Jumat, 18 September 2009

Sajak-Sajak Afrizal Malna

http://www2.kompas.com/
Kamar yang Terbuat dari Laut

Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di Tomia, Buton. Setiap malam, di antara suara batukku, demam yang tinggi, aku mendengar nafas laut. Laut yang tak punya listrik. Laut yang menyimpan masa kanak-kanakmu. Sebuah kamar yang dihuni orang-orang Bajau. Mereka, laut, kamar dan orang-orang Bajau itu, bercerita tentang …

Sajak-Sajak Beni Setia

http://www.surabayapost.co.id/
OUT OF DREAM

di antara punya uang dan punya
utang terhampar padang impian:
pengharapan empat varian angka
dari empat belas kali pacuan kuda

Sajak-Sajak Arif Junianto

http://www.surabayapost.co.id/
Berkalung Mendung

demi segala kabut di puncak laut,
aku menunggumu
kerudung yang berkalung mendung
terkibas oleh riuh yang begitu deras
sebab jejak telah demikian koyak
dan waktu begitu bisu,
mengeras keras
tepekur ini,
wujud segala kata yang mengumpar
pada palung yang tak berdasar
serupa hujan yang kutulis, memusar
pada rumput, pada lumut,
dan bangkai perahu yang ditelan dermaga
seperti peziarah yang lelah memunguti arah
dan menyetubuhi tanah-tanah
demi sungai yang berhulu di dadaku,
aku menunggumu
tibatiba rapalan doa
yang menjelma sempurna
menjadi selembar peta
ah, tetapi dunia begitu luka
bahkan dalam keriuhanmu,
kerudung yang berkalung mendung itu
begitu saja penuh duka
jarakmu, jarakku, jarak kita
adalah wujud maut
berkarib dengan pantai
yang terus susut
bagimu,
mungkin kerudung bukan sekedar
berkalung mendung,
sebab bebatu kali
jelmaan langit yang menghantam bumi
hingga membuat tubuhmu: tubuh kita
begitu tak berjarak dari segala
retak
mungkin puisi hanyalah secuil sepi
yang oleh penyair,
dilebur dalam bahasa
yang begitu getir

Surabaya, 2008



Sebuah Perkenalan

aku mengenalmu dari gumantung kabut
dari gerimis yang dibaptis
laut, adalah persinggahan terakhir
hening tebing terpelanting
mencair, dalam belukar
yang mengungsikan ingataningatan liar
dalam kamar penuh mawar
yang tak pernah terlihat mekar
ijinkan aku menyebutmu, penyairku
sebab syair tak terasa anyir, di tanganmu
takdir mengalir, limbung
sepi yang dilarung mendung
dan segala kerinduan akan kematian
(aroma keranda, jasad kamboja
dan jejak-jejak mayat yang tersayatsayat)
lalu terciptalah kabut itu,
sebagai wujud perkenalan kita, penyairku

Surabaya, 2008



Aubade

adalah matamu yang melahirkan sajaksajakku
melampaui malam,
pada dasarnya yang paling kelam
lalu tubuhku begitu saja terlempar
di sebalik kelopakmu itu, ibu
adalah kecantikanmu, yang menggigilkanku
melebihi sepinya pagi,
dimana hening adalah awalmula segala bening
embun yang singgah di ujung pintuku
tergeragap disergap senyap
dan bulan yang lengang itu,
adalah wujud aslimu, ibu
sebab hanya raung mendung yang tiba di sini
dan segala rindu yang ditahbiskan
jutaan hujaman hujan
lalu, ibu
haruskah kularungkan segala benih kerinduan
pada denyar hujan dan geletar azan
yang ditabuh surausurau
dan selalu terdengar parau
ibu, kini,
nanti, doamu menjelma pagi
sebab,
aku terlampau sunyi
dalam ingataningatan yang kering
membuatku begitu terasing
maka,
untukku,
rebahkanlah gunung itu, ibu
hanya supaya lidahku kembali mudah
mengucap dan melafal doa,
melepas lelah
segala masa lalu dan kibasan sejarah
ah, mungkin saja segala doa
kini sudah kehilangan banyak kata

Surabaya, 2008



Sebuah Kesaksian Kecil

merapal namamu
adalah ritus,
bagiku
(sebuah malam terbalut belukar)
hampa ialah lambang
bebatang kerontang
gelombang pasang
waktu laut berdentang
keremajaanmu, Magdalena
adalah jalanjalan panjang
sulursulur pematang, yang
kemudian menghilang
(pada bangkai dermaga
dan sejarah yang begitu dahaga)
mungkin sungai
lelah bercakap dengan pantai
saat matamu lamur
dan tajam sangkur
merajam doa
merajam mantra,
ucapmu:
“akulah kesaksian
akulah kesangsian”
saat kau undur selangkah
dari detik yang lelah
berkisah
sebab kesaksianmu, Magdalena
terlalu ranum buat kau rangkum
sebab katakata
: liang kubur bagi para pendosa

Surabaya, 2008



Metafora Doa

doamu, ibu
hidup
hanya sebatang kertas usang
; parau kemarau
reranting kerontang
dan geletar guguran
kambojakamboja kuburan
berkisah
tentang pelaminan
tentang goyang kembang mayang
serupa sekar mekar
—dalam pendar
dengan segala metafora, ibu
kau tahu
aku berdoa
jelma dentuman
gumam mendiam
lalu di hulu,
ruhmu menunggu
mulai menari
dengan iring desing angin
dan getar rintih
bende
: suara azan
yang ditabuh ombak
dan langit sore

maka,
hanya dengan metafora, ibu
aku berdoa

Surabaya, 2008

Sajak-Sajak Timur Sinar Suprabana*

http://www.kompas.com/

di mata Rindu
:cerita buat eL

di mata Rindu
barangkali aku cuma mripatdadu
tapi di mata Rindu
tiada bisa Jerit menjeratku

padahal telah ia pertaruhkan
seluruh harapan
dan padahal telah ia retaskan
segala pautan

di mata Rindu
di pandang yang menempurungiku
sungguh justru
kutemu Kalbu

luar biasa biru



di mata Nestapa

di mata Nestapa
tiada kusua cinta
segala kosong menjelaga
semua hampa
meraya
kelabu tua

rimbun dan rimba
oleh derita
oleh rasa sengsara
oleh daya siasia
kerna di mata Nestapa
jiwa selalu menghunus pedangnya

terarah ke jantunghati bungabunga



di mata Gulita

tak ada jelita
membayang di mata Gulita

tak ada gerimis hari senja
meriwis di mata Gulita

tak ada warna bungabunga
merona di mata Gulita

tak ada
selain Tiada

sungguh tak ada



di mata Malu

di situ
apa yang kaulihat masih berpintu

selain syahwat memerah dadu

itulah sebab mengapa di mata Malu
tiap riwayat bercadar ragu dan bisu

selalu



di mata Kata

tiap hari
badan, tubuh dan diri
teruji Janji
sampai hijaulesi

di mata Kata
jiwa senantiasa ditempa
biar keluar kilaunya
biar berubah biru merahnya

meski bukan oleh tangantangan dewa



di mata Bunga
:dalam mimpiku
gus mus bersorban Ungu

timur tidur
mendaur umur
di tidur timur
tiada yang pejam atau mendengkur

:hening sunyi tak terkata
namun tiada kosong terpeta
kerna kangen dan cinta
mengembuni nafas tidurnya

tiap ketika timur tidur
ombak, angin dan bintangbintang berbaur
senyum, bisik dan pelukcium bertabur
beri nyala segala suar dan saur

:gema menggempita tak terkira
berjalinpilin saling menyatakan cinta
kerna yang paling dibutuhkan dunia
memang sedang hanya Cinta

ungu bersemu merahdadu



di mata Cinta

di mata Cinta
tak mukim cuma Cinta ternyata
lebih banyak cinta ketimbang Cinta
tanpa pandang mata gembira

di mata Cinta kau bisa pilih sesukasuka
mana jenis luka dan bahkan nestapa
yang semula kau sangka Cinta
ternyata tapi hanya sekadar cinta

“ikutlah aku,” bisik Kalbu
tapi engkau memilih terpedaya kilau itu
meninggalkan Ia yang berbisik kepadamu
menjadikannya bertahun menanggung Rindu

“selalu kutunggu pulangmu,” ratap Kalbu
tapi engkau menuju Pergi ke banyak pintu
meski padahal jalan tiada berbatubatu cuma satu
tapi kaupilih yang berbadaibadai itu

apakah kerna engkau muda dan jelita
apakah kerna engkau perkasa penuh nyala
apakah kerna engkau merasa diri putra angkasa
apakah kerna engkau putus asa

di mata Cinta ada yang pelahan berkata,
“aku tak mengenalmu, Kanda.”



di mata Tanya

ya
dan Ya
kau
dan Kau
meraya
berkilau
di mata Tanya

demi Masa



di mata Tidak

angin
baru saja singgah
sebentar
mengapung
termangu di depan papan nama
jejaknya tertinggal sedih
di tiap huruf

“siapa?” tanyamu. “engkaukah
yang mencongkel huruf we
di papan nama itu?”

cinta. kataku. mungkin Cinta

ia menggeleng
menghela nafas
sebelum menggumam suam
“pasti bukan Cinta
kerna sudah lama ia
tak lagi pernah menyambangi kita.”

o, betapa andai bisa
kembali kuusap airmata



tentang Debu

debu
di kalbu
luruh
terbasuh
senja
ditunggu Jiwa
malam
tak kelam

ingin yang congkak
sejenak terdepak
sebentar tunduk
merunduk
rembulan Jelita
mempesona
doa terkirim
takzim
biru
:sepenuh Rindu



tentang Kilau

o, siapa gemerlap mencahya dalam senyap
berkilau mengertab seluruh gelap
tak tergoda di gelombang coba
tak berpaling meski terpelanting

o, siapa selain Pencinta
…..
:engkau, Saudara
semoga di antara mereka

ada!



tentang Riang

ada yang bernyanyi
menari
dalam sunyi
:meminang hati

ada yang menanda usia
menakik nama
dalam cinta
:menghijaukan jiwa

malam terhampar
menggeletar
berbinar
:membirukan debar

doa, wirid dan dzikir
membulir bergulir
mengalir
:membeningkan pikir

lindap
tapi tak Senyap!



tentang Mata

mata mati, hati lahir kembali.
caci mati, negeri semi lagi.

ketika mata mati caci mati
ketika hati lahir kembali
ketika negeri semi lagi
:kita punya hari buat nyanyinari

meski dalam sunyi
walau di urat sepi
tapi telah jauh kita dari api
dari kata dan pandangmata berduri
yang bertahun bikin hidup nyeri

sekarang
di sini
selain terang
:mati



mati Sudah

di hati hari
cinta Mati

di cinta Mati kabut tak terperi
menyungkup negeri

ragu
mangu
:tiada yang tak kelabu

bahkan kalbu telah pula berdebu
dan kehidupan mulai selalu tersedu

kerna di hati, di hari
cinta Mati
2008

*) Menyair sejak lebih duapuluhtahun lalu. Sajak-sajaknya terpublikasikan melalui pelbagai media massa cetak yang terbit di Tanah Air dan terhimpun dalam 22 antologi puisi. Selain menyair, Timur juga rajin mengkomunikasikan sajak-sajaknya melalui pertunjukan seni baca puisi di berbagai kota di Indonesia. Kumpulan sajaknya, sihirCinta, terbit Februari 2008. Timur juga menulis cerita pendek, bermain drama, aktif dalam forum-forum bersusastra serta mengelola rumah budaya gubuGPenceng. Penyair ini tinggal di Semarang. Email: timursinarsuprabana@gmail.com.

Sajak-Sajak Indrian Koto

http://www.lampungpost.com/
Lorong Ingatan
-bersama ms

melewati jalan dan keramaian ini
aku seperti dikembalikan pada masa lalu yang jauh
kenangan yang hanya ingin kuingat sebentar saja
tapi jalan dan simpangnya
keributan dan aromanya
telah membuat aku kembali remaja
bersamamu, kususuri setiap peristiwa lalu
masa lalu busuk yang sedikit melankolis
kota, bagaimanapun bekejaran dengan waktu
tapi di sini, kurasa segalanya terhenti
aku seperti dipulangkan sebagai bocah kecil
yang menyusuri jalan yang sama;
lorong, tangga, jalan becek, dan terminal
bagaimana sebuah kota hidup tanpa terminal?
aku menduganya, di sini tak ada keberangkatan
tak ada yang kembali
segalanya hidup dengan rasa
tapi tidak juga. gedung-gedung raksasa
tumbuh dari tanah
menghapus kenangan akan cericit ban, berisik calo
dan hujan perpisahan
bersamamu, kutelusuri kota yang sumpek
tak banyak yang berubah
sekaligus menumbuhkan kecemasan baru
akankah mereka, penghuni kota, kehilangan
perihal lain sehingga kota tak lagi layak di sebut kota

2008



tersebab rindu

sebab rindu tak memiliki pintu
kau boleh memasukinya dari arah mana pun
salipkan aku kekasih, di hatimu
agar tak ada lagi yang pergi
sesiang ini, di kota yang ramai ini
orang-orang hibuk dengan diri sendiri
dan enggan berbagi dingin
aku tak berani keluar rumah
tak bisa ke mana-mana
lalu jika kau pergi, aku bisa menguntit diam-diam
aku ingin melihat keramaian
tanpa terlihat siapa pun
di hatimu, di hatimu
kutemukan tempat ternyaman untuk
berbagi rindu dan rasa sepi
jangan biarkan dirimu kosong
orang-orang, dengan kesibukan yang monoton
menyembunyikan sepi di ketiaknya
sedang dingin mengepung kita dari sudut mana pun
matahari, matahari menumpangkan lemari es
di kulit kita yang gosong
garam telah diangkut laut ke muara jauh
sebab rindu tak memiliki pintu
biarkan aku sembunyi di hatimu
di luar, terlalu menakutkan
dan aku tak ingin berbagi rasa dingin dengan siapa pun
mungkin juga denganmu, sebenarnya

Yogyakarta, Juli 2



Lidah Kabut
-Raudal Tanjung Banua

Menyusuri lekuk tanjung dan palung yang lain
aku seperti melayari tubuh ibu
saat dimana duka cita menyerang malam-malam.
Hujan menduga-duga setiap ingatan
lewat lenguh cuaca yang terselip di ujung kampung.
Rumah adalah kubus-kubus sungai, kubus-kubus ingatan
tempat ibu menanam rindu.
Layar telah dipasang,
keberangkatan tak mesti melayari pulang.
Dan matahari, kedalaman yang entah di mana ujungnya
telah menyeretku dalam pusaran
yang mendamparkanku pada sajak demi sajak.
Angin melolong sedih, antara luka dan kesepian
ketika pantai tinggal segenggam ingatan.
Angkat sauhmu, uda
kita berlayar di laut ingatan.



Bagi yang cemas di Tapal batas

Aku akan pulang,
Sebelum kau sempat pamit
Duluan.



Ekstase II

mengenalmu, aku hanyalah jejak
dan kau adalah bayang
yang bersisa dari mimpi semalam
tatkala laut dipukat lupa
di sebuah malam yang hampir padam



Ada yang Tidak Biasa

ini malam yang dulu-dulu juga
dengan segala yang tampak sama
ada yang lain tumbuh di sini
menyelinap di tubuhku
getar yang tiba-tiba berlabuh
pada-Mu
——–

*) Lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, kampung kecil di Pesisir Selatan Sumatera Barat. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bergiat di Rumahlebah Yogyakarta. Bersama kawan-kawan mendirikan Forum Diskusi dan Analisis (Fodka) yang intens mengkaji sosial-budaya dan filsafat. Ikut mendirikan dan aktif di Rumah Poetika. Beberapa tulisannya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat di media nasional dan daerah. Puisinya dan cerpennya termuat dalam beberapa antologi bersama.

Sajak-Sajak Sri Wintala Achmad

http://www.lampungpost.com/
Ikan dalam Kolam

Di permukaan kolam, ikan mengecipakkan kegelisahan
Hasratnya meraih bulan jauh dari rengkuhan
Di dalam kolam, ikan meluncurkan kehidupan kecilnya
Seperti anak panah yang melesat tanpa arah
Di dasar kolam, ikan menidurkan keputusasaan
Berbantal bayangan bulan yang pupus di pagi hari

Cilacap, 05022009



Pelajaran I

Tofan berpusar seperti naga api
Mengajarkan pada Bima
Lelaki kecil yang
Bakal menyelam ke dalam lautan rahasia
Di mana Ruci, protret diri
Tersingsal di lipatan hati

Cilacap, 01052009



Pelajaran II

Lelaki kecil menerobos badai
Bersenjata tombak warisan moyangnya
Mencuri putri pembayun yang
Terpasung di balik tembok baja
Di mana setiap pintu dijaga prajurit pilihan
Bertopeng dengan mata api
Lelaki kecil pantang pulang
Demi cinta, kematian telah dipertaruhkan

Cilacap, 01052009



Pelajaran III

Seperti kekupu terperangkap di dalam ruang
Berpintu-jendela terkunci
Aku adalah lelaki bodoh yang
Menghabiskan usia dengan pemberontakan tersia
Aku adalah cicak yang terjebak
Ke dalam gelas berampas kopi
Memertaruhkan maut demi kenikmatan sekejap
Lantas kebodohan macam apa lagi ini?
Berakhir aku seperti kau
Lelaki pengembara yang tak mengenal peta
Hingga buta jalan pulang
Selain kebodohan sebagai guru pilihan

Cilacap. 07052009

*) Lahir di Sleman, 29 Januari 1964. Pernah kuliah sebentar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Menulis dalam tiga bahasa. Karya-karya sastra dan esai seni-budayanya dipublikasikan di berbagai media massa dan tergabung dalam beberapa antologi kolektif. Sekarang tinggal di Cilacap Utara, Jawa Tengah.

Sajak-Sajak WS Rendra

http://oase.kompas.com/
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu

Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban

Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban

Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya

Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang diluar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya
Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
Namun
Sesalkan mana yang kau kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan

Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
Mereka harus pulihkan darjat kalian
Mereka harus ikut memikul kesalahan

Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengahwini para bekas pelacur
Adalah omong kosong

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulur keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.



Nyanyian Suto untuk Fatima

Dua puluh tiga matahari
bangkit dari pundakmu.
Tubuhmu menguapkan bau tanah
dan menyalalah sukmaku.
Langit bagai kain tetiron yang biru
terbentang
berkilat dan berkilauan
menantang jendela kalbu yang berdukacita.
Rohku dan rohmu
bagaikan proton dan elektron
bergolak
bergolak
Di bawah dua puluh tiga matahari.
Dua puluh tiga matahari
membakar dukacitaku.
Nyanyian Fatima untuk Suto

Kelambu ranjangku tersingkap
di bantal berenda tergolek nasibku.
Apabila firmanmu terucap
masuklah kalbuku ke dalam kalbumu.

Sedu-sedan mengetuk tingkapku
dari bumi di bawah rumpun mawar.
Waktu lahir kau telanjang dan tak tahu
tapi hidup bukanlah tawar-menawar.



Rajawali

Sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

Rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana

Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka



Doa di Jakarta

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan -
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.



Sajak Pertemuan Mahasiswa

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan

lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan

kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : “kami ada maksud baik”
dan kita bertanya : “maksud baik untuk siapa ?”

ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
“maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?”

kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah – tanah di gunung telah dimiliki orang – orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat – alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
“lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu – ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak – cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan – pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra

di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !



Pamflet Cinta

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sihat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.

Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan.
… Sebenarnya apakah harapan?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
*Punggungku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!

Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.

Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Sajak-Sajak Herasani

http://www.lampungpost.com/
Aku dan Mimpi-mimpi-Mu

Beranjak dari pertunjukan senja
ada yang masih belum berakhir
sebagai kisah;
perempuan beraroma cendawan menyisir kelam rambutnya
“aku ingin menyentuh malam,” ujarnya
Dan langit tak benar-benar kosong
ada geriap gemintang juga simpul bulan
Juga ruang bisu, senyampang waktu
“aku merindukannya,” lenguh kisahnya
Sementara kakiku telah lama beku
tak kuasa melangkah serupa pengelana menuai kisah-kisah
membuat cerita dari ruah mimpi
juga kutuk lunta
maka kulipat peta ku bekam kata
Menunggunya lindap dalam dekapnya

Tanjungkarang, Januari 2009



Embun Itu Turun di Matamu

Embun itu turun di matamu, bersama pagi yang pecah
aku tahu jalan bukanlah jarak; antara mataku dan matamu
tak ada celah tak ada lain kisah
Di setiap pagi aku menadah embun
yang menetes dari matamu
Dan di pagi yang ditentukan
seperti rindu;
aku telah beranjak meninggalkan pagi

Tanjungkarang, September 2008



Bulan yang Kuburu

bulan yang kuburu
kepundannya hitam
pohon yang kusemai
bersemi bulan
dongeng ibu bulan telah berdebu
anak-anak melupakan mimpinya
di warung kopi bapak bicara
“aku akan mencuri bulan tetangga!”
orang-orang gaduh
bergegas pulang menyembunyikan bulan
sejak itu bapak tak pulang-pulang
orang-orang tak lagi gaduh
di warung kopi mereka termangu
mendengar jerit lengking ibu
bulan yang kuburu
kepundannya masih hitam
; dimimpi-mimpiku

Tanjungkarang, September 2008



Salam Pada Hujan

seperti mimpi; hilir mudik aku bertualang
pada separuh perjalanan
bisik rindu tak mau beku dari bibirmu
yang selalu menunggu;
kapan langit jadi biru
dan sampai hari ini
masih kau titipkan kata
yang tertulis pada igauan terpanjang
: salam pada hujan
dalam kepergianku mengiringi langit biru

Tanjungkarang, 2007

*) Lahir pada 25 Juli 1988. Berkarya di Sekolah Kebudayaan Lampung. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Puisi-puisinya pernah dimuat di Lampung Post.

Sajak-Sajak Dody Kristianto

http://www.lampungpost.com/
kidung pengelana

bertahun, telah jauh
aku meninggalkan rumah
tak kuhapal lagi
mana letak pintu
dan jendela
bahkan tempat halaman
yang tak kutahu
seberapa luas dan sepinya
karena telah kusinggahi
segala wujud rumah
di seluruh penjuru benua
rumah yang nampak sama,
rumah yang menipu mata
yang perlahan mulai renta

2009



seseorang semirip dirimu

seseorang semirip dirimu
berdiri di sela hujan
di mana waktu
hanya sepenggalan pesan
pergi dan datang
“apa kabar?”
sapamu pada kesunyian
kau masuki halaman
tempat puisi pernah bersarang
lalu kau temukan
seseorang semirip dirimu
berdiam di malam lengang
malam puisi dan bulan
berwarna sepersis kelam

2009



tembang penimang hujan

kami suka menimang titik hujan. kami tergoda pada liris air yang lupa jalan pulang.
air yang tumbuh serupa kumpulan danau di ketinggian. air yang memandang kami
bagai anak-anak dengan tatap paling lengang
di lain waktu, titik itu kerap singgah di kulit kami, di pepori, lantas mengalir ke hati
kami. kami selalu merasa, titik-titik itu ialah ikan berlompatan yang biasa kami lepas
di kala gerimis pertama tiba. ikan-ikan yang kami namai sebagai jiwa kami di masa
purba
di lain tempat, hujan itu menyimpan salam pada sepasang telinga kami.
salam dari perempuan paling kami rindukan. sebab di dadanyalah, sekian kami
mendengar degup pertama, degupkencang ketika tubuh kami lemah dan sepasang
mata kami belum mampu menilas pandang

2009



hikayat pedoa

diucapnya kata pertama, kata yang ia
dengar dari sebentang malam hampa.
kata paling diam, sediam sepi malam
di sana, ia terpisah dari kata-kata lain
dari sepi lain yang biasa melingkupi
mimpi dan tidurnya
kata kedua ia kenang dari awan-awan
berpendar. awan pecah yang ia tatap pelan
sepelan langkah rentanya di depan altar
ia selalu merasa udara tertahan,
mendekam di telinganya
ia mengira, dekam itu ialah dedoa
yang ia panjatkan, dodoa yang tak pernah
tiba di ketinggian
seterusnya ia rangkai kata dari lengang
yang menudunginya, lengang rahasia
yang kerap ia dengar, yang ia sendiri
tak tahu makna dan artinya

2009



ritual kata

kami gemar membaca doa-doa di larut petang
sebab kami percaya, sebagian dari kami
tersimpan dan menyimpan diri di lubuk kata
sewaktu-waktu, malam akan memanggil kami,
mungkin sebagian dari kami, untuk menjadi lentera
di celah sunyi, di hati dalam yang tak pernah kami raih
kami senantiasa menghapal kata-katanya, menghitung
satu dua kalimat yang biasa kami baca. sebab kami tahu
kata, kalimat itu perlahan menjauhkan kami dari sepi,
dari hantu yang terlampau sering jadi bayang-bayang kami
dari ingatan yang bersembunyi di kiri kanan kami
sebab menjelang pagi, kata-kata yang kami kira
sebagai doa itu kami pandang pelan-pelan menghilang.
kata-kata itu berubah rahasia paling diam

2009



Mosaik Tiga Masa Lalu

a. di sebuah musim rahasia
Di sebuah musim rahasia
kutemu pohon masa lalu
di sana terpahat namaku dan namamu
ketika kita diam bertemu,
saling membisu, lalu pulang
pada rindu yang jatuh
Di pohon itu pula,kupu-kupu berhamburan
melambaikan namamu di langit petang
tanpa kutahu, mereka meninggalkan
namaku sendirian di ranting kerontang
Sebab di ranting itu
ulat-ulat memamah namaku, satu per satu
sampai nama-namaku luruh, kulupakan
dan tak kuhapal, satu per satu

b. pohon renta
pohon renta, yang usianya
hanya mampu kita duga
ketika bersua di siang lapang
sebagai kanak-kanak berlarian
bersembunyi dari terik yang memanjang
kita tak bisa melawan
hingga kita temukan
sebatang pohon tua rindang
pohon penghalang; senyap meneduhkan
kupahatkan namaku,
isyarat waktu yang membatu:
aku ingin mengenalmu
kusemaikan reranting mimpi untukmu,
juga bebunga igau, juga kupu-kupu
harum bakau
agar sesekali engkau singgah
dalam sepasang nama yang kita dedah
pada rahasia paling purba

c. seperti pusaran waktu
seperti pusaran waktu dungu
senja menawanku pada masa lalu
namamu haru, perlahan lenyap
disesap rindu
sepasang degup bersitumbuh
di jantung kanakku
aku reguk haus kenangan
jalan kota merenggang, lengang
pertigaan :
tempat pohon renta menjulang,
menghilang ke langit lapang
di situ, tubuhmu semu aku rengkuh
hingga tanggal-tanggal gugur jauh

(2008)

*) Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Belajar di Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Menulis puisi, cerpen dan sedikit esai. Karya-karyanya terpublikasi pada beberapa media dan dimuat di beberapa antologi bersama. Bergiat pada Komunitas Rabo Sore (KRS) dan menjadi penggerak forum Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Saat ini tinggal di Sidoarjo.

Sajak-Sajak Yuswan Taufiq

http://www.facebook.com/mbahYuswan
jejak pusara

Retak cermin di wajah layang-layang
paras hanyalah utas angin terjerang
Hembus muram membelai ke dasar lembah
suluk menggetar di peluk gerabah

Sayat di gigir laju mendesir
Tanah berembun kembali memanggil
kenang daun-daun menuju mentari
pulang bersimbah akar tercabik

Di belahan mana hembus
liuk munajat telah beranjak jauh
terlontar wajah berlumur rajah
temali angin di riuh sergapan

Di sana kuasa
melekat dayang sehembus moksa
Diriku hanyalah puing membelah haluan
ziarah di pelaminan masa

(10 Juli 2009, sby)



bayi peminta-minta

Bayi-bayi tamasya kota
dalam gendongan jalan-jalan
Menyapa lubuk hati rumahmu
Meratapi nasib anak-anakmu

Memesan seujung kering selimut
sehangat kamar tidur
Menawarkan padamu
gigil basah langit hujan

Merengeki sengatan matahari
selepas lelap menyusu pangkuan
Hembuskan celoteh kanaknya
rindu teduh canda serambi depan

Bayi-bayi polos tersenyum
dalam seringai gendongan
salami dada penderma kasihan

Bayi-bayi terus berjalan
terhanyut hari-hari gendongan
di tidurnya yang culas

Kerdip hatinya sendirian
tatapan yang menyongsong ke depan
Kapan pulang aku kelak?

Rumahku tak semestinya!

(5 Juli 2009, sby)



perca suara

Yang teraih yang tertatih
Sembilu dahulu seberang kasih
Sepakat dukamu menyesat gardaku
Suam bilur-bilur menelanjang gagu

Sembunyi di mana sembilu
yang menahan ruam, berselisih tentang benalu?

Jikalah siur tak sempat menagih
petikan lalu yang membujur bersit
menawan letih di pangkuan benih
berharap waktu terkesima sejumput dalih

Lupakah kita terjerembab sepasang belati
menanam buih di kedalaman pekak teperdaya?

Pun pendulumku tak lagi berseteru
pada nafas-nafas bersilau di batas
menina bobo jumawa ke dasar tawa
meneriak beribu gerus tak jemu bersendawa

Tibalah salamku, lekatlah nanti serabut
berjejalan di suar-suar yang lempang
berseloroh tentang bulan sepanjang debu
bermunajat sebait laknat di jalan simpang

(4 Juli 2009, sby)



imajinasi
: dari hh

Alam, berpikir tuhan
hendak ke mana dia
berhadapan muka penjuru sangka

Tafsir yang melekatinya
tergugu angin mengabarkan liuk
denyar sukma yang bersehati makna
telentang rimba merangkum palung-palung

Yang bergerak dalam kediaman
ruh-ruh bertaburan bersandar Tuhan
pada siang malamnya yang lengang
pada riuh kata bersahutan

Melaju rumah nyali kita
bersitegang sehadap ruang-ruang
memorakporandakan alam sejalan
bentang waktu ke puncak titian jalang

(3 Juli 2009, sby)



di mana?

Di batas waktu yang tak lagi mujur
sedang harap tak jua terukur
Walau cermin-cermin seluas bentangan mata
hambar terasa rengkuh jangkauan

Di sini bayang mengikuti
Bila ke sana, tangan angan menghampiri
jadi serba rikuh dibuatnya
Di kedalaman mana sukma berayun sajak?

Ah, memang asa tak sejalan paparan
Walau bersit menapak daratan
berbalik arah lagi, lena putusan
Atau, rasa tak lagi kuasa dibutakan?

Ya biarlah
lelap saja seperti elang
Sambil sejengkal-sejengkal redamkan jejak lalu
lanyah olahan jiwa akan turut bertabuh
perlahan, pastikan pautan ketuk

Ke mana lagi…semoga!

(April ‘08, sby)



kutu kita

Telungkup mata telingamu
lalu lalang menjamahi kata
pada lembar-lembar mengeram cercah
pada sebalik catatan penjuru gagah

Terbakar langit-langit gelap
oleh geramang pijakmu menjangkau tabiat
bergejolak pada sebujur mati suri yang mengintai
dan membentangkan layar seusia kata

. . .

Telentang sukma percamu
bertebaran memeluki angin
pada tiupan-tiupan menggeletarkan jantung
pada sebalik sambaran gumpalan mendung

Kau nafasi kaki langit pengap
dengan rimbun dadamu menebar isyarat
berlarian sehuyung alam yang menjuntai
lantas mengharu biru layar sehayat kata

. . .

Doa, luka, gemuruh cita
Laku, duka, gemeretak suka
Bersemayam bumi sepangkuan
Sejawat pena bertabuhan

Dan dengung kata berjingkrak
di peluh cakrawala yang ingin tegap!

(26 Juni 2009, srby)

MITOS PERKUTUT DI TANAH JAWA*

Nurel Javissyarqi
http://id-id.facebook.com/nurelj

(I)
Beribu tahun silam-semilam
tlatah Jawa bersinambungan
kepulauan Sumatera, Madura,
Bali, subur bencah tanahnya
hewan-gemewan, tumbuhan
berjuta-juta ragam jenisnya.

Namun suasana angker menyelimuti
tidak seorang pun berani bersinggah
siapa yang menginjakkan kakinya
berselimut kabut dijemput maut
hanya setan-dedemit menghuni.

(II)
Sampailah babak Raja Rum dapat perintah
dari Hyang Suksma lewat bertapa
wangsitnya mengutus Patih Amirulsyamsu
menyeberangi lautan
mengarungi gelombang demi gelombang.

Ombak mengombak menuju kaki Dwipa
bersama Raja Pandhita Utsman Aji
membuat tumbal demi kelestarian nanti
lima ekor burung perkutut diasmak
atas guyuran air rajah.

(III)
Terbang sudah kelima burung perkutut
atas perintah Raja Pandhita
mengusir setan-dedemit dari lemah Dwipa.

Perkutut pertama terbang ke arah wetan
mengobrak-abrik setan-dedemit
ke pojok wetan pulau Jawa.

Perkutut kedua mengepak beterbangan
mengusir setan-dedemit sampai segara kidul.

Perkutut ketiga menembus kabut pepohonan
melabrak setan-dedemit ketakutan
pada pinggir dataran Jawa kulon.

Perkutut keempat mengapungkan kibasan sayap
setan-dedemit tunggang-langgang ke pantai utara.

Dan perkutut kelima berputar melayang-layang
menyapu setan-dedemit di pusaran tanah Jawa.

(IV)
Setan-dedemit bersembunyi ke dasar laut
ke jurang-jurang cadas ke goa-goa kelam
bersamaan pula terdengar gemuruh guruh
dari timur selatan utara barat bersahut-sahutan.

Gempa bumi mengamuk mengguncang angin taupan
menumbangkan pohon menancapkan dahan pedang
pegunungan hancur berkeping.

(V)
Gunung Merapi terpenggal dan potongannya terlempar
jadilah gunung Kelud, demikian pula nasib gunung Wilis
tanah longsor air meluap, pepohonan lebur terbakar.

Dan setelah berselang masa-masa angkasa gelap
berubah terang-benderang segemintang membiak.

(VI)
Kelima burung perkutut tetap hidup turun-temurun
menjelma raja-raja dalam perkampungan keramat.

Dan mungkin di antara perkutut yang kita pelihara
anak turun raja-raja perkutut pemiliki tenaga gaib
pemberian Raja pandhita.

*) Lirik cerita dari ramalan Jangka Jayabaya Gancaran.
1997 Yogyakarta.

Darah Trah Dewata

Krisandi Dewi
http://www.facebook.com/people/Krisandi-Dewi/1177407133

Sesemat kata muncrat di angkasa
Termaktub kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku, (yang hidup terlingkup megah nirwana)
Disinilah aku, (yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari cinta… kita tertawa
Menabuh genta tak bernyawa

Ini cemeti,
Yang ini belati..
Dengan mana kita pilih mati??
Tak perlu cawan menadah darahmu
Tuang saja ke mulutku, biar kucium anyir itu
samakah dengan amis punyaku.

Jubah tak senama, (yang kaummu sebut sahaya–sudra)
Telah ku koyak di pinggiran jalan
Sekarang,
aku telanjang!
Tak berkasta

Kemari cinta…
Ini prasasti, sudah kuukir tadi sembari menggurat nadi
Dan ini peti mati..
Tempat kita bergelinjang malam pertama nanti

Mari cinta, Kemarilah sang ksatria..
Bahanakan kesumat kita!
Kesumat cinta berkalang kasta

Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah
‘Darah trah dewata tumpah di tanah sudra’

Sajak-Sajak Eimond Esya

http://www.facebook.com/people/Eimond-Esya/1345467895
Short Story

Semakin jauh lagi, aku berjalan. Menempuh kilometer
penciuman hidung tajam, bibir tajam, tipis tebal rindu
yang ingin kupasrahkan di atas mayat buku tulis
yang terlentang. Halaman kebudayaan yang kosong

Seperti orang yang mengejar kematiannya lebih dini.
Setiap saat ia dituliskan. Ujung penaku berulangkali
disumbat katarak. Selaput tambur gendang telingaku
menjadi buta. Dan lambungku terbata-bata meremas
kotoran padat bubur semiotika, atau derita tuntutan
akan akhir yang bahagia.

Tapi, O betapa
cerita itu adalah seluruh hidupku. Semua huruf kususun
dengan kuas nafas. Seperti pelukis mematungkan
perempuan murung dalam kanvas. Paras agung kalimat
yang akan terus kucatat hingga alis matanya itu
akan ku buatkan epitaf dari tinta bulu rusa.

Itulah kenapa aku akan terus tinggal di sini. Di tempat
aku pernah pergi. Ketika pertamakali dulu kutemukan
seorang kekasih dalam kalimat yang berkhianat dari
arti hakikat, di atas sumpah hidup hingga lumat
dalam timbunan paragraf , dialog dan tumpukan derita
akibat,

Ah! duhai para pembacaku-
Adakah cara lain untuk menuliskannya dengan cara
yang lebih singkat selain dengan:

Karena aku begitu mencintainya?
__________________________
E.E, 2009



IBAH

Kuhikmati setangkai sunyi. Diselipkan
dengkur bulan ke telinga ranting. Dalam jari
kabut yang turun menjangkauku. Seperti
janggut beringin menyentuh pusat kelam
Kudengar Kecipak insang di dasar sungai.
Dan letupan embun yang melepaskan diri
dari pori-pori kayu.

Kubayangkan kau sembahyang: Berkibar.
Mengangkat dupa. Cawan batu, genang
emas, taburan melati. Dalam sunyi yang
kalap. Mukamu berkilauan. Tatkala kau cium
tangan ibumu. Telah kau hisap tandas
susunya.Buah sejarah yang tergantung itu.
Kini Menjelma tunas muda, sebuah cula.

Ketika itulah kemudian, di kejauhan, Bukit-bukit
mulai ditabuh. Gong bergema dan ribuan jari
serentak menari mematahkan terali Pura.
Menggelepar-gelepar dalam irama. Matahari
menerobos langit malam dan bulan membelalak
sebelum terkulai oleh arak.

Alkisah, demikianlah yang kudengar bagaimana
kau telah membuat waktu hanya sekedar tamu.
Dan mataharimu yang memberiku puncak malam,
membuatku telanjang lebih tinggi, lebih sunyi.
Lalu ketika peri-peri bertelanjang dada,
mencelupkan kaki di sungai tempatmu mandi,
tubuhku menjelma sabun cahaya

Aku menjadi demikian mutlak dan licin,
lepas dari genggaman peradaban
Tergelincir dan jatuh ke kedalaman

perkusi jacuzi
____________________________________
E.E, 2009, Kepada: Tjokorda Raka Kerthyasa



INFEKSI

Kau mestinya akan mati

dalam sepotong roti isi:
Racun tapioka
keju biru,
salad pestisida,
kacang dalam cangkang.
Mati kekal.
Seperti boneka
yang ditekan dadanya.
Kau bahkan tak akan
mampu merintih,
meski terus dipompa angin,
lambung baja
kompresor oranye tua.
Hanya perlahan
tubuhmu akan sebengkak
gusi rusak yang mengigit granit
sampai retak.
Dan menghasilkan
Uap 100 CC valium
di lobang gerahammu yang panas.
Sedikit lebih panas dari gulai
yang sedang memisahkan
gliserin dari daging has,
pahit dari empedu,
dan cacing dari cakar traktor
di ladang-ladang bunga matahari
nun jauh di sana di puing-puing
sisa savana yang beraroma
bubuk sari dan ompol bunga
Seperti pispot menampung
juluran testikel bengkak
sampah medik rantai kanker yang
menjahitmu dengan metode
tikam jejak
tusuk silang, klim hecter
dan resleting nilon
yang menutup tengkorak ibuku
dengan lempengan titanium
lalu digunakannya untuk
menyembahmu Tuhan
dalam tahajud ganda

Salvo!

Pada ruh, pada setengah ruh
Yang mengerang sebelum
menjadi
Mayat duri dalam nirvana

Kuburan magenta
______________
E.E, 2009



Batu Waktu

Desember lenyap di topi Sang Pesulap.
Aku sesat, langkahku tersaruk.
Benam sepatu busuk.
Membuat setiap jejak sesunyi bangkai.

Mestinya kupahami sejak dulu,
ia ternyata hanya membius
pada jarak yang telah ia atur.

Aku pun harus terukur.
Dalam meter waktu
bergerak menuju diam batu,
menunggu
_____________
New Year, 2004



BELUDRU

Kau cium pipiku kuberikan padamu bulan dan bintang
di pusat huruf X. Outer limit, mestinya itu puisi patah hati
Namun, bagaimana mampu kutindihkan nafsu di pinggulmu
yang padat, jika temanmu, musisi itu telah menjadikannya
akordion?

Di teras balkon, dua kelingking kami berpegangan.
Aku dan permaisuriku. Sedangkan kau, Astaga! Bukankah
Itu subversif? Kau nikahi seorang pemilik galeri, lalu lahir
anakmu yang bernama Padi. Demikianlah kita bertarung
agar tetap waras. Membendung ciuman, juga desakan tinja
di dubur tube cat murahan.

Gelap beludru, gelitik gatal dalam syaraf ngilu,
masturbasi di jok Taxi , dan kita yang gila karena bisu.
Ya, Itulah seni, Sayang. Dan kita adalah pancaran seksual
sebatang lidi yang tak tercabut dari tanah Gambut
Kini kuingatkan lagi padamu,
ada tiga kenikmatan ganjil di lidi itu

Ilusi,
Konstruksi,
Konstelasi

____________
E.E, April 2009

Sajak-Sajak W.S. Rendra

http://www.lampungpost.com/
Pamflet Cinta

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sihat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?

Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.
Air lautan berkilat-kilat.

Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.
Kamu menjadi makna.

Makna menjadi harapan
.… Sebenarnya apakah harapan?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.
Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…

Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.

Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!

Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?

Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.



Kenangan dan Kesepian

Rumah tua
dan pagar batu.

Langit di desa
sawah dan bambu.

Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.

Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.

Cinta yang datang
burung tak tergenggam.

Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.

Rumah tua
dan pagar batu.

Kenangan lama
dan sepi yang syahdu



Sajak Sebatang Lisong

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak – kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata:
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung-gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes-protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian
bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing
diktat-diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa-desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan



Sajak Anak Muda

Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.

Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum

Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.

Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua?

Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja?

Inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.

Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.

Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.

Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.

Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.

Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai
tanpa bisa mencipta.

Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
Untuk menjadi alat dari industri.

Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?

Kita hanya menjadi alat birokrasi!
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan
menjadi benalu di dahan.

Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.
Apakah yang terjadi di sekitarku ini?

Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?
Apakah ini? Apakah ini?

Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.

Mengapa harus kita terima hidup begini?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.

Dan bila ada ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.

Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.

Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.

Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.



Sajak Pertemuan Mahasiswa

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan
lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan

kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : “kami ada maksud baik”
dan kita bertanya : “maksud baik untuk siapa ?”
ya!
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :

“maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?”

kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah – tanah di gunung telah dimiliki orang – orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat – alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
tentu, kita bertanya :

“lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :

kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu – ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak – cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang
dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra
di bawah matahari ini kita bertanya :

ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !

Jakarta, 1 desember 1977

Sajak-Sajak Budi Palopo*

http://www.jawapos.com/
KIDUNGKU

kidungku tersembunyi di lengking seruling
penggembala yang nyanyi kasihnya berbatu-batu


di tanah lapang tak bertuan pernahkah kau
tebar lenguh sapi demi nyanyi sunyi yang
tersimpan dalam gerak ayun penyabit ilalang?


karena itu, jangan kau gelisahkan daun luruh
selama matahari masih punya kehangatan
daun telinga-ku tak akan terpotong
untuk makanan ternak yang
kau gembalakan sepanjang siang
**



KUTABUH REBANA

kala kau panggil tembangku yang
tenggelam di kedalaman samudera


segera kutabuh rebana di malam sunyi
harapku kau bisa menangkap gerak tari bidadari
dalam pesta kelahiran anak-anak lilin yang
berani merangkak dari rahim ibu-nya


kutabuh rebana sambil bernyanyi, ketika
semua orang terlelap di tanah pengungsian
kutabuh rebana sambil menari, ketika
gerak bidadari menyambut dendang megatruh
dengan kibasan selendang hijau-nya


kutabuh rebana, ketika anak-anak lilin
berani menyembelih kelamin bapaknya sendiri
**



SAYAP BENING-KU

kau lihat bening sayap-ku setelah merpatimu
terbang meninggalkan bulan
kala hujan merintik penuh cahaya
kau tadah kilau-nya, dengan pincuk daun suruh
tepat di bawah tetes pancuran mandi perawan


dan, seketika kau berucap tangis, sembari
melempar sayap belalang, yang
pernah kau poles warna kesumba
–kaukah pemburu cinta sayap bening-ku?”

**



SENYUM SANG JENDERAL

kusinggah dangaumu ketika angin membawa nyanyian padi
demi peluru, kulakukan persetubuhan langit dengan monalisa
persis di tengah titik api matahari aku sengaja membakar diri
bukan karena cinta, tapi demi keabadian senyum misterinya


kini, hangus tubuhku telah mencipta kegelapan yang
menjadi selimut persetubuhan abadi, dan orang-orang bilang
akulah pewaris senyum kemenangan dalam segala perang


kini, senyum misteri itu bukan lagi milik monalisa
tapi milikku, sang jenderal yang jadi penguasa kegelapan
senyumku bisa melahirkan ulat-ulat pemakan daun
yang bebas merambat di segala jenis rerumputan
manakala ilalang berani menantang langit, senyumku
seketika bisa menggerakkan petani untuk mengasah sabit
– dalam segala, senyumku bisa bicara
**

*) Budi Palopo, praktisi sastra, tinggal di Gresik

Sajak-Sajak Sitok Srengenge

http://koran.kompas.com/
Kata Berkata

Panggil aku kata
Akulah asal mula
Jangan tanya siapa si pertama mengatakanku
Aku malu tak mampu memberi tahu
Walau dengan sepenuh daya
Aku tak sanggup sebut namanya
Aku cuma kata
Asal mula segala

2008



Bunyi Sunyi
Parafrase atas musik Tony Prabowo

Bunyi-bunyi ganjil itu, kawanku, memanggilmu sampai kelu

Jiwa terkucil yang ragu, bersandar bilah bayang-bayang,
melawan arus waktu yang menderas
menggerus mimpi-mimpimu

Kibaskan rambutmu, biar debu gemerincing mengusir sepi
yang selalu menyemai di sela seloroh orang ramai

Biar gairah berpijar bagai putik bunga api,
membakar hari-harimu yang memar

Kudengar derit derita, senyaring rasa sakit paling purba,
mungkin senar-senar syaraf berdenyar didera duka,
atau raung rindu dari ruang gelap tubuh
tak tersentuh

Kata-kata gagu meniru bunyi-bunyimu, cahaya redup,
tak sanggup menjelmakan sosokmu yang gagap-gugup

Hanya hening, membentang antara damba dan hampa,
selengang padang gersang

Kau melenggang, sendiri, meracik benih bunyi:
rintih ringkik raung ricik—menjadi sunyi

Tumbuh liar di tepi-tepi, serupa lantana
merekah jingga: kelopak-kelopak luka

Bunyi-bunyi ganjil itu menyeru namamu:
derit derita, jerit sakit, denyar duka,
ringkik rindu, sengal ajal
nan kekal

2007



Lidah Ibu

Cahaya yang pendar dalam kata, bukan percik api bintang pagi

Bayang samar yang gemetar di sana,
bukan geliat muslihat fatamorgana

Ini sajak menampik suara yang disumbar para pendusta

Di sesela konsonan-vokal menggema cinta tak terlafal

Huruf-hurufku bersembulan bagai gairah bebunga,
mencerap cerah cahaya

Di bawah tanah kaki-kaki mereka menjalar seliar akar,
menjangkau sumber air

Kata-kataku menautkan daya renggut inti bumi
dan medan magnet yang dilancit lambung langit,
menggerakkan yang diam, meneriakkan yang bungkam

Larik-larikku dirimai rindu pada pencinta
yang datang tanpa predikat tanpa belati di belikat

Nafasnya meraba rabu,
kelembutannya membelai betak benakmu

Lidah ibu menyalakan lampu dalam kataku

Benda-benda yang tersentuh cahayanya pun mengada:
riuh menyebut nama-nama, piuh merajut semesta

Di semesta sajak ini tak sebiji benci semi bagi pendengki

Lidah ibuku menjelma pohon pengasih buah hati

2007



Kata Asing
: Sylvia Plath

Di negeriku, Sylvi, saat ini matahari masih rendah,
mimpiku masih basah, puisi belum usai meraut wajah

Tak perlu terburu,
bangku kayu di taman khayalmu, di mana kau inginkan aku
duduk berderet dengan kata-kata lain dari kamusmu,
masih bertabur serbuk salju, mungkin kotor
oleh tai burung dan gugur daun sikamor

Sebentar lagi, segeliat tubuh lagi

Aku akan datang dengan separuh ruh matahari tropis
bagi rerumpun perdu yang meranggas di ranjang ranjaumu

Jemariku rindu bebunyi yang menggema dari sentuhan,
selirih pekik dandelion ditakik angin muson

Bawalah, seperti biasa, roti bakar selai marmalad
tapi kumohon jangan lagi berkelakar tentang kiamat

Kami, kata-kata yang kaupingit demi mengungkit sakit,
lebih senang kausiapkan kertas merang dan pencil arang

Sebab, jika nanti kaulansir puisi kabut dan bulan ranum,
kami ingin menaswir wajahmu yang semuram tarum

Semoga kau tak lupa, Sylvi, saat itu 23 Februari:
cuaca berangin meski suhu udara tak begitu dingin,
aku tiba di taman itu tapi kau tak kutemu

Hanya perempuan sunyi, tubuh rapuh berperancah duri
mengurai benang tangis merajut repih jiwa,
seperti linguis letih merunut siapa
yang pertama melafal kata

Tapi aku menunggu. Menunggu kisah-kisahmu,
sepenggal demi sepenggal, yang membuatku kian rapat ke ajal

Sampai kutahu: kau tak lagi menginginkanku,
pun semua kata yang berbaris rapi
yang selama ini kausapa puisi

Sebab telah kaukatupkan semua pintu dan jendela,
kausumbat ventilasi dan lubang kunci, sebelum gegas
ke negeri nirkata yang kaucipta dari dengus gas

2008



Ular dan Penyair

Di Taman Edan, aku bersua sesosok kata terpuruk mabuk di pojok kalimat jorok. Rambut gimbal akar gantung beringin tua, pakaian kumal sarang kepinding dan kecoa, mulut busuk comberan mampat, tubuh gembrot burik berborok

Kusapa ia dengan cinta. Mata bara menjelang padam, kerjap binal bintang zohal. Kutawari ia mandi, pakaian bersih-rapi, sebotol minyak wangi. Siapa tahu kelak, ketika nasib tak lagi congkak, seorang penyair yang sedang cari inspirasi memungutnya sebagai anak asuh dan memberinya rumah dalam puisi yang teduh

Aku ingin kau mampus, ia mendengus ketus. Bau mulutnya alkohol kakilima. Lidah bercabang, kata-kata terucap sumbang. Kudengar ia kentut, udara pun semaput. Lalu ia muntah, menumpahkan bangkai kawan-kawannya sendiri yang ia telan sembari masturbasi

Tak ada sajak cukup kupijak, ia berlagak. Aku terlalu besar. Aku bukan kata sekadar. Segala sesuatu bermula dariku. Aku penyebab penyair lahir. Firmanku suci, perintahku dipatuhi para nabi. Penyair tak lebih dari pendusta nyinyir, bertualang dari remang ke temaram, tanpa kitab keabadian. Aku kutuk mereka: mendamba cahaya, didera derita

Mungkin saat itu tuhan pulas di selembar daun apel yang lepas. Angin berdesir, muncul si penyair. Rambut tersisir klimis, dandanan necis. Sambil mengelap ujung sepatu ia ucap salam rindu kepadaku. Kata- katanya terdengar lain, sesahdu irama latin. Aku terpukau, dalam dirinya bebukit hijau, bentang kebun kakao, kemilau danau

Sambil menimang apel malang, si penyair bilang: Aku sedang menyusun ulang kata-kata yang sengaja tak diucapkan Adam kepada Eva, tentang Lilith istri pertamanya. Kelak akan gamblang, mengapa dunia dipenuhi para pecundang. Mereka pencemburu yang tak doyan mengunyah sajak, lebih gemar memburu dan mengenyah orang bijak, bersenjata pedang dusta

Kata busuk yang terpuruk mabuk di pojok kalimat jorok itu seketika kuyu. Ia beringsut kecut, melata pergi, lalu lesap ke kobar api, jauh di luar sajak ini

2007

*) Menulis puisi dan prosa. Bukunya antara lain adalah kumpulan puisi On Nothing dan novel Menggarami Burung Terbang. Ia bekerja di Komunitas Salihara, Jakarta.

Sajak-Sajak M. Raudah Jambak

http://oase.kompas.com/
SEEKOR KUCING DI PINTU

Seekor kucing mengendus di balik pintu
menatap gerak seekor tikus menuju pintu
aku terpaku menatap ke arah daun pintu
menembus masa lalu dari pintu ke pintu

seekor kucing menerkam tikus di balik pintu
yang tidak leluasa bergerak sebab terjepit pintu
aku terpaku menatap darah muncrat di pintu
mengenang luka menembus pintu ke pintu

seekor kucing puas meninggalkan pintu
meninggalkan sisa tikus membangkai di pintu
aku terpaku menghunus luka menuju pintu
membersihkan darah menutup masa lalu
sebilah pintu



SEEKOR KUCING MENGENDUS RIMAH SAMPAH

Seekor kucing mengendus rimah-rimah sampah di kepalaku
menjilati setiap sisa yang terbuang. Aroma busuk yang merasuk
adalah aroma surga mengundang musafir-musafir kelana
untuk sekadar singgah. Sekadar istirah

entah kali yang ke berapa kucing itu kembali memuntahkan
sisa sampah yang terkunyah. Entah kali yang ke berapa ia
tak lelah menjilatinya. Lalu, entah kali yang ke berapa
para musafir sekadar datang kemudian pergi



LUKISAN RAMBUTMU PADA KIBAR SENJA ITU

lukisan rambutmu merebak rindu di antara lulur debu
meretas gairah di antara bilurbilur biru di bawah remang
cahaya yang memburu waktu, ah aku seolah menemu
lakumu dalam dekapan diam tetapi nganga itu seolah
mencair di antara mimpimimpi semu

kemarilah !
biar kita kejar bias matahari di antara rintik gerimis senja
yang mengucur di kaca jendela menggelitik rasa kita
kau tentu mengerti betapa hasrat memiliki tak pernah
berhenti

dan tembang malam perlahan melintas dari jembatan senja
yang berkibar di antara kibar lukisan rambutmu mewarta
segala cinta, maka cuaca bukanlah penghalang segala cinta
dari segala tariantarian yang meliuk di antara lukisan rambutmu
pada tatap mataku yang menunggu



KAKIMU YANG MELANGKAH ADALAH

kakimu yang melangkah adalah tapaktapak yang membekaskan
segala sejarah di atas kering rumputrumput itu menyibak segala
rahasia yang tersembunyi di tepian trotoar berdebu dan irama
knalpot jalan raya yang menembus telinga para musafir jalanan
menembus segala tuju yang masih semu

kakimu yang melangkah adalah retakretak dadaku yang rerak
di antara tanahtanah membatu mencuri serpihan cinta yang
melayang seolah debu menembus dindingdinding angin
yang dingin menggigilkan segala hasrat yang sempat membara
dan lunglai bersama gugurgugur daun yang jatuh ke bumi

kakimu yang melangkah adalah getar segala debar yang terkapar
dari resah segala gelisah meliukkan hati yang gundah tentang
sebuah hasrat yang terpendam menembus dindingdinding diam
yang mewarta segala cerita menembus loronglorong hatimu
menembus kisikisi hatiku yang penuh kesumat berdebu



SEBAB ANGIN YANG MENGGUGURKAN DAUN-DAUN

entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi
dari pohon setua hembusan sedingin angin
warna buramnya sesunyi kalender yang
kelelahan disetubuhi beribu rayap
pengab !

waktu melesat begitu cepat
berkeliling merengsek masuk di celah-celah
reranting dan cabang. Begitu gagap

entah daun yang ke berapa gugur di diri
memilah warna matahari yang menembus
ke segala ruang dan lorong sesunyi titik
air yang menitis di atas lantai lunglai
sansai !



KAULAH PENYAIR ITU
Obituari si burung merak

kaulah penyair itu yang menyihir kata
yang membunuh berjuta pendusta
mengajarkan bagaimana berdiri tegak
pada bumi, pada hati

jarak mungkin tak berbatas pada peta
yang selalu mengukung peradaban gersang
meliukliuk menarinari di bola mata nanar
pada bumi, pada hati

kaulah penyair itu yang membebaskan kata
dari segala keruwetan maknamakna pedih
dan luka, menyatu satu kata kebenaran
pada bumi, pada hati

medan, 2009



PERJUANGAN ADALAH PELAKSANAAN
KATAKATA
Obituari si burung merak

sebab perjuangan adalah sebuah pembebasan
pelacurpelacur mengibarkan beha kemerdekaan
sepanjang peradaban kotakota yang dikotakkotakkan
merdekalah, bebaslah

aduh, betapa likuliku itu membatas setiap
langkah kita yang tak pernah menapakkan
segala jejakjejak yang sengaja diciptakan
merdekalah, bebaslah

sebab perjuangan adalah nyanyian angsa
pada danau yang meliukkan kebenaran
menjadi sebuah pembenaran
merdekalah, bebaslah

medan, 2009



INDONESIA BERPUASA

setelah kita kibarkan bendera kemenangan
setelah kita pilih pemimpin teladan
setelah kita kunyah segala penderitaan
kita berpuasa
indonesia berpuasa

sebagai rasa syukur
sebagai bentuk taffakur
mengenyahkan segala kufur
kita berpuasa
indonesia berpuasa

dan bersebab puasa dari segala dosa
maka, indonesia bersih dari noda-noda

medan, 2009



MERDEKA, RAMADHAN!

merdeka, Ramadhan!
entah berapa ribu kali kita sulam
segala khianat dan buruk sangka
selama abad-abad berlari di hati
ah, jengah

merdeka, Ramadhan!
pada pertemuan kita kali ini
kuharap kita selalu berjodoh
dalam menimba sumur-sumur ibadah
ah, indah

lalu apalagi yang dicari
setelah kita beraroma surga
segala cita, segala bahagia

medan, 2009



TARAWIH AGUSTUS

mungkin tak cukup belasan raka’at
yang selalu terajut di setiap sujud
pada malam-malam sepenuh diam
aku tarawihkan agustusku yang tak
sempat bersyukur di belasan bulan
yang melesat jauh

ini mungkin agustus yang ke sekian
yang tidak akan kulepaskan pada
setiap ranjang-ranjang pengembaraan
ibadah kulesatkan menuju rahmah,
menuju maghfirah, menuju itskum
minnannar

maka, ampuni aku
yaa, Rab!

medan, 2009



BULAN PENUH KEMERDEKAAN

bulan ini kembali kita berperang
dalam menegakkan kebenaran
demi kemenangan

bulan ini kita bungkam segala nafsu
dunia yang bersarang dalam pikiran
dan hati

bulan ini bukan hanya kemenangan
yang kita harapkan, tapi kemerdekaan
dari segala cengkraman
yang menjerumuskan

medan, 2009

*) Lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karyanya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II).

Sajak-Sajak Dimas Arika Mihardja

http://oase.kompas.com/
Pesan Singkat

(1)
lihat pohonpohon hayat
relief ayatayat terpahat
embun basuh daun
tapi, poripori dahan dan rantingmu penuh daki:
bersuci!

Sajak-Sajak Oky Sanjaya

http://www.lampungpost.com/
Di Laut, Aku Menelepon Pelabuhan

Selamat malam, desir
Selamat malam, pasir
Selamat malam, angin
Selamat malam, dingin
Selamat malam kepada kau
yang ada di pelabuhan
Selamat malam kepada kau
yang ada di tengah lautan
Selamat bagi kau
yang hilang jejak dalam pendar bulan
Selamat bagi kau
yang sasar dalam bias bandar
Selamatlah keindahan
Selamatlah kesetiaan
Selamatlah ketakberpihakan
Selamat malam, Yulia.



Hukum

aku mulai percaya pada yang tertinggal. Mulai mencoba merumuskan
ketegaran bangunan. Gunung-gunung menghujam pada bumi
tanpa mengerti mengapa peduli. Aku memulainya. Membabat penyebut
yang menghalang-halangi pembilang yang tak ingin jadi pecahan.
perkalian demi perkalian, gugur nominal, dan pangkat serba akurat,
sampai juga akhirnya kugunakan akar kuadrat itu. Sampai juga akhirnya, kekasihku,
pada matamu yang sayu, plus-minus itu. Telah terujung pula usahamu
di batas integral yang ketemu. Dan berapakah luasan jejak itu?
tentunya seluas bibirku, bukan?



Penjaga Lesung Subuh

engkau kini terbaring di sebentang ranjang, sedang membincangkan,
bahwa bintang akan lebih mudah terlihat saat kelopak mata
tertutup rapat. Dan rumput, akan lebih terasa ringan
bila selimut sampai ke bahu; jemari kaki terlindung
dari bias kuku saat ia kecup kau dahulu. Artinya,
bulan purnama akan lebih terbaca dalam bening air kali
bukan saat kita turun menatap pada mata yang tak kunjung
membuka.



Bulan Goyah di Setangkai Subuh Merekah

subuh merekah
bulan goyah
daun-daun rambutan di halaman rumah mulai hilang arah
rumput-rumput, seperti biasa, mengeluarkan darah
(kecuali bila hujan, akan tampak lain)



Siapakah

Siapakah yang lebih merdeka
selain semesta bicara?
Siapakah yang lebih setia
selain kursi duduk kita?
Siapakah gerangan
bulan dalam ruangan?



Tentang Perempuan Pemotong Rumput

Dia biarkan hijaunya hilang teduh seketika
Dia biarkan kekasih yang setia
menatapnya punah di mata
Dia biarkan, akhirnya, merimba di dada.

*) Lahir di Sanggi, Lampung Barat, 13 Oktober 1988. Sedang belajar di Jurusan PMIPA Fisika Universitas Lampung. Bergiat di Forum Pembinaan dan Pengkajian Islam dan bersama yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung SKL meneliti nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung.

HIKAYAT CAHAYA RASA ARDHANA

Nurel Javissyarqi
www.facebook.com/nurelj

(I)
Rambut memanjang arang menawan
kelopak mata sendu elang lautan
alisnya pepohonan bukit barisan
hidung mancung menikam jantung.

(II)
Dua gegaris pedang ke bawah jurang
bibir kawah simpul memawar merah
aroma melati lati sukma sejati rasa.

(III)
Dewi Ardhanareswari tersenyum madu sutra
kepala sedikit menantang bagaikan kepodang.

(IV)
Leher panjang ke kawah candradimuka
pemujaan api di tungku menjilati udara
menari tarikan tarikh asmara
abunya melayang ke angkasa.

(V)
Tubuh bersih batuan marmer singgasana
tangan lentik memetik bintang kemukus
setinggi pohon jati menggayuh langit
terpetiklah kalbu memendam rindu.

(VI)
Selurus tongkat emas kaki jejakkan tanah
selembut kayu putih tertanam di pebukitan
gemulai langkah bambu ditarik angin senja
kaki rumputan tangan rembulan dewi Ardha.

(VII)
Awan berarak pulang ke pantai utara
menempuh bulan purnama memancar
menembangkan ketentraman malam:
hangat nyala unggun menyingkapnya
menghidupkan seluruh galaksi cinta.

(VIII)
Tak ada sumber tenaga selain darinya
tiada sumbu kecuali kobarkan apinya
segala raja ditenggelamkan
para pangeran dia rajakan.

(IX)
Dewi Ardhana seputri tanjung karang
lidah mengombak menjilat menerjang
gelombangnya menggulung masa-masa.

(X)
Bunga karang dalam jambangan
nuraninya terbuai rindu menderu
memandang langit lekas bertemu
kembang angin beraroma syahdu
tebar wangi kesungguhan rahayu.

(XI)
Sukmanya menyerupai dewi Parwati
lakunya separas Tribuanatunggadewi
sayapnya mengepak seelok Sembrani.

(XII)
Siapa teriris merana, terpikat laksanya
semua tokoh wayang agungkan dirinya
pangeran sunyi terbuai pekabutan asmara
dan selendang putri membalut luka hatinya.

(XIII)
Di pucuk-pucuk daunan hijau
menikam langit temu mentari
yang padam nyalakan semangat juang
acungkan keris melabrak kepalan tuan.

(XIV)
Kesumat bertemu muka membara
keris tertancap ke ulu hati sudah
darah muncrat nyawa melayang
telah ditimbangnya segala jalan.

(XV)
Cemara tujuh saksi bisu
kabut pagi bahasa syahdu
hujan gerimis pelukan bumi
seharum kembang kanthil
ke pelosok negeri jauh.

(XVI)
Siapa lagi jikalau bukan Dewi Parwati
pangeran muda terhanyut mengagumi
segala kerinduan menjelma pujaan
bunga-bunga meruh kasih sayang
tekatnya mereronceng kepulauan.

(XVII)
Nusantara bebijian mutiara mahkota raja
garis katulistiwa awan berarak ke persada
di tanah Jawa memendam cerita
Dewa-dewi menalikan sejarah
dengan udara bersentuh rasa
atas guratan pena tergarislah.

1999 Yogyakarta.

Sajak-Sajak Sunlie Thomas Alexander

lampungpost.com
Kota Kelahiran

lupakanlah namaku, maka aku
dengan sedih akan mengingat namamu
yang berserbuk
di lengang jalan-jalanmu, perlahan
kuhapus jejakku, lantaran
berdesakan kota-kota rantau di dadaku,
pun yang tak tersebut namanya
dalam mimpimu
di langitmu, kulihat bulan tak ada
selain legam yang mempersiangi kita
: dingin itu, dingin itu!
serupa legion asing, setiap akhir musim
yang basah, aku menjengukmu
dengan impian yang latah
sembari membayangkan,
barangkali sebuah kota imaji
dalam kisah-kisah liar
yang tumbuh di sembarang tempat
dan waktu
tapi aku telah kehilangan
malaikat karib di masa kecilku
yang bergantungan di tiang tiang dermaga tua,
dan karena itu tahu, kita semakin kaku bersapa
lupakanlah namaku, maka aku
dengan sedih akan mengenang namamu
yang berdebu
sebelum kapal kembali bertolak,
sebelum waktu berteriak,
dan teluk bergolak…
: atau kita mulai terang berseteru!

Belinyu-Yogyakarta, Agustus 2007



Kygrma
: bagi p.d., pelacur para dewa

ajari aku batas surga dan dosa, kau berkata
antara langit yang genting
dan waktu meruncing
tapi seperti peziarah abu-abu,
aku melintasi abad-abad yang nyeri
menyamar di tengah pesta dewa,
dan melihat tubuhmu
sebagaimana altar batu yang purba;
tempat para dewa memuja cintanya!
hingga angkasa pun lebur di bumi
karena wewangi dupa, sesajen dan bunga bunga
karena doa doa luruh serupa dedaunan basah
sedang pada gaib ceruk matamu,
puisi puisi meronta
seperti mabuk para dewa
menyihir kota-kota jadi lautan asmara
menyulap jalan-jalan jadi cahaya
seperti asinnya mantra swargaloka
pada sebuah hari yang keramat di dada
oh, di matamu, bunga-bunga bertaburan
mirip sebuah musim yang entah
dan kesangsian menyeringai
bagai kata-kata menjamu luka,
jalang menantang segala yang celaka!
ajari aku batas antara surga dan dosa, kau meminta
antara langit yang tua
dan waktu yang tergesa
tapi sebagai peziarah abu abu,
aku melintasi abad-abad yang ragu
menyelinap ke tengah pesta dewa
dan melihat tubuhmu
serupa altar batu yang retak;
di mana para dewa menangisi cintanya!
sementara puisi puisi masih meronta,
masih meronta
sampai akhirnya bergolak
bersama birahi dewa-dewa
: di kesunyian pure!

Yogyakarta, 2007



Litani Kecemasan

Tuhan muncul dan lenyap
seperti merayap dalam gelap
dan tiba tiba kau merasa
malam menjadi lebih pekat
di balkon ini, kota karam dalam pengap
dan kau pun mengeluh,

kenapa udara seperti bau mesiu?
ah, mestinya kulupakan kesedihan ini,
juga doa-doa yang tak juga sunyi
seperti Tuhan
dan rasa dingin
baiknya kita bercerita tentang vampire
atau makhluk apa pun yang lebih ganjil,
yang mengancam imajimu
atau bayangkan kita di sebuah rawa
yang terkepung para zombie
di mana mungkin kecemasan akan berharakiri…
tapi malam semakin pekat,
paru-parumu semakin pengap
dan Tuhan terus saja muncul dan lenyap
seperti ular, seperti ular, ia terus merayap
di balkon ini, kita bagaikan orang dungu
yang menunggu waktu pecah di batu
sedangkan dingin tak juga berlalu
atau membeku
karena itu, berangkatlah!
kata perempuan itu
sebelum cuaca rusuh mengulitimu!

Belinyu, Agustus 2007



Tragedi

sebuah rahasia malam yang asing:
akhir Juli, bangku kayu, jalan yang basah
menjadi hantu bagi percintaan kita!
kadang-kadang,
Tuhan memang menghilang
dan ketakutan tumbuh
sebagaimana cendawan
begitulah kau menangisi musim yang jauh
ah, betapa aku merindukan
bau tubuhmu,
juga senyum yang pias itu:
berulang ulang menusuk dada,
hingga waktu berceruk luka
tapi bukan waktu semena,
bukan batu semata
seperti selongsong peluru pemburu
bersarang dalam ingatan kita
di sebuah simpang kenangan,
di tikung jalan, sia-sia
aku meluputkan sangsi
yang bertumbuh pada cinta yang purba,
pada raut wajahmu yang melankolia
hingga seseorang melengkingkan terompet
seperti sebuah tanda perang
bagi masa silam
lalu namamu, namaku, beralih
bagai bintang di dini hari
tapi itu bulan Juli, Tuhan sedang pergi
dan kita sama takutnya menyangkal diri

Yogyakarta, 2007



Sebuah Ruangan
: in memoriam,
thong sit jung (1917-1997)

sebuah ruangan
merawat kenanganmu
dalam haru
seperti bandul jam di pojoknya
yang urung berdentang itu
seekor cecak
merayap di dinding kayu kelabu,
menghilang ke balik lusuh kalender
yang senantiasa bisu
angka-angka abadi
atau mati
kita mungkin tak sempat tahu
aku hanya menebak
kalau di luar, hari telah malam
dari ampas kopimu:
masa kanakku yang sarat ragu!
seperti apakah waktu?
bakal menyimpan sisa
percakapan kita
atau menjelma hantu
yang bangkit dari abu
barangkali, di ruangan itu pun
tak ada lagi yang kita kenali
selain masa lalu
dan melulu ditakdirkan
berwajah sendu
rumah berdinding rapuh,
kenangan batu,
masa kecil yang ragu
adakah yang lebih bengal
daripada rindu?
ah, betapa pilu, betapa pilu…
segalanya yang mengabu
juga dari keluh!

Yogyakarta, 2007

*) Lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Belajar Disain Komunikasi Visual di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia dan Teologi-Filsafat di Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sembari bergiat di Komunitas Rumahlebah dan Komunitas Ladang.

Iblis Tanjung Barat

Binhad Nurrohmat
http://www.lampungpost.com/

Tak ada yang kucinta selain tuhan
namun tuhan gandrung kepada Adam.

Bijakkah tak kubenci umat manusia
semembara api birahi sekujur semesta?

Tiada musuhku yang melebihi mereka
tapi tuhan memilihnya jadi sekutu
hingga kesumatku tergoda menyulut surga
dan menghanguskannya tanpa sisa.

Nirwana menjelma nerakaku yang pertama
setelah manusia menjamah singgasana tuhan
dan bara amarah membakar rasa terbuangku
sejak mereka curi kasih tuhan dan aku tersisih.

Cinta serupa tuhan yang mengutuk cemburuku
pada manusia yang manja menghuni nirwana
dan melulu menitahku tulus memujinya
semulia sujud api pada tanah liat paling hina.

Sekujurku terterungku masygul di firdaus
setelah tuhan menikam jantung gandrungku.

Kenapa gelora cinta menjelma marabahaya
sejak ada tikaman begitu dalam menganga?

Atas nama segala perseteruan dan dendam
kupupuskan segala kepatuhan yang kudus
dan kukelabui manusia dengan kelembutan
agar tuhan tahu betapa agung kesumatku.

Akan kutinggalkan surga bersama manusia
dan aku gentayangan dengan dada terluka.

Aku ingin mereka terusir bersamaku semata
dan terpenjara sesal abadi Adam dan Hawa.

Akan kupanggang dunia di tungku kecewa
sepanas sajak membara di dasar neraka
dan kerongkongku mereguk seisi nirwana
seamis genangan haid pertama Hawa.

Aku bakal hidup selamanya di semesta
karena lebih mulia ketimbang manusia.

Aku lahir dari kobar api panas jumawa
dan mereka tercipta dari tanah ternista.

Aku dan silsilahku tak saling bertikai
sebab musuh agungku umat manusia.

Kelak mereka girang membasmi sesama
sejak kurasuki kemurnian darahnya.

Kutertawakan hunusan kejahatan
menujah segala keluhuran dunia
dan kucibir semua kebajikan manusia
agar sekujurnya terlumur durjana.

Di liang telinga kemelaratan kutiupkan dusta
melebihi busuk selokan mengaliri kota-kota.

Di lubuk kemakmuran kusematkan ketamakan
seharum firdaus melenakan moyang manusia.

Kulucut kain perempuan yang segar raganya
dan semua mata pejantan rakus melahapnya.

Aku ingin murka tuhan mengutuk manusia
dan mereka mengira tuhan cemburu belaka.

Simaklah, tuhan yang mencampakkanku
berang pada dunia penuh makhluk durhaka.

Aku bersekutu dengan silsilah Adam dan Hawa
mencemari tahta langit dengan jelaga dosa.

Aku seruncing tanjung terhunus ke arah lautan
mengincar langkah matahari ke arah barat kelam
dan tuhan melulu ingin membelenggu tubuhku
dengan tangan salih manusia ringkih dan dungu.

Aku jadi awal penyesalan tuhan
sebelum Adam dan Hawa mengkhianati firman
dan mereka menjelma mula kemenanganku
setelah aku tersisih dari sentuhan kasih tuhan.

Kegelapan menjelma kerajaan abadiku
dan sarang termulia untuk membangkang.

Tak ada nyali cahaya menyentuh tubuhku
yang melebihi legam arang paling berdosa.

Birahiku lebih perkasa dari seluruh gairah manusia
dan ciumanku mengulum segala kesepian semesta.

Kujamah jantung hasrat para nabi dan orang suci
hingga segala kecemasan tuhan terbangkitkan.

Untuk apa aku ada jika bukan untuk makar
pada segala cinta manusia pada tuhannya?

Kelak aku berpesta di neraka selamanya
merayakan puncak gemilang jahanamku.

Kuhuni relung terdalam gairah manusia
yang angkuh mencibir keagungan alam baka
dan kulempangkan arah jalan paling manis
untuk meninggalkan tuhan seteguh iman.

Tanpa bisikanku yang memabukkan
manusia hilang rasa menjamah dunia
dan terkubur taburan serbuk hampa
hingga godaan firman membiusnya.

Aku berkacak di puncak semesta tertinggi
menandingi kegagahan tuhan ketika muda
dan kupikat pilihan manusia lewat bujukan
yang mengecoh kesucian telinga hatinya.

Cintaku yang tercampak dari nirwana
terus meronta di sekujur perih hayatku
yang mengembarai semesta sebagai pecundang
yang bertarung demi seluruh kemenangan.

Hanya manusia tempatku bertaruh selamanya
demi merebut pengatup nganga rasa kecewa
dan memompa hasrat yang tak pernah bosan
menaklukan nama tuhan di penjuru segala.

Setelah tuhan menampik keagungan cintaku
kasih yang tersingkir memaksaku mengusir
kekudusan dari sekujur manusia dan semesta
dengan ketegaran yang menggema ke luar nirwana.

Dan kumuliakan segala kesesatan selamanya
seluhur meninggikan rasa cinta untuk kebajikan
hingga seisi semesta pergi dan tuhan tinggal sendiri
menyesali segala firman kutukan yang tak terperi.

—–
*) Lahir di pedalaman Lampung, 1 Januari 1976. Baginya, tindakan penyair adalah puisi yang ditulisnya. Menyiarkan empat buku puisi dan satu buku esai. Pada musim panas, musim gugur, dan musim dingin 2008 menjadi visiting writer di Semenanjung Korea.

Menjelang Subuh

Liza Wahyuninto
http://id-id.facebook.com/kaka.wahyuninto.liza

Ini bukan mengenai siapa saya
Bukan pula mengenai siapa kamu
Kita juga tidak sedang membicarakan siapa saja mereka
Percayalah,
Aku tidak sedang memanah rembulan
Belum ingin menatap kedua matamu yang menawan itu
Jangan pula menyodorkan tangan yang nantinya aku takkan segan untuk meremasnya
Bukan maksudku untuk menghujat atau mengkritik dirimu
Cobalah untuk lebih bijak dalam memberi makna
Bahwa aku juga manusia
Bisa salah, bisa tertawa sesekali juga bisa marah
Keinginanku untuk menatap lekat matamu telah kuurungkan
Keinginan untuk meremas atau sekedar memegang tanganmu tlah kupedam
Aku hanya ingin melihatmu tersipu
Sungguh,
Jangan merayuku di saat ini
Jangan pula kau menggodaku terlalu lama
Di saat pagi belum tiba, sementara fajar kidzib telah menyala
Mari aku bangunkan kau dari mimpi
Janganlah tidur lagi
Janganlah pejamkan matamu lagi
Aku takut surya yang sebentar lagi kita nanti terlewati begitu saja
Aku ingin kita bicara
Tapi bukan tentang pagi
Ya bolehlah kita bicara tentang mimpimu tadi
Sembari kubuatkan teh hangat
Tidak inginkah kau cicipi segelas kopi
Sudah lama aku tidak pernah tidur
Hingga akhirnya lentera kananku telah buram nyalanya
Sesekali nyalanya memerah dan tidak jarang pula begitu perih terasa hingga aku harus mengerdipkannya agak lama
Hey, tertidurkah kau?
Bangun donk, tolong dengar aku bercerita!
Tidak menarikah ceritaku, hingga yang kudengar dengkurmu?
Kurang indahkah bahasaku, dan akhirnya kulihat kau pulas dipundakku?
Atau aku terlalu mengguruimu?
Ayolah, tolonglah bangun!
Tidakkah kau jarang mendengar aku bercerita?
Sekali ini saja, kumohon aku ingin kau dengar ceritaku
Aku memang tidak pandai bercerita
Tetapi bukan berarti ceritaku tidak menarik
Aku memang tak pandai berbahasa
Tapi perkataanku tidak sulit untuk dimengerti
Aku ingin bercerita tentang kisahku kemarin
Entah mimpi atau memang aku alami
Tapi sepertinya menarik untuk kubagi
Kemarin aku memancing di sungai
Sungainya tiada airnya, apalagi ikan di dalamnya
Tapi aku tidak mengerti
Kenapa aku kemudian beroleh ikan di sana
Entah apa kebodohanku atau apa
Aku tidak bisa mengenali jenis ikan itu
Aku memang jarang memancing, kawan!
Tapi aku cukup paham jenis-jenis ikan di negeri ini
Jangan beranjak dulu
Ceritaku belum usai
Tunggulah sebentar, akan kuceritakan klimaksnya
Ya sudah, kuberi kau lima menit untuk cuci muka
Atau hanya sekedar membebaskan air seni yang sedari tadi kau tahan untuk keluar
Ayolah cepat, jangan biarkan aku menunggu
Aku takut ceritanya tak menarik lagi
Kulihat kau lega
Cobalah bercermin, mukamu begitu berseri pagi ini
Telah dilantunkan ayat-ayat-Nya di Mesjid
Berarti akan segera muncul surya yang kita tunggu
Kawan, ikan yang kudapat berwarna biru
Tidakkah kau terkejut dengan itu
Seumur-umur aku belum pernah melihat seekorpun ikan yang berwara biru
Entahlah jika diberi pewarna
Mungkin lain lagi ceritanya
Lebih aneh lagi
Aku memergokinya berbicara ketika aku sedang tertidur
Tidak ingin mengganggu atau mengacaukan suasana aku hanya menajamkan pendengaranku
Tidak begitu kupahami apa yang sedang dia bicarakan
Tapi sepertinya ia mengaji
Ya, mengaji, kawan!
Karena Aku hafal betul ayat yang dilantunkannya
Dan sepertinya suara itu, suara ikan itu seringkali kudengar
Tapi aku lupa kapan, di mana, oleh siapa ayat itu dilantunkan
Tidakkah ceritaku ini aneh?
Kenapa kau menertawaiku, ada yang lucu dalam ceritaku?
Pasti kau berpikiran aku membual
Atau aku sedang mengada-ada
Jangan-jangan kau mengira aku sedang mengigau
Tidak kawan!
Aku tidak pandai membual
Meskipun dulu pernah membual, tapi aku tlah lama meninggalkan kebiasaan itu
Aku juga tidak pernah belajar membual, ikut diklat membual atau sekolah membual
Nuun, Walqolami Wama Yasturuun
Tidakkah aku pernah mendengar kau melantunkan itu
Entah ketika kita sama-sama mengaji di surau
Atau ketika aku memergokimu ndarus Al-Qur’an pada bulan ramadhan
Aku dan kau paham betul ayat itu
Bukankah Haji Ma’aruf pernah memberi tugas kita untuk menghafal 10 ayat dari surat tersebut
Dan tahukah kau
Ikan tersebut melantunkan ayat-ayat yang pernah kita hafal tersebut
Bacaannya begitu fasih
Meskipun samar kudengar, tapi aku tidak mendengar ada yang salah mengenai tajwidnya
Apakah ini kritik dari Allah karena aku tidak pernah membuka Al-Qur’an lagi?
Apakah ini kemarahan Haji Ma’aruf karena kita tiada pernah lagi bersilaturrahmi?
Apakah ini …Apakah ini …Apakah ini dampak demam rinduku pada Hafidzah-ku (Penjaga)?
Baiklah, sudah panjang ceritaku
Aku kira, sudah saatnya kusudahi
Agar esok aku bisa bercerita lagi padamu
Kawan, lihatlah sudah pagi!
Indah bukan?
Aku rindukan saat-saat ini
Aku rindukan di mana antara aku dan surya beradu mata
Karena aku takkan pernah kalah bertatapan dengan surya

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae