecil lentikkan asa
dalam genggaman angan.

Katanya terlalu sulit menghimpit;
waktu pedang di hempasan leher
menyeka penatnya siang dan perut nyaring,
selalu berbunyi:

“kenapa ada tugas ini?”
lenguhnya dalam kesunyian.

Agust, 2005



PADA IBU

Ada hamparan surga di wajahnya,
menghalau haus rasa
gemercik memercik di setiap helai jemari
menuangkan permai
lukisankan kedamaian,
betapa cinta itu tabularasa.

Ibu,
ku buat engkau menangis lalu tebar nila
di setiap lenguhnya
Firdausmu tetap teduh disaat aku gadug,
lalu air matamu berujar darah,
bagai kau pijakkan tanah,
aku kembali pada rahimmu seketika
melewat celah-celah air mata bercampur nila
menjadi apa-apa yang hina.

Tuhan telah murka karena air matanya.

050925



ADA DUKA DI LEMBARAN

Ada keranda hitam terusung pelan-pelan,
lembaran kafan ungu tertinggal
dalam selimut kelabu.

Ada keranda hitam lebam sejenak berlalu
sedang lembaran ungu masih tertinggal
di lembar waktu
belum sempat tertiup angin semakin kumal,
terkubur debu membeku.

050604



CERITA TENTANG LUKISAN LAUT

Lalu ku tiup lilin seribu buah di meja lautan
ketika pepadian depan rumah
tercabuti kemungkinan.

Aku lihat gadis kecil itu menari sesaat
lantas terjatuh air matanya
kala dicubit sebelah pipi kemerah.

Ia mengeluh lalu bercerita lukisan laut
bergemuruh, oleh ombak selalu pasang
ikan-ikan bergelombang tawarkan rindu.

Hanya ku dengar sebelum kemudian kabut turun
seliur perawan menekur di malam-malam lentur,
seumpama pita rambut periang
di simpulan rangkul.

Ia menari laut birunya di campur nila
menjadi riak buih sesepi putih dakian.
Dan dikabarkannya kembali tentang gelombang
tawarkan rindu hayati
kepada bunda selalu berkulum senyum,
meski awan kelabu berpilu
oleh sebelah kakinya tersandung gundukan batu.

Siapa itu, pada biru ombak terantuk karang beribu?
Ia menari lagi, melukis biru laut hilang warna sepi,
beku sesal sesalju dan hitam nilanya beribu
sekopi pahit masa-masa lalu.
Aku hanya mendengar,
tertiup lilin tinggal separuh tubuh
sembari terus ku saksikan ia tawarkan rindu jiwa
dalam kabut semakin kecut.

Sajak-Sajak Dian Hardiana

http://www.republika.co.id/
SURAT CINTA KETIKA HUJAN
: dea ayu

Kau adalah hujan yang tak pernah selesai
bukan pula hujan yang mengguyur kota
sebagai badai
sedang aku adalah dirimu yang lain
yang menjelma setelah hujan
ketika angin begitu tenang
dan burung kembali terbang.

Di matamu, tak ada perburuan
hingga dengan tenang setiap orang
menghafal usia, menyimpan jam
perempuan menenangkan bayi-bayi yang menangis
anak-anak berhamburan turun ke jalan, menari
bernyanyi, menjadikan suaranya
mendengung di udara.

Kau adalah hujan yang tak pernah selesai
basah dan kenang
meninggalkan pesan di atas kaca
juga sketsa wajah berwarna merah
wajah dengan senyum terkembang
mengunjungiku pada mimpi-mimpi buta
di malam gugup atau di siang yang murung.

Di dadamu, tak ada lagi pertemuan
percakapan menjadi ungu dan membosankan.

Setiap hujan, aku mengirim doa untukmu
(sebelum jantungku berhenti mengingatmu)
sebagai rindu yang dititipkan tuhan kepadaku
- surat cinta bagi kekasih yang jauh.

Bandung, 2008



NARCISSCUS

Tiba-tiba aku menjadi narcisscus
aku begitu mencintai diriku sendiri
bukan danau, bukan pula angin yang berbisik
tapi dirimu yang menuding
ketika danau beranjak kering dan angin
melempar sunyi.

Tiba-tiba aku menjadi narcisscus
aku tergila-gila pada bibir,
rambut, dan mataku sendiri
di sebuah malam kabut
jauh di utara, di antara
rumah-rumah sederhana.

Bandung, 2008



AKU MENEMUKAN WAJAHMU RETAK DI SEBUAH CERMIN

Di suatu malam yang tenang
ketika jengkrik berhenti berzikir
dan waktu tertahan mengalir
aku menemukan wajahmu retak di sebuah cermin.
Malam itu aku benar-benar dikejutkan
setelah begitu lama aku menunggu kedatangan.

Padahal kita harus menikah
pada hujan, pada bulan,
pada sebuah pertemuan.

Bandung, 2007

Sajak-Sajak Marhalim Zaini

http://jurnalnasional.com/
Seribu Lima Ratus Sebelas

seribu lima ratus sebelas
di dinding gereja merah saga
burung-burung hitam
melepas gaun melaka.
tembok meninggi
membangun ritus
di kaki langit tua
aku menurunkan
gumpalan kota
dari pundak malam
yang memberat
di anak tangga ke tujuh
pada dingin
yang disalibkan.

aku tamu
berharap bertemu
separuh tubuhku
di tanah bekas waktu
menurunkan gerimis
menjejakkan kaki portugis
tapi tangis itu
tangis itu juga yang mencumbu
menggelapkan segala peluk
pada kutuk
ia hinggap di ujung-ujung rambutku
membangun jembatan rumpang ke masa lalu.

ia menungguku
dentang jam pada lengang
mengirimkan becak penuh bunga
seorang tua menebak wajah sejarah
di raut asing bahasa lautku
tapi ia tahu
di jalan lurus yang kurus
sebuah kota sedang bekerja
membuat pagar dari kaki-kaki
pendatang yang kekar
turunkan aku di sini, tuan

di mana rumah itu
tempat kebisuan dibatukan
gedung tua saling pandang
membuat tubuhku terasa telanjang
aku takut menyebut siak
mulutku tertinggal di kursi retak
aku ragu memanggil lingga
lambaiku tersangkut di singapura
duhai
jauhlah badan
di tanah orang
berebut rumah
di negeri sendiri

pada senja tua
burung-burung hitam melepas
seribu lima ratus sebelas gaun melaka
di bawah tembok gereja yang meninggi
aku membangun ritus merah saga
di kota-kota tua
di anak tangga ke tujuh
pada dingin malam
yang disalibkan.

Melaka, 2004-2008



Riwayat Sampah Rumah

seperti hujan
ia turun berkerumun
menyusun kulit kayu
di tidurku
sungai duku yang layu
mematikan lampu-lampu
membiarkan anak-anak
berdebur di tidurmu
seorang ibu dari
onggokan sampah rumah
mengibas debu
dari sepotong ubi kayu
yang bau batu:
ini malam, atau pagi
yang mati?

ia seperti renta
kardus-kardus buangan
dari derita sungai
yang menanggung sisa
tak ada api di wajah mereka
hangusnya mengirimkan
ikan-ikan keli dari suku asli
yang terapung mati
ke jantungmu

(mungkin yang berendam
tadi malam
membungkus bangkai hutan
dalam plastik waktu
aku tak pernah mendengar
ada tangis yang menyerupai lagu)

orang sungai
tak mengerti puisi
ia hanya mengutip anak pasir
satu-satu dari tanah tubuhnya
yang basah
berjanji mengembalikan
garam pada asinnya
mengembalikan asin
pada lautnya

(seusai demam panjang itu
hari-hari saling menunda cerita
tentang sebuah kota mati
yang ditinggalkan puisi)

hanya bahasa kuli
belajar berdiri
di atas jembatan usia
menuju sepi
belajar merumuskan tubuh
dalam hitungan jam
yang diam-diam
membidikkan tikam

ia turun berkerumun dalam hujan
yang menyusun kulit kayu di rumahku
lampu-lampu sungai duku
membiarkan anak-anak layu
dalam debur tidur seorang ibu
dalam mimpinya
sepotong ubi kayu
ia temukan dalam onggokan
riwayat sampah rumah
jadi batu di bawah abu
tungku waktu.

Pekanbaru, 2004-2008



Gelang Rotan

Sehabis lembubu, jumat oleng.
Kau memeluk kaki-kaki rumah
seperti gelang rotan memeluk
kaki-kaki perempuan

Semalam, menyumpah mulutmu
pada selat hantu:
“Oi, burung sipumpung, raja lelaki,
pinang aku, sungai sepi
yang pandai menari.”

Daun birahi merimbun di dahimu,
bekas kecup selamat tinggal
yang kekal. Serupa siput,
matamu mengintip dari celah kerudung
dari bilik batu-batu rindumu.
diam-diam ada api berkecambah
dalam kebayamu. Ada pulau terbakar
dalam sarungmu.

(sarung nelayan, tempat senja
menyimpan amis matahari)

Setelah karam berkali-kali
kau tahu, kematin adalah upacara
yang selalu tak tuntas.
Masih tersisa hidup di gelang rotan
sebagai sepasang kenangan.

Lalu kau ringkus musim
dalam ketiakmu yang bau kemenyan.
Mengusap perut laut
tubuh yang terus naik pasang.
Memanggil burung-burung
menemani sunyi sepanjang malam
menyusun nama-nama tuhan
di ujung puting yang kering sentuhan.

Dan sepotong riwayat kampung pasir
dalam gerimis, kaukenang, kautimang,
ibarat bayi dari kelahiran yang sungsang.
Di sini, lelaki menjadi gelang rotan yang
memeluk kaki-kaki perempuan.

Yogyakarta, 2003-2008

Sajak-Sajak Hudan Nur

republika.co.id
 
DALAM HATIKU ADA RUANG
 
selalu ada tempat bagimu
berteduh dari hujan
ataupun menunggu pagi
 
juga seruang dalam hati
mematrikan diri dari segala dedah
tak berhulu

Sajak-Sajak Mashuri

http://mashurii.blogspot.com
SITI, AYO KAWIN LARI

Di ruang kelas, aku baca cerita
yang sering membuatku berpusing kepala
cerita yang mengingatkanku pada pacarku
yang kepalanya juga sering terancam pecah
cerita yang berpangkal pada cinta tak berpunya
dan berakhir dengan duka carita…

“syamsul bahri berlari-lari ketika siti melamun di tepi
perigi, sambil memuji diri sendiri
: akulah perempuan abadi!”

Aku lalu mengambil penghapus dari ruang guru
Membaca sebentar, meski berlembar-lembar
lalu dengan ringkas kupangkas

Nama yang selalu membuatku was-was
: Siti
pada Syamsul Bahri, aku sisakan hidupnya
karena aku tahu Marah Rusli pun menyisakan hidupnya
dalam cerita,
meski siti telah mati..

aku begitu kawatir, kalau Marah marah lewat guruku
dan menggantungku
di depan kelas, sambil terus menerus menjejaliku
dengan kertas-kertas, yang panjang
dan tak bisa aku ringkas
aku pun menulis begitu tergesa di kertas
: “Syamsul Bahri hanya mati sekali;

sekali nafas
terpangkas, sesudah itu impas, lunas…”
Siti telah mati,
aih, ternyata Syamsul Bahri pun mati
tapi kisahnya terus bersambungan di tv
aku pun menulis surat pada pacarku, Siti terkasih
yang kini sedang menunggu di kampung
: “mari kawin lari, Siti,

mumpung kisah belum ditulis bersambung
di televisi!”

Sidoarjo, 2007



SIHIR PASIR
: Saudara Tua

mampirlah ke rumahku di pesisir, di pinggir pantai, di pinggir segala pinggir, tempat pasir memarkir takdir sebagai pembunuh; pasir yang saban hari tak lelah menjadi injakan kaki dan menjadi muara segala tubuh melabuh: tubuh lautan yang tak pernah mengeluh tapi menyulap keluh dengan nyanyian-nyanyian panjang

debur gelombang

kau akan mendengar karang ditabuh ombak, tubuh ditabuh riuh kehendak, kau akan melihat jejak-jejak retak yang membuatku tetap tegak meski gelap menggelegak bagai anggur memabukkan dan menyentak labirin kerongkonganku, kau akan menyaksikan…

ada gerak nan liar yang terpendam dalam diam

mampirlah ke rumahku; kau akan mengerti apa makna dari tepi: sepi yang berapi, merapi, sepi yang membahasakan diri di pucuk buih; bahasa-bahasa ombak yang menuntun mata; katupkan ufuk dengan cakrawala; rapatkan hiruk dengan rahasia

biduk asa yang tak berhenti untuk kembali

kau akan rasakan zenit meyentuh langit; doa-doa yang berdesing mengakrabi hening; doa putih, doa hitam; kau juga akan mendengar hingar doa yang memberi arus pada pasir, memberi ruh pada pasir, agar tubuh tak lagi berlabuh dalam gerak, tapi rubuh dan retak

lengan-lengan panjang yang merenda sejuta harapan

mampirlah ke rumahku, kau akan tahu, begitu banyak kanak belajar membunuh; mereka menghambur-hamburkan pasir di udara, dengan hembusan nafas yang telah terampas mata; mereka membuat patung-patung pasir gaib sebagai malaikat pencabut nyawa yang menyelinap di balik tangkapan indera

begitu dupa dibakar, doa dihentakkan dan bibir melaju: fuh! pasir-pasir akan beterbangan memintal korban, memburu setiap lubang yang terhampar di sepanjang kulit, bangkitlah kesakitan; pasir pun akan merasuki dan menyerbu darah dengan kekuatan-kekuatan langit; langit hitam —sampai terdengar suara-suara ratap, pantai pun senyap, matahari gelap, awan berhenti, angin menepi; semuanya menyingkir untuk memberi jalan bagi kematian mengukir akhir

akhir penyaksian

kau akan tahu, bagaimana pasir-pasir itu menyatu darah, mengalir lewat aorta; arus hidup akan membawa bulir-bulir pasir lurus ke jantung yang berdegup, asal-akhir takdir Sang Hidup; pasir itu akan terus berasus ke ruas nafas, hingga hidup pun redup; jantung pun akan memberi jalan pada Sang Maut untuk bertitah: “berhentilah langkah, berhentilah darah!”

mampirlah ke rumahku di pesisir, kau akan mengerti, begitu banyak kanak bermain-main takdir, mainkan sihir-sihir pasir, rapalkan mantra-mantra pengusir; mereka berlarian di pantai-pantai tak beratap; membangun bukit-bukit dan patung pasir dari jasad yang telah lumat; jasad yang telah disepuh dengan doa-doa merah; doa kaum teraniaya, blap!

gelap!

Surabaya, 2007



BUNTING

istriku mengandung laut,
laut yang mencederai otakku dengan karang,
karang yang mengutip cakrawala
cakrawala dan kapal-kapal yang berlalu lalang
bahkan tenggelam dan terbakar di selat
selat yang selalu membuat istriku kumat
: “beri aku 1000 rakaat!”

aku pun ingat rabiah —budak yang menapak
lewat batu, ke tangga penuh jejak wahyu
lalu sering kumat dengan mengganyang ribuan
rakaat dalam sekali malam dan sekali sikat
tapi istriku? mungkin ia sedang ngidam
begadang, malam-malam, di atas sajadah coklat
sambil mulutnya komat-kamit, penuh magnit
menarik, menombak dengan tepat
pikiranku yang sedang panik, dalam tidur
agar dengkurku tak lagi menjadi partitur
mimpi
mimpi tentang orang-orang yang terkubur
: kakek, nenek, buyut, canggah, wareng, gantung siwur…

aku bermimpi, tapi istriku sungguh telah mengandung
laut dan kumat dengan komat-kamit ribuan rakaat
dengan doa-doa panjang nan keramat
membanting harga diriku, dari lelap dan bisu
tentang asal-asul, tentang laut, tanah, udara, angin, api
juga sepi

ah, sungguhkah istriku bunting karena angin
laut, yang membawa berjuta plankton
ke ruang kosong… sungguhkah istriku hamil
karena gigil malam yang membugilinya diam-diam
di pantai, ketika lantai tak tepat lagi menjadi ranjang
tempat berbagi

ah, sungguhkah….
istriku mengandung laut
laut yang sering membuatku tercerabut
dari waktu; aih!

Sidoarjo, 2007

Sajak-Sajak Imamuddin SA

DARI ALIF SAMPAI YA’
kepada Sang Nabi

lidahku laksana kutub
dan sarafku tak bergaun wol
hingga bibirku membeku
membisu

imajiku kaku
tiada aksara terangkai untukmu
hampa mengukir puitika puja nan merdu,
sungguh segalanya telah terlampaui keanggunanmu
gontai jalan hatiku

mengangan angan tuk kembali memujimu
sebab abjad terusang olehku

di sisa degup sahadat
merekat
kusisipkan rekaat munajat
lewat tembang-tembang yang kau gurat;

“dari alif sapai ya’
adalah bukti perjalanan waktu
disingkap kebersatuan laku
terkunci keyakinan kalbu,

esok kita kan bersatu
kala kusanggup membongkar tanda
yang kau kisah untukku
sebab yang tertuju hanyalah satu
kuyakin itu”

Kendalkemlagi, Maret 2008



KADO JATI SEREMONI

ia kenal tembangmu
walau ini sepedih rasa
meringkuk telah
di sekutu tanah,
kau rentang saja
sayap-sayap kalbu
merela gala teseru

adalah serimpi misi
mengarang kembang usai
lewat cendawan nanti
tak terbeli
atau tergadai lalui
liat lindu tempo hari
pun entah … ini
sebatas sirkus nadi
bagai kado jati seremoni

tiada seberat hati
melepas diri
bagimu terlalui
mengarang elegi kidung impi
dalam bilik sendiri

ya, rajut kembali
tusah peradaban sempat tercerai
bersama api suci jemari
meniti musim semi
dalam kisah misi
kembali

Kendalkemlagi 2007



LAYANG PERJAMUAN
kepada penyair Lamongan

menyisir waktu
mengeja jejak hampir sayu
ah, syukur aku
di hening samudraku
menyapa purnama rindu
namun, adakah sinar tak lagi merayu?

Kendalkemlagi, September 2006



ADA LUKA
kepada penyair Lamongan

mungkinkah bias nur malam
tak membius hatinya
meski kesempurnaan wajah telah
membumi tak tereja

ada luka,
sebab kehampaan jasad manusianya

batu-batu sangsi menghimpit kesadaran
menyemedikan batin yang tertahan,
ah, yang terdengar hanya kersik sayapnya
meski hati rindu bersua,
mendialogkan kata
tenggelam di kedalaman samudra tanda

adakah esok bulu-bulunya kan setia
mengukir puitika kisah jalan maqomnya?

Kendalkemlagi, Mei 2008

Sajak-Sajak Sri Wintala Achmad

SULUK SRIKANDI

(I)
Di alun-alun
Rumput merimbun
Semilir angin
Buai sepasang beringin

Angkasa membiru-jingga
Membakar gairah asmara
“Kanda, ajarkan aku memanah matahari
Sebelum terbenam ke dasar hati!”
Ujar Srikandi, sembari
Mencolek pipi Permadi

(II)
Angin lelap di sarang malam
Tidak ada kecipak ikan di kolam
Hanya desah Srikandi di bibir ranum
Melenguh hingga ke tulang sungsum
Lunglai telanjang di ranjang
Di pipi, airmata berlinang

“Kanda, mengapa kita cepat berpisah
Manakala matahari terpanah
Koyak berdarah?”

(III)
Di depan gerbang istana
Hati Srikandi berbunga-bunga
Melepas Permadi ke Madukara
Dadanya hangat diraba
Namun matanya tersirat sendu
Sekali mencinta lelaki buat dimadu

Sanggar Gunung Gamping, 07082006



SULUK BANOWATI

Di depan Bunda Setyawati
Aku hancurkan cermin kaca
Malu hidup sekali
Sebagai wanita pendua cinta

Akulah si bungsu Narasoma
Yang terlepas dari kudangan
Bukan pecinta s’orang hingga senja tiba
Melainkan pengkhianat kasih pujaan

Tidak sebatas Aswatama
Aku rela dicap sephia
Menebus dosa seusai Baratayuda
Rela mati dicidra Kartamarma

Sanggar Gunung Gamping, 13032008



SULUK KUNTHI NALIBRATA

Di bengawan Suwilugangga
Aku alirkan aib keluarga Mandura
Sesudah perutku mengembang tanpa suami
Selain cinta dari jambangan hati

Karna, putra Surya yang lahir dari lubang telinga
Jangan simpan dendam matahari di dalam gendaga
Ibumu hanya mentaati titah Kakanda Basudewa
Yang lebih malu pada kawula daripada Raja semesta

Menjelang baratayuda tiba, datanglah kepadaku
Ibumu bakal merestui di mana kau berkubu
Sebab kunci surga bagi senopati sejati
Bertumpu pada kesetiaan janji

Sanggar Gunung Gamping, 14032008



BURISRAWA KASMARAN

Mbok Mbadra kembang Widarakandang
Kepadamu aku mabuk kepayang
Setiap malam kau menghiasi mimpi
Seanggun Wulan berselendang pelangi

Jangan kau tolak cintaku, Mbok Badra!
Meski wajahku seburuk raksasa
Namun kesetianku melampaui Permadi
Dan setara Bunda Setyawati

Mbok Badra, namun apa mau dikata?
Apabila hanya ilusi yang kau dambakan
Hingga perawanmu seharga kerennya rupa
Bukan jiwaku yang berakhir remuk berkepingan

Sanggar Gunung Gamping, 28032008



SULUK BALADEWA

Apa guna makutharama
Bila hanya memperpanjang usia percuma
Sebab mahalnya harga diri ksatria
Dijual di pasar baratayuda

Adinda Kresna, mengapa kau musti menipu
Memintaku bertapa di Grojogan Sewu
Meski aku sebagai senopati Kurawa
Pandawa kalis dari kesaktian nenggala

Ingin aku hancurkan makutharama
Berpuingan serupa negeri Astina
Mustahil segera pulih di tangan Parikesit
Raja muda berjiwa satria piningit

Sanggar Gunung Gamping, 15032008



SULUK DURYUDANA

Kurukasetra menderaskan hujan darah
Manakala sukmaku terbang dari sarang raga
Serupa burung pulang kehilangan arah
Langit berawan tak bercahaya

Jangan pongah Bima berbusung dada
Meski aku tak mendapat jatah surga
Dilayani seribu bidadari penuang anggur
Angkaraku bakal menjelma kilat dan guntur

Lantas apa yang kau banggakan
Atas kejayaan Pandawa dalam baratayuda?
Selain penyesalan berkepanjangan
Bahwa Kedamaian hanya petaka tertangguhkan

Sanggar Gunung Gamping, 14032008



SULUK ARJUNA

Telah Adinda lepaskan warastra
Dari busur paling nurani
Ke dadamu Kanda Suryatmaja
Buat meredam dendam matahari

Bukan lantaran Srikandi
Yang kau lepaskan kutangnya di Kurusetra
Hingga payudaranya senampak ranum khuldi
Selain demi harga diri seorang ksatria

Bukan salah Kanda apalagi Adinda
Baratayuda sekadar kunci pintu surga
Bagi kita senopati palagan pilihan
Bukan pecundang kematian

Sanggar Gunung Gamping, 11032008



SULUK KARNA

Di medan pertempuran
Kau memenuhi undangan Tuhan
Buat menyongsong Arjuna
Dengan dada terbuka
Di mana cintamu pada kehidupan
Tak memihak saudara atau lawan

Sebelum matahari menanggalkan lembar usia
Tuntaskan anak panah dari busurnya
Hingga ajal membuka langit surga
Tempat Tuhan memenuhi janji-Nya
Bersulang bersama di meja perjamuan
Atas kemenangan erat dalam genggaman

Sanggar Gunung Gamping, 03082006



SULUK SITI SENDARI

Kepadamu seorang
Cintaku tiada mencabang
Lelaki berjiwa satu
Senilai panah seribu

Langit telah terbuka
Tunggu aku di gerbang surga
Sebab cintaku adalah cahaya
Nyala dari api pancala?

Hanya Kanda Abimanyu
Pelabuhan cintaku
Tak berbataskan ruang dan waktu
Hingga kematian sebagai awal kehidupan baru?

Sanggar Gunung Gamping, 04082006

Sajak-Sajak Esha Tegar Putra

http://jurnalnasional.com/
Orang Ladang

tujuh petang menukak punggungnya, di bukit
ingin mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
tujuh petang gigih menikam, menyansam,
mirip ragam umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh dan menyusup ke dalam lempung tanah

tujuh petang menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
dia rapal musim petik kopi
dan ketukan yang berkali pada pintu dangau
ia tahu siapa yang tiba

maksud hanya menukak tanah lalu tanam. menanam
lalu petik. tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah jalan batu, simpang
dengan udara masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya. mereka akan berkejaran di bukit
dalam botol anggur,
lalu mereka akan lelap di desau biola

tujuh senja adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah tanah yang bernama puisi
yang berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang

Kandangpadati, 2008



Tampuk

ke tampuk batang jambu,
bila inginmu ikut bergelantung
kelamaan akan terhitung
mumbang yang berjatuhan dari sebelah
sebelum hijau memerah, batang rapuh melapuk,
tampuk merabuk

baiknya lubang atau kulit tergelubik
pecah dipijak serangga mabuk
dan membiarlah rampai hari tergujai.
biar bibir-bibir angin menikahi lumut
diam akan jadi berkah buah di penghujung bulan hujan
berkah air menikahi tanah, membiarlah.
ke tampuk, tetap kita akan mengembali
sebab waktu abadi di tumbuh-patahnya tampuk

ke kelok angin lihatlah,
“adakah tampak sepasang murai
sedang terbang mencari hinggap?”
padahal kaki sebelah luka dibawa berharap pada sayap

merabuk juga ini waktu
cerita makin pasi didendang hari. berkali menjalin kata,
berkali-kali tersungkur batu pijakan
barangkali tampuk, tempat tuju, menjadi lurah
bertumbuk jalan. biar jatuh jadi pokok pencarian lain
selain ingin bergelantung
mungkin batang jambu akan tumbuh
di tepian bebatu lurah

Kandangpadati, 2008



Sakit

dalam parak, gugusan daun
memendam kampung dalam lebam

serupa tungku, serupa abu,
serupa batu yang pecah diamuk bara
dan kubaca kau dalam igau
dalam parau tidur yang tak jadi nyata

rupanya rasa membilah hari
lewat tarian bulan garang

ingatlah yang berzanji
menyadap sebatang nira di lurah bermiang
dalam haus, lalu mereguk pincuran matanya
yang lahir dari ubun-ubun bukit sakit

Kandangpadati, 2008



Di Gelungan Rambut

di gelungan rambutmu telah kutanam rimba
tempat panas percintaan kita dengan kabut
bersemayam. dan kau telah menukak tanahnya
dengan garang, lalu menancapkan kota,
membuat sumur dalam yang penuh liur serigala.
mengingatnya, aku jadi rindu pada percintaan
masam tanpa garam. ingin aku bergumul lagi
dengan hamparan ilalang panjang. membiarkan tubuh
gatal dan mata yang memendam hujan lebat. maka
akan kita selusuri lagi
lekuk bukit, ceruk lembah, dari ketiadan

sumpah, di gelungan rambutmu telah kusembunyikan
beragam kerinduan dan kau akan menemui diriku
di lain waktu. seketika kota dengan beragam
bangunan yang kau tancapkan menjadi ingatan gilamu
pada percintaan kita. kau akan bersigegas menyisir
gelungan rambutmu yang terus merontok
dengan jemari yang membatu, sumpah

Padang, 2007



Lepas Ingatan

merinduimu sampai ke ngilu tulang adalah keharusan
apa yang tampak, apa yang tertanam, adalah kenangan
sebut aku yang berdiang di lipatan matamu
mendulang bebiji hari buat membayar hutang pada waktu

kau terlalu cepat menagih sakit yang tertuang
hingga puisi menjadi candu pahit
bakal pelepas ingat

mengingatmu adalah keharusan, sebab badan
terlanjur basah, terlanjur bermandi di gelegak pertemuan
“aku akan menjemputmu
seketika tahun menawarkan
sepetak tanah untuk membikin pondok”
meski seketika itu matamu berubah lain
dan geraian rambutmu tak lagi menjadi pertanda pertautan.
tetap akan kupersuakan padamu, senja yang
menyauh lesi angin laut emma haven
tempat kita bertandang pada sebuah cerita. di mana
lembaran-lembaran catatan tentang padang tersuratkan

Kandangpadati, 2008



Simpang Sawahan

bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan
jalan menikung mana yang harus kutuju? sedangkan mata
hati kau bawa ke seberang laut dan dengan angin asin
yang tersangkut di selimut kau suruh aku menujumu

tak akan ada selasa yang mengganggu lagi, sebab hari
akan sama adanya. ketakutan telah kubenam di kampung
selebihnya kumuarakan ke danau (tempat kita duduk-duduk
lalu sepasang kumbang mengganggumu)

masihkah kau menyukai warna merah? ah, sementara
aku di simpang masih sempat bertanya gila,
bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan

Kandangpadati, 2008



Tahun Kecil

rambutmu yang terurai, ingin aku mengepangnya
ke arah selatan pantai yang sesak perkabungan
dan ingin juga aku menyulamkan ratusan cadik berwarna
sampai rambutmu tak berterbangan lagi dicium badai
(badai yang seringkali
membangunkanmu di parak siang)

mari menyulam rambutmu dengan cadik, adinda
mungkin akan mengingatkanmu pada tahun kecil
di mana kau ingin berterbangan di atas asin laut
bersama bunga kapas yang tumbuh dalam tidurmu
(mengingatnya
mengembalikan inginku untuk pulang)

Kandangpadati, 2007



Nyanyi Sunyi

gemerisik daun dan gebalau angin
kangen terbengkalai di balik jarak
adalah nyanyian sunyi para peladang.
serupa perempuanku, memendam buncah jantung
dengan ucapan sakit paling garang. “berangkatlah,
masih banyak kapal ke padang!” begitulah ucap
tinggal ucap. sedangkan kau berusaha membenam
ingatan di tiap suapanmu

di pulau lama, diri akan mengembali sendiri
sebab aku hanya pemuisi yang lupa merapal jarak
maka ingatlah sepatah kata sakit ini “bahwasanya
aku telah berupa bengkalai tangis dalam matamu”

Padang, 2008



Puisi Kecil

puisi-puisi kecil
yang dikirim angin lembah harau
menyertai kau,
melepas gagau,
dalam beragam risau

moga kau ingat sebuah pagi dimana cuaca
melembabkan tampang-tampang padi. sebait saja
ini puisi baca dalam hati.
agar suatu kali kau menginginkan lagi
bermalam di pondok ladang
dan makan dialas daun pisang

2008



Cangkang

begitu desau biola lembab itu
disapu habis bulan yang basah
maka terlantar pohon-pohon
untuk melebarkan daunnya
di luar masih basah,
lembab juga belum tentu
bakal menetaskan
telur-telur ingatan kita

yang terpaut dalam cangkang cuaca
yang makin asing bermain selimut.
aku menginginkan sepi yang dulu,
bahkan berkali-kali sepi
berikanlah,

tapi bukan sepi telur
dalam cangkang di musim basah.

Kandangpadati, 2008



Perimba

lelaki perimba tiba dari basah selatan
membesuk ingatan yang tertinggal
mirip getah damar.
atau ingin menurunkan kapal yang disangkut
dulu di batang besar? ah, hebatnya kenangan
bermain di sela-sela jari, di bungkahan dada berisi
ia lelaki yang menari dalam jambangan
berkumur pedas tembakau hutan
dengan merah gigi, dengan merah bibir
yang disumbat gelungan daun nipah
ia menjadi si pembakar diri
dalam sebuah perhelatan yang dinamai pinangan:
adakah yang datang selain beruk, mungkin juga
celeng yang tersungkur di lubang galian?

ia perimba yang ingin lindap di kerumun belukar
dulu telah disuruh menanam cempedak
biar bisa digulai orang sekampung
malah menjuluk bebuah masam yang condong
ke parak orang

Kandangpadati, 2008



Kenanglah

gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa cadik yang membenam kisah pelabuhan
kota yang digarami angin-angin perantauan
membuat sekian liku pada pasir jejalanan

“dirimukah yang bercinta dengan teluk?’
malam memasang sayap untuk senja
orang-orang melepas kenangan dengan cepat
sehempas buah-buah meriam melepas hangat
kenangan yang kandas,
mabuk dalam diam

gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa parit batas kota yang dijauhi bunga ilalang
kenanglah, pun bila tak merindu
(perihal muara jumpa yang tersakiti.
ah, bangunan tua itu
juga sempat menikami pergantian malam)

Kandangpadati, 2007



Penakik Getah

sungguh aku yang berdandan
serupa memoles petang gamang
dalam cahaya mulai remang
makin bertumbuh saja cupang cupang di kuduk pesisiran
dan telah mengapit tetumbuh payau yang berbagai tangkai
sepanjang cuaca dan bahkan sekian lama
tertanam di antara runtunan bebuah katulistiwa
aku yang tak sempat lagi menyebut sesiapa
yang bergumam beriring serak suara segala malam
tertuang dalam sekian lama perang di badan
hingga yang tertelungkup bukan lagi kalah

sungguh aku yang meluka dalam sayatan
dikepal musim luka kayu yang timbul getah
hujan lama menuai gelisah penakik
cuma bau karet kering lekat di badan
hingga mereka mulai menghitung jejak padam
dalam pandam tempat orang orang kalah tersemayam

2007



Pulang

benar tak ada jalan untuk pulang?
aku hanya pamit sebentar menjenguk mimpi
yang semalam tertinggal di taman kota.
sebentar saja,
kalau tak pintu biar jendela itu kau buka
aku janji tidak pulang larut.

2007

Sajak-Sajak Budhi Setyawan

republika.co.id
HIDUP

mengalirlah laksana huruf-huruf yang
mengeja sendiri dalam lekuk sajak yang mencari
setekun ombak sekokoh karang
menggapai lengkung ruang

Sajak-Sajak Liza Wahyuninto

Gadis Kecil Gesek Luka Ku

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini masih berlagak diri seolah sembilu
Balut lukaku yang semakin membiru
Pantangkan diri tuk mengharu

Bak mawar ia tengah merekah
Malu hendak ku sentuh kelopaknya
Atau sekedar mengerling merahnya
Karna ku tahu ia takkan tanggung marah sang duri

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini mulai berceloteh tentang pesta menyambut pagi
Nyanyian periang di tengah sepi
Meskipun ia sering teriris sembilu

Bak gendang ia mendendang
Lagu bimbang di tengah gersang
Jengah hendak ku pangku ia
Tak pantangkan baginya terantuk galah

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini berdiri tegak di hadapanku
Tubuhnya membiryu, bibirnya membisu
Rebahkan diri ke pelukanku
Sembari berbisik “maafkan daku”

Malang, 12-13 Juni 2008



Aku Menulis Lagi

Aku menulis lagi
Melupakan Nil yang pernah ku sebrangi
Melupakan Himalaya yang pernah ku daki
Melupakan Amazon yang pernah ku susuri

Aku menulis lagi
Tentang cinta yang tak kunjung menyapa
Tentang hati yang tak jua terpaut
Tentang jiwa yang tak pula berhenti resah

Aku menulis lagi
Tentang pertemuan sebatas mata
Tentang percakapan sebatas senyum
Tentang lidah kelu tak berkata apa-apa

Aku menulis lagi
Dan tak kan berhenti menulis
Hingga ada kerling mata menjelma sapa
Hingga senyum menjelma tanya

Aku menulis lagi
Dan kan terus menulis
Walau Nil sudah mengering
Walau Himalaya merata tanah
Walau Amazon tak lagi bertumbuh ilalang

Aku menulis lagi
Hingga aku mati dalam sepi

Malang, 05 September 2008



Serenade Menjelang Tidur

Aku suka caramu menatapku
Tapi melulu aku memalingkan muka
Kau matahari, aku hanyalah cermin
Sinarmu buat silau setiap pemilik mata

Aku suka caramu bicara
Tapi melulu singkat ku bersuara
Kau seruling daud, sedang aku hanya gitar tak bersenar
Suaramu buat lautan luas terhampar
Cukuplah mata memandang
Dan senyum terkembang

Tak ku pinta puisi bernyanyi dari lidahmu
Pun tak ku tunggu ada mata bercahaya dari kelopakmu
Ini hanyalah dongeng purnama
Anak rembulan rindukan bundanya

Sudah malam,
Bila mata telah mengantuk
Jangan paksa ia terus terjaga
Izinkan sejenak ia terpejam
Tuk ciptakan pijar di paginya
Tak Ada Mawar Tak Berduri

Malang, 13 September 2008



Ich Bin Verliebt

Ku tak pernah memanggil namamu
Tak jua lambaikan tangan usai bertemu
Karena mataku tlah menyebut namamu
Dan seutas senyum tlah ungkapkan
esok kan ada pertemuan agung menghampiri

Tak ada hujan yang tak reda
Tak pula ada purnama yang sempurna
Pikiran hanya dapat sebatas nalar
Namun, hati lah yang menebak rasa

Kata terutara selalu dusta
Puisi di hati itulah kebenaran hakiki
Ich bin verliebt, ich bin verliebt

Bunda,
Salahkah jika aku yang memilih?
Tak layakkah bila aku yang memilah?
Dosakah jika aku yang putuskan?

Sepucuk perihal saja…
Cinta
Ich bin verliebt, bunda

Malang, 10 September 2008



Sembahyang Cinta

Bismillahirrahmanirrahim cinta,
Ku niatkan dalam hati dan ku lafalkan dengan lirih lewat lidahku mencintai-Mu
Ku takbirkan dengan lafadz akbar cinta pembuka pintu menjemput-Mu

Dan fatihah cinta ku senandungkan,
beriring surat-surat cinta sebagai buah tangan kedatanganku
izinkan sejenak ku ruku’ membungkuk di hadapan-Mu,
bacakan tasbih mesra memuji keagungan cinta-Mu
dan biarkan ku terlelap dalam sujud panjang,
berurai air mata cinta

dalam duduk antara tahiyat dan tasyahud sujud cinta ku sabdakan sumpah setia
akan pujian cintaku, shalawat cintaku, dan doa cintaku menjelma dalam wujud-Mu
assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh cinta,
ku tutup sembahyangku

Malang, 9 September 2008

Sajak-Sajak Denny Mizhar

http://suara-sunyi.blogspot.com/
Dengar

Dengar! Teriak-nya membela batu cadas
di persimpangan jalan terjal
dihimpit gedung-gedung dan pusat-pusat pesta fana.

Isak-nya tak ter-terasa lagi
tergilas mesin-mesin industri
kemanusiaan-nya mati berkeping-keping.

Dengar! Ruang mana?!
Untuk mereka yang sedang kesepiaan
tujuan rantauan persinggahan hidup

Malang,24 Februari 2008



BIARKAN AKU MENGENALMU

Biarkan aku mengenalmmu lewat tubuhmu dari ujung halus rambutmu hingga ujung lentik jemari kakimu. Ku belai panjang rambutmu, kutemukan serpihan fikirmu. Menginspirasikan pada jalan hidup terjal, kehidupan pengembala peradaban.

Kukecup keningmu dan kucium bibirmu, kutemukan keindahan bahasa kemanusiaan dengan manis lewat air liurmu yang menetes pada kendali nafsuku, merajut nilai-nilai suci

Pelukan tubuhmu mengajakku pergi menemui lorong-lorong panjang perjalanan kemunafikan, menghentikan seketika saat kenikmatan mengusai dalam bayang semu surga janjimu

Mulai kukenal pertikain dari balik sikap tubuh acuhmu yang bergumul dengan laras senapan, tak pernah berhenti menekan pelatuknya demi ambisi kepuasan selaput tipis yang menurunkan derajatmu

Kau mulai melepas sutra yang menempel ditubuhmu, membuatku lupa siapa diriku, hingga rasa hatiku mati seketika bersama ledakan meriam-meriam yang tak pernah berhenti

Ku ingin kau mengembalikan ranum bibir manismu yang bertabur senyum kemanusiaan tuk hentikan kedangkalan fikir dan hidupkan hati yang luka

Lalu mulai kenalkan kakimu dengan langkah tegap menuju surga-surga Tuhan yang tak berujung

Malang, 10 Januari 2008



Sebaris Puisi Darimu

Seberkas cahaya terang menelusup dalam nadiku
Membangkitkan emosi yang lama buntu
Mengedor-gedor pintu egoku
Memecahkan aku yang mati kutu

Sebaris puisi mengalir dalam jiwaku
Tersulut cahaya terang darimu
Berdansa dengan nada merdu
Membebaskan naluri batuku

Kini mataku mengerutu
Pada nasib yang tak pernah menahu
Akan ujung harap yang berlalu
Serupa peluru menembus jantungku
Menuju pintu-pintu yang tak tertuju

Malang, 26 April 2008



Ada Dirimu

Ada wajahmu
Menempel dalam bola lampu kamarku
Muram, lebur menjadi satu dengan senyummu

Ada bibirmu
Menyatu dalam bola lampu kamarku
Mencibir, bersama kecut senyummu

Ada tubuhmu dalam kamarku
Diterangi bola lampu
Redup, merayu

Malang, Maret 2008



Sejarah Cinta Luka

Hati merah, terluka mengangah.
Tersimpan dalam kitab sejarah.

“Sempat kuminum racun cinta lewat liur mulutmu
dan kurasakan getir cinta lewat tubuhmu”

Hati merah, meruntuhkan jiwa.
Terkubur dalam kenangan cinta luka.
Tak kuasa pendam, bahkan buka kitab sejarah cinta.

Luka, perihkan langkah.

Malang, Desember 2007

Sabtu, 08 November 2008

Sajak Jibna Sudiryo

ZIARAH KOTA KOTA

aku bertamu ke kota kota
banyak pintu yang terbuka
setiap ketukan ada curiga

di-Jember
berhentilah di sini
kupaslah daun daun itu
ada getah yang akan melahirkan luka
sebelum cawan para perawan
kita jadikan tuak penghabisan

di-Malang
singgahlah di sini
nikmatilah sapaan angin
sebelum ternodai oleh kincir matahari

di-Surabaya
kenalilah dengan kelukaan
dari kompor matahari
hujan nyamuk malam hari
dan bau besing limbah tragedi

di-Yogyakarta
kita akan melihat lembaran sejarah di sini
dari tangisan tugu
dan jeritan nisan nisan

di-Jakarta
lihatlah kafila kafila itu
berkali kali ia tersipu
dari keibuan kota kota
yang melahirkan banyak derita

ah di kotaku
yang akan diziarai para ratu
dan tuhan tuhan pun mengabu
tak ada yang mampu memulai
hanya kembali
pada yang sepi

2008

Sajak Pringgo HR

Kabar dari Balik Kabut

selingkar bulan masih subuh tahun ini
gerimis berpasangpasang memecah batu kapur
bukitmu

pohonan perdu merekat batu kapur egkau tanam dulu
sengaja engkau gergaji satu satu
hingga udara meroboh sepanjang musim penghujan
memberi ngangah luka selapang hatiku
hingga daunan rimbun yang pernah kau tawarkan
melongsor bersama arus ketidaksetiaan kata kata

engkau telah tanam jenazah di semaksemak
sebelum aku mau pergi
sebelum aku ihlas mati

keraguanlah yang menerjal pandang matamu
sebelum menuntas semua keringat
berjalan naik turun setapak
setapak lintasi senjaku mulai rapuh

pada licin airmata jalan
aku alirkan batu batu pusara
berharap sampai d nyinyir bukitmu

menanamnya antara telapak kaki
kepalamu
di semak semak jenazahku

Sukodadi, 28 Januari 2006

Sajak Bambang Kempling

Koridor Ensiklopedia

Apabila malam telah larut
dan lampu-lampu sudah dipadamkan,
cahaya terkulai dalam rahasia.
laut,
dahaga yang menggelegak
langit melukis dirinya sendiri

*
:
Jejak bagai bisik tanda
bermula dari rangkaian kisah sederhana
buat cakrawala
(Langkah-langkah ganjil
mengendap-endap dalam diri
bersama detak-detik jam dinding
dalam suatu lorong tak berujung)

Sesekali,
dia hanya merasa itu
sebagai sesuatu yang pantas untuk dikenang.
hanya untuk dikenang.
Tetapi,
ada keenggganan yang selalu menyeribet
− goresan nama di sebongkah nisan −

Suatu ketika,
pada siluet panjang dia berkata:
“Tak ada yang berubah.
Hari-hari mengambang
bagai selembar catatan kesia-siaan.”

Malam lalu berderit pada gelap dan sepi,
bilik mengerdil dalam suara-suara.
Bagai godam di tangan pandai besi,
bertalu-talu menghujam sebilah pedang.
Lengking suara-suara adalah selaksa jarum menisik kepala
dan detak-detik jam dinding hanya sebagai pertanda
bagi gelap yang disusuri,
bagi kelam titian kabut di rimba langit,
langit di dirinya yang telah dibangun
melebur dalam persenggamaan diam.

ketiba-tibaannya
sebagai sisa serpihan
gelagat cahaya

Perjalanan sunyi
dari suatu petualangan
tidak pernah berhenti di batas jengkal
dalam sendiri
sakit membulir akut
teramat akut
Dia tubuh yang terbakar
oleh kepercumaan jalan
dari kesendirian seekor kepompong

adalah kepongahan tentang dunia
yang hanya berbatas sesapuan jelaga

**
Seekor kunang-kunang hinggap di dada
dipungut kemudian didekatkan ke picing bola mata kiri,
”Horee...!” teriaknya girang.

Warna cahaya
kecil mengerdip
terkulai di antara jari-jari yang gelisah
menghitung zikir yang tak sampai.
Kemudian dikucumbui kunang-kunang itu
layaknya cahaya dalam diri.

Dia kasmaran
dalam kasmaran dia menari.
Dalam menari
dia membayangkan ribuan kunang-kunang
hinggap di setiap ujung helai rambutnya.

Dia sang lelaki malam
bermahkota kunang-kunang dalam satu pesta dansa:
cahaya warna-warni
bersesakan dengan kebingaran
musik anak-anak surga prematur
laser mengilat-ngilat
melukisi ribuan pasang payudara
telanjang menyedot bola mata
birahi zaman
lantai pualam berkolam arak
denting gelas-gelas
meretakkan langit

Tiba-tiba sesuatu yang dingin dan geli
menggelitik jari-jari kakinya.
Dia meloncat.
Tikus moncong bercericit,
“Jancuk!” teriaknya.

Maka,
bertaburanlah suara-suara dari kepala
melesat menuju telinganya sendiri,
menghujam-hujam jantungnya
Berondongan umpatan,
jeritas histeris,
dan tangisan meledak
Siksa dentum halilintar.

Dia jambak rambut di ubun-ubun,
dia tempeleng sendiri telinganya.
“Aaakh!” Lalu terdiam,
hingga sunyilah yang tertinggal.

Lorong panjang
gelap
tak berujung
terhampar jauh.

Udara sesak menyumpal jalan pikiran.
Dengan tersengal
dia menghela nafas dalam-dalam.
Malam berperon secangkir kopi,
“Adakah ini perhentian?” desisnya.

keringat dingin
mengucur deras di sekujur tubuh
Diseka dengan telapak tangan keringat di dahi.
Gelap
pekat di depan.
Dari ujung gelap yang paling pekat itu,
beribu bayangan wajah
muncul dari ribuan arah
mula-mula hadir gemulai
lambat-laun menjadi cepat
semakin cepat
sangat cepat
sambar-menyambar
menyerbu kedua pelupuk matanya.

Dia berusaha mengibaskannya,
yang terkibas justru membelah diri
membiakkan berjuta wajah baru
wajah dari seluruh wajah
yang tak kan sanggup dia gantung di dinding kepala.

Di gelayutan pelupuk mata,
mereka saling menyeringai
bagaikan singa-singa di rimba
mereka melolong
bagaikan berjuta serigala
dari seluruh penjuru
menyambut bulan purnama
ketika dikelilingi mendung tipis.

Ribuan singa itu
saling mencakar
Ribuan serigala itu
saling menggigit
Mereka berebut mangsa
dan mangsa itu ialah dia,
dia yang terkulai dalam langkah bisunya.

Kengerian itu tak pernah terdengar oleh siapa pun,
tak pernah terlihat oleh siapa pun,
kecuali oleh dirinya sendiri.
Kengerian yang selalu ada
pada catatan buat hening

***
Mata yang tajam berbinar
air mata panas memantulkan peristiwa berlalu,
“Sunti…aku sebut namamu dalam hening tak berarti ini,” teriaknya.

Malam berbingkai rembulan di luar.
Langit bening kebiruan di angkasa,
tapi di lorong itu,
gelap
pekat
tajam mencabik-cabik.
diri terdampar
di lubuknya sendiri.

Sekilas kemuakan akan kecemasan
tumbuh dari rahim malam.
Getaran bibirnya,
isyarat derai-derai kepiluan.

Dia tersimpuh di jantung labirin,
nanar mata yang layu
memandang jauh ke dalam lutut persandaran dagunya.
Suaranya lantang memecah hening:
“Anak-anak bercengkerama
bersama kupu-kupu di ujung pelangi,
engkaukah yang hendak melahirkannya kelak?
Sungguh Sunti, kesombongan macam apa
yang telah menghamba di sini?”

Barangkali,
Sunti hanyalah sebuah nama,
yang disebutnya berulang-ulang semenjak itu.
Tentang siapa ia?
bisa siapa saja
bahkan bisa tidak siapa-siapa,
Tentang apakah ia?
bisa apa saja
juga bisa tidaklah apa-apa.

Apabila namanya selalu disebut
jelas ada alasan
mungkin juga tidak jelas tentang alasannya
sebab cahaya telah terkulai dalam rahasia
wajah laut telah mengabur
dan langit telah melukis dirinya sendiri

****
Wajahnya mengering pucat.
Dia lalu menggapai sebuah bayangan.
Setelah sampai gapaian,
dia meraba asal-muasal bayangan itu
bayangan sebuah kesangsian.

Dia bersimpuh.
Dia raba sudut matanya,
sepasang mata air dari air mata telah kering.
Dia raba kedua bibirnya,
bagaikan kemarau panjang.

wajah tak bernama
aku mengeja sendiri
bingkai-bingkai yang tersusun dari diam ini.
kelak aku kenang itu sebagai suatu kesalahan.
keanehan tersimpan di keranda.
cahaya dari keresahan tergores di pelupuk mata.
seperti hendak ada yang mengabadikannya
:serpihan-serpihan kabut bermahkota sayap kunang-kunang.

persekutuan malam
menandai keheningan
azan mengais rebana dalam diri

Padengan, 2007 - 2008

Sajak-Sajak Anis Ceha

Uh…

Uh, ku sangka hanya ujung mimpi
Pada sudut subuh aku pilu
Engkau berbadan hitam
Memukul genderang hitam
Bersama bayang hitam
Lantas menghilang kelam

Uh, ku sangka hanya luapan embun
Yang terbang dilarikan siang
Tapi ketika ku sentuh…
Ujungnya tanpa ujung
Pucuk daunnya tak lagi pupus

Segenap hati aku berbagi
Namun belum juga terpatri
Aku menari hingga hilang lelahku
Tak berasa tak berbara

2006



MENJELANG BULAN

Sesederhana itu kau buka benakmu
dengan kata-kata indah;

seperti abu dilarung ke lautan lepas,
dan ikan-ikan menjauh
oleh takut akan kesuciannya
atau enggan berbagi
dengan arwah-arwah penjaga debu.

Akulah menyanjungmu bersegenap dunia
yang kupijak bersama rerumputan muda.

Oh yang jauh,
seperti kiranya waktu tampak membuka mulutnya
dengan hari,
dengan terbit mentari di ujung timur
demi menjelang bulan kemudian.

050613



APA ARTINYA

Telah ku tutup tirai hati sebelum cerminkan diri
akan hamparan teduh wajahmu.

Duhai kasih,
kiranya kau tahu aku tak mencintaimu
tapi orang lain tengah ku tunggu,
dalam kabut hitam rindu.

Parasmu tersenyum begitu saja,
setelah ku tahu tak getarkan sedikit pun
apalagi koyakkan hatiku yang berpacu
bersama perubahan waktu;

waktu-waktu itu darahku membeku,
keringat tak mengalir
apalagi angin,
tak sedikit pun menyapa daun-daun.

Lalu apa artinya dirimu?

051129



PADA SUATU HARI DI UJUNG SUBUH

Ku dapati gelisahmu di ujung subuh,
kupu-kupu sayapnya terluka
tak dapat lagi menyeret pintu samudra
di ambang fajar sentausa.

Kata-katanya terlalu lugas dimaknai, betapa pun
kamus tersaji di hamparan mataku.

Kataku: “aku tak bisa membaca” waktu itu yang
kemudian, telapak tanganmu tenggelamkan
kepalaku pada hangat ketiakmu.

Awan terlalu tinggi untuk kau bisa terbang
serta mengambil segumpal awan,
maka berlatihlah sayapmu agar tak kaku
juga belajarlah terbang keinginan
agar kau bisa ambil lebih
dari segumpalan awan-awan
agar kau bisa jadikannya apa saja
dan tak lagi putih, biru atau kelabu.

Katamu:
tak perlu gelisahmu,
kau hadirkan kupu-kupu terluka sayapnya
tak mungkin menyeret pintu samudra
di pantai kakiku di suatu hari,
di ujung subuh di ambang pagi tragedi.

051011



PERMOHONAN

Ku simpan air mata yang mulai mengering,
namun ku jatuhkan lagi
dan kantong itu sudah tak mampu menjalin
benang berkain.

Apakah sebab air mata terlampau panas,
hingga melepuhkannya?

Maka beri aku kesempatan memunguti,
bekas-bekas yang meski tiada lagi di tanah.



SURAT CINTAKU YANG LALU

Ku tulis surat-suratku di hari-hari lalu
petanda sepi menunggu, belum jua bertemu.

Sengaja tak kirim berprangko
sebab ku faham kedekatan terus meretas
atas kalimat-kalimat mengendap
dari jantung waktu.

Tapi sampai lelah ku menunggu,
tak juga kau penuh walau sepatah kata
aku bertanya tanpa jawab
dan sepertinya diriku mulai resah:

tanah-tanah kering, daun lunglai sekulitan jeruk
kering sampai hilang tanpa rasa kecut.

Ku tulis surat-suratku kembali
hingga jemariku menyusut,
botol-botol kaca cerlangnya memudar
saat membaca raut kusut.

Kau menjelma kesiaan melanda,
ketika aku temukan hujan pertama
pada impian kaki-kaki akan lelaki setia.

050731

Sajak Dody Kristianto

ARWAH MERAH

1/
segala waktu memerah atas jasadku. ledakan
yang membiru. jalanan cemburu menyekap jejakku
segenap api kota meniadakan angin, tiupan pohon
sesat membuat sebuah lingkaran bagi kemenawanan
tahun
lantas doadoa melesat, menuju keraguraguan yang nyata
sepanjang retakan bulan. maka arwah akan berjalan
menengadahkan kabut kepasrahan. sebuah penjara, bagi
kegemingan malam tertawan. lalu segala bagai jiwa
berliukan, menghantui pelabuhan
maupun teriakan terpendam dalam kepedihan

2/
melalui namanama mengambang, aku berdiam sepanjang jalan
rambutmu yang muram serta ratusan kabut gagal menghitam
pisau kekeringan berlalu menangkap keliaran burung yang
mengayun, menjala segenap resah atas tanah
maka bungabunga beralih rekah.
melalui namanama mengambang, pelayaran begitu jauh
seperti penembakan kanak yang rabun menanggung derita
lalu cahaya beranjak asing, begitu teduh meletakkan
ratusan kepala tertanam di sekujur dinding gantungan
serupa mimpi telanjang tentang kematian

2008

Sajak Imamuddin SA

KIDUNG GANDRUNG

lantas bagaimana aku mengucap kata
bercerita pada dedaun basah
yang menetes embun pagi
di atas nur sang kekasih;
azzali

sementara, batas kesadaran terkantuk-kantuk
mengeja puitika aksara
melintas ruang hampa
antara pusara jiwa
merayapi ilusi bayang-bayang sahadatnya

adalah kesemestaan memberkas bagai tanda wujudnya
sebening hati laksana lubang kunci
pun aku sendiri kunci pembuka gerbang ini;
namun cinta bukanlah tangga nada
melintas lewat notasi bahasa
tiada yang sanggup menerjemah;
hanya sang kembara
penyimpul benang merah sejatinya
-akulah cinta

sungguh gaib mawar yang kau tanam untukku
segaib dirimu di pelupuk indraku
keberadaanmu bagiku, jauh di sebrang ruang waktu
tak tuntas tergapai lewat lambaian sayap-sayapku
namun kau begitu dekat bersamaku
sedekat pelipis mataku
seerat urat leherku

aku gugurkan janin munafikku
aku rontokkan pentil khuldiku
kesadaran berelimut pesona hasratku,
tak sanggup aku melangkah menjenguk indah cahayamu
namun hanya sebatas rayu terus terlagu
lewat kidung gandrung di awang-uwung hatiku
mengundang sejenak kehadiranmu
mengisi ruang kosong hidupku;

kangen iki
manggon ono ing katresnan sejati
ora bakal lali
ora bakal ngapusi
wiwit esok tumekaning wengi
seng tak puji
seng tak ugemi
namong sliramu katresnani
katunggon busono kang suci

gumebyaring ati
manunggal patraping janji
kelawan ngukir angen-angen sliramu bakal nemoni
meski ketemu ono ing mongso semi sumelehe bumi
kelawan nggowo kembang mawar abadi
seng kasembah marang sliraku kang mangenteni
-mangenteni ing pinggir dalan iki
dadi saksi
liwat tondo ngipi dino wingi

aku eling nalikaning hening
nggondo wangi
miwiti esok ngagem candraning bayi;

mbrebes
-mili mripatku
njerit nggludok suworoku
njambol peksi atiku
nglukes mendong kelawan geni lelakonku
lelampahan ngadho maring sliramu

adakah aku kan menjelma rumi
melebur ngengat dalam nyala api
ataukah laksana rabi’ah
menumbal surga neraka
bagai nisan cinta sejatinya

namun aku bukanlah mereka
menyimpan sembah batu-kerikil berbeda;
sebab lain tanda lain maknanya
lain kata lain bunyinya
lain pula perintahnya

nihil daya aku menuang dada
di batas permainan laga
bersama semerdu pesona;
lewat lenggang batinku
kubawa anggur kepolosan rindu
dengan cawan bening keyakinanku;

esok kau pasti menyapaku
-entah, dalam seribu wajahmu?

Kendalkemlagi, Januari 2008

Sajak-Sajak Suryanto Sastroatmodjo

SEKAKI KESUMA

Sungguh menderaslah air merayapi setingkap kini
Kala pergumulan tetes-tetes perlawatan menemu perih
Dan senjakala yang meneteskan likur-lingir
Mendatang jelang serakit tualang
Masa memandang himpit-hincit tandang
Sementara jelita makna kau lengkapkan
Sedang lakon yang ku lakoni hendak menjulang jalang

Pertanda telah merawikan nyanyi yang samadi
Hulu balang menggapai selendang mimpi
Andai pagi meraba perjalanan: Hidup pun tersapa
Dan semoga takkan lantak yang tertunda!

Kendati si pongang kangen masih juga terpasang rakitan
Laku mendekatkan temali lonceng dalam wirama sontak
Akhirnya bakal menggulir sendi
Bersama simfoni lirih semilir.



Balada Segelas Kahwa

(1)
Aku tahu bahwa pahit
Teronggok dalam cangkir sukma
hanya menunggu bedug malam
dengan terompah kayu dan bersalam
Aku tahu risau nan kelam
menggelepar dalam kamar samar
dan tak kukenal seraut kenang
tatkala mengetuk pintu pertama

(2)
Mungkin adalah dendangsayang
dendang gebalau hari-hari cendawan
Sungguh, alangkah gawal
mendera ufuk tanpa sepeluk faal
Padahal bumiku punya pelatuk
juga bukan cancangan ufuk
bila lusa dituntut ujung telutsujud

(3)
Dengan mentari teramat pahit
aku gulung helai kain aksaramu
kendati kopi pun pahit. Cuma sehaluan
menyebut simpati pada bocah-bocah rimba
Aku menggapai sulur gadung
dan rebahan batang-batang lengkung
Tanda sebuah janji bakal pupus
ditunda oleh kemarau berpeluh

(4)
Dan alangkah sibuk dan suntuk
pedalaman benua di ini ufuk
Kala kita punya persinggahan barang dua bentar
seraya menengadah ke langit gumelar
Atau biar segelas kahwa panas
aku teguk dalam pahitnya gemas
Seraya mencari sesuatu nan tercecer
dari seberang menyeberang harungan

(5)
Lantas bertanyalah pada anak dolan
yang kini sanggup mengepuk matahari. Sepenggal tanya
sandar di dermaga selepas maghrib sekelupas
Dan aku akan minum kahwa panas
sebelum kembali bercakap keras
di beranda, sarat oleh tamu-tamu berdandan.

Sajak-Sajak Ahmad Syauqi Sumbawi

Di Telaga, Aku Ingin Menggambar Purnama

peluh parak sunrise ‘kan menjelma lautan
teriakan elan menggemuruh ombak
biar hancur di dada batu hitam
lalu menyeret pasir tanda lancut tiada
dan jarum jam dinding ‘kan mencatat
di tiap detik melahirkan para sejarawan

niscaya waktu menebalkan panas di atas kepala
lalu mencabar di buritan mengecat uban
rotasi memaksa mentari menamai hari
tiba-tiba petugas ru’yat al-hilal berkabar
bahwa hilal baru saja muncul dari lautan
aku ingin damai meski sebongkah yang tersisa

angin malam menjelma telaga
nyanyian elan menjadikan malam tak sepi
tak juga hiruk oleh igauan
di telaga, aku ingin menggambar purnama



Interlude di Remang Malam

terdengar itu,
jam dinding membentak
hitungan waktu yang terpenggal
tak pernah gagal

rupanya,
kita sudah menjadi kebal
terus mengotak-atik waktu
dari 1 ke 1001
: mimpi manusia

tapi,
suara tokek itu
masih sempat membikin kita tersentak juga



Perjalanan Ke Bukit

aku tak ‘kan mengharap
jalan datar di depan sana
dan doa yang mengharapkannya
akan ditertawakan udara
sebagai ketololan yang sia-sia

”telah kering sang Pena”

iklim-cuaca pun mencatat
bahwa perjalanan ke bukit
otot-otot menjadi kawat
butir-butir nasi menjadi keringat
dan semangat ditumbuhi karat

dan manakala aku tergelincir menggelinding
aku tak mau ada di antara ngeri dan mimpi
yang tak lain adalah diam yang menyiksa

biarlah hancur binasa
sebab kehidupan akan tergelar segera
dengan memandang mekar wajahku
di bukit sana



Kepada Waktu

coret saja namaku dalam daftarmu
berkali-kali tak sambut buangan kakimu
dan buang saja ludah pahitmu ke mukaku
seperti yang selalu kaulakukan membikin sesal

memang hijau jari-jari di dada rentan patah
apalagi untuk kali pertama
sekawanan laba-laba membangun sarang
saat mencoba menampakkan udara
yang terjaring malam itu

dalam kamar gelap dan pengap
aku tak peduli lagi itu berbahaya
aku tak peduli iklim dan cuaca yang berubah
juga pada jarum jam dinding
yang menangkapmu di tiap detik
dengan tawa persulangan di remang malam

kutuk aku!
ya, kutuklah!
kutuklah seperti yang selalu kaulakukan
mungkin begitu, aku lebih mengenalmu



Di Sebuah Konser

di sebuah konser
aku ingin menari, bersama
mencebur dalam riaknya
bukan dangdut, rock n’ roll, punk,
grunge, black metal, underground,
ska, campur sari, hip hop, R&B,
dan sebagainya

di sebuah konser
aku ingin menyanyi, bersama
mengalir dalam alunannya
bukan pop, slow rock, blues, jazz
seriosa, keroncong, kasidah,
dan sebagainya

di sebuah konser
aku ingin menari dan menyanyi, bersama
diiringi musik yang tersembul
dari palung diri
yang mengalir mendesir darah
hangat di dada

lebih merdu dari tarikan vokal
lebih lembut dari sentuhan keyboard
lebih kuat dari hentakan drum dan perkusi
lebih lengking dari petikan gitar dan gesekan biola
lebih..
lebih…
membebaskan…



Bila Mata Tiba-tiba Pecah

benarkah, telah binasa mekar wajah?
mata tiba-tiba pecah
jika kautanya, barangkali ‘kan
menyentak juga:
“keruh kening takkan pernah cukup terhapus
oleh lelehan air mata. malah,
rentan melajatkan sepai diri bersama
kesepian bebatang kaktus.”

di bawah malam,
oase menggambar purnama
apakah ada yang lewat?
menyentuh pada kemilaunya
jika kautanya sekali lagi,
barangkali ‘kan menyentak kembali:
“setelah keruh kening luntur,
maka terlihatlah juga
air jatuh dari wajah dan tangan
mengirimkan getar-getarnya
menjelma sungai membayang muara.”

dalam dada menghisap debur samudera
apakah mesti berangkat? merelakan
buih-buihnya

jika kautanya kembali,
barangkali ‘kan menyentak sekali lagi:
“buih-buih adalah pasti.
pasir dan karang membentuk daratan.”
jika masih bertanya-tanya juga,
terkubur lautan tanpa nisan

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae