http://pustakapujangga.com/2010/12/poetry-of-nurel-javissyarqi-2/
[PENGUMBAR]
Untuk Johann Christian Günther
Ruhmu melayang-layang
mencari titik-titik keabadian.
Melepaskan tubuh mendesir
bergema di rerongga nafas.
Adakah dirimu terus gelisah
di alam keabadian masa?
Memburu cahaya
memahat senjakala.
[PINTU WAKTU]
Untuk Konstantin Dimitriwitsj Balmont
Dengan bulan putih menggantung
pelapar kenyang dalam lamunan.
Menembus batas pintu gerbang
menakar awan dan gemintang
:
ditaksirnya hati merenda kekal.
[NAFAS SEKAM]
Untuk Alexander Blok
Abu hitam paling purba
luruh padam hatimu.
Ranting kayu hutan
sekelam arang tidak menjalar.
Namun, desir angin membangkit
selentik biji api menyalakan jiwa.
[WAKTU BEKU]
Untuk Jalaluddin Rumi
Aku menjenguk dirimu di sekapan waktu
tiada murung walau terkuliti dingin beku.
Jiwa khusyuk menyendiri di alam semedi
terbasuh embun kembang kesucian hati.
Sebening sungai menggelinjaki batu-batu
menyeruak ilalang kala pekabutan subuh.
Kenang tertampung di kelopakan malam
dipandang purnama menemui kediaman.
Membimbing pengorbanan kasih hening
ribuan gemintang menerangi rumputan.
Rongga pernafasan petir ditempa angin
menyambar kesadaran bulu-bulu mata.
Berabad lambaian wangimu pengekang,
aku pasir pesisir ditiup ombak berulang.
[SEBUTIR JAGUNG]
Untuk Thales
Kau sebar butiran jagung ke tengah laut,
digulung ombak memukul batuan karang.
Terhempas ke pantai-pantai, didorongnya
seperti sampan menyaksikan pedalaman
:
disapu bayu-bayu terpendam masa silam.
Bertahun-tahun sedenyut air serasi jiwa,
awan-gemawan selimuti bumi makin tua.
Membangkitkan hantu-hantu, petir murka
membelah langit lempengkan air samudra
:
sejauh-jauh matahari terlempar senjakala.
Hukum waktu menemukan belahan benua
kaktus-kaktus meliar menjebak ikan-ikan
:
lengking tanah merah di negeri balik bulan.
Kau tinggalkan aku sebatang di ujung waktu
bibir merayu putuskan sepuluh jemari meragu
:
menyisiri anak-anakan rambut panjang usia.
Aku dipersunting takdir, hamil keyakinanmu,
aku bijian jagung, rindu sejarah lemparanmu.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 31 Desember 2010
Sabtu, 18 Desember 2010
Sajak-Sajak Heri Listianto
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
TINGKAH DUNIA SAAT INI
Gemetar ubunku
melihat tingkah dunia saat ini
gemetar ubunku
menyimak berita malam ini.
Gemetar ubunku
Ketika Indonesia sudah sepi hilang hikmat,
hanya canda tak berisi
Indonesia …
Indonesia …
Seperti kapas terbang dari tangkai
Terombang-ambing angin barat
dengan belenggu
temali uang berdebu.
Indonesia…
Seperti itu kini aku melihatmu.
Perlis, 15 juni 2010
SEPERTI BENIH KAPAS
Seperti ribuan benih kapas
di atas altar peribadatan
aku melihat doa’- do’a dari kitab suci
yang melantun pada malam keagungan.
Riak kemricik air kali,
mengantar bisik kecil
untuk perenungan kisahmu
Rosul…
Sebagai perjamuan embun
mengalir ke sungai jasad ini
sampai akhir hayat ini.
Surabaya , 23 Juni 2010
MUNGKIN SUDAH TAKDIR
Mungkin sudah takdir.
Tuhan…
di setiap rongga-rongga tulang
kau alirkan rasa seribu tanya
tentang bumi dan langit
tentang perjalanan planet
tentang aliran meteor di sungai-sungai angkasa
sejengkal detik di kehidupan ini
menyusun hembus nafas
lembut…
selaksa air telaga kencana
dari kayangan suralaya.
Mungkinkah kabarmu
Datang dari lentera kecil
Di hati ini robbi…?
Tunjukkan jawaban mutiara
Yang datang dari candela hati.
Surabaya, 09 Nov 2009
1000 Mata dunia
Satu!
dua!
tiga!
Sedikit kaki melangkah dari tangga perpisahan
hati kalian teman.
Aku membaca dunia
Lewat seribu busana keanggunan
Ada jas dengan dasinya,
Ada seragam kuning dengan sapu lidinya,
Ada rompi dengan peluit parkirnya,
Wajah merah dengan kayu ditangannya,
Ada peluk penuh akan cinta.
Bahkan,
Ada …
Ada …
Ada …!
Ada-ada saja.
Surabaya , 24 Nov 2009
TINGKAH DUNIA SAAT INI
Gemetar ubunku
melihat tingkah dunia saat ini
gemetar ubunku
menyimak berita malam ini.
Gemetar ubunku
Ketika Indonesia sudah sepi hilang hikmat,
hanya canda tak berisi
Indonesia …
Indonesia …
Seperti kapas terbang dari tangkai
Terombang-ambing angin barat
dengan belenggu
temali uang berdebu.
Indonesia…
Seperti itu kini aku melihatmu.
Perlis, 15 juni 2010
SEPERTI BENIH KAPAS
Seperti ribuan benih kapas
di atas altar peribadatan
aku melihat doa’- do’a dari kitab suci
yang melantun pada malam keagungan.
Riak kemricik air kali,
mengantar bisik kecil
untuk perenungan kisahmu
Rosul…
Sebagai perjamuan embun
mengalir ke sungai jasad ini
sampai akhir hayat ini.
Surabaya , 23 Juni 2010
MUNGKIN SUDAH TAKDIR
Mungkin sudah takdir.
Tuhan…
di setiap rongga-rongga tulang
kau alirkan rasa seribu tanya
tentang bumi dan langit
tentang perjalanan planet
tentang aliran meteor di sungai-sungai angkasa
sejengkal detik di kehidupan ini
menyusun hembus nafas
lembut…
selaksa air telaga kencana
dari kayangan suralaya.
Mungkinkah kabarmu
Datang dari lentera kecil
Di hati ini robbi…?
Tunjukkan jawaban mutiara
Yang datang dari candela hati.
Surabaya, 09 Nov 2009
1000 Mata dunia
Satu!
dua!
tiga!
Sedikit kaki melangkah dari tangga perpisahan
hati kalian teman.
Aku membaca dunia
Lewat seribu busana keanggunan
Ada jas dengan dasinya,
Ada seragam kuning dengan sapu lidinya,
Ada rompi dengan peluit parkirnya,
Wajah merah dengan kayu ditangannya,
Ada peluk penuh akan cinta.
Bahkan,
Ada …
Ada …
Ada …!
Ada-ada saja.
Surabaya , 24 Nov 2009
Rabu, 01 Desember 2010
Sajak-Sajak Taufik Hidayat
http://www.riaupos.info/
pengakuan dosa
ingin ku memelihara hati
pada ijab yang telah diucap
namun jiwa merana
roh pun datang menyiksa
sudah kusambut luka dengan ketawa
kusimpan dalam syair dan nada
dikau adalah lagu pada rentak yang sumbang
tak seirama
memang
inilah waktu yang kunanti
maka aku serahkan dosa
dan ketika detik-detik merayap
dijadikan senjata pada massa yang ditadah
aku adalah nista yang ingin sujud
aku adalah jiwa yang ketakutan
aku ingin mengantar cahaya pada janji
manusia
kepada jiwa
sebelum angin menghembus debu
jiwa yang menghadap ke sebelah petang
sambutlah jasad sebelum lalat terbang
sebab
ada layar hidup dai lafas subuh
kepada jiwa
kusajikan diri
kepada jasad
kupersembahkan roh
ditelapak tangan yang nyilu
menari-narilah jiwa
berdendanglah diri
berdendanglah jasad
bernyanyilah roh
kepada jiwa yang tak ber-diri
kepada jasad yang tak ber-roh
hukumnya angin
pasti menghembus debu
mentafsir dusta
jangan kau serahkan sayang
karena sayang aku berdusta
seandainya tak ada sayang
maka bertaburlah cinta
di perjalanan dusta kita dipertemukan
menyemai rasa menuai rindu
ingin bertanya pada waktu
tapi detik-detik yang dilalui
berbancuh indah untuk dinikmati
pada usia
kenapa kita ingkar janji
berlindung dalam kebenaran yang maha sayang
maka
kalau bisa hapuskan huruf janji
hingga aku tak lagi mentafsir dusta
menikmati mati
pada tangis awal yang kupersembahkan
maka janji itu sudah terikat
di bawah cahaya aku merangkak
berhenti di persimpangan usia yang gelap
karena waktu sudah kukhianati
jibril kejemput dengan kompang
kematian pun tersenyum pada tengkah sungguh tak ada siksa
aku senyum menikmati hela yang ditangisi
seperti pada janji tangis tadi
bukan kematian yang kutakuti
maka
jangan ingkari janji dengan hidup yang tak mati-mati
———-
Taufik Hidayat adalah Ketua Harian Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Di dunia seni, dia lebih banyak menggeluti dunia musik dan dikenal dengan nama Atan Lasak. Sedangkan di dunia sastra, puisi dan cerpennya sudah dimuat di sejumlah media lokal seperti Batam Pos dan Harian Lantang. Sehari-harinya dia bekerja sebagai wartawan di Riau Pos Grup. Bermastautin di Pekanbaru.
pengakuan dosa
ingin ku memelihara hati
pada ijab yang telah diucap
namun jiwa merana
roh pun datang menyiksa
sudah kusambut luka dengan ketawa
kusimpan dalam syair dan nada
dikau adalah lagu pada rentak yang sumbang
tak seirama
memang
inilah waktu yang kunanti
maka aku serahkan dosa
dan ketika detik-detik merayap
dijadikan senjata pada massa yang ditadah
aku adalah nista yang ingin sujud
aku adalah jiwa yang ketakutan
aku ingin mengantar cahaya pada janji
manusia
kepada jiwa
sebelum angin menghembus debu
jiwa yang menghadap ke sebelah petang
sambutlah jasad sebelum lalat terbang
sebab
ada layar hidup dai lafas subuh
kepada jiwa
kusajikan diri
kepada jasad
kupersembahkan roh
ditelapak tangan yang nyilu
menari-narilah jiwa
berdendanglah diri
berdendanglah jasad
bernyanyilah roh
kepada jiwa yang tak ber-diri
kepada jasad yang tak ber-roh
hukumnya angin
pasti menghembus debu
mentafsir dusta
jangan kau serahkan sayang
karena sayang aku berdusta
seandainya tak ada sayang
maka bertaburlah cinta
di perjalanan dusta kita dipertemukan
menyemai rasa menuai rindu
ingin bertanya pada waktu
tapi detik-detik yang dilalui
berbancuh indah untuk dinikmati
pada usia
kenapa kita ingkar janji
berlindung dalam kebenaran yang maha sayang
maka
kalau bisa hapuskan huruf janji
hingga aku tak lagi mentafsir dusta
menikmati mati
pada tangis awal yang kupersembahkan
maka janji itu sudah terikat
di bawah cahaya aku merangkak
berhenti di persimpangan usia yang gelap
karena waktu sudah kukhianati
jibril kejemput dengan kompang
kematian pun tersenyum pada tengkah sungguh tak ada siksa
aku senyum menikmati hela yang ditangisi
seperti pada janji tangis tadi
bukan kematian yang kutakuti
maka
jangan ingkari janji dengan hidup yang tak mati-mati
———-
Taufik Hidayat adalah Ketua Harian Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Di dunia seni, dia lebih banyak menggeluti dunia musik dan dikenal dengan nama Atan Lasak. Sedangkan di dunia sastra, puisi dan cerpennya sudah dimuat di sejumlah media lokal seperti Batam Pos dan Harian Lantang. Sehari-harinya dia bekerja sebagai wartawan di Riau Pos Grup. Bermastautin di Pekanbaru.
Sajak-Sajak Taufik Ikram Jamil
http://www.riaupos.info/
inilah tabikku yang ditangkap senyap
engkau begitu saja bercakap-cakap denganku
dalam delapanpuluh empat bahasa yang girang
huruf-huruf segera melantunkan dendang
irama yang dipinang kalbu
dibiarkan sunyi tak alang kepalang
berdepan dengan berbagai laku
bahkan pada masa-masa terbuang
pada kenangan yang malu tersipu-sipu
maka berlabuhlah suara-suara dari negeri jauh
di mulutmu teduh
cuma kau sekedar ingin menambatkan sejuk kalimat
pada pancang-pancang catatan pelayaran adab
sedangkan kapal-kapal memunggahkan kata-kata
memenuhi gudang-gudangmu dalam bacaan rmusim
kemudian mengembalikannya dengan beragam pesan
mengarungi tujuh penjuru makna
sinonim atau antonim yang tak memahami lawan
mungkin juga paragraf dan serba-serbi bab
sekejap pun tak berharap pada sebab bersebab
tak lupa kau katakan mimpimu pada karangan
ketika hidup mengenalnya sebagai taman
bukan saja tempat senda gurau bermain riang
tetapi juga keinginan bertimbang nyawa
sehingga kauyakini bagaimana dirimu
tak akan mati oleh sebarang bunyi
tiada berajal dek berjalur tutur
pada lidah yang mengecap petah
seperti marwah dalam hikayat hang tuah
lalu inilah tabikku yang ditangkap senyap
setelah nafasmu tersengal menghatur ungkap
tun perak tegap tak sempat terucap
di tangan alfonso de albuquerque melayap
pati unus terpaksa melepaskan harap
membumbung bagai uap meliput segenap
di kampar badan bertemu tumbang
ke negeri johor datang bertandang
tanah sumatera terkenang-kenang
bersama raja haji julang terbilang
malang melintang tak dapat ditantang
lalu inilah tabikku yang ditangkap senyap
setelah kau tahu betapa bisu dan tuliku berpadu
tak sampai di kata tak jejak di sunyi
setiap khabar segera menjadi diam
di haribaanku yang berpaku segenap gagu
mungkin pula pada suara
yang getarnya disembar lagu tidak bernada
sumbang oleh pinta tunda menunda
simak dan dengar
yang tak rela berkongsi makna
tapi biarkanlah kuhafal komat-kamit bibirmu
agar dalam gerak pun aku tidak terkucil
kusadari telunjukmu mengarah
geliat badanmu yang mempersoalkan padah
ayunan kakimu akan jadi begitu mudah menghela
bagi tapakku yang tak beruas gaduh
dalam jejak 6.000 pedagang asing bertanding
mungkin dikesani 19 laksa pendudukmu berdiam
mengorak jangkau ke segenap mimpi
juga ke sumatera ke jawa mematri islam
akan kau tulis diriku dalam buku-buku
yang disembunyikan halaman
sebaliknya telah kuamati gerak-gerik jarimu lentik
ketika merangkai kenangan berpanjang-panjang
kemudian kita mengaraknya ke tengah kota
seperti julang-julangan pada al-durrat al-manzuum
yang lebih agung dari sultan mahmud
lebih tinggi dari ledang ditambah himalaya
mungkin pada sebuah petang yang tak jauh
bersepadan dengan sayang memanjang
hampir ke selatan dekat bimbang
aku akan coba mengeja wajah dan suaramu
gagapku adalah bentuk kegembiraan yang lain
debar dari penjuru ingin
tanda kita pernah bersama-sama
kita akan menjadi berkitab bijak
di riangku duapuluh kurang satu
bersangga sedih pada tahun batu
hampir dekat dengan safak
engkau merasa tercampak
tapi di wajahmu merah pekat
aku tahu engkau telah terpikat
seperti tun sri lanang mendekat
bak raja ali haji merapat
maka duduklah bersamaku
sehamparan angka sebentangan huruf
merenda kata-kata sepanjang usia
menyulam kalimat di pusat waktu
hingga benda-benda menabung nyawa
menghidupi masa tiada terkira
sementara telah kita rekat makna
pada keluasan ucapan dan tulisan
dawat dan lidah yang tak bersanggah
sebab dan akibat tanpa menyalah
lalu engkau pun berkata setelah usai:
inilah pakaian yang tak habis di badan
tapi juga merahab seluruh tubuh
memakaikan tersurat dengan tersirat
memadankan kawan dengan sahabat
menggenakan benar dengan betul
mematutkan angan-angan dengan cita-cita
aku sendiri larut dalam bustanulkatibin
sedangkan bugahayat al-ani fi hurufi al-maani
sulalatus salatin dan tufhat al-nafis
jadi belakang yang mendapat depan
kita akan menjadi berkitab bijak
memaklumi zaman sepanjang karangan
kita catat nafsu-nafsi di lain tempat
kabur oleh hati yang tak jujur
dan kita akan saling memiliki
karena tak mungkin berlain tuan
kalau roboh kota melaka
kalau roboh kota melaka
papan di jawa kami tegakkan
tapi hutan-hutan
yang segera melebat di dalam dongeng
tak buat teduh cinta kami kepadanya
bahkan kayu-kayan
yang membesar di tengah cerita
menutup kisah untuk bersama
kalau roboh kota melaka
papan di jawa kami tegakkan
tapi hutan-hutan
yang segera membuncah di dalam ingatan
tak bentangkan sayang kami kepadanya
bahkan lahan-lahan
yang meluas di tengah kenangan
menolak impian untuk bersama
kini kami tegakkan papan itu di awan
pada gerak yang tak lagi dianggap berkhianat
setidak-tidaknya kami selalu waspada
bahwa perubahanlah yang paling abadi
menghantar semesta ke batas-batas langit
bergumpal dengan kesejukan meninggi
menderukan hujan di tengah panas
kaki kami akan terpacak di lembah-lembah
dengan langkah membesar ke bukit-bukit
mata kami melautkan gelora sukma
melantunkan doa-doa sayap
pada setiap jasad yang mengucap ungkap
rupanya kita hanya bisa saling memandang
itu pun kami ragukan mata kalian yang membayang
usia telah mengaburkan penglihatan
jauh dan dekat kehilangan sasaran
——–
Taufik Ikram Jamil, lahir 19 September 1963 di Telukbelitung, Riau. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Sedang mempersiapkan buku puisi kedua bersama sejumlah klip puisi bertajuk tersebab aku melayu, menyusul buku puisi sebelumnya yakni tersebab haku melayu (1995). Mendirikan dan berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau.
inilah tabikku yang ditangkap senyap
engkau begitu saja bercakap-cakap denganku
dalam delapanpuluh empat bahasa yang girang
huruf-huruf segera melantunkan dendang
irama yang dipinang kalbu
dibiarkan sunyi tak alang kepalang
berdepan dengan berbagai laku
bahkan pada masa-masa terbuang
pada kenangan yang malu tersipu-sipu
maka berlabuhlah suara-suara dari negeri jauh
di mulutmu teduh
cuma kau sekedar ingin menambatkan sejuk kalimat
pada pancang-pancang catatan pelayaran adab
sedangkan kapal-kapal memunggahkan kata-kata
memenuhi gudang-gudangmu dalam bacaan rmusim
kemudian mengembalikannya dengan beragam pesan
mengarungi tujuh penjuru makna
sinonim atau antonim yang tak memahami lawan
mungkin juga paragraf dan serba-serbi bab
sekejap pun tak berharap pada sebab bersebab
tak lupa kau katakan mimpimu pada karangan
ketika hidup mengenalnya sebagai taman
bukan saja tempat senda gurau bermain riang
tetapi juga keinginan bertimbang nyawa
sehingga kauyakini bagaimana dirimu
tak akan mati oleh sebarang bunyi
tiada berajal dek berjalur tutur
pada lidah yang mengecap petah
seperti marwah dalam hikayat hang tuah
lalu inilah tabikku yang ditangkap senyap
setelah nafasmu tersengal menghatur ungkap
tun perak tegap tak sempat terucap
di tangan alfonso de albuquerque melayap
pati unus terpaksa melepaskan harap
membumbung bagai uap meliput segenap
di kampar badan bertemu tumbang
ke negeri johor datang bertandang
tanah sumatera terkenang-kenang
bersama raja haji julang terbilang
malang melintang tak dapat ditantang
lalu inilah tabikku yang ditangkap senyap
setelah kau tahu betapa bisu dan tuliku berpadu
tak sampai di kata tak jejak di sunyi
setiap khabar segera menjadi diam
di haribaanku yang berpaku segenap gagu
mungkin pula pada suara
yang getarnya disembar lagu tidak bernada
sumbang oleh pinta tunda menunda
simak dan dengar
yang tak rela berkongsi makna
tapi biarkanlah kuhafal komat-kamit bibirmu
agar dalam gerak pun aku tidak terkucil
kusadari telunjukmu mengarah
geliat badanmu yang mempersoalkan padah
ayunan kakimu akan jadi begitu mudah menghela
bagi tapakku yang tak beruas gaduh
dalam jejak 6.000 pedagang asing bertanding
mungkin dikesani 19 laksa pendudukmu berdiam
mengorak jangkau ke segenap mimpi
juga ke sumatera ke jawa mematri islam
akan kau tulis diriku dalam buku-buku
yang disembunyikan halaman
sebaliknya telah kuamati gerak-gerik jarimu lentik
ketika merangkai kenangan berpanjang-panjang
kemudian kita mengaraknya ke tengah kota
seperti julang-julangan pada al-durrat al-manzuum
yang lebih agung dari sultan mahmud
lebih tinggi dari ledang ditambah himalaya
mungkin pada sebuah petang yang tak jauh
bersepadan dengan sayang memanjang
hampir ke selatan dekat bimbang
aku akan coba mengeja wajah dan suaramu
gagapku adalah bentuk kegembiraan yang lain
debar dari penjuru ingin
tanda kita pernah bersama-sama
kita akan menjadi berkitab bijak
di riangku duapuluh kurang satu
bersangga sedih pada tahun batu
hampir dekat dengan safak
engkau merasa tercampak
tapi di wajahmu merah pekat
aku tahu engkau telah terpikat
seperti tun sri lanang mendekat
bak raja ali haji merapat
maka duduklah bersamaku
sehamparan angka sebentangan huruf
merenda kata-kata sepanjang usia
menyulam kalimat di pusat waktu
hingga benda-benda menabung nyawa
menghidupi masa tiada terkira
sementara telah kita rekat makna
pada keluasan ucapan dan tulisan
dawat dan lidah yang tak bersanggah
sebab dan akibat tanpa menyalah
lalu engkau pun berkata setelah usai:
inilah pakaian yang tak habis di badan
tapi juga merahab seluruh tubuh
memakaikan tersurat dengan tersirat
memadankan kawan dengan sahabat
menggenakan benar dengan betul
mematutkan angan-angan dengan cita-cita
aku sendiri larut dalam bustanulkatibin
sedangkan bugahayat al-ani fi hurufi al-maani
sulalatus salatin dan tufhat al-nafis
jadi belakang yang mendapat depan
kita akan menjadi berkitab bijak
memaklumi zaman sepanjang karangan
kita catat nafsu-nafsi di lain tempat
kabur oleh hati yang tak jujur
dan kita akan saling memiliki
karena tak mungkin berlain tuan
kalau roboh kota melaka
kalau roboh kota melaka
papan di jawa kami tegakkan
tapi hutan-hutan
yang segera melebat di dalam dongeng
tak buat teduh cinta kami kepadanya
bahkan kayu-kayan
yang membesar di tengah cerita
menutup kisah untuk bersama
kalau roboh kota melaka
papan di jawa kami tegakkan
tapi hutan-hutan
yang segera membuncah di dalam ingatan
tak bentangkan sayang kami kepadanya
bahkan lahan-lahan
yang meluas di tengah kenangan
menolak impian untuk bersama
kini kami tegakkan papan itu di awan
pada gerak yang tak lagi dianggap berkhianat
setidak-tidaknya kami selalu waspada
bahwa perubahanlah yang paling abadi
menghantar semesta ke batas-batas langit
bergumpal dengan kesejukan meninggi
menderukan hujan di tengah panas
kaki kami akan terpacak di lembah-lembah
dengan langkah membesar ke bukit-bukit
mata kami melautkan gelora sukma
melantunkan doa-doa sayap
pada setiap jasad yang mengucap ungkap
rupanya kita hanya bisa saling memandang
itu pun kami ragukan mata kalian yang membayang
usia telah mengaburkan penglihatan
jauh dan dekat kehilangan sasaran
——–
Taufik Ikram Jamil, lahir 19 September 1963 di Telukbelitung, Riau. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Sedang mempersiapkan buku puisi kedua bersama sejumlah klip puisi bertajuk tersebab aku melayu, menyusul buku puisi sebelumnya yakni tersebab haku melayu (1995). Mendirikan dan berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau.
Sajak-Sajak Tengsoe Tjahjono
http://sastra-indonesia.com/
pipit di jendela
pipit di jendela, entah datang dari mana
cuma langit mengirimkan kepak
sayap memerah oleh matahari
pipit di jendela, tak pernah menyisakan cericitnya
matanya capek menghitung jejak awan
tubuhnya koyak terpukul palu waktu
“aku ingin istirah dari perjalanan panjang ini”
paruhnya tak terbuka, retinanya bicara
telaga yang keruh oleh kecipak kepiting
lalu kutebarkan remah-remah roti dari oven abadi
adonan jantung dan hati, ditaburi gelugut gula yang legit
“inilah hidupku, cucuklah selalu, usung dalam petualanganmu”
pipit di jendela, selalu tinggalkan jejak
pada korden ungu api
aku dengar gema takbir dari surau
aku dengar gema takbir dari surau
gigil angin mengiris sepi jantung
dermaga itu begitu jauh
kapal lama kembali pulang
angin laut terjebak beliung karang
berpusing di bawah langit kelabu
tak ada tempat singgah
garam dan cuaca rebah pada jiwa
koyak tanpa jahitan
o, betapa agung dan sekaligus fana ini bumi
pada ombak dilepaskan gelisah
teredam oleh gemuruh malam
pedro, 120 menit kutelusuri jejak lalu
/1/
kamu tahu, aku kemana sesubuh ini
dirajam ruang bawah sadar
membelah pagi samar
jalan dan persimpangan
jembatan, sawah dan ladang-ladang
berebut menghuni retina
temani ayun gelisah
roda berpusing, menemu tapak lalu
menuju pulau seberang
bilik senyap yang absurd
/2/
dingin menombak tulang
jalanan jauh dari hingar
tambah sepi
sebutir kerikil tak bisa menepi
/3/
pedro, aku berputar-putar pada ruang hampa
segalanya suwung, tanpa angin
tanpa cuaca
tidakkah ada waktu untuk pulang
melukis percumbuan di dinding
putik dan benang sari
langit tanpa mega-mega
tanpa pula gerimis
kapan kucecap beku embun
pedro, aku melayang
namun bukan terbang
sayapku patah
sejak semalam
/4/
sungguh ini perjalanan berdua
namun, aku cuma sendiri
asing…
suatu hari dalam sebuah tempurung
/1/
tak ada jendela, tak pula pintu
kabut mendinding menulang ngilu
cuma tembok mengubur gelisah
menjadi sungai beku
oh, jeruji besi seinci dari tubuh
tegak berdiri tak tersentuh
/2/
pemburu itu rubuh dalam tualang
hanya kompas di jantung menemu jejak kekasih
lunglai di tepi kali
pada angin ia berpesan
jalan peta yang kabur oleh hujan
kota-kota ditandai dengan belati
di simpang jalan terkulai
bukit itu
tak sampai-sampai
/3/
segalanya gulita
kotak pandora
tanpa peta
kalender tak juga terbaca
ia hanya menduga
jejak kemarin yang ada
thalia, hanya matamu
bercahaya
pipit di jendela
pipit di jendela, entah datang dari mana
cuma langit mengirimkan kepak
sayap memerah oleh matahari
pipit di jendela, tak pernah menyisakan cericitnya
matanya capek menghitung jejak awan
tubuhnya koyak terpukul palu waktu
“aku ingin istirah dari perjalanan panjang ini”
paruhnya tak terbuka, retinanya bicara
telaga yang keruh oleh kecipak kepiting
lalu kutebarkan remah-remah roti dari oven abadi
adonan jantung dan hati, ditaburi gelugut gula yang legit
“inilah hidupku, cucuklah selalu, usung dalam petualanganmu”
pipit di jendela, selalu tinggalkan jejak
pada korden ungu api
aku dengar gema takbir dari surau
aku dengar gema takbir dari surau
gigil angin mengiris sepi jantung
dermaga itu begitu jauh
kapal lama kembali pulang
angin laut terjebak beliung karang
berpusing di bawah langit kelabu
tak ada tempat singgah
garam dan cuaca rebah pada jiwa
koyak tanpa jahitan
o, betapa agung dan sekaligus fana ini bumi
pada ombak dilepaskan gelisah
teredam oleh gemuruh malam
pedro, 120 menit kutelusuri jejak lalu
/1/
kamu tahu, aku kemana sesubuh ini
dirajam ruang bawah sadar
membelah pagi samar
jalan dan persimpangan
jembatan, sawah dan ladang-ladang
berebut menghuni retina
temani ayun gelisah
roda berpusing, menemu tapak lalu
menuju pulau seberang
bilik senyap yang absurd
/2/
dingin menombak tulang
jalanan jauh dari hingar
tambah sepi
sebutir kerikil tak bisa menepi
/3/
pedro, aku berputar-putar pada ruang hampa
segalanya suwung, tanpa angin
tanpa cuaca
tidakkah ada waktu untuk pulang
melukis percumbuan di dinding
putik dan benang sari
langit tanpa mega-mega
tanpa pula gerimis
kapan kucecap beku embun
pedro, aku melayang
namun bukan terbang
sayapku patah
sejak semalam
/4/
sungguh ini perjalanan berdua
namun, aku cuma sendiri
asing…
suatu hari dalam sebuah tempurung
/1/
tak ada jendela, tak pula pintu
kabut mendinding menulang ngilu
cuma tembok mengubur gelisah
menjadi sungai beku
oh, jeruji besi seinci dari tubuh
tegak berdiri tak tersentuh
/2/
pemburu itu rubuh dalam tualang
hanya kompas di jantung menemu jejak kekasih
lunglai di tepi kali
pada angin ia berpesan
jalan peta yang kabur oleh hujan
kota-kota ditandai dengan belati
di simpang jalan terkulai
bukit itu
tak sampai-sampai
/3/
segalanya gulita
kotak pandora
tanpa peta
kalender tak juga terbaca
ia hanya menduga
jejak kemarin yang ada
thalia, hanya matamu
bercahaya
Sajak-Sajak Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/
Mengeja Detik
malam gelap memintal bulan
tubuh-tubuh kecil tidur lelap
tapi mata tua melompat
menyeret air mata. di bilik
suara tokek
memanggil-manggil mengeja detik detak duka nestapa
sayup pada pucuk rindu
seorang tua mengutip kata yang tercecer dalam
penantian dua sahabat yang menjemput pada perjalanan panjang
di selasar yang ada di mataku, doa riuh bergemuruh
sejuta cerita sejuta luka
kurasakan dalam geletar jiwa
dalam hening, mata ku katup
o…bersama-Mu
inginku waktu berhenti jua
di sepertiga malam menyonsong subuh
deras air mata membasuh rasa
kabut dan embun rebah
di pucuk kuncup daun-daun hijau
gemuruh suara semakin mendesak menyesak dada
??doaku
di titian embun
1 oktober 2010
Nyanyian Rindu Di Kota Sunyi
Malam kian teluk ombak debur yang keluk
di ceruk diri jiwaku telanjang?? menekuk
Saat kuingat kekasih
ada ketinggian roh dalam sunyinya doa
di sana, dilekat jantung, duriduri tercerabut
menakar tetesan perih pada rentan retak perigi kejujuran
Pada ketelanjangan , jiwa siapakah itu yang berdiri di ujung simpul
melafalkan doa seperti mata pecinta menatap gugur kamboja
luruh dedaun memeluk tanah satu satu: O, cium mihrab-Ku
akan kau temu cahaya diantara dua alis yang bersujud
dengan beribu derit suara mengetuk-ngetuk pintu keabadian
??Aku di sana
di sepanjang jejak-jejak tertinggal
air mata yang saling bersitatap
mengeja baitbait
21 September 2010
Tobat
Terlalu sering mata ini berdusta
Bibir berlafal telinga menuli
Sedang jiwa tanpa malu meminta
Indahnya purnama dan terang mentari
Benarkah seperti itu hakikat mencari…
Mengenal Tuhan berseakan bermain dadu
Sepenuh kehendak sepenuh alpa
Di langit hatiku awan sembahyang
Bergumpal-gumpal putih gemawan
Turun rendah ilalang berliuk
O, sujud doaku tak bertepuk
19 September 2010
Gerimis Mengiris Bulan Menangis
Kaya raya mimpi semalam
Pagi terbangun tiada bersisa
Betapa sarau segala fana
Kenapa tapi terbu(a)i hamba
Subur ajaran jiwa tandus
Mengejar iman membabi buta
Membaca Kalam, namun, batin meniada
Duka sesama tiada diharga
O nyata benar sempitnya akal
Penggembala kecil menoreh luka
Gerimis mengiris di Masjidilaksa
Bulan menangis di atas Katedral
Berjalan atasnamakan kebenaran agama
Tapi majnun diajak penjarakan sang Maha
14 September 2010
Mata Dalam Secangkir Kopi
dua biji mata dalam secangkir kopi. panas. mencari lupa
uap putih membumbung ke atas hilang jauh di alam raya
melewati jeram membawa deram akhirnya jatuh terlepas
di dasar lembah, o, banyak kepak burung patah berharap
takdir menciptakan awan perjumpaan. namun tanpa kawan
?? mimpi berjalan sendiri
dua biji mata yang tertinggal dalam secangkir kopi. pecah
bagaimana bisa tanpa kepak membuat tak tercenung?
Lihat! bulu-bulu sayap yang rontok dicabuti waktu mengikuti air
mengapung arus angin semilir memandang awan siam beriring
ingat senja
11 September 2010
OASIS
Mewujudkan harapan laksana di tengah sahara
terik surya mengaburkan segala pandang
Datang badai debu arah tuju pecah dua cabang
ujung antaranya berupa tanda tanya
Keyakinan yang kuat tak dihantui waktu
apapun sebab di sahara langit tetaplah ada
Seperti kaktus hidup tiada peduli banyaknya tirta
segala duri di tubuh disyukuri selayaknya wahyu
Adakah hidup tanpa arungi derita ?
8 September 2010
Mengenal Luka Mengenal Kekasih
Serumpun luka di kelopak rindu berlari menjeritjerit membelah angin menuruni gunung dan bebukit dikelilingi sungaisungai keinginan kekasih yang hanya berharap suka cita tanpa luka derita sedangkan luka derita itu jalan lurus di kelopak rindu bagi pecinta dan betapa sebenarnya kelopak rindu itu aku yang tak pernah menyerah mencari jalan terang keabadian hingga kekasih yang tiada lain dari ketinggian gunung dan bebukit keakuanku mengerti segala sesuatu terbatas dan batas itu hak misteri penciptaan.
4.9.2010
Mengeja Detik
malam gelap memintal bulan
tubuh-tubuh kecil tidur lelap
tapi mata tua melompat
menyeret air mata. di bilik
suara tokek
memanggil-manggil mengeja detik detak duka nestapa
sayup pada pucuk rindu
seorang tua mengutip kata yang tercecer dalam
penantian dua sahabat yang menjemput pada perjalanan panjang
di selasar yang ada di mataku, doa riuh bergemuruh
sejuta cerita sejuta luka
kurasakan dalam geletar jiwa
dalam hening, mata ku katup
o…bersama-Mu
inginku waktu berhenti jua
di sepertiga malam menyonsong subuh
deras air mata membasuh rasa
kabut dan embun rebah
di pucuk kuncup daun-daun hijau
gemuruh suara semakin mendesak menyesak dada
??doaku
di titian embun
1 oktober 2010
Nyanyian Rindu Di Kota Sunyi
Malam kian teluk ombak debur yang keluk
di ceruk diri jiwaku telanjang?? menekuk
Saat kuingat kekasih
ada ketinggian roh dalam sunyinya doa
di sana, dilekat jantung, duriduri tercerabut
menakar tetesan perih pada rentan retak perigi kejujuran
Pada ketelanjangan , jiwa siapakah itu yang berdiri di ujung simpul
melafalkan doa seperti mata pecinta menatap gugur kamboja
luruh dedaun memeluk tanah satu satu: O, cium mihrab-Ku
akan kau temu cahaya diantara dua alis yang bersujud
dengan beribu derit suara mengetuk-ngetuk pintu keabadian
??Aku di sana
di sepanjang jejak-jejak tertinggal
air mata yang saling bersitatap
mengeja baitbait
21 September 2010
Tobat
Terlalu sering mata ini berdusta
Bibir berlafal telinga menuli
Sedang jiwa tanpa malu meminta
Indahnya purnama dan terang mentari
Benarkah seperti itu hakikat mencari…
Mengenal Tuhan berseakan bermain dadu
Sepenuh kehendak sepenuh alpa
Di langit hatiku awan sembahyang
Bergumpal-gumpal putih gemawan
Turun rendah ilalang berliuk
O, sujud doaku tak bertepuk
19 September 2010
Gerimis Mengiris Bulan Menangis
Kaya raya mimpi semalam
Pagi terbangun tiada bersisa
Betapa sarau segala fana
Kenapa tapi terbu(a)i hamba
Subur ajaran jiwa tandus
Mengejar iman membabi buta
Membaca Kalam, namun, batin meniada
Duka sesama tiada diharga
O nyata benar sempitnya akal
Penggembala kecil menoreh luka
Gerimis mengiris di Masjidilaksa
Bulan menangis di atas Katedral
Berjalan atasnamakan kebenaran agama
Tapi majnun diajak penjarakan sang Maha
14 September 2010
Mata Dalam Secangkir Kopi
dua biji mata dalam secangkir kopi. panas. mencari lupa
uap putih membumbung ke atas hilang jauh di alam raya
melewati jeram membawa deram akhirnya jatuh terlepas
di dasar lembah, o, banyak kepak burung patah berharap
takdir menciptakan awan perjumpaan. namun tanpa kawan
?? mimpi berjalan sendiri
dua biji mata yang tertinggal dalam secangkir kopi. pecah
bagaimana bisa tanpa kepak membuat tak tercenung?
Lihat! bulu-bulu sayap yang rontok dicabuti waktu mengikuti air
mengapung arus angin semilir memandang awan siam beriring
ingat senja
11 September 2010
OASIS
Mewujudkan harapan laksana di tengah sahara
terik surya mengaburkan segala pandang
Datang badai debu arah tuju pecah dua cabang
ujung antaranya berupa tanda tanya
Keyakinan yang kuat tak dihantui waktu
apapun sebab di sahara langit tetaplah ada
Seperti kaktus hidup tiada peduli banyaknya tirta
segala duri di tubuh disyukuri selayaknya wahyu
Adakah hidup tanpa arungi derita ?
8 September 2010
Mengenal Luka Mengenal Kekasih
Serumpun luka di kelopak rindu berlari menjeritjerit membelah angin menuruni gunung dan bebukit dikelilingi sungaisungai keinginan kekasih yang hanya berharap suka cita tanpa luka derita sedangkan luka derita itu jalan lurus di kelopak rindu bagi pecinta dan betapa sebenarnya kelopak rindu itu aku yang tak pernah menyerah mencari jalan terang keabadian hingga kekasih yang tiada lain dari ketinggian gunung dan bebukit keakuanku mengerti segala sesuatu terbatas dan batas itu hak misteri penciptaan.
4.9.2010
Sajak-Sajak Fitri Yani
http://www.lampungpost.com/
Makhluk Ular
“Saat malam tengah purnama kerap kudengar desis, mendekat-menjauh, seperti ajakan ke surga. Di manakah kau bersarang?”
Hitam-putih yang senantiasa sejahtera di kebun kepala, yang memberimu buah-buah ranum, serta tafsir-tafsir lain dari kerimbunan metafor lelarik puisi adalah wujud lain dari sehimpun dosa dan pahala, yang jika kau cermati itulah wujudku. Bersarang di segumpal benda lunak, beranak-pinak, melahirkan generasi-generasi yang belajar menyusup ke benak khusuk para pendoa dan pendosa. Melingkar-lingkar di pagar kebun kepala, membangun sarang lain, mengeluarkan bisa umpama buih-buih mata air dari balik puisi, dan puisi adalah percakapan sehari-hari para dewa, kelakar kaum lelaki yang terusir dari kota, dari meriah warna.
Di tubuhku, mengalir air suci para dewa. Pesona dari hangat dan dingin yang amat kau kenal. Di malam yang kau kira purnama itu kujulurkan lidah, seperti membentangkan jalan di sebuah kota. Lalu kau bermimpi berjalan di situ dan mendengar desisku, mahluk ular. Bangunlah! Aku kini berada di kedua bening matamu. Akan kutunjukkan padamu sebuah telaga yang tertimpa cahaya purnama, riaknya seperti sisik-sisikku yang berganti-ganti warna. Dan kau akan melihatku sebagai wujudmu sendiri.
Desember 2008
Musim Panen
batang-batang padi bergoyangan:
bila salah satu merunduk
gemetarlah pula yang lainnya
2010
Lelaki kepada Kekasihnya
cintaku padamu:
rumah perak di tengah belantara
tamannya adalah kata-kata yang kuambil dari hatimu.
2010
Melankolia Perjumpaan
aku ingin mengenangmu
“kenanglah,
kau hanya mengingat
sunyi sebuah puisi.”
20 tahun dadaku kemarau
dan di malam itu
kau datang menawarkan hujan
hingga langit menjadi hijau
dan aku merasa lega
melewati padang arafah
(dialah daratan yang muncul
dari kristal-kristal matahari)
di malam itu pula
kusuguhkan seloki anggur
yang belum pernah sampai kepadamu
maka reguklah, kekasih!
rasakan gelora itu singgah ke dadamu
sehingga nostalgia yang tersimpan
menjadi guguran daun yang ingin
mengabarkan kesementaraan
aku akan senantiasa mengenangmu
seperti ingatan sepasang ramaja
akan senja yang tergesa
seperti decak kagum para pengelana
ketika menatap cakrawala
kau mungkin terjaga sepanjang malam
sambil sesekali bergetar dalam suka cita
istirahatlah!
jiwa yang terpukau dalam pesona
zikirkan masa depan yang gemilang
aku akan menjadi kebun
yang telah mencintai kedatanganmu
dengan ribuan cuaca dan beragam bunga
Oktober 2009
——
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Alumnus FKIP Universitas Lampung. Mendapat penghargaan sebagai lima terbaik cipta puisi Radar Bali Literary Award 2009. Buku puisinya: Dermaga Tak Bernama (2010).
Makhluk Ular
“Saat malam tengah purnama kerap kudengar desis, mendekat-menjauh, seperti ajakan ke surga. Di manakah kau bersarang?”
Hitam-putih yang senantiasa sejahtera di kebun kepala, yang memberimu buah-buah ranum, serta tafsir-tafsir lain dari kerimbunan metafor lelarik puisi adalah wujud lain dari sehimpun dosa dan pahala, yang jika kau cermati itulah wujudku. Bersarang di segumpal benda lunak, beranak-pinak, melahirkan generasi-generasi yang belajar menyusup ke benak khusuk para pendoa dan pendosa. Melingkar-lingkar di pagar kebun kepala, membangun sarang lain, mengeluarkan bisa umpama buih-buih mata air dari balik puisi, dan puisi adalah percakapan sehari-hari para dewa, kelakar kaum lelaki yang terusir dari kota, dari meriah warna.
Di tubuhku, mengalir air suci para dewa. Pesona dari hangat dan dingin yang amat kau kenal. Di malam yang kau kira purnama itu kujulurkan lidah, seperti membentangkan jalan di sebuah kota. Lalu kau bermimpi berjalan di situ dan mendengar desisku, mahluk ular. Bangunlah! Aku kini berada di kedua bening matamu. Akan kutunjukkan padamu sebuah telaga yang tertimpa cahaya purnama, riaknya seperti sisik-sisikku yang berganti-ganti warna. Dan kau akan melihatku sebagai wujudmu sendiri.
Desember 2008
Musim Panen
batang-batang padi bergoyangan:
bila salah satu merunduk
gemetarlah pula yang lainnya
2010
Lelaki kepada Kekasihnya
cintaku padamu:
rumah perak di tengah belantara
tamannya adalah kata-kata yang kuambil dari hatimu.
2010
Melankolia Perjumpaan
aku ingin mengenangmu
“kenanglah,
kau hanya mengingat
sunyi sebuah puisi.”
20 tahun dadaku kemarau
dan di malam itu
kau datang menawarkan hujan
hingga langit menjadi hijau
dan aku merasa lega
melewati padang arafah
(dialah daratan yang muncul
dari kristal-kristal matahari)
di malam itu pula
kusuguhkan seloki anggur
yang belum pernah sampai kepadamu
maka reguklah, kekasih!
rasakan gelora itu singgah ke dadamu
sehingga nostalgia yang tersimpan
menjadi guguran daun yang ingin
mengabarkan kesementaraan
aku akan senantiasa mengenangmu
seperti ingatan sepasang ramaja
akan senja yang tergesa
seperti decak kagum para pengelana
ketika menatap cakrawala
kau mungkin terjaga sepanjang malam
sambil sesekali bergetar dalam suka cita
istirahatlah!
jiwa yang terpukau dalam pesona
zikirkan masa depan yang gemilang
aku akan menjadi kebun
yang telah mencintai kedatanganmu
dengan ribuan cuaca dan beragam bunga
Oktober 2009
——
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Alumnus FKIP Universitas Lampung. Mendapat penghargaan sebagai lima terbaik cipta puisi Radar Bali Literary Award 2009. Buku puisinya: Dermaga Tak Bernama (2010).
Sajak-Sajak Leonowens SP
http://www.infoanda.com/Republika
PENARI-PENARI SENJA
“Penari-penari senja!” Seorang peracik
rempah menyebut itu, ketika suatu senja berapi,
sekumpul perawan bersolek emas, mengalung intan
berdaging salju di kepalanya. Ramah senyum menghias
pemahat-pemahat hati yang mengalir di lembah air mata bara
dengan tarian penyengat asa. Peracik
rempah itu memandang damai perawan-perawan
yang menari lembutkan kesah, datang
di setiap senja berkalang api. “Penari-penari senja,
rengkuhlah nodaku sebelum binasa,” gumamnya dingin.
PENANTI KARMA
Di suatu lubuk embun pagi
seorang renta bertopi rajutan lalang
kering, menyerpih pandang di kubur sang
cintanya. Setelah malapetaka merenggut nafas
tak lekang kelembutan — dua puluh tahun
silam. Sesekali menghentak pandang
di atas awan bertaji kehitaman.
Awan-awan yang tak lama lagi mengusir
tubuh embun dengan derai umpatannya untuk
sang mayapada. Ia hendak menanti warna
karma saat ini: mendulang jiwanya.
PEMUNGUT SERAPAH
Kepak pemungut serapah berkelana mengintai
akar-akar pendoa. Terbang sejauh nurani memukul
ufuk harapan. “Ikutlah denganku! Oh, sebaran
biji-biji ketulusan.” Suaranya kian parau diterjang
prasi pengunyah jilid-jilid kemunafikan milik
sang penyuci. Di pembaringan, pemungut serapah
menanti keadilan selepas cakarnya menguras
tanah pengasah pedang. Mengurung awan impian,
selagi penyebut mantra menancapkan barisan
doa yang jauh dari lembah rembulan. “Semuanya
penguras hartawi,” hujatnya mengiris terang.
SILUET KEHIDUPAN
Sesekali terik menusuk liang-liang awan
di kepala pegunungan batu. Bayang danau membiru,
tatkala langit memanjatkan angkuh sang
warna. Sujud dedaunan menggali
ayat-ayat bumi, tentang kehadiran dan
kemusnahan. Mungkin pada ajalnya, gelap itu bukan
lagi mengingat namanya, demikianlah
terang. Oh, sang pengukir waktu,
kembalikanlah senandung kehidupan
semasa tandus tak mengurai
durjanya kepada mentari
LELAKI SUNYI
Ada getar jejak menyetubuhi jari-jari malam
Jalan-jalan mengisap sunyi setelah hujan menguliti
sesosok lelaki terpikat dendam. “Bertahanlah
sunyi, bertahanlah.” Lelaki penyimpan
doa, mengebiri nafsu permohonan
hatinya. Kutukan takdir?
Tersungkur oleh cahaya pelarut
kabut, melampir tangis di sudut hening
kota. “Bermainlah sepi, sebelum ajalku menegur!”
Kembali doanya menggenggam jalan.
SURAT MIMPI
Sapa malam berakhir jenuh dan terkulai
di ujung daun tepi waktu. Seorang pemimpi
enggan tinggalkan tidurnya, pada saat mimpinya
mencabik butiran embun di jendela singgah
tepas. Hanya menunggu pasir berwujud
batu oleh tempahan angin. Sungguh liar harap ini
Orang itu setia mengirim lembar surat-surat
kepada langit, sebelum kumpul bintang
mengajak nyenyaknya di kelambu cahaya. Malam
kian membuang sisa-sisa wajahnya setelah ia terbangun menguntit titik-titik hari.
-----------
Leonowens SP dikenal sebagai seorang penulis esai, solilokui dan puisi. Citraan-citraan sajaknya unik, segar dan menarik, serta banyak dipengaruhi oleh simbol-simbol budaya etnis Tionghoa. Sedangkan esei-eseinya banyak mengangkat persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya, dengan pandangan-pandangan yang segar dan visioner. Karya-karya Leonowens banyak dimuat di berbagai media cetak dan elektronik di dalam dan di luar negeri. Beberapa sajaknya juga terhimpun dalam buku antologi puisi Medan Waktu (Laboratorium Sastra Medan, 2007). Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit adalah Penari Senja (Jakarta Publishing House, 2007) — bersama Muhammad Hushairy.
PENARI-PENARI SENJA
“Penari-penari senja!” Seorang peracik
rempah menyebut itu, ketika suatu senja berapi,
sekumpul perawan bersolek emas, mengalung intan
berdaging salju di kepalanya. Ramah senyum menghias
pemahat-pemahat hati yang mengalir di lembah air mata bara
dengan tarian penyengat asa. Peracik
rempah itu memandang damai perawan-perawan
yang menari lembutkan kesah, datang
di setiap senja berkalang api. “Penari-penari senja,
rengkuhlah nodaku sebelum binasa,” gumamnya dingin.
PENANTI KARMA
Di suatu lubuk embun pagi
seorang renta bertopi rajutan lalang
kering, menyerpih pandang di kubur sang
cintanya. Setelah malapetaka merenggut nafas
tak lekang kelembutan — dua puluh tahun
silam. Sesekali menghentak pandang
di atas awan bertaji kehitaman.
Awan-awan yang tak lama lagi mengusir
tubuh embun dengan derai umpatannya untuk
sang mayapada. Ia hendak menanti warna
karma saat ini: mendulang jiwanya.
PEMUNGUT SERAPAH
Kepak pemungut serapah berkelana mengintai
akar-akar pendoa. Terbang sejauh nurani memukul
ufuk harapan. “Ikutlah denganku! Oh, sebaran
biji-biji ketulusan.” Suaranya kian parau diterjang
prasi pengunyah jilid-jilid kemunafikan milik
sang penyuci. Di pembaringan, pemungut serapah
menanti keadilan selepas cakarnya menguras
tanah pengasah pedang. Mengurung awan impian,
selagi penyebut mantra menancapkan barisan
doa yang jauh dari lembah rembulan. “Semuanya
penguras hartawi,” hujatnya mengiris terang.
SILUET KEHIDUPAN
Sesekali terik menusuk liang-liang awan
di kepala pegunungan batu. Bayang danau membiru,
tatkala langit memanjatkan angkuh sang
warna. Sujud dedaunan menggali
ayat-ayat bumi, tentang kehadiran dan
kemusnahan. Mungkin pada ajalnya, gelap itu bukan
lagi mengingat namanya, demikianlah
terang. Oh, sang pengukir waktu,
kembalikanlah senandung kehidupan
semasa tandus tak mengurai
durjanya kepada mentari
LELAKI SUNYI
Ada getar jejak menyetubuhi jari-jari malam
Jalan-jalan mengisap sunyi setelah hujan menguliti
sesosok lelaki terpikat dendam. “Bertahanlah
sunyi, bertahanlah.” Lelaki penyimpan
doa, mengebiri nafsu permohonan
hatinya. Kutukan takdir?
Tersungkur oleh cahaya pelarut
kabut, melampir tangis di sudut hening
kota. “Bermainlah sepi, sebelum ajalku menegur!”
Kembali doanya menggenggam jalan.
SURAT MIMPI
Sapa malam berakhir jenuh dan terkulai
di ujung daun tepi waktu. Seorang pemimpi
enggan tinggalkan tidurnya, pada saat mimpinya
mencabik butiran embun di jendela singgah
tepas. Hanya menunggu pasir berwujud
batu oleh tempahan angin. Sungguh liar harap ini
Orang itu setia mengirim lembar surat-surat
kepada langit, sebelum kumpul bintang
mengajak nyenyaknya di kelambu cahaya. Malam
kian membuang sisa-sisa wajahnya setelah ia terbangun menguntit titik-titik hari.
-----------
Leonowens SP dikenal sebagai seorang penulis esai, solilokui dan puisi. Citraan-citraan sajaknya unik, segar dan menarik, serta banyak dipengaruhi oleh simbol-simbol budaya etnis Tionghoa. Sedangkan esei-eseinya banyak mengangkat persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya, dengan pandangan-pandangan yang segar dan visioner. Karya-karya Leonowens banyak dimuat di berbagai media cetak dan elektronik di dalam dan di luar negeri. Beberapa sajaknya juga terhimpun dalam buku antologi puisi Medan Waktu (Laboratorium Sastra Medan, 2007). Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit adalah Penari Senja (Jakarta Publishing House, 2007) — bersama Muhammad Hushairy.
Sajak-Sajak Sutan Iwan Soekri Munaf
sinarharapan.co.id
Tentang Banda Aceh
Begitu waktu memaku dalam berita panjang
tak ada lagi bekas sepi yang tertinggal
selain rindu pada pantai yang lengang
Di sini ada seribu kisah terdedah. Dan seribu bayang
dari yang menangkap detik dan jam ke ujung tanggal
Tentang Banda Aceh
Begitu waktu memaku dalam berita panjang
tak ada lagi bekas sepi yang tertinggal
selain rindu pada pantai yang lengang
Di sini ada seribu kisah terdedah. Dan seribu bayang
dari yang menangkap detik dan jam ke ujung tanggal
Sajak-Sajak Suyadi San
http://www.lampungpost.com/
Masih Melayukah Aku/1
:kepada sang raja, guruku
masih Melayukah aku
tanganku mengepal-ngepal remah
tanah merah terapit tiang
nisan yang terbalut kain putih
terukir di sana nama sang datuk
yang meretas jejak Melayu
tanah semua negeri
kaulah itu, guru
peletak dasar kemelayuan
dan, masih melayukah aku
ketika titisan bening meraut dinding-dinding kealpaan
meranggasi berbagai kecemasan
di hadapanmu, guru
kukulum jejakmu dan akan kujadikan wasiat
untuk anak-anak negeri
kaulah itu
tanjungpinang, 2008—2010
Masih Melayukah Aku/2
:meretas duli kakimu
Apabila banyak berkata-kata
di situlah jalan masuk dusta
Menjejaki kaki di kompleks Yangdipertuan Muda aku tunduk di pusaramu. Boeing 747 yang membawaku ke sana. Namamu pun tertambat di pikiranku. Apalagi jika mengingat duli paduka Raja Haji Fisabilillah. Kami berdua belas pun tergetar. Meski tak bisa mengimbangi gurindammu, Guru! Tapi Pulau Penyengat menjadi sandaran untuk melepas dahagaku. Konon pula pulau mungil di muara sungai Riau itu sudah lama dikenal para pelaut sejak berabad-abad lalu. Tak tahulah aku ikut tersengat lebah gurindammu. Pompong itulah yang menyeberangi selatmu. Di pulau itu pula aku bertanya, masih melayukah aku? Di hadapanmu aku pun bagai pasir, yang mengeja kata-kata, dan meruyak ke sejarahmu. Ufh! Nafasku tersengal, lidahku terjulur menyimak ayat-ayat suci lusuh yang terbuhul di depan masjidmu. Aku pun bergumul dalam sajadahmu, menyuruk lantai Yang Dipertuan Muda VII. Ai ai, konon putih telur campur kapur yang bisa mendirikanmu. Jiwaku makin tergemap, namamu terpatri di antara makam raja-raja. Semoga saja engkau pun tak tersengat pembangkit listrik di Pulau Penyengat itu. Adalah Engku Puteri yang menyiangi Pulau Penyengat, sebagai penanda mahar Sang Raja. Gurindammu pun terpatri di dinding-dinding istirah Sang Engku. Belum lagi kubaca, Raja Fisabilillah, tokoh dan pahlawan Melayu terkemuka, pangeran Suta di Jambi, menaklukkan dan menjadi penguasa Inderagiri. Sang raja pun tewas di medan laga, ketika mempertahankan Teluk Ketapang dari serbuan penjajah. Itulah kotamu, Tanjungpinang, kota beribu pahlawan dan nayaga. Dan aku pun tercekat ketika Bobby minta maaf di panggung puisi, Leak menari-nari bogambola, Herfanda minta izin untuk mabuk, Zamzam mengumbar berbagai cara menipu, dan aku sendiri menari-nari dengan tortor Horas, Bah. Alamak, aku tersungkur dengan kata-katamu.
Apabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang
tanjungpinang, 2008-2010
Masih Melayukah Aku /3
:penahbis kata
petak sawah
hijau menghampar
di sudut Podomoro
seperti di alam dongeng-dongeng
kisah-kisah
babad tanah leluhur
: akan kutulis jadi puisi, Pringsewu! teriakmu.
alahai! sempat pula kita rasakan kuda-kuda mesin berbaris melata di badan jalanan. Dorong! kataku. Kau pun menebis gundahku.
: 75 ribu, tidak boleh lebih. amang oi, kejamnya! tapi, ah, untung saja kita tidak bernanti sampai berjerigen-jerigen curah keluh. seharian itu kita tapaki kota bandar ini, tanpa letih. cuma, tak sesenarai Pringsewu. senyumku mengambang berjuta-juta.
pringsewu, 2008-2010
Sudah Kubilang Aku Tak Ingin Bercakap-cakap lagi
Sudah kubilang aku tak ingin bercakap-cakap lagi dengan angin ketika kita bertatap-tatap muka. jangan lagi kita bersintuh-sintuh dan cerita, karena itu akan mengoyak-ngoyak kembali mimpiku yang hilang
Sudah kubilang kita tak usah lagi bercakap-cakap. habis sudah mimpi-mimpiku yang kemarin, tergores menjadi nanah dan tumpah berserakan di atas lantai. aku ingin meninggalkan duniamu yang telah merobek-robek lautku
Bulanku sudah hilang,
dan bertaburan di muka bumi
sudah kuhilangkan bulan
bulan tak ingin kuajak bercakap
dan laut tak mau perlihatkan gemiriciknya
Sudah kubilang tak usah lagi kita bercakap-cakap karena hanya lagu musim gugur lalu yang terdengar
sekip, 2010
Merekahlah, Bunga
merekahlah, jadikan daunmu penyejuk iman
urai menjadi benang-benang tayangpandang
menggerus kesyahduan ilaihi
merekahlah sebelum daunmu luruh
merekahlah sebelum putikmu layu
harumi semerbak bumi
bersama bintang dan matahari.
maka, merekahlah bunga-bunga di taman jiwa
ketika kidung pujapuji diasmatkan
percut sei tuan, 2008
———-
Suyadi San, lahir di Medan, 29 September 1970. Pernah menjadi redaktur budaya harian Mimbar Umum, kini staf teknis Balai Bahasa Medan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia sembari melatih dan mengajar sastra, teater, dan jurnalistik di program studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sumatera Utara, dan SMK Negeri 1 Percut Sei Tuan Deliserdang. Sejumlah karya puisi, cerpen, esai, dan naskah dramanya serta menjadi editor di dalam buku-buku antologi.
Masih Melayukah Aku/1
:kepada sang raja, guruku
masih Melayukah aku
tanganku mengepal-ngepal remah
tanah merah terapit tiang
nisan yang terbalut kain putih
terukir di sana nama sang datuk
yang meretas jejak Melayu
tanah semua negeri
kaulah itu, guru
peletak dasar kemelayuan
dan, masih melayukah aku
ketika titisan bening meraut dinding-dinding kealpaan
meranggasi berbagai kecemasan
di hadapanmu, guru
kukulum jejakmu dan akan kujadikan wasiat
untuk anak-anak negeri
kaulah itu
tanjungpinang, 2008—2010
Masih Melayukah Aku/2
:meretas duli kakimu
Apabila banyak berkata-kata
di situlah jalan masuk dusta
Menjejaki kaki di kompleks Yangdipertuan Muda aku tunduk di pusaramu. Boeing 747 yang membawaku ke sana. Namamu pun tertambat di pikiranku. Apalagi jika mengingat duli paduka Raja Haji Fisabilillah. Kami berdua belas pun tergetar. Meski tak bisa mengimbangi gurindammu, Guru! Tapi Pulau Penyengat menjadi sandaran untuk melepas dahagaku. Konon pula pulau mungil di muara sungai Riau itu sudah lama dikenal para pelaut sejak berabad-abad lalu. Tak tahulah aku ikut tersengat lebah gurindammu. Pompong itulah yang menyeberangi selatmu. Di pulau itu pula aku bertanya, masih melayukah aku? Di hadapanmu aku pun bagai pasir, yang mengeja kata-kata, dan meruyak ke sejarahmu. Ufh! Nafasku tersengal, lidahku terjulur menyimak ayat-ayat suci lusuh yang terbuhul di depan masjidmu. Aku pun bergumul dalam sajadahmu, menyuruk lantai Yang Dipertuan Muda VII. Ai ai, konon putih telur campur kapur yang bisa mendirikanmu. Jiwaku makin tergemap, namamu terpatri di antara makam raja-raja. Semoga saja engkau pun tak tersengat pembangkit listrik di Pulau Penyengat itu. Adalah Engku Puteri yang menyiangi Pulau Penyengat, sebagai penanda mahar Sang Raja. Gurindammu pun terpatri di dinding-dinding istirah Sang Engku. Belum lagi kubaca, Raja Fisabilillah, tokoh dan pahlawan Melayu terkemuka, pangeran Suta di Jambi, menaklukkan dan menjadi penguasa Inderagiri. Sang raja pun tewas di medan laga, ketika mempertahankan Teluk Ketapang dari serbuan penjajah. Itulah kotamu, Tanjungpinang, kota beribu pahlawan dan nayaga. Dan aku pun tercekat ketika Bobby minta maaf di panggung puisi, Leak menari-nari bogambola, Herfanda minta izin untuk mabuk, Zamzam mengumbar berbagai cara menipu, dan aku sendiri menari-nari dengan tortor Horas, Bah. Alamak, aku tersungkur dengan kata-katamu.
Apabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang
tanjungpinang, 2008-2010
Masih Melayukah Aku /3
:penahbis kata
petak sawah
hijau menghampar
di sudut Podomoro
seperti di alam dongeng-dongeng
kisah-kisah
babad tanah leluhur
: akan kutulis jadi puisi, Pringsewu! teriakmu.
alahai! sempat pula kita rasakan kuda-kuda mesin berbaris melata di badan jalanan. Dorong! kataku. Kau pun menebis gundahku.
: 75 ribu, tidak boleh lebih. amang oi, kejamnya! tapi, ah, untung saja kita tidak bernanti sampai berjerigen-jerigen curah keluh. seharian itu kita tapaki kota bandar ini, tanpa letih. cuma, tak sesenarai Pringsewu. senyumku mengambang berjuta-juta.
pringsewu, 2008-2010
Sudah Kubilang Aku Tak Ingin Bercakap-cakap lagi
Sudah kubilang aku tak ingin bercakap-cakap lagi dengan angin ketika kita bertatap-tatap muka. jangan lagi kita bersintuh-sintuh dan cerita, karena itu akan mengoyak-ngoyak kembali mimpiku yang hilang
Sudah kubilang kita tak usah lagi bercakap-cakap. habis sudah mimpi-mimpiku yang kemarin, tergores menjadi nanah dan tumpah berserakan di atas lantai. aku ingin meninggalkan duniamu yang telah merobek-robek lautku
Bulanku sudah hilang,
dan bertaburan di muka bumi
sudah kuhilangkan bulan
bulan tak ingin kuajak bercakap
dan laut tak mau perlihatkan gemiriciknya
Sudah kubilang tak usah lagi kita bercakap-cakap karena hanya lagu musim gugur lalu yang terdengar
sekip, 2010
Merekahlah, Bunga
merekahlah, jadikan daunmu penyejuk iman
urai menjadi benang-benang tayangpandang
menggerus kesyahduan ilaihi
merekahlah sebelum daunmu luruh
merekahlah sebelum putikmu layu
harumi semerbak bumi
bersama bintang dan matahari.
maka, merekahlah bunga-bunga di taman jiwa
ketika kidung pujapuji diasmatkan
percut sei tuan, 2008
———-
Suyadi San, lahir di Medan, 29 September 1970. Pernah menjadi redaktur budaya harian Mimbar Umum, kini staf teknis Balai Bahasa Medan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia sembari melatih dan mengajar sastra, teater, dan jurnalistik di program studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sumatera Utara, dan SMK Negeri 1 Percut Sei Tuan Deliserdang. Sejumlah karya puisi, cerpen, esai, dan naskah dramanya serta menjadi editor di dalam buku-buku antologi.
Sajak-Sajak Misbahus Surur
http://www.lampungpost.com/
Asinmu Lautan
kubawakan segenggam asin saat kau pinta putih
sebab garam tak pernah beku dalam matamu
tapi kau terlalu laut cintaku,
memilih menjajar batu karang di pinggir samudera itu
berharap kokoh dan sekuat ombak yang menerjangmu kelak
betapa riang hamparan pasir di laut sini, tak menampik
gelombang sehempasan pun riak sepercikan
bentang hari berucap lirih pada sampan:
mengapa karang mendidih di saat laut pasang?
di sini, hujan baru sesiraman, gelap seteduh penglihatan
pagi sudah tinggal senja. malam terang bersisa. dan,
lautmu kuning tak lagi biru seperti langit biru
”adakah di sana matahari pagi terendam asin
seperti remuk redam ombak di sini?”
Malang, Mei 2010
rindu itu, rindumu
rindu itu rindumu, begitu bisikan angin, senja ini, padaku
seperti rindu tanpa tujuan, kau menulis segala pesan
alangkah jauh impian, meniti laman-laman kitab tak bertepi
kau pun lunglai dibuai ci(n)ta
bak penyair tua yang bimbang kehilangan kata
berharap yang tertatah di tanah ini, dulu,
masih sanggup menjelma titah
yang tak lagi dilarikan anai-anai
di musim ini kita belajar menghapal dingin
dengan bekal kisik merdu nubuat ranting
bersiap menyambut migrasi musim semi
meski daun dan bungamu mulai berguguran
dan sulur akarmu bergontaian
Mufasir Air
tak ada yang sungguh-sungguh terdefinisi sebagai cair
tidak juga bagi air
pula udara
dan angin sore
bukan air dari bapak ibumu yang memadatkan tubuhmu
tidak pula yang memekarkan tubuh para ibu saat mengandungmu
apalagi air tanah yang kelak melarutkan jisimmu
semua telah direbut padat, diam memaku pada pekat
kita mengeja gemericik saat air dihembus angin
lalu, makhluk-makhluk ramai menunggu, mencuri dengar
menghimpun suara dunia pada desiran angin
menampung suara-suara dalam ceruk telinga
meski air lalu meredam baranya
sungguh, kau ada, untuk menampung yang sisa
dari gesekan daunan, muai tanah dan gemulai air
bukankah akuarium pikiranmu
dan ikan-ikan selalu anganmu
Malang, 2010
Dari Udara Menjadi Telinga
tidakkah jeda waktu bisa menumbuk bahasa
bisik daun meramu pohon, merambatkan akar-akar
liar tumbuhan memanen bunga pada kebun mimpi
“dari sapa mendesis kata-kata”
sapa pohon pada angin dan sebaliknya
manusia tiba memahfudz bunyi
mengutip sepersekian persen dialog-dialog alam
sejak itu, kita semua tahu,
rahasia alam lamat-lamat jatuh ke dada manusia
Dari Sudut Sebuah Pertengkaran
aku usahakan memahami sepenggal pertengkaran itu
dan, aku rasa tak mampu mengerti sebelum sebingkai cermin
kau masukkan dalam rongga mataku, lalu mencocoknya
biar lebih dalam kurekam peristiwa amuk sederhana
dari sudut yang memantul dari ketakmengertian kalian berdua
sudah kuusahakan menenggelamkan waktu pada gigil alunan
pada digit yang berdetak dari sisa aku
yang tertinggal di gagang waktu
me-review peristiwa itu, sebelum detik ini
:kau bertengkar kembali
tapi waktu tak pernah karam dalam reply
telah kupaksa ia luluh dalam slow motion
nyatanya tetap ngambang,
tunak saja di permukaan
Malang, Mei 2010
————
Misbahus Surur, lahir di Trenggalek, 20 Desember 1983. Merampungkan kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Humaniora dan Budaya, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang (2007). Kini meneruskan studi pascasarjana di kampus yang sama.
Asinmu Lautan
kubawakan segenggam asin saat kau pinta putih
sebab garam tak pernah beku dalam matamu
tapi kau terlalu laut cintaku,
memilih menjajar batu karang di pinggir samudera itu
berharap kokoh dan sekuat ombak yang menerjangmu kelak
betapa riang hamparan pasir di laut sini, tak menampik
gelombang sehempasan pun riak sepercikan
bentang hari berucap lirih pada sampan:
mengapa karang mendidih di saat laut pasang?
di sini, hujan baru sesiraman, gelap seteduh penglihatan
pagi sudah tinggal senja. malam terang bersisa. dan,
lautmu kuning tak lagi biru seperti langit biru
”adakah di sana matahari pagi terendam asin
seperti remuk redam ombak di sini?”
Malang, Mei 2010
rindu itu, rindumu
rindu itu rindumu, begitu bisikan angin, senja ini, padaku
seperti rindu tanpa tujuan, kau menulis segala pesan
alangkah jauh impian, meniti laman-laman kitab tak bertepi
kau pun lunglai dibuai ci(n)ta
bak penyair tua yang bimbang kehilangan kata
berharap yang tertatah di tanah ini, dulu,
masih sanggup menjelma titah
yang tak lagi dilarikan anai-anai
di musim ini kita belajar menghapal dingin
dengan bekal kisik merdu nubuat ranting
bersiap menyambut migrasi musim semi
meski daun dan bungamu mulai berguguran
dan sulur akarmu bergontaian
Mufasir Air
tak ada yang sungguh-sungguh terdefinisi sebagai cair
tidak juga bagi air
pula udara
dan angin sore
bukan air dari bapak ibumu yang memadatkan tubuhmu
tidak pula yang memekarkan tubuh para ibu saat mengandungmu
apalagi air tanah yang kelak melarutkan jisimmu
semua telah direbut padat, diam memaku pada pekat
kita mengeja gemericik saat air dihembus angin
lalu, makhluk-makhluk ramai menunggu, mencuri dengar
menghimpun suara dunia pada desiran angin
menampung suara-suara dalam ceruk telinga
meski air lalu meredam baranya
sungguh, kau ada, untuk menampung yang sisa
dari gesekan daunan, muai tanah dan gemulai air
bukankah akuarium pikiranmu
dan ikan-ikan selalu anganmu
Malang, 2010
Dari Udara Menjadi Telinga
tidakkah jeda waktu bisa menumbuk bahasa
bisik daun meramu pohon, merambatkan akar-akar
liar tumbuhan memanen bunga pada kebun mimpi
“dari sapa mendesis kata-kata”
sapa pohon pada angin dan sebaliknya
manusia tiba memahfudz bunyi
mengutip sepersekian persen dialog-dialog alam
sejak itu, kita semua tahu,
rahasia alam lamat-lamat jatuh ke dada manusia
Dari Sudut Sebuah Pertengkaran
aku usahakan memahami sepenggal pertengkaran itu
dan, aku rasa tak mampu mengerti sebelum sebingkai cermin
kau masukkan dalam rongga mataku, lalu mencocoknya
biar lebih dalam kurekam peristiwa amuk sederhana
dari sudut yang memantul dari ketakmengertian kalian berdua
sudah kuusahakan menenggelamkan waktu pada gigil alunan
pada digit yang berdetak dari sisa aku
yang tertinggal di gagang waktu
me-review peristiwa itu, sebelum detik ini
:kau bertengkar kembali
tapi waktu tak pernah karam dalam reply
telah kupaksa ia luluh dalam slow motion
nyatanya tetap ngambang,
tunak saja di permukaan
Malang, Mei 2010
————
Misbahus Surur, lahir di Trenggalek, 20 Desember 1983. Merampungkan kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Humaniora dan Budaya, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang (2007). Kini meneruskan studi pascasarjana di kampus yang sama.
Sajak-Sajak Tengsoe Tjahjono
http://sastra-indonesia.com/
ulang tahun di wall
52 nyala lilin merambah hutan wall, kecambah pada ladang persemaian
ditiup bersama-sama pada sebuah konser terbuka
tiba-tiba saja ada pesta, peluk-cium kata, gambar-gambar kartun
grafis dengan gambar kepala: sedikit gondrong, redup dan lebam
ada yang menulis: awas, telah berkurang Anda punya usia
aku jawab: tak pernah ada yang berkurang, sebab aku tak pernah tahu berapa tahun jatah usia
siapa tahu hakku hanya 25, lalu cinta memperpanjang sampai kelipatannya
ada yang menulis: semoga awet muda
aku jawab: siapa bisa berdusta pada tempurung musim dan cuaca
lalu terdengar lagu happy birthday pada panggung wall
tanpa lampu, tanpa cahaya
namun sangat bewarna
52 nyala lilin merambah hutan wall, kecambah pada ladang persemaian
ketika senja mengirimkan beranda dan kolam air mancur penuh ganggang dan kecipak ikan
03/10/2010
tak ada yang pantas kucatet
selain waktu
4 x 13
/1/
seorang bayi dari rumah rahim melepaskan perahu kertas melalui pusar bunda
bumi tak seterang kubah plasenta walau matahari selalu memberikan cahaya
perahu tanpa layar diguyur angin timur
menuliskan percik buih pada penampang gelombang
: bumi ternyata labirin petualang
pagi pergi, pagi kembali
debur ombak di wajah
mengkoyak batu karang
/2/
lalu dijahitnya sajak sebelum dibacakan di serambi pertemuan langit dan lautan
burung-burung kutub tak pernah menemukan ranting di jejak cakrawala
sayapnya hangus terbakar cuaca
: hidup adalah perjalanan batu-batu yang menggelinding dari bukit
menyisakan debam pada rawa-rawa
kecipak bunga air catetlah dalam jantung, kirimkan bersama perjalanan darah
ke aorta
/3/
siapa pemenang dalam pertikaian ini, ziarah ini
kata hati atau keinginan diri
seperjuta inci mereka saling memuja sepi
hanya di rawa-rawa ular dan akar-akar
mencoklat di kelam bakau
siap-siap menyorongkan api
ke retinamu
/4/
ini tentu bukan kalender terakhir
kaki langit mengapung di angkasa
menanti ciuman
/5/
kopi selalu menunggu pagi
mengawali jejak yang tak pernah selesai
Malang, 2 Oktober 2010
kopi sore
: herry, pringgo, rodhi
/1/
Ada yang berkunjung ketika sore tinggal menyisakan gelombang kering
peluh memarit di pipi, matahari tergelincir kecemplung kolam penampungan
kita cuma berjalan di pematang menghitung jumlah gelisah atau tanda tanya
mencatatnya di benak dengan arang bekas tungku yang menahun rindu api
“Harus ada yang terbakar, lemak pada pinggul, biola gesek yang melepuhkan nada sunyi.”
/2/
Di meja 4 gelas kopi menebarkan bau sore, asapnya mengepung jantung
kita pun mulai sibuk berhitung
peziarah selalu mencari arah cahaya sebab gelap mengabut di mata, pun di jiwa
kopor-kopor disiapkan sepanjang sore, paspor dan tanda pengenal
sebelum sampai ke rumah abadi
puisi pun ditulis di halte-halte perjalanan seperti embun berkilat sebelum gugur
menguap tanpa jejak
“Mari kita teguk sama-sama kehangatan air hitam sebab dalam gulita kita temukan jendela.”
/3/
Di meja 4 gelas tak lagi punya cahaya. Membeku pada sudut paling senyap
dunia pun dilipat pada perbincangan, disederhanakan jadi kisah padahal hidup sejatinya sejarah
angka-angka berderet di bon dan nota pembelian, kita terselip antara titik dan koma
tak bisa bicara
kopi sore itu
tak pernah memaafkan kita
lidah wetan, 28 Sept 2010
ulang tahun di wall
52 nyala lilin merambah hutan wall, kecambah pada ladang persemaian
ditiup bersama-sama pada sebuah konser terbuka
tiba-tiba saja ada pesta, peluk-cium kata, gambar-gambar kartun
grafis dengan gambar kepala: sedikit gondrong, redup dan lebam
ada yang menulis: awas, telah berkurang Anda punya usia
aku jawab: tak pernah ada yang berkurang, sebab aku tak pernah tahu berapa tahun jatah usia
siapa tahu hakku hanya 25, lalu cinta memperpanjang sampai kelipatannya
ada yang menulis: semoga awet muda
aku jawab: siapa bisa berdusta pada tempurung musim dan cuaca
lalu terdengar lagu happy birthday pada panggung wall
tanpa lampu, tanpa cahaya
namun sangat bewarna
52 nyala lilin merambah hutan wall, kecambah pada ladang persemaian
ketika senja mengirimkan beranda dan kolam air mancur penuh ganggang dan kecipak ikan
03/10/2010
tak ada yang pantas kucatet
selain waktu
4 x 13
/1/
seorang bayi dari rumah rahim melepaskan perahu kertas melalui pusar bunda
bumi tak seterang kubah plasenta walau matahari selalu memberikan cahaya
perahu tanpa layar diguyur angin timur
menuliskan percik buih pada penampang gelombang
: bumi ternyata labirin petualang
pagi pergi, pagi kembali
debur ombak di wajah
mengkoyak batu karang
/2/
lalu dijahitnya sajak sebelum dibacakan di serambi pertemuan langit dan lautan
burung-burung kutub tak pernah menemukan ranting di jejak cakrawala
sayapnya hangus terbakar cuaca
: hidup adalah perjalanan batu-batu yang menggelinding dari bukit
menyisakan debam pada rawa-rawa
kecipak bunga air catetlah dalam jantung, kirimkan bersama perjalanan darah
ke aorta
/3/
siapa pemenang dalam pertikaian ini, ziarah ini
kata hati atau keinginan diri
seperjuta inci mereka saling memuja sepi
hanya di rawa-rawa ular dan akar-akar
mencoklat di kelam bakau
siap-siap menyorongkan api
ke retinamu
/4/
ini tentu bukan kalender terakhir
kaki langit mengapung di angkasa
menanti ciuman
/5/
kopi selalu menunggu pagi
mengawali jejak yang tak pernah selesai
Malang, 2 Oktober 2010
kopi sore
: herry, pringgo, rodhi
/1/
Ada yang berkunjung ketika sore tinggal menyisakan gelombang kering
peluh memarit di pipi, matahari tergelincir kecemplung kolam penampungan
kita cuma berjalan di pematang menghitung jumlah gelisah atau tanda tanya
mencatatnya di benak dengan arang bekas tungku yang menahun rindu api
“Harus ada yang terbakar, lemak pada pinggul, biola gesek yang melepuhkan nada sunyi.”
/2/
Di meja 4 gelas kopi menebarkan bau sore, asapnya mengepung jantung
kita pun mulai sibuk berhitung
peziarah selalu mencari arah cahaya sebab gelap mengabut di mata, pun di jiwa
kopor-kopor disiapkan sepanjang sore, paspor dan tanda pengenal
sebelum sampai ke rumah abadi
puisi pun ditulis di halte-halte perjalanan seperti embun berkilat sebelum gugur
menguap tanpa jejak
“Mari kita teguk sama-sama kehangatan air hitam sebab dalam gulita kita temukan jendela.”
/3/
Di meja 4 gelas tak lagi punya cahaya. Membeku pada sudut paling senyap
dunia pun dilipat pada perbincangan, disederhanakan jadi kisah padahal hidup sejatinya sejarah
angka-angka berderet di bon dan nota pembelian, kita terselip antara titik dan koma
tak bisa bicara
kopi sore itu
tak pernah memaafkan kita
lidah wetan, 28 Sept 2010
Sajak-Sajak Kedung Darma Romansha
http://www.lampungpost.com/
Gerimis
Buat E.K
Gerimis menetes
Di ladangku yang basah
Oleh rindu.
Kucangkul namamu berulang-ulang
Seperti bapak setia pada ladang
Dan ibu yang tak pernah bohong
Pada bumbu masakan.
Ah, kapan kau akan belajar jadi ibu?
Jarak menyuburkan tiap-tiap kesepian
Dan kini kita sepakat pada hujan
Yang lebat di jantung kenangan.
Pangkal Pinang, 2009
Tak Habis Kata
Kepada WS Rendra
Di agustus yang kumuh
Kita akan sama menertawai lelucon ini:
Puisi tak lebih dari jamuan makan malam
Sementara lambung mereka mengepulkan asap kepundan
Menggumpal di langit, pecah jadi hujan
Airmata, airmata, airmata siapa?
Orang-orang lupa jalan
Pulang, pulang, pulang…
Kita dipulangkan kebohongan
Pecahkan semua botol-botol lalu tinggalkan
Kesadaran mesti diberi jalan
Agar puisi tidak berhenti dalam pikiran.
Sanggar Suto, 2009
Rindu Melompat dan Teotteblungteotteblung
Hujan pun hilang ke dalam malam
Katak-katak melompat dan bersuara
Teotteblungteotteblung
Seperti memanggil-manggil namamu.
Sepi menggenang dalam sukma
Berklebatan wajahmu di kaca.
Kutangkap-tangkap wajahmu yang licin
Tertangkap juga sunyiku yang dingin.
Sanggar Suto, 2008
Dongeng Pengantar Tidur
Ini cerita sembunyi di rumpun bunga kata-kata.
Orang-orang berkacamata
Siapa yang melihat siapa yang buta sukar diterka.
Ini negeri mengigau sepanjang tahun
Sawah ladang kering
Hutan-hutan garing
Ditinggalkan oleh kebohongan masa silam
Tuhan tinggal nama di sepi malam
Kitab-kitab suci jadi barang murahan
Siapa yang melupakan siapa yang dilupakan?
Orang menciptakan surga di kepala
Neraka hanya dongeng untuk menakuti anak manja.
Di sini segala kemungkinan terjadi
Karena mereka menciptakannya sendiri.
Sanggar Suto, 2009
Menyebrangi Bukit-bukit Puisi di Bawah Gerimis
Menyebrangi bukit-bukit tua di bawah germis
Adalah mengenang kesepian demi kesepian
Yang belum kita bicarakan satu sama lain
Belum pula kita bungkus dengan
Sekepal nasi kucing atau seteguk teh anget,
Mungkin kopi yang hampir dingin.
Di tengah perjalanan
Aku bagai dikepung ribuan pertanyaan
Tentang kata-kata yang menjelma mantra
Kupu-kupu yang menjelma rajawali
Juga langit yang tiba-tiba runtuh di mata.
Menyebrangi bukit-bukit tua
Di bawah gerimis
Adalah menyebrangi bukit-bukit puisi
Di bawah tangis.
Tapi penamu terus saja bergumam
Menyebrangi kesepian demi kesepian.
Dieng-Jogja, 2007
—–
Kedung Darma Romansha, kelahiran Indramayu, 25-02-1984. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY. Karya-karyanya kebetulan termuat di beberapa media massa dan antologi bersama. Beberapa kali mendapat penghargaan di bidang cipta puisi dan baca puisi.
Gerimis
Buat E.K
Gerimis menetes
Di ladangku yang basah
Oleh rindu.
Kucangkul namamu berulang-ulang
Seperti bapak setia pada ladang
Dan ibu yang tak pernah bohong
Pada bumbu masakan.
Ah, kapan kau akan belajar jadi ibu?
Jarak menyuburkan tiap-tiap kesepian
Dan kini kita sepakat pada hujan
Yang lebat di jantung kenangan.
Pangkal Pinang, 2009
Tak Habis Kata
Kepada WS Rendra
Di agustus yang kumuh
Kita akan sama menertawai lelucon ini:
Puisi tak lebih dari jamuan makan malam
Sementara lambung mereka mengepulkan asap kepundan
Menggumpal di langit, pecah jadi hujan
Airmata, airmata, airmata siapa?
Orang-orang lupa jalan
Pulang, pulang, pulang…
Kita dipulangkan kebohongan
Pecahkan semua botol-botol lalu tinggalkan
Kesadaran mesti diberi jalan
Agar puisi tidak berhenti dalam pikiran.
Sanggar Suto, 2009
Rindu Melompat dan Teotteblungteotteblung
Hujan pun hilang ke dalam malam
Katak-katak melompat dan bersuara
Teotteblungteotteblung
Seperti memanggil-manggil namamu.
Sepi menggenang dalam sukma
Berklebatan wajahmu di kaca.
Kutangkap-tangkap wajahmu yang licin
Tertangkap juga sunyiku yang dingin.
Sanggar Suto, 2008
Dongeng Pengantar Tidur
Ini cerita sembunyi di rumpun bunga kata-kata.
Orang-orang berkacamata
Siapa yang melihat siapa yang buta sukar diterka.
Ini negeri mengigau sepanjang tahun
Sawah ladang kering
Hutan-hutan garing
Ditinggalkan oleh kebohongan masa silam
Tuhan tinggal nama di sepi malam
Kitab-kitab suci jadi barang murahan
Siapa yang melupakan siapa yang dilupakan?
Orang menciptakan surga di kepala
Neraka hanya dongeng untuk menakuti anak manja.
Di sini segala kemungkinan terjadi
Karena mereka menciptakannya sendiri.
Sanggar Suto, 2009
Menyebrangi Bukit-bukit Puisi di Bawah Gerimis
Menyebrangi bukit-bukit tua di bawah germis
Adalah mengenang kesepian demi kesepian
Yang belum kita bicarakan satu sama lain
Belum pula kita bungkus dengan
Sekepal nasi kucing atau seteguk teh anget,
Mungkin kopi yang hampir dingin.
Di tengah perjalanan
Aku bagai dikepung ribuan pertanyaan
Tentang kata-kata yang menjelma mantra
Kupu-kupu yang menjelma rajawali
Juga langit yang tiba-tiba runtuh di mata.
Menyebrangi bukit-bukit tua
Di bawah gerimis
Adalah menyebrangi bukit-bukit puisi
Di bawah tangis.
Tapi penamu terus saja bergumam
Menyebrangi kesepian demi kesepian.
Dieng-Jogja, 2007
—–
Kedung Darma Romansha, kelahiran Indramayu, 25-02-1984. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY. Karya-karyanya kebetulan termuat di beberapa media massa dan antologi bersama. Beberapa kali mendapat penghargaan di bidang cipta puisi dan baca puisi.
Sajak-Sajak Agit Yogi Subandi
http://www.lampungpost.com/
Dalam Langkahku
di sepanjang langkahku kini
aku mendengar
langkah lain di dalam dadaku:
yang menyusun
ritmenya sendiri
tanpa perduli ritme langkahku
kini.
(Tanjungkarang, 2009)
Belajar Melukis
lihatlah gambar yang kubuat:
Great Basin dengan warna senja yang merah.
latarnya adalah pegunungan Sierra.
di sini, matahari tak perlu kutampilkan utuh,
karena sesekali, bolehlah kita menghadirkan sesuatu
tanpa harus penuh. apa yang utuh dari kita setiap hari,
mungkin hanya tubuh.
kemudian kuhadirkan pula serombongan banteng
yang sedang berjalan, dan tubuhnya berbayang.
dan di antara mereka, ada yang mati. mereka
terus berjalan. entah sedang mencari apa.
tapi, haruskah kulukiskan tujuan di mata banteng itu,
agar kau tak perlu lagi menduga.
ah, terlalu mudah. tafsir saja sendiri, dan kita
tak perlu saling membohongi.
nah, lukisanku sudah jadi, tanpa harus menimbulkan
gemuruh di dada. tanpa perlu mengeluarkan lava di mata.
setelah kubingkai lukisanku, akan kupajang di kamarmu.
tak perlu kau maknai, sebab di dalam memaknai,
penglihatanmu akan terhalangi.
pusatkan saja inderamu untuk melihat
nanti, jika sudah merasa terhubung
dengan objek di dalamnya, maka tak perlu lagi memaknai.
sebab makna akan datang sendiri:
berkuda putih, sambil menggenggam sebilah pedang
dan mengacungkannya ke gambar itu
dan akhirnya mendirikan kerajaan tirani di kepalamu.
(Jakarta, 2009)
Akuamarin
jernih tepian pantai
berwajah opal batuan koral
dan warna dalamnya adalah jejak besi
berstruktur kasar segitiga Kristal
(2010)
Perempuan Bersandar
perempuan bersandar di tiang lampu jalan
jemarinya menggenggam selembar sapu tangan—
basah menghapus rintik hujan.
(2010)
Deraian Pohon Ara
gadis bermata intan
di bawah rimbun pohon ara
yang daunnya berderaian
(2010)
Sebelum Aku Mengenalmu
sebelum aku mengenalmu,
aku seperti penderita glaukoma yang tak berkesudahan.
daun-daun di pohon, tampak kering
tapi tak pernah rontok.
langit mendung berkepanjangan,
dan aku tak dapat membedakan
yang mana warna sungai
dan yang mana warna lautan
betapa aku telah mengkhawatirkan sesuatu
yang tak perlu kukhawatirkan
betapa mata telah mempengaruhi pikiran dan perasaan.
hari-hari seperti batu, menggulung diriku ke sudut-sudut ruang
ruang yang dipenuhi pintalan jaring laba-laba
dan serbuk kayu yang menggunung.
segalanya tampak suram,
sekalipun bunga warna-warni mekar di taman.
(Tanjungkarang, 2010)
Agit Yogi Subandi, alumnus Fakutas Hukum Universitas Lampung, lahir di Rumah Sakit Pertamina Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Kini ia menetap di Kotabumi.
Dalam Langkahku
di sepanjang langkahku kini
aku mendengar
langkah lain di dalam dadaku:
yang menyusun
ritmenya sendiri
tanpa perduli ritme langkahku
kini.
(Tanjungkarang, 2009)
Belajar Melukis
lihatlah gambar yang kubuat:
Great Basin dengan warna senja yang merah.
latarnya adalah pegunungan Sierra.
di sini, matahari tak perlu kutampilkan utuh,
karena sesekali, bolehlah kita menghadirkan sesuatu
tanpa harus penuh. apa yang utuh dari kita setiap hari,
mungkin hanya tubuh.
kemudian kuhadirkan pula serombongan banteng
yang sedang berjalan, dan tubuhnya berbayang.
dan di antara mereka, ada yang mati. mereka
terus berjalan. entah sedang mencari apa.
tapi, haruskah kulukiskan tujuan di mata banteng itu,
agar kau tak perlu lagi menduga.
ah, terlalu mudah. tafsir saja sendiri, dan kita
tak perlu saling membohongi.
nah, lukisanku sudah jadi, tanpa harus menimbulkan
gemuruh di dada. tanpa perlu mengeluarkan lava di mata.
setelah kubingkai lukisanku, akan kupajang di kamarmu.
tak perlu kau maknai, sebab di dalam memaknai,
penglihatanmu akan terhalangi.
pusatkan saja inderamu untuk melihat
nanti, jika sudah merasa terhubung
dengan objek di dalamnya, maka tak perlu lagi memaknai.
sebab makna akan datang sendiri:
berkuda putih, sambil menggenggam sebilah pedang
dan mengacungkannya ke gambar itu
dan akhirnya mendirikan kerajaan tirani di kepalamu.
(Jakarta, 2009)
Akuamarin
jernih tepian pantai
berwajah opal batuan koral
dan warna dalamnya adalah jejak besi
berstruktur kasar segitiga Kristal
(2010)
Perempuan Bersandar
perempuan bersandar di tiang lampu jalan
jemarinya menggenggam selembar sapu tangan—
basah menghapus rintik hujan.
(2010)
Deraian Pohon Ara
gadis bermata intan
di bawah rimbun pohon ara
yang daunnya berderaian
(2010)
Sebelum Aku Mengenalmu
sebelum aku mengenalmu,
aku seperti penderita glaukoma yang tak berkesudahan.
daun-daun di pohon, tampak kering
tapi tak pernah rontok.
langit mendung berkepanjangan,
dan aku tak dapat membedakan
yang mana warna sungai
dan yang mana warna lautan
betapa aku telah mengkhawatirkan sesuatu
yang tak perlu kukhawatirkan
betapa mata telah mempengaruhi pikiran dan perasaan.
hari-hari seperti batu, menggulung diriku ke sudut-sudut ruang
ruang yang dipenuhi pintalan jaring laba-laba
dan serbuk kayu yang menggunung.
segalanya tampak suram,
sekalipun bunga warna-warni mekar di taman.
(Tanjungkarang, 2010)
Agit Yogi Subandi, alumnus Fakutas Hukum Universitas Lampung, lahir di Rumah Sakit Pertamina Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Kini ia menetap di Kotabumi.
Sajak-Sajak Gampang Prawoto
BOJONEGORO I
aku,
rindu kemolekan
sejarah tanpa relief dan prasasti
atau musium yang dipaksakan
walau kadang sekedar basa basi
aku,
rindu kemolekan
sejarah tanpa relief dan prasasti
atau musium yang dipaksakan
walau kadang sekedar basa basi
Sajak-Sajak Sungging Raga
http://www.lampungpost.com/
Gladiola
untuk Santi
seseorang menumpahkan sedih
sedih yang menguning
menguning di sepanjang Kridosono
Kridosono menurunkanku dari bus kota
kota yang mengurai diriku
diriku yang telah setia
setia kepada jalan kecil menju Lempuyangan
Lempuyangan memang tak pernah tumbuh
tumbuh indah seperti Gladiola, tetapi siapa
siapa yang pernah mengenakan
mengenakan Gladiola di tubuhnya
tubuhnya yang ia hamparkan sejenak
sejenak seperti berhentinya sebuah kereta
kereta pengirim senja
senja bernama Pasundan
Pasundan yang melarikan rinduku
rinduku tersesat kepadanya
kepadanya yang mengira aku tak terluka.
Logawa Satu
Anak gadis adalah sungai yang pelan, membelah dari tubuh Serayu, mengalirkan sampah-sampah takdir yang layu. Seorang lelaki memandanginya, matanya adalah batu yang tegar, keras, dan sakit. Di balik rimbun rumput terbakar air, berapa lama ia di situ, duduk mengamati tubuhnya terbelah, perlahan-lahan menguncup sungai di cakrawala.
Ikan-ikan bertukar warna, bertukar sisik dengan keranda, dan di setiap tepinya kepiting membaca kitab, tentang petuah alam yang langka, yang hanya bisa disisipkan ke dalam igauan terakhir seekor buaya. Lalu di mana sarang yang menenangkan, plastik menutup matanya, muntahan manusia, teriakan dan ludah. Sungai yang mencari anak dan ibu ikan, sesepuh kepiting, dunia telah berubah warna. Tetapi Logawa adalah lelaki yang masih bermata batu, memandangi seorang gadis belia yang mengetuk-ngetuk dadanya sendiri. Apakah di balik itu ada surga. Orang-orang lalu datang seperti ninja. Temali menjerat bunyi kerisik ilalang. Siapa menjerit dan tergores, pena tajam beriringan membentuk noda, gadis yang kini hilang separuh, air matanya bercampur dengan sungai. Seperti kaidah terakhir sebuah cerita cinta, adakah Logawa yang menunggu air mata iitu lerai? Dan sungai menghamparkan sebaris kalimat kosong puisi, dan gadis itu menceburkan dirinya, menemui ikan-ikan, kepiting, dan buaya—Logawa menjepit matanya dalam batu kali, seperti semedi, yang tak ingin membangkitkan birahi bumi.
Logawa Dua
Logawa tak pernah bersekolah, tetapi ia bisa menghidupi seorang tukang sapu. Di setiap gerbong, selalu ada yang menunduk-nunduk, mengais sampah sambil tersenyum, seakan-akan begitu indahnya berendam dalam kereta berjam-jam. Kalau penumpang memerhatikan, ada seribu jarum yang menetas di matanya setiap detik, tukang sapu itu kadang menyamar sebagai bocah lugu, dengan gelas plastik berisi serpihan uang. Aku menemuinya tersudut di bordes, menghitung kenangan-kenangannya, masa kecilnya masih berjalan bersama kereta, mengusap kepalanya. Tetapi Logawa sudah seperti guru, mengajarkan bagaimana menyapu sampah-sampah, menyusuri gerbong-gerbong, dan masa kecil itu pun harus mengalir bersama semua penumpang yang langsung pura-pura tertidur ketika ia selesai mengumpulkan sampah, ketika didekatkannya gelas plastik itu kepada mereka…
Dan Kayuh Sekali Lagi
dan menangis bukanlah jalam menuju bahagia. Sri, letakkan sanggulmu, lepas pakaianmu, kudapati sebuah hutan yang memberi jalan bagi setiap kaki, lalu setelah terowongan, langkah belalang begitu rendah terdengar, dan jangkrik yang bersembunyi di pahatan tanah. Seperti cinta yang penuh sumpah, juga serapah.
dan menangis juga tabiat alam, kalau malam sudah telanjang, dan bulan hanya seperti kulit kacang. Seseorang membabat hutan, membabat dirimu yang karam pada sebilah pedang, menebas dirimu dalam endapan malam.
dan kayuh sekali lagi, Sri, dengkurmu yang lengket, menuju kaca demi kaca.
———-
Sungging Raga, lahir pada 25 April 1987 di Situbondo, Jawa Timur. Sempat menimba ilmu di Yogyakarta.
Gladiola
untuk Santi
seseorang menumpahkan sedih
sedih yang menguning
menguning di sepanjang Kridosono
Kridosono menurunkanku dari bus kota
kota yang mengurai diriku
diriku yang telah setia
setia kepada jalan kecil menju Lempuyangan
Lempuyangan memang tak pernah tumbuh
tumbuh indah seperti Gladiola, tetapi siapa
siapa yang pernah mengenakan
mengenakan Gladiola di tubuhnya
tubuhnya yang ia hamparkan sejenak
sejenak seperti berhentinya sebuah kereta
kereta pengirim senja
senja bernama Pasundan
Pasundan yang melarikan rinduku
rinduku tersesat kepadanya
kepadanya yang mengira aku tak terluka.
Logawa Satu
Anak gadis adalah sungai yang pelan, membelah dari tubuh Serayu, mengalirkan sampah-sampah takdir yang layu. Seorang lelaki memandanginya, matanya adalah batu yang tegar, keras, dan sakit. Di balik rimbun rumput terbakar air, berapa lama ia di situ, duduk mengamati tubuhnya terbelah, perlahan-lahan menguncup sungai di cakrawala.
Ikan-ikan bertukar warna, bertukar sisik dengan keranda, dan di setiap tepinya kepiting membaca kitab, tentang petuah alam yang langka, yang hanya bisa disisipkan ke dalam igauan terakhir seekor buaya. Lalu di mana sarang yang menenangkan, plastik menutup matanya, muntahan manusia, teriakan dan ludah. Sungai yang mencari anak dan ibu ikan, sesepuh kepiting, dunia telah berubah warna. Tetapi Logawa adalah lelaki yang masih bermata batu, memandangi seorang gadis belia yang mengetuk-ngetuk dadanya sendiri. Apakah di balik itu ada surga. Orang-orang lalu datang seperti ninja. Temali menjerat bunyi kerisik ilalang. Siapa menjerit dan tergores, pena tajam beriringan membentuk noda, gadis yang kini hilang separuh, air matanya bercampur dengan sungai. Seperti kaidah terakhir sebuah cerita cinta, adakah Logawa yang menunggu air mata iitu lerai? Dan sungai menghamparkan sebaris kalimat kosong puisi, dan gadis itu menceburkan dirinya, menemui ikan-ikan, kepiting, dan buaya—Logawa menjepit matanya dalam batu kali, seperti semedi, yang tak ingin membangkitkan birahi bumi.
Logawa Dua
Logawa tak pernah bersekolah, tetapi ia bisa menghidupi seorang tukang sapu. Di setiap gerbong, selalu ada yang menunduk-nunduk, mengais sampah sambil tersenyum, seakan-akan begitu indahnya berendam dalam kereta berjam-jam. Kalau penumpang memerhatikan, ada seribu jarum yang menetas di matanya setiap detik, tukang sapu itu kadang menyamar sebagai bocah lugu, dengan gelas plastik berisi serpihan uang. Aku menemuinya tersudut di bordes, menghitung kenangan-kenangannya, masa kecilnya masih berjalan bersama kereta, mengusap kepalanya. Tetapi Logawa sudah seperti guru, mengajarkan bagaimana menyapu sampah-sampah, menyusuri gerbong-gerbong, dan masa kecil itu pun harus mengalir bersama semua penumpang yang langsung pura-pura tertidur ketika ia selesai mengumpulkan sampah, ketika didekatkannya gelas plastik itu kepada mereka…
Dan Kayuh Sekali Lagi
dan menangis bukanlah jalam menuju bahagia. Sri, letakkan sanggulmu, lepas pakaianmu, kudapati sebuah hutan yang memberi jalan bagi setiap kaki, lalu setelah terowongan, langkah belalang begitu rendah terdengar, dan jangkrik yang bersembunyi di pahatan tanah. Seperti cinta yang penuh sumpah, juga serapah.
dan menangis juga tabiat alam, kalau malam sudah telanjang, dan bulan hanya seperti kulit kacang. Seseorang membabat hutan, membabat dirimu yang karam pada sebilah pedang, menebas dirimu dalam endapan malam.
dan kayuh sekali lagi, Sri, dengkurmu yang lengket, menuju kaca demi kaca.
———-
Sungging Raga, lahir pada 25 April 1987 di Situbondo, Jawa Timur. Sempat menimba ilmu di Yogyakarta.
Sajak-Sajak Yusuf Susilo Hartono
http://www.infoanda.com/Republika
SUJUD OMBAK
Kusujudkan ombak pada jejak-jejak
angin kemarau
kusujudkan ombak pada manis keringat
nelayan
kusujudkan ombak pada biru gunung
keperkasaan
kusujudkan ombak pada pantai
rahasia-Mu
Jakarta, 1998
ZAKAT
Kuzakati dua setengah persen
deritaku untuk tawamu
kuzakati dua setengah persen
lukaku untuk sehatmu
kuzakati dua setengah persen
sungaiku untuk lautmu
kuzakati dua setengah persen
malamku untuk terang benderangmu
kuzakati dua setengah persen
sepiku untuk kerianganmu
kuzakati dua setengah persen
kesetiaanku untuk pengkhianatanmu
kuzakati tak pandang persen
kesabaranku untuk-Mu
Jakarta, 2005
TAKBIR BATU
Aku batu hitam itu
tak henti bertakbir
Allahu Akbar
Kujadikan
rembulan parasku
matahari kesabaranku
tikar waktu sajadahku
malaikat penjagaku
Embun-Mu selimutku
Jakarta, 1998
SERINDU
Serindu bunga pada wangi
Sekangen pagi pada matahari
Itulah aku pada-Mu
Di keriuhan sunyi
Jakarta, 1999
SUBUH YANG DISUCIKAN
Subuh yang disucikan embun fakir
pagi yang dimandikan rahasia zikir
kakiku meninggalkan kalender
dan tembang tua
memburu-Mu di antara belukar doa.
(sampai lentera padam
tak berdaya)
Jakarta, 2005
Yusuf Susilo Hartono, lahir di Bojonegoro (Jawa Timur), 18 Maret 1958. Kini tinggal di Jakarta. Mantan guru ini dikenal sebagai wartawan, pelukis dan sastrawan. Puisinya pernah menang dalam Festival Puisi Surabaya 1984. Diundang Pertemuan Penyair se Indonesia oleh Dewan Kesenian Jakarta, di TIM, 1987. Kumpulan puisinya yang telah terbit, antara lain Wajah Berkabung (1981), dan Ikan-ikan Hias (1985). Sebuah puisinya, Perjanjian Suci (1986), dijadikan mas kawin.
SUJUD OMBAK
Kusujudkan ombak pada jejak-jejak
angin kemarau
kusujudkan ombak pada manis keringat
nelayan
kusujudkan ombak pada biru gunung
keperkasaan
kusujudkan ombak pada pantai
rahasia-Mu
Jakarta, 1998
ZAKAT
Kuzakati dua setengah persen
deritaku untuk tawamu
kuzakati dua setengah persen
lukaku untuk sehatmu
kuzakati dua setengah persen
sungaiku untuk lautmu
kuzakati dua setengah persen
malamku untuk terang benderangmu
kuzakati dua setengah persen
sepiku untuk kerianganmu
kuzakati dua setengah persen
kesetiaanku untuk pengkhianatanmu
kuzakati tak pandang persen
kesabaranku untuk-Mu
Jakarta, 2005
TAKBIR BATU
Aku batu hitam itu
tak henti bertakbir
Allahu Akbar
Kujadikan
rembulan parasku
matahari kesabaranku
tikar waktu sajadahku
malaikat penjagaku
Embun-Mu selimutku
Jakarta, 1998
SERINDU
Serindu bunga pada wangi
Sekangen pagi pada matahari
Itulah aku pada-Mu
Di keriuhan sunyi
Jakarta, 1999
SUBUH YANG DISUCIKAN
Subuh yang disucikan embun fakir
pagi yang dimandikan rahasia zikir
kakiku meninggalkan kalender
dan tembang tua
memburu-Mu di antara belukar doa.
(sampai lentera padam
tak berdaya)
Jakarta, 2005
Yusuf Susilo Hartono, lahir di Bojonegoro (Jawa Timur), 18 Maret 1958. Kini tinggal di Jakarta. Mantan guru ini dikenal sebagai wartawan, pelukis dan sastrawan. Puisinya pernah menang dalam Festival Puisi Surabaya 1984. Diundang Pertemuan Penyair se Indonesia oleh Dewan Kesenian Jakarta, di TIM, 1987. Kumpulan puisinya yang telah terbit, antara lain Wajah Berkabung (1981), dan Ikan-ikan Hias (1985). Sebuah puisinya, Perjanjian Suci (1986), dijadikan mas kawin.
Sajak-Sajak Ariffin Noor Hasby
http://www.radarbanjarmasin.co.id/
KUBUKA JENDELA
Kubuka jendela di bawah perutmu
ada sebuah lorong tak bermusim
seperti bergerak ke arahku
seorang lelaki tanpa hujan
menangisi perjalanannya di situ
sehabis matanya tanpa sengaja
menghapus alamat tuhan
Hidup seperti begitu asing dalam benaknya :
berangkat dari mana hendak ke mana,
ia tak tahu
tapi dari seseorang yang berjemur
dalam senyap kelaminmu
ia mendengar stasiun malam masih jauh
dan jarum jam belum singgah
pada nyeri langkah
— 2004.
KITAB KEYAKINAN
Jendela yang jauh dari tanganku
terbuka dalam gairah
di luar, dunia tanpa busana
bergerak dalam gemuruh perempuan
memikul sepikul peradaban kelamin
Matahari seperti bertepuk tangan
mengeringkan trotoar membasah darah
yang menetes dari lampu merah
“Besok di sini akan lahir sebuah negeri,
wajah tanpa kemanusiaan”, katamu, sehabis
menengok pecahan bom yang manis
pada wajah lelaki yang hancur
bersama kubur perlawanan
Dan di jendela yang jauh dari tanganku
sepotong ayat api membentur ruang tidur
orang-orang yang tak pernah mati
untuk menghormati sebuah kitab keyakinan !
Banjarbaru, November 2004.
KUCATAT HUJAN
kucatat hujan yang tersesat dalam
mulutmu, pada televisi yang menggambar
masa laluku ..
suaranya seperti memanggil ingatanku
dari reruntuhan nama-nama yang pernah
menjadi jejak hatiku.
tapi lampu-lampu jalan
menghapusnya tanpa kusadari
lalu aku melihat layar di mataku
ada wajah anak-anak
yang kehilangan buku cerita hari depannya.
Dan hari-hari cahaya yang berkubur di situ
tiba-tiba kulihat mengembalikan jarum jam
pada teriakan kota-kota
yang berlarian dalam kabel tubuhmu.
Dan lampu-lampu hanya mengucapkan
nyeri kupu-kupu yang lupa pada warna bunga
sehabis letih menyanyikan musim
yang menyimpan ombak dalam mulutku !
Banjarbaru, Oktober 2004.
Ariffin Noor Hasby, dilahirkan di Marabahan, Barito Kuala, 20 Februari 1964. Menulis puisi, esai, artikel dan cerita rakyat. Sejumlah karyanya dimuat di harian lokal dan media nasional serta di majalah sastra BAHANA, Brunei Darussalam dan Radio Suara Jerman.Pada tahun 2005, mengikuti Forum “ CAKRAWALA SASTRA INDONESIA 2 “ di TIM Jakarta. Pada tahun 2005 juga mendapat hadiah seni dari Gubernur Kalimantan Selatan untuk bidang sastra. Kini menetap di Banjarbaru.
KUBUKA JENDELA
Kubuka jendela di bawah perutmu
ada sebuah lorong tak bermusim
seperti bergerak ke arahku
seorang lelaki tanpa hujan
menangisi perjalanannya di situ
sehabis matanya tanpa sengaja
menghapus alamat tuhan
Hidup seperti begitu asing dalam benaknya :
berangkat dari mana hendak ke mana,
ia tak tahu
tapi dari seseorang yang berjemur
dalam senyap kelaminmu
ia mendengar stasiun malam masih jauh
dan jarum jam belum singgah
pada nyeri langkah
— 2004.
KITAB KEYAKINAN
Jendela yang jauh dari tanganku
terbuka dalam gairah
di luar, dunia tanpa busana
bergerak dalam gemuruh perempuan
memikul sepikul peradaban kelamin
Matahari seperti bertepuk tangan
mengeringkan trotoar membasah darah
yang menetes dari lampu merah
“Besok di sini akan lahir sebuah negeri,
wajah tanpa kemanusiaan”, katamu, sehabis
menengok pecahan bom yang manis
pada wajah lelaki yang hancur
bersama kubur perlawanan
Dan di jendela yang jauh dari tanganku
sepotong ayat api membentur ruang tidur
orang-orang yang tak pernah mati
untuk menghormati sebuah kitab keyakinan !
Banjarbaru, November 2004.
KUCATAT HUJAN
kucatat hujan yang tersesat dalam
mulutmu, pada televisi yang menggambar
masa laluku ..
suaranya seperti memanggil ingatanku
dari reruntuhan nama-nama yang pernah
menjadi jejak hatiku.
tapi lampu-lampu jalan
menghapusnya tanpa kusadari
lalu aku melihat layar di mataku
ada wajah anak-anak
yang kehilangan buku cerita hari depannya.
Dan hari-hari cahaya yang berkubur di situ
tiba-tiba kulihat mengembalikan jarum jam
pada teriakan kota-kota
yang berlarian dalam kabel tubuhmu.
Dan lampu-lampu hanya mengucapkan
nyeri kupu-kupu yang lupa pada warna bunga
sehabis letih menyanyikan musim
yang menyimpan ombak dalam mulutku !
Banjarbaru, Oktober 2004.
Ariffin Noor Hasby, dilahirkan di Marabahan, Barito Kuala, 20 Februari 1964. Menulis puisi, esai, artikel dan cerita rakyat. Sejumlah karyanya dimuat di harian lokal dan media nasional serta di majalah sastra BAHANA, Brunei Darussalam dan Radio Suara Jerman.Pada tahun 2005, mengikuti Forum “ CAKRAWALA SASTRA INDONESIA 2 “ di TIM Jakarta. Pada tahun 2005 juga mendapat hadiah seni dari Gubernur Kalimantan Selatan untuk bidang sastra. Kini menetap di Banjarbaru.
Sajak-Sajak Akhmad Muhaimin Azzet
http://sastra-indonesia.com/
Kembali Merindu
berjalan kembali di kotamu siapa membentak
sepanjang jalan tawaran begitu memabukkan
anak-anak juga menembakkan kegalauan
kembali merindu aku pada kotamu yang dulu
keramahan menyerbak sewangi bunga seroja
di manakah kutemukan telaga untuk berwudlu
Bumidamai, Yogyakarta.
Sepertinya Cinta
sepertinya cinta kini kita alirkan
tidak menuju laut kedalaman atau telaga
:sungai limbah dan bahkan selokan kehitaman
sepertinya cinta hanyalah omong kosong belaka
ketika kedamaian, berubah curiga dan dendam
:saudaraku kapan kita berpelukan sesungguhnya
sepertinya cinta bukanlah sekedar perjanjian
sebagaimana dulu mengalir di setiap dada
:padahal sama tanah dan darah kemanusiaan kita
Bumidamai, Yogyakarta.
Denting Malam
seperti serenada saja padahal doa penuh luka
malamku berdenting mengadukan perih bergetar
kapankah kegelapan terburai sayat pertikaian
bersama angin melolongkan lapar sepanjang kelam
bukan persoalan perut, tapi lagu-lagu kemarahan
kapankah dingin malam kita berselimut-bercinta
Bumidamai, Yogyakarta.
Sebelum Senja
ada angin yang mendongakkan kepala
begitu pongah menepuk-nepuk usia
sebelum senja kenapa lupa kelahiran
ada kelahiran sebagaimana kematian
tapi senja akan datang kapan saja
mestinya persiapan berbekal pulang
Bumidamai, Yogyakarta.
Kembali Merindu
berjalan kembali di kotamu siapa membentak
sepanjang jalan tawaran begitu memabukkan
anak-anak juga menembakkan kegalauan
kembali merindu aku pada kotamu yang dulu
keramahan menyerbak sewangi bunga seroja
di manakah kutemukan telaga untuk berwudlu
Bumidamai, Yogyakarta.
Sepertinya Cinta
sepertinya cinta kini kita alirkan
tidak menuju laut kedalaman atau telaga
:sungai limbah dan bahkan selokan kehitaman
sepertinya cinta hanyalah omong kosong belaka
ketika kedamaian, berubah curiga dan dendam
:saudaraku kapan kita berpelukan sesungguhnya
sepertinya cinta bukanlah sekedar perjanjian
sebagaimana dulu mengalir di setiap dada
:padahal sama tanah dan darah kemanusiaan kita
Bumidamai, Yogyakarta.
Denting Malam
seperti serenada saja padahal doa penuh luka
malamku berdenting mengadukan perih bergetar
kapankah kegelapan terburai sayat pertikaian
bersama angin melolongkan lapar sepanjang kelam
bukan persoalan perut, tapi lagu-lagu kemarahan
kapankah dingin malam kita berselimut-bercinta
Bumidamai, Yogyakarta.
Sebelum Senja
ada angin yang mendongakkan kepala
begitu pongah menepuk-nepuk usia
sebelum senja kenapa lupa kelahiran
ada kelahiran sebagaimana kematian
tapi senja akan datang kapan saja
mestinya persiapan berbekal pulang
Bumidamai, Yogyakarta.
Sajak-Sajak M. Harya Ramdhoni
http://www.lampungpost.com/
Silsilah Sebuah Rumah
bertanyalah pada daun jendela,
pintu dan jerebu.
pada tiap helai gordyn
yang telah serupa abu.
pada tiap jengkal tanah keramat ini.
yang tak sempat wariskan tawa
dan tangis kanakkanak
di setiap peralihan hari menjelang dini.
bertanyalah pada almari tua di sudut rumah.
tempat ia simpan almanak kehidupan
pada setiap tarikh
bertanyalah pada rakrak buku tak terjamah.
pada setiap bilik lengang yang tak
wariskan silsilah.
bertanyalah pada tiap helai tetumbuhan
dan bunga.
perihal kelanjutan silsilah
sebuah rumah.
maka, jawabnya hanya
deham masygul sebuah
suara tanpa wujud.
Palembang, 3 Oktober 2010
Hikayat Puyang
aku takkan lupa
perjumpaan
di pucuk senja.
pertemuan magis
di puncak pesagi.
lelaki bersorban itu
menyapaku ramah:
“aku Imam Maulana
Nyekhupa, puyangmu.”
sementara aku gigil
dibekap kabut yang
rebah pada sulursulur
dan dedahan
pokok sekala.
Puncak Pesagi, 2 Juli 2009
Suatu Malam yang Dingin di Liwa
nyanyian hujan menyapa
reranting pokok.
dinginnya suhu sibak
betapa tubuhmu
tak kebal cuaca.
disini kita bisa
saling lempar embun
dari mulut berbau jengkol.
tapi ini bukan eropa.
tanah ini ternama liwa!
jauh sebelum batu bertulis,
para tulut telah bertanam.
ajarkan berladang
kepada para tamong.
di dalam huruf tambo
yang telah luruh,
terkisah tentang
malam-malam sunyi.
rumah para penyair.
merawikan sajak
dalam bebandung.
di malam penghujan
seperti kini,
muli mekhanai mengail
cinta pada sesiah.
memanjat harap kepada
tuhan yang belum satu.
pada malam dingin
seperti kini,
berkelebat kemestian
dalam anganku.
tentang riwayat
yang niscaya
dikisahkan semula.
Liwa, 22 Januari 2007
Narasi Sekala Bgha II
mereka bermunculan dari
sebalik rerimbun pohon sekala.
lelaki setengahbaya
dan keempat puteranya.
ketibaan di bumi tanpa iman.
hanya nyala amarah semerah saga.
tanah ini menaburkan gulita.
cahaya terang tertutup oleh
jahiliah semata.
“jangan sebut kami penyamun
karena kami lelaki
penyebar tamadun.
jangan tuduh kami perusuh
karena dengki tak pernah
singgah di lubuk hati.
berkacalah wahai
bangsa kerdil!
dalam jiwa kalian
semayam kejahatan
serupa iblis.
sejatinya kami tak ingin
menghina melasa kepappang.
namun serbuk sebukau
pukau jiwa kalian yang galau.
beri kami masa
melisankan sebuah risalah.
tentang keagungan Tuhan
tanpa pesaing
tentang Lelaki Terpuji
penghulu kaum beriman.
Jambi, 24 Juni 2009
Elegi Rumput Kerontang
masih ada sejumput
rumput kerontang di hatiku.
mengidam kau siram
dan siangi selayak
tumbuhan sekarat
di akhir musim penghujan.
sepetak lahan ini
ku sisakan untukmu.
sekalipun tak sepenuhnya
menjadi milikmu lagi.
suatu pagi di bulan
syawal perempuan berpipi
gembil merebutnya dari genggammu.
senyumnya merampas sepetak
tanah tandus peninggalanmu.
ramahnya hijaukan semula
tanah kerontang ini.
siasia kau tanduri lahan ini.
perempuan berpipi gembil-lah
penikmat tuaian bulir keringatmu.
ia sabar memupuk harap.
ia setia menyiram berkubik air.
seolah sebuah dam
tertakluk di bawah kuasanya.
ia tak gentar menempur
kemarau jahanam.
ia mengairi berhektar
tanah milikmu.
merubah rerumput kering
menjadi surga segerombolan penyair.
menukar sebuah lahan tandus
menjadi tempat bermain
cucuku kelak.
tersisa sepetak tanah kering
dan sekawanan rumput kerontang.
air dan pupuk
enggan menidurinya.
perempuan berpipi gembil
jua enggan menyamunnya.
sepetak tanah berumput
kerontang itu ialah milikmu.
jemari halusmu senantiasa
dinanti membasuh dahaganya.
sejumput rumput kerontang
pada sepetak tanah gersang
yang sekian lama
tersiakan oleh angkuhmu.
Bandar Lampung, 9 April 2007
—–
M. Harya Ramdhoni, lahir di Surakarta, 15 Juli 1981. Dua cerpen Staf Pengajar FISIP Unila dan Kandidat PhD Ilmu Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) ini, Perjumpaan Misterius di Lereng Pesagi dan Perawan Bukit Kulut, memenangkan Krakatau Award 2010.
Silsilah Sebuah Rumah
bertanyalah pada daun jendela,
pintu dan jerebu.
pada tiap helai gordyn
yang telah serupa abu.
pada tiap jengkal tanah keramat ini.
yang tak sempat wariskan tawa
dan tangis kanakkanak
di setiap peralihan hari menjelang dini.
bertanyalah pada almari tua di sudut rumah.
tempat ia simpan almanak kehidupan
pada setiap tarikh
bertanyalah pada rakrak buku tak terjamah.
pada setiap bilik lengang yang tak
wariskan silsilah.
bertanyalah pada tiap helai tetumbuhan
dan bunga.
perihal kelanjutan silsilah
sebuah rumah.
maka, jawabnya hanya
deham masygul sebuah
suara tanpa wujud.
Palembang, 3 Oktober 2010
Hikayat Puyang
aku takkan lupa
perjumpaan
di pucuk senja.
pertemuan magis
di puncak pesagi.
lelaki bersorban itu
menyapaku ramah:
“aku Imam Maulana
Nyekhupa, puyangmu.”
sementara aku gigil
dibekap kabut yang
rebah pada sulursulur
dan dedahan
pokok sekala.
Puncak Pesagi, 2 Juli 2009
Suatu Malam yang Dingin di Liwa
nyanyian hujan menyapa
reranting pokok.
dinginnya suhu sibak
betapa tubuhmu
tak kebal cuaca.
disini kita bisa
saling lempar embun
dari mulut berbau jengkol.
tapi ini bukan eropa.
tanah ini ternama liwa!
jauh sebelum batu bertulis,
para tulut telah bertanam.
ajarkan berladang
kepada para tamong.
di dalam huruf tambo
yang telah luruh,
terkisah tentang
malam-malam sunyi.
rumah para penyair.
merawikan sajak
dalam bebandung.
di malam penghujan
seperti kini,
muli mekhanai mengail
cinta pada sesiah.
memanjat harap kepada
tuhan yang belum satu.
pada malam dingin
seperti kini,
berkelebat kemestian
dalam anganku.
tentang riwayat
yang niscaya
dikisahkan semula.
Liwa, 22 Januari 2007
Narasi Sekala Bgha II
mereka bermunculan dari
sebalik rerimbun pohon sekala.
lelaki setengahbaya
dan keempat puteranya.
ketibaan di bumi tanpa iman.
hanya nyala amarah semerah saga.
tanah ini menaburkan gulita.
cahaya terang tertutup oleh
jahiliah semata.
“jangan sebut kami penyamun
karena kami lelaki
penyebar tamadun.
jangan tuduh kami perusuh
karena dengki tak pernah
singgah di lubuk hati.
berkacalah wahai
bangsa kerdil!
dalam jiwa kalian
semayam kejahatan
serupa iblis.
sejatinya kami tak ingin
menghina melasa kepappang.
namun serbuk sebukau
pukau jiwa kalian yang galau.
beri kami masa
melisankan sebuah risalah.
tentang keagungan Tuhan
tanpa pesaing
tentang Lelaki Terpuji
penghulu kaum beriman.
Jambi, 24 Juni 2009
Elegi Rumput Kerontang
masih ada sejumput
rumput kerontang di hatiku.
mengidam kau siram
dan siangi selayak
tumbuhan sekarat
di akhir musim penghujan.
sepetak lahan ini
ku sisakan untukmu.
sekalipun tak sepenuhnya
menjadi milikmu lagi.
suatu pagi di bulan
syawal perempuan berpipi
gembil merebutnya dari genggammu.
senyumnya merampas sepetak
tanah tandus peninggalanmu.
ramahnya hijaukan semula
tanah kerontang ini.
siasia kau tanduri lahan ini.
perempuan berpipi gembil-lah
penikmat tuaian bulir keringatmu.
ia sabar memupuk harap.
ia setia menyiram berkubik air.
seolah sebuah dam
tertakluk di bawah kuasanya.
ia tak gentar menempur
kemarau jahanam.
ia mengairi berhektar
tanah milikmu.
merubah rerumput kering
menjadi surga segerombolan penyair.
menukar sebuah lahan tandus
menjadi tempat bermain
cucuku kelak.
tersisa sepetak tanah kering
dan sekawanan rumput kerontang.
air dan pupuk
enggan menidurinya.
perempuan berpipi gembil
jua enggan menyamunnya.
sepetak tanah berumput
kerontang itu ialah milikmu.
jemari halusmu senantiasa
dinanti membasuh dahaganya.
sejumput rumput kerontang
pada sepetak tanah gersang
yang sekian lama
tersiakan oleh angkuhmu.
Bandar Lampung, 9 April 2007
—–
M. Harya Ramdhoni, lahir di Surakarta, 15 Juli 1981. Dua cerpen Staf Pengajar FISIP Unila dan Kandidat PhD Ilmu Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) ini, Perjumpaan Misterius di Lereng Pesagi dan Perawan Bukit Kulut, memenangkan Krakatau Award 2010.
Sajak-Sajak Heri Latief
http://sastra-indonesia.com/
Percayalah!
janji mulutnya manis beracun
niatnyapun berbisa
mati kita kalau dipeluknya
percayalah!
sengaja terbujuk sihirnya materi
tersesat dalam dosanya penguasa
lalu melupakan asal usulnya
mencari keadilan di tong sampah
menutupi pedihnya luka sejarah
jangan biarkan ketidakadilan merajalela
lawanlah segala macam pembodohan
orang indonesia sedunia, bangkitlah!
Amsterdam, 10/11/2010
Kesangsian
pedihnya bencana bagai disayat sembilu
luka yang menganga trauma yang bersaksi
siapa kita berani mencoba kekuatan alam?
ruang hampa dalam bayangan emosimu
muara dari segala pertanyaan manusia
jangan terlalu mengharap pada keajaiban
jika besok kita tak tau apa yang terjadi
: dimana disimpan segumpal kesangsian
Amsterdam, 04/11/2010
Bakso dan Nasi Goreng
seorang presiden rindu bakso dan nasi goreng
demikian kisahnya blasteran afrika dan amerika
yang konon pernah tinggal di menteng dalam
sekolahnya mentereng di daerah menteng
komplit dengan patung pakai celana pendek
memorinya bisa panjang sampai ke jajanan
apakah kau terpesona dongengnya kenangan?
dulu kau pernah lihat gelandangan di jalanan
yang melarat mengais tong sampah orang kaya
seperti itulah yang terjadi sampai hari ini
pengemis dan orang miskin tetap merayap di sana
namun cerita bakso dan nasi goreng dijadikan mitos
: bahwa kau pernah tinggal di negeri dongeng
Amsterdam, 04/11/2010
Erupsi Kesedihan
jangan menutup pintu mimpimu
misteri dunia berduri sepi
langit mendung menangisi gunung
debu tak sembarangan bertamu
dahsyatnya trauma memutih mata
melodinya doa disesuaikan zaman
jangan dicoba jika kau tak suka
menunggu sesuatu yang tak pernah datang
kehidupan manusia di balik cerita mistik
pedihnya derita kita kenal semua
pada kenangan dan erupsi kesedihan
dan tak bisa kita menyalahkan alam
Amsterdam, 07/11/2010
Bencana Alam Kita
memerah sinar pijar lava merapi
dari muntahan emosi gunung berapi
menderu swara batu panas berdebu
bumi bergetar hatipun gemetar
gelombang tsunami menyapu mimpi
manusia tak berdaya melawan nasibnya
bencana datang tak pernah diundang
jika percaya pada kekuatan alam
bersiaplah selalu menghadapi cobaan
Amsterdam, 07/11/2010
Percayalah!
janji mulutnya manis beracun
niatnyapun berbisa
mati kita kalau dipeluknya
percayalah!
sengaja terbujuk sihirnya materi
tersesat dalam dosanya penguasa
lalu melupakan asal usulnya
mencari keadilan di tong sampah
menutupi pedihnya luka sejarah
jangan biarkan ketidakadilan merajalela
lawanlah segala macam pembodohan
orang indonesia sedunia, bangkitlah!
Amsterdam, 10/11/2010
Kesangsian
pedihnya bencana bagai disayat sembilu
luka yang menganga trauma yang bersaksi
siapa kita berani mencoba kekuatan alam?
ruang hampa dalam bayangan emosimu
muara dari segala pertanyaan manusia
jangan terlalu mengharap pada keajaiban
jika besok kita tak tau apa yang terjadi
: dimana disimpan segumpal kesangsian
Amsterdam, 04/11/2010
Bakso dan Nasi Goreng
seorang presiden rindu bakso dan nasi goreng
demikian kisahnya blasteran afrika dan amerika
yang konon pernah tinggal di menteng dalam
sekolahnya mentereng di daerah menteng
komplit dengan patung pakai celana pendek
memorinya bisa panjang sampai ke jajanan
apakah kau terpesona dongengnya kenangan?
dulu kau pernah lihat gelandangan di jalanan
yang melarat mengais tong sampah orang kaya
seperti itulah yang terjadi sampai hari ini
pengemis dan orang miskin tetap merayap di sana
namun cerita bakso dan nasi goreng dijadikan mitos
: bahwa kau pernah tinggal di negeri dongeng
Amsterdam, 04/11/2010
Erupsi Kesedihan
jangan menutup pintu mimpimu
misteri dunia berduri sepi
langit mendung menangisi gunung
debu tak sembarangan bertamu
dahsyatnya trauma memutih mata
melodinya doa disesuaikan zaman
jangan dicoba jika kau tak suka
menunggu sesuatu yang tak pernah datang
kehidupan manusia di balik cerita mistik
pedihnya derita kita kenal semua
pada kenangan dan erupsi kesedihan
dan tak bisa kita menyalahkan alam
Amsterdam, 07/11/2010
Bencana Alam Kita
memerah sinar pijar lava merapi
dari muntahan emosi gunung berapi
menderu swara batu panas berdebu
bumi bergetar hatipun gemetar
gelombang tsunami menyapu mimpi
manusia tak berdaya melawan nasibnya
bencana datang tak pernah diundang
jika percaya pada kekuatan alam
bersiaplah selalu menghadapi cobaan
Amsterdam, 07/11/2010
Sajak-Sajak Y. Thendra BP
http://sastra-indonesia.com/
Di Senen, Berapa Jauh Manusia Berjalan?
berapa jauh manusia berjalan hingga pantas disebut manusia?
aku harus membongkar keyakinanku, buku yang aku baca
membuat aku merasa lebih baik daripada ibu pedagang yang mengaduk kopi
sopir bis kota yang menunggu penumpang di senen itu, dan udara
masih dipenuhi embun. aku harus membongkar puisi puisiku
yang membuat aku merasa lebih terhormat daripada lelaki kecil kumal
tidur di jalan kecil menuju stasiun itu. kenapa kita bisa beradu mata
tanpa berjanji sebelumnya? bagaimana waktu bekerja,
merancang pertemuan, menyusun ingatan?
fais, kau masih memotret?
ada bapak dua orang anak. bila malam hari, ia berdandan, mengubah diri
jadi wanita, menunggu pelanggan di sudut jalan. siang hari, ia jadi bapak kembali.
aku ingin memotretnya. aku perlu mendekatinya. aku tidak ingin memotret
perempuan cantik papan reklame itu. then, sebentar lagi aku akan jadi seorang bapak.
berapa jauh manusia berjalan hingga pantas disebut manusia?
udara masih berembun, menyimpan banyak kesedihan.
di senen, di senen sebuah bis kota meninggalkan perhentian,
membawa manusia subuh. entah ke mana.
entah ke mana…
Braga
- HMK –
tiba-tiba aku ingin bernyanyi di trotoar jalan yang malam itu,
di samping ibu yang tidur bersama anaknya, dan perempuan
perempuan berpaha mulus melintas. o, aku ingin bernyanyi
dengan lirik yang terhubung pada lampu lampu jalan, seperti api
yang pernah membakar bandung selatan.
dua kaleng bir, dan musik yang ke luar dari kafe itu
aku teguk di trotoar, di samping seorang ibu yang tidur bersama anaknya.
seperti cinta yang gagal percaya pada dirinya sendiri, orang-orang menyusun
malam braga dari film hongkong dan hollywood.
mari pergi, ke jalan yang lain, euy…
Meninggalkan Pulau Penyengat
dalam gerimis petang,
bersama pongpong, aku tinggalkan pulau penyengat tanpa menziarahi gurindam dua belas.
aku membaca pasal 13: air laut yang kembali kepada laut. kesunyian bangkit antara
tiang kapal yang bersandar dan kibasan sayap burung burung. langit yang jauh,
langit yang jauh, semuram punggung laut. seperti dentuman pertama meriam paranggi
dari selat malaka, yang mengusir bahasa melayu…
bersama pongpong yang bergerak lamban, aku menghirup angin garam, dan telpon genggamku
masih memiliki sinyal. antara rambut gimbal saut dan kacamata bode, aku mendegar sorak-sorai
orang-orang membangkitkan yang mati, jadi hantu laut yang merompak pelayaran bahasa…
o, pong pong pong pong
pong pong pong pong…
Di Senen, Berapa Jauh Manusia Berjalan?
berapa jauh manusia berjalan hingga pantas disebut manusia?
aku harus membongkar keyakinanku, buku yang aku baca
membuat aku merasa lebih baik daripada ibu pedagang yang mengaduk kopi
sopir bis kota yang menunggu penumpang di senen itu, dan udara
masih dipenuhi embun. aku harus membongkar puisi puisiku
yang membuat aku merasa lebih terhormat daripada lelaki kecil kumal
tidur di jalan kecil menuju stasiun itu. kenapa kita bisa beradu mata
tanpa berjanji sebelumnya? bagaimana waktu bekerja,
merancang pertemuan, menyusun ingatan?
fais, kau masih memotret?
ada bapak dua orang anak. bila malam hari, ia berdandan, mengubah diri
jadi wanita, menunggu pelanggan di sudut jalan. siang hari, ia jadi bapak kembali.
aku ingin memotretnya. aku perlu mendekatinya. aku tidak ingin memotret
perempuan cantik papan reklame itu. then, sebentar lagi aku akan jadi seorang bapak.
berapa jauh manusia berjalan hingga pantas disebut manusia?
udara masih berembun, menyimpan banyak kesedihan.
di senen, di senen sebuah bis kota meninggalkan perhentian,
membawa manusia subuh. entah ke mana.
entah ke mana…
Braga
- HMK –
tiba-tiba aku ingin bernyanyi di trotoar jalan yang malam itu,
di samping ibu yang tidur bersama anaknya, dan perempuan
perempuan berpaha mulus melintas. o, aku ingin bernyanyi
dengan lirik yang terhubung pada lampu lampu jalan, seperti api
yang pernah membakar bandung selatan.
dua kaleng bir, dan musik yang ke luar dari kafe itu
aku teguk di trotoar, di samping seorang ibu yang tidur bersama anaknya.
seperti cinta yang gagal percaya pada dirinya sendiri, orang-orang menyusun
malam braga dari film hongkong dan hollywood.
mari pergi, ke jalan yang lain, euy…
Meninggalkan Pulau Penyengat
dalam gerimis petang,
bersama pongpong, aku tinggalkan pulau penyengat tanpa menziarahi gurindam dua belas.
aku membaca pasal 13: air laut yang kembali kepada laut. kesunyian bangkit antara
tiang kapal yang bersandar dan kibasan sayap burung burung. langit yang jauh,
langit yang jauh, semuram punggung laut. seperti dentuman pertama meriam paranggi
dari selat malaka, yang mengusir bahasa melayu…
bersama pongpong yang bergerak lamban, aku menghirup angin garam, dan telpon genggamku
masih memiliki sinyal. antara rambut gimbal saut dan kacamata bode, aku mendegar sorak-sorai
orang-orang membangkitkan yang mati, jadi hantu laut yang merompak pelayaran bahasa…
o, pong pong pong pong
pong pong pong pong…
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae