Sabtu, 24 September 2011

Sajak-Sajak Benny Arnas

lampungpost.com
Kembang Putih di Atas Perahu

Kularung ibu di samudera yang meliuk di taman tanpa tiang
Ia hanya mengembara
dengan biduk pelepah air mata,
dengan sauh yang membuat laut berkibar dalam
belanga yang berperigi gunung-gunung

Sajak-Sajak Tia Setiadi

http://www.lampungpost.com/
Ode untuk Daun-Daun
: Jingga Gemilang

/1/
daun-daun yang jatuh adalah surat-surat
yang mesti kau baca.

hijau atau jambon warnanya
adalah warna lembaran hatimu sendiri

Rabu, 21 September 2011

Sajak-Sajak Syaifuddin Gani

http://www.lampungpost.com/
POHON AIR MATA

sebuah pohon menggugurkan bunga-bunganya
buah berpamitan kepada tangkai
daun lerai ke sungai
masih sempat seekor burung menangkap sebutir buah merah
sebelum tersungkur ke batu
ditanggalkannya kulit ari hitam

Jumat, 16 September 2011

Sajak-Sajak Fikri MS

http://sastra-indonesia.com/
Nafsuku Tergeletak
Kepada Nurel Javissyarqi

Di beranda waktu
Ketika hujan habis dimamah angin
Kubaca Kitab Para Malaikat

Mengunyah aksara demi aksara di dalamnya
yang terasa pucat di lidahku

Udara dingin bertandang mengetuk pintu
Mengantarkan seorang perempuan kepadaku
Wanita itu berkerudung jingga

Wanginya bergairah menyapaku
Lalu sukmaku mempersilahkan ia masuk

Aku gelisah memperlakukannya
Sebab tiada kue atau minuman di meja makanku

Sementara kitab yang masih kupegang seakan-akan menggodanya
Ia menatap
Bertanya, matanya berkaca-kaca

Aku segan untuk membalas
Ia mendekat aku hanya tersenyum

Wanginya berbisik lembut
Kusudahi bacaanku menatapnya
Ia tiba-tiba menghilang seakan masuk ke liang sajak
Tanpa salam dan pesan
Hanya desah yang terlepas

Lalu nafsuku tergeletak di teras beranda
Digumuli sangsi.

September, 2011



Kegagahan Para Filsuf

Sementara para demonstran berunjuk rasa
Merubah warna
Putih pekat menjadi merah

Lalu-lintas kata dalam kota padat gemuruh
Dan lampu-lampu malu bertanya
Kepada siapa hati terpikat?
Pesona senyum bintang iklan

Kabut tipis menepi menyingkap cadar malu-malu
Dosa kecil dosa besar berumah di tepi telaga
Dekat sarang ular besi
Yang kehilangan jalan sebab mereka terlelap
Saat penyuluhan program KB
Sementara kali-kali sunyi setenang danau di bukit makna
Namun tiada teratai sudi mekar
Karna PT. Kuasa Jagad meramu tinja paling laknat

Di bawah matahari dan takdir rembulan
Zebra-zebra terbaring lemas
Lelah bertarung melawan protes penggusuran
Bersenjata ganti-rugi

Di gudang mesiu dekat taman bunga kupu-kupu
Para teknokrat berkicau ricuh
Gunung mana yang mau ditebas
Belukar mana yang baik untuk ternak Impor
Asal Inggris dan Prancis

Para filsuf sibuk menghitung bulu di betis Dewi Kesenian.

September, 2011



Fajar Mengelupas

Sebentar lagi fajar mengelupas
Sementara orang-orang terlelap dalam mimpi
Yang mereka pesan sejak kemarin
Meski tanpa kesadaran akan datangnya dalam tidur

Aku masih terkurung keraguan
Memintal do’a untuk para nasib dan takdirku

Yang telah sekian puluh tahun berkelana
Mengarungi samudra
Menuruni lembah ketakmanusiawian

Jangan-jangan yang terkubur selama ini bukan kematian
Ada sangsi yang menukik ke dalam jantungku
Menghentikan detak yang menggerincing

Ya…
Pada suatu ketika yang hampir sempurna
Mungkin ‘kan kutebus janji yang kau ucapkan sejak kanak-kanak kita dulu

Bahwa mengabdi bukanlah kutukan manusia
Dan do’a sepanjang jaman adalah nafas yang tersengal
Meminta pengampunan tatkala birahi baru saja lenyap?

Tidak!

Waktu tentu berbaik hati kepadaku
Karna usiaku bukanlah kesia-siaan yang bersemedi di kuburan kesempurnaan.

September, 2011

____________________
Fikri MS, lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda) di kampung halaman sampai sekarang.

Kamis, 15 September 2011

Sajak-Sajak Goenawan Mohamad

http://sastrakoran.wordpress.com/
Pada Album Miguel de Cavorobias

Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda,
kecuali warna sepia.

Pundakmu
yang bebas,
akan kurampas
dari sia-sia.

Akan kuletakan sintalmu
pada tubir meja:
telanjang
yang meminta

kekar kemaluan purba,
dan zat hutan
yang jauh, dengan surya
yang datang sederhana.

Akan kubiarkan waktu
mencambukmu,
lepas. Tak ada yang tersisa
dalam pigura

juga api yang tertinggal
pada klimaks ketiga,
juga para dewa, juga kau
yang akan runduk

Kematian pun akan masuk kembali
kembali, kembali…
Mari.
Kuinginkan tubuhmu

dari zaman
yang tak punya tanda
kecuali
warna sepia

1996



TIGRIS

Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan

Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan

Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi

Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi

Setelah itu, kita tak akan di sini

Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?

Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah

Jangan menangis.

Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api

“Ababil! Ababil!” mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.

Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah

Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.

(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)

1986



TENTANG SEORANG YANG TERBUNUH DI SEKITAR HARI PEMILIHAN UMUM

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”

Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan -senter, suluh dan
kunang-kunang -tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.

“Berikan suara-Mu”

Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya?

“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku?”

Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.

“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”



DI MALIOBORO
–kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965

Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg

Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.

Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.

Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam

seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.

Mataram, katamu, Mataram…

Ingatan-ingatan pun bepercikan
–sekilas terang kemudian hilang– seakan pijar
di kedai tukang las.

Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.

Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya

Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,
kepundan seperti sebuah radang,

dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi

Trauma, kau bilang
(mungkin juga, “trakhoma?”)
membutakan kita

Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.

Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.

1997

UNTUK KEPULANGAN WS RENDRA

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

”jika sang penyair benar-benar meninggal
tak sia-sialah segala perjuangannya
maka damailah di sisi-Nya”

Meski pun tidak pernah bertemu
tapi kurasakan degup jantungmu

dari balada orang-orang tercinta
kau kenalkan tari-tarian jiwamu

aku merambah masuki nalurimu
yang senantiasa girang perkasa
tampan penuh dinaya pesona,

sedari bulir-bulir air matamu
membanjirlah cahaya rasa

oh…
aku merinding menulis ini
diserang demam menggigil
entah dari mana datangnya

kau seakan menghampiriku
berwajah tegar lantas buyar, tapi
masih menungguiku sedari dekat
saat aku menuliskan catatan ini

aku melihat kau tersenyum
lalu mengelus-elus rambutku
atau ini hanya perasaanku saja

atau semua para penulis sajak
di tanah air ini merasakan pula

aku digetarkan sentuhan aneh
lebih ganjil dari sebelumnya
lebih gaib dari yang terbayangkan,
aku merasa, dan turut merasakan

sebab jikalau suatu negara
tanpa seorang pun penyair
yang mampu bersuara lantang
bukanlah negeri yang adiluhung

kau tidak sekadar penyair, pujangga
yang dikarunai daya dinaya melimpah

dari kata-katamu mengalir deras
menerjang lahar halilintar tumpah
seolah kutak mampu berkata-kata
tanpa kehadiranmu

rasa kehilangan itu luar biasa
tanda-tandanya telah hadir
ikut keseluruh getaran jiwa
memasuki rerongga sukma

dan seperti terbayangkan
kau selalu tersenyum ramah

kaulah tonggak perjuangan
lambang tiada menyepadani

nafasmu-nafasku, oh…
bau kembang itu kau hantarkan kepadaku
kau kabarkan serindang daun ditiup bayu

malam ini kau begitu khusyuk
membuatku tiada sanggup
mengatur jalannya kalimah

sayap-sayapmu
terus mengepak ke segenap cakrawala
membuyarkan awan gemawan bimbang,
bulan malam ini ialah saksi kepurnaanmu

Rendra,
bulan malam ini hadir hanya bagimu
oh… tubuhku teresapi daya entah

aku tak tahu lagi apakah ini sugesti,
kau benar-benar mengendap kemari

damailah di sisi-Nya
seperti embun berpeluk daun-daun
cahaya di bayangan pohon-pohon,

cukuplah bulan saksimu malam ini
sedari sekiankali perjuanganmu

dan apa yang kau torehkan
lebih nyata dikemudian hari
lebih segar dari bebauan kembang
lebih harum dari bunga ketinggian
lebih santun dari tubuh rerumputan

dan maafkanlah
selama usiaku tak menjengukmu
namun kuyakin kau tahu akan itu

aku bukanlah siapa-siapa
hanya pengelana semata

oh Rendra
semakin jauh kau tinggalkan bumi ini
semoga wasiatmu senantiasa hidup
berdegup jadi pusaka dan warisan
bagi generasi-generasi selanjutnya

kaulah sang pemangku itu
entah siapa lagi setelah kau,

jiwamu besar tapi kau tutupi
dengan kerendahan kalbu

aku menjadi malu,
seperti kau tampar mukaku
serupa tidak sudi melihatku

tapi sungguh tamparanmu sangat terasa
bekasnya mengenai mengembaraanku

aku kembali digetarkan kesaksian
lebih merinding sedari berdenyut
ada sejenis puncak yang entah

bukan ketinggian karang
bukan tajamnya tombak
bukan pula kilatan petir

sesuatu yang sulit dikatakan
entah dari mana datangnya

aku tertunduk saat itu
bersimpuh di hadapanmu

lalu kau angkat tubuh ini
bersatu nafas kembali,

kau berkata;
marilah kita kembara
marilah bersentuhan mesra

dan enegimu semakin tinggi
ketika kau terus berkata;
marilah… marilah…

Rendra,
aku turuti kehendak Syah
aku tak berdaya digetarkan
gemeretak tak ingin limbung

lantas angin itu mengupas halus
bagai sentuhan malaikat maut
sampai kemari,
sampai padaku

namun kau yakinkan diriku
tangan ini harus terkepal
padat dan semakin kuat

aku tak tahu
siapa yang menyelami
; apakah kau atau aku
antara jiwa dan raga
sukma segenap aura

aku tak sanggup membedakan
getaran rasa gemeretak logika

aku diserang kau, ataukah jiwaku
sedang berduyun-duyun padamu

dan terlihat kau tersenyum
persilakan semuanya datang
menghadirimu terakhirkalinya

setiap kali kuhadirkan titik
nadi menggemakan suara
huruf-huruf kau lalui pun
jadi saksimu juga mereka

Rendra,
apakah sebelumnya kita berjumpa?
sampai aku merasakan keganjilan ini
tidakakah kita tak pernah bertemu?

kau selalu hadir murni bagiku,
dan diriku dibuyarkan teka-teki

hanyutlah segala detak nadimu
atas muaramu yang lantang itu
kepada segenap kepala
mereka tahu sebenarnya

; kata-kata tanpa suara
seperti penjara
kata-kata tanpa logika
seperti perawan tua

dirimu
memasuki segala ranah kesatria

Rendra, malam ini kita berdua
meski banyak yang datang menghampiri
bagai awan lembut meneteskan gerimis
tubuh kita sama-sama terbuka
bercakap seperti teman akrab

kita lebih jauh lagi
dalam dan dingin

kau hantarkan sajak-sajakmu
kapuk-kapuk randu beterbangan
disusul angin pilu sedari seorang
yang ditinggal ke negeri sebrang

di sini
kepulan asap rokokku benar-benar lain
seperti para penyair, namun negeri ini
tak butuhkan kata-kata tidak bersuara

aku kembali menundukkan muka
menyelam jauh ke sajak-sajakmu
disamping balada-baladaku sendiri

dan kau terkekeh
diriku tersenyum lebar
lantas kita saling merangkul
lenyap dari pusaran taupan

bukan awan yang kita kenal
lebih halus memupus semua

kita meresapi maknawi kesungguhan
hidup lebih berarti dari sebuah hidup
yakni perjuangan

jika kutulis ini di lembar-lembar kertas
tentu mewangi atas tinta penuh cinta

lantas kucium kau dalam akhir kalimah
; selamat jalan Rendra
kelak kita berjumpa.

2009 Surabaya.
http://sastra-indonesia.com/2009/08/untuk-kepulanganmu-ws-rendra/

Sajak-Sajak Mega Vristian

http://regional.kompas.com/
Namaku Leung Lai ching

Namaku Leung lai ching
aku lahir di Hung Hom, Hong Kong
orang tuaku penjual bunga-bunga kematian
rumahku dekat pembakaran mayat tapi harum
sejak kecil aku diajarkan makan dengan sumpit
bangun tidur setelah cuci muka dan sikat gigi
kubakar dupa untuk mengingat nenek moyang

mataku sipit kulitku putih
dibakar matahari pun akan kembali putih
kerjaku cuma sekolah
menjalani berbagai kursus agar pintar dan selebihnya bermain
membantu membersihkan rumah aku tak pernah
sebab ada pembantu yang bersamaku
anak-anak di negaraku hampir semua begitu
para ibu lebih suka bekerja dari pada mengurus anak dan rumahnya

– setiap pulang kerja ayah menggerutu, tak ada pembeli
bunga-bunga hilang aroma gugur layu

(Hong Kong)



Imlek


Menandai pergantian tahun
aku dan nenek Leung shiu Nam
dihajar kesibukan
rumah dicuci bersih agar sial tahun lalu
hilang tak terulang
bunga-bunga bermekaran
berdamping sesaji untuk para dewa
kwaci, gula-gula siap di meja
sebentar hari lagi kerabat saling berdatangan
berpeluk sesaat sambil mengucapkan kata-kata bijak
bertukar am pao aneka warna

kusiapkan seperangkat alat mah jong
untuk mereka bermain judi
ini sekedar tradisi yang tak akan ditangkap polisi
kelakar canda tawa sambil meminum teh panas
dari cangkir kecil hijau berukir naga emas

kepul asap dupa dihembus angin
menari kesegala arah
diam-diam aku jadi kanak
menyelinap membuka am pao
aha! bocah-bocah mengikutiku
kami tersenyum menahan lepas tawa

(Hong Kong, Imlek Feb 2004)



Terang Bulan di Hong Kong

lihatlah rembulan bercahaya indah menyinari bumi
mari anak-anak ambil lampion nyalakan
agar gelap malam makin terang
kau lihat di taman-taman dan sepanjang dermaga
semua kawan
membuat pesta membawa kue dan buah-buahan
bersama orang tua diringi zitar bergembira menyanyi untuk dewi rembulan

(Hung Hom, Hong Kong, Moon cakes Festival)



Pesta Dayung Perahu

ayo dayung perahu dayung ke arahku
kalahkan arus air melajulah mengejar waktu
biarlah keringat mengalir membakar semangat
dayung sampan sambil menatap ke depan

berlomba mendayung perahu naga
mengenang tradisi rakyat china
pantai Stanley sampai sungai Shatin
sambil memakan kue Chung

ayo dayung hingga ke ujung kemenangan
perahu naga berkelok-kelok indah buih airnya melukis laut

(Hong Kong, Dragon Boats Festival)



Gunung Bak Poa

Mari kawan kita berlayar naik perahu ke pulau Cheng Chau
menikmati pemandangan indah pantai
kuil Pak Tai tempat bersemayan dewa
didepannya ada perayaan panjat gunung kue bak pao

panjat tinggi ambil sebanyak-banyaknya kue
taruh di keranjang yang menggelantung di punggung
satu, dua, tiga ayo ambil terus

Mari kawan kita lihat bersama
karnaval keliling pulau dengan aneka baju tradisi China
banyak ular naga besar berdesis-desis liar
jangan takut sebab naga-naga berkaki manusia

(Hong Kong, Cheung Chau Bun Festival)



Mari-mari Bersembunyi

senja kelam di bulan tujuh malam lima belas
bakar terus dupa diantara lebatnya curah hujan
di hari Yue Lan, arwah bergentayangan dari neraka
mereka lapar dahaga bangkit setahun sekali
jangan sesekali mengumbar emosi
ragamu bisa di pinjamnya nanti

nenek merapal doa-doa
ayah menuang arak minuman dewa
ibu mengajarkan anak-anak
memasak dan melipat uang-uangan
untuk persembahan

jalanan lengang semua bersembunyi
tak ingin melihat arwah dan setan-setan
berebut lahap menyantap sesaji di pinggir jalan sepi

— Hanya raja naga beringas menari diiringi tetabuhan dengan syair mantra

(Hong Kong,Hungry Gost Festival)

Sajak-Sajak Emha Ainun Nadjib

http://sastra-indonesia.com/
TEMBOK DAN GELOMBANG

(1)
sekuat-kuat gelombang
harus lebih kuat tembok
karena puncak kekuasaan
adalah ideologi gembok

tembok didirikan sekukuh-kukuhnya
agar gelombang terbentur sia-sia

gelombang direndam
menjadi ombak semilir

gelombang itu alam
tembok itu teknologi
kekuasaan timbul tenggelam
sedang jiwamu abadi

(2)
berhentilah memenjaraku
sebab jeruji besi dan sel pengurungku
terletak di dalam dadamu sendiri
tanpa bisa kemanapun kau pindahkan

kalau kau usir
kau pikir kemana aku hendak pergi
sedang lubuk jiwamu itulah alam semestaku
aku berumah di keremangan jiwamu
bilikku tersembunyi di balik kesunyian nuranimu

jadi berhentilah mendirikan tembok-tembok
karena toh aku bukan gumpalan benda yang bisa kau kurung
tak usah pula repot membakar dan memusnahkanku
sebab toh hakekatku memang musnah dan tiada

kau sang aku ini gerak atau semacam gerakan
padahal tak kupunyai apapun yang bisa kugerakkan
dan apabila kau jumpai bayangan gerak
pada yang kau sebut aku
hendaklah jelas bagimu bahwa hanya Tuhan
yang sanggup memantulkan diriNya sendiri

aku membesar-besarkanmu dan kau membesar-besarkanku
kita saling merasa terancam oleh enerji yang mendesak-desak
padahal ia hanyalah air nuranimu sendiri yang menggelombang
dan sebagaimana udara yang berhembus
ia berasal dari ruh uluhiyah kita sendiri

kita saling memandang melalui metoda benda
kita saling bersentuhan lewat tahayul peristiwa-peristiwa
padahal di awal dan akhir nanti akan ternyata
yang kita sangka kita bukanlah kita

engkau bisa menangkap benda
tapi geraknya luput dari kuasamu
engkau bisa menghentikan peristiwa
tetapi arusnya lolos dari cengkeramanmu

engkau bisa membendung air
tapi gelombangnya melompatimu ke masa depan
engkau bisa membuntu udara
tapi tenaganya memergokimu
di tempat yang tak kau duga

jadi sudahlah
untuk apa kau bungkam mulutku
sedangkan yang bersuara adalah mulutku
untuk apa engkau stop langkahku

sedangkan yang berjalan adalah sanubarimu sendiri
sedangkan yang bergema adalah pekikan hatimu sendiri
bergaung melintasi segala angkasa
menembus seluruh langit
mengatasi Negara-negara dan propinsi-propinsi
melompati kepulauan, samudera dan benua-benua

maka untuk apa engkau bungkam suaraku
karena toh kesunyian lebih berteriak dibandingkan mulutku
untuk apa kau habiskan tenaga
untuk membangun pagar dan rambu-rambu
sedang setiap menjelang tidur
selalu engkau diseret kembali oleh gelombang itu.



ABRACADABRA, KITA SEMBUNYI

abracadabra kita tiarap
karena tak ada janji peluru itu
tidak untuk ditembakkan ke jidat kita
abracadabra kita sembunyi
karena kata merdeka masih belum selesai diperdebatkan
abracadabra kita masuk liang-liang gelap
karena tak ada siapa-siapa yang menjamin apa-apa
abracadabra kita cuma bisa mabuk
sehingga kita tidak tahu bahwa kita mabuk
abracadabra kita semakin mabuk
karena setiap ingatan terlalu menusuk

Tuhan, kamu jangan tertawa
nyawa kami tidak hilang, hanya ketlingsut entah dimana
dengarkan tetap kami puja keperkasaan Mu
dalam kekaguman kami kepada diri kami sendiri
yang tetap bisa hidup
tanpa hak bicara dan peluang untuk berbagi
tidakkah kamu terharu menyaksikan kepengecutan kami?
dan mungkinkah kamu mengutuk rasa takut dalam jiwa kami
sedangkan ketakutan adalah anugerah Mu sendiri?

abracadabra otak kita bercanggih-canggih mengembara
berebut tema-tema yang tak ada hubungannya dengan apa-apa
abracadabra kita berjoget
karena sisa rakhmat Mu yang bisa dinikmati hanyalah situasi-situasi lupa
abracadabra kita meniup balon-balon kosong
abracadabra kita menggelembungkan tahayul agama
halusinasi politik dan mitos-mitos kesenian
abracadabra kita bercumbu dengan gincu ilmu omong kosong
abracadabra kita jatuh
terserimpung oleh langkah kita sendiri
abracadabra kita berlari ke utara
tiba-tiba dihadang oleh selatan
abracadabra kita terjun ke air, ternyata batu
abracadabra kita mengulum api
kita tersenggak oleh asap-asap yang semakin membumbung ke ubun-ubun kita

abracadabra baru kita tahu apa yang dianggap mengganggu ketenteraman?
ialah
KEBENARAN
abracadabra gerangan apa yang bagi mereka merusak tatanan?
ialah
KEADILAN
abracadabra dan apa kiranya puncak kejahatan?
namanya
KEBEBASAN

*) Dari Kumpulan Puisi “Doa Mohon Kutukan” Risalah Gusti 1995



RUMAH COR API

demi keadilan
hukum disingkirkan
demi kebenaran
pengabulan ganti rugi dibatalkan
demi ketenteraman
air ludah harus kembali ditelan

karena cahaya kemajuan harus memancar
maka panduan dan penerangan harus luas tersebar
karena program-program pembangunan harus lancar
maka terkadang pasar ini dan bangunan itu harus dibakar

lihatlah rumah-rumah cor api
lihatlah gedung-gedung berdiri di atas kuburan
batu-batanya terbuat dari kesengsaraan dan airmata
tembok-temboknya rekat oleh akumulasi ratapan
tiang-tiangnya tegak karena disangga oleh pengorbanan

diseberang itu engkau memandang
rumah-rumah didirikan
dekat di sisiku aku saksikan
rumah-rumah digilas dan dirobohkan

nun disana engkau melihat
rumah-rumah disusun-susun
nun disini aku menatap
perduduk terusir berduyun-duyun

ketika engkau berdiri di depan
hamparan tanah luas yang engkau beli
untuk mendirikan ratusan rumah
dan ribuan pemukiman manusia abad 21
pernahkah terlintas di kepalamu
ingatan tentang beribu-ribu saudara-saudaramu
yang kehilangan tanahnya

pernahkah engkau ingat betapa beribu-ribu orang itu
tak dianggap memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya
dan ketika mereka terpaksa menjualnya
mereka juga tak dianggap memiliki hak untuk menentukan
harga petak-petak tanah mereka

ketika engkau menempati rumah itu
tahukah engkau, siapa nama tukang-tukang
yang menumpuk bata-batanya
yang mengangkut pasir dan memasang genting-genting

ketika engkau memijakkan kakiku di lantai rumahmu
dan meletakkan punggungmu di kasur ranjang
pernahkan engkau catat kemungkinan muatan
korupsi dan kolusi di dalam proses pembuatannya
sejak tahap tender
sampai pemasangan cungkup puncaknya

bagi berjuta-juta saudara-saudaramu
yang tak senasib dengan denganmu
yang bertempat tinggal tidak di pusat uang dan kekuasaan
pernahkah engkau sekedar berdoa saja
bagi kesejahteraan mereka

dunia sudah amat tua
darahnya kita hisap bersama-sama
kehidupan semakin rapuh
dan sakit kita tidak semakin sembuh
langit robek-robek
badan kita akan semakin dipanggang hawa panas
sejumlah pulau akan tenggelam
lainnya menjadi rawa-rawa
anak cucumu akan hidup sengsara
karena ransum alam bagi masa depan
telah dihisap dengan semena-mena.

1994



TAK KUNJUNG DATANG

aku nantikan
kami rindukan
telinga yang mendengarkan
hati yang mengerti
di negeri ini
berpuluh tahun
terasa ngunngun
kami mencari dan bingung
pemimpin yang paham
dan melapangkan
tak kunjung datang
ataukah memang
tak dilahirkan oleh Tuhan

aku dambakan
kami impikan
pidato yang menentramkan
perlakuan sejuk dan pembebasan
sekian lama
engkau janjikan
horison keterbukaan
bukan penyempitan dan pengkotakan
tetapi kapan?
ia tak menjelang
jaman berlalu
dan menipu

kau tak belajar memahami
selain mau mu sendiri
tak tau beda
antara penguasa
dan pemimpin bangsa.

*) Salah satu lagu dari album “perahu Retak”, nyanyian Franky Sahilatua, liriknya Emha Ainun Nadjib.



KAMBING

kambing semacam itu pernah kau jumpaikah
yakni yang menyusu ke putingnya sendiri
sehingga tulang punggungnya patah
dan anak-anaknya haus roboh terkulai

kambing semacam itu pernah kau jumpaikah
yang membuntu lobang putingnya sendiri
seluruh air susu tubuhnya ia monopoli
hingga akhirnya mati sendiri

hanya manusialah yang demikian
jenis hewan yang diperbudak keserakahan
mencakar-cakar orang lain dengan kuku setan
sesudah uzur usia baru disiksa kecemasan

kata almuhammadi itulah jenis kebodohan
orang tak belajar kepada zakat dan kasih
makin kaya makin ditimpa kemiskinan
akhirnya dari jiwanya sendiri tersisih

1986



TAHAJJUD CINTAKU

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya

1988

Belajarlah Menjaga Lidahmu Abdiku

Syifa Aulia
http://sastra-indonesia.com/

Saat ini kami tak mau gegabah
bahkan pada perih
yang menyelinap diam-diam
serupa guratan sejarah
yang di bungkam

Sebab telah kembali
kau hujamkan belati
ke dada kami
berulang kali
mengalirkan darah kebencian
di jiwa-jiwa kami

Lidahmu terlalu pedang
yang senantiasa mampu
membunuh rasa hormat
kami padamu
kami meletakkan kepala
di kaki-kaki kami
bukan untuk kalian
injak semaunya

dan perih ini tak akan
kami biarkan

Kami ingin bercanda denganmu
tanpa janji-janji yang membongkar
busuknya
kami memilih di titik hening
sambil menuntaskan teriakkan
yang tertinggal di kotamu

Saat ini kami tidak ingin ceroboh
bahkan pada jalan setapak
menuju gubug tua yang
nyaris roboh
sebab disanalah tersimpan
air mata rahasia
menjadi misteri yang melilit
kepongahan masa depan

Jangan lagi kau usik kami
sebab kami lebih nyaman
di bawah pohon rindang
dengan kaki pincang.

Nb: kalau kalian masih ngeyel saja
mari kita berperkara sebab
bukan dikening manusia lain
kami meludah tapi disinilah.

________
* Puisi ini lahir atas ucapan merendahkan dari ketua DPR Marzuki Ali pada kami TKW.

Riwayat

Wiji Thukul
- untuk r

sungai ini merah dulu airnya
oleh genangan darah
kakek nenek kami

sungai ini berbuncah dulu
oleh perlawanan
disambut letusan peluru

bangkai-bangkai mengapung
hanyut dibawa arus ke hilir
bangkai kakek nenek kami

bangkai-bangkai jepang mengambang
dibabat parang kakek nenek kami

demi hutan tanah air
ibu bumi kami
gagah berani
kakek nenek kami
menyerahkan riwayatnya
pada batang-batang pohon
sebesar seratus dekapan
pada sampan-sampan lincah
dari hulu ke hilir
memburu dada penjajah

bukan siapa-siapa
kakek nenek kamilah
yang merebut tanah air
tanyakan kepada yang mampu membaca
tanyakan kepada yang tak pura-pura buta
siapa

sekarang
saat aku berdiri di tepi sungai
yang mahaluas ini
kusaksikan hutan-hutan roboh
dan kayu-kayu gelondong berkapal-kapal itu
akan diangkut kemana
siapa punya

riwayat kita pahit di mulut
getir diucap buram di mata
akankah berhenti riwayat sampai di sini

1997

Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=270323872992426&set=at.258429280848552.72283.158632180828263.1355886977&type=1&ref=nf

Sajak-Sajak Amir Hamzah

http://id.wikisource.org/
PADAMU JUA

Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.

Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.

Di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu -bukan giliranku
mati hari -bukan kawanku…



HANYUT AKU

Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
ulurkan tanganmu, tolong aku.
sunyinya sekelilingku!
tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam

Tenggelam dalam malam,
air di atas menindih keras
bumi di bawah menolak ke atas
mati aku, kekasihku, mati aku!



DOA POYANGKU

Poyangku rata meminta sama
semoga sekali aku diberi
memetik kecapi, kecapi firdausi
menampar rebana, rebana swarga

Poyangku rata semua semata
penabuh bunyian kerana suara
suara sunyi suling keramat

kini rebana di celah jariku
tari tamparku membangkit rindu
kucoba serentak genta genderang
memuji kekasihku di mercu lagu

Aduh, kasihan hatiku sayang
alahai hatiku tiada bahagia
jari menari doa semata
tapi hatiku bercabang dua.



HANYA SATU

Timbul niat dalam kalbumu;
terban hujan, ungkai badai
terendam karam
runtuh ripuk tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang
lari terbang jatuh duduk
air naik tetap terus
tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh/redam terbelam
dalam gagap/gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung
tempat berteduh Nuh kekasihmu
bebas lepas lelang lapang
di tengah gelisah, swara sentosa

Bersemayam sempana di jemala gembala
juriat jelita bapaku Ibrahim
keturunan intan dua cahaya
pancaran putera berlainan bonda.

Kini kami bertikai pangkai
di antara dua, mana mutiara
jauhari ahli lalai menilai
lengah langsung melewat abad

Aduh, kekasihku
padaku semua tiada berguna
hanya satu kutunggu hasrat
merasa dikau dekat rapat
serupa Musa di puncak Tursina.

________________
Amir Hamzah, yang nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera, adalah seorang sastrawan Indonesia. Dilahirkan di Tanjung Pura,Langkat, Sumatra Utara pada 28 Januari 1911, beliau wafat di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946.

Sabtu, 03 September 2011

Sajak-Sajak Syaifuddin Gani

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Pare-pare

pagi letuskan bau buruh
menyembur ke udara subuh
ton demi ton badan dan barang
menumpuk dan mengerang
menghardik dan mengganyang leher dermaga
penumpang dan pencoleng
beradu rayu
sebelum lengking sirine
memanggil

pagi itu
dermaga pare-pare jadi bongkahan rindu
air mata dan sepi jadi bangkai perjalanan

2009



Langit Lalu Rebah ke dalam Mata Dahaganya

sebongkah batubara menggelincir
ke dalam rongga dahaga dadanya
lalu tersungkur ke dalam daging jantungnya

ia mengerang, oh langit kembara
alangkah maharindu pesonamu
oh laut kembar betapa mahabuih gelegarmu
membongkar dobrak pintu fana darahku
oh bumikandung tak jua rampung
dengan seribu sembilu kidung

langit lalu rebah ke dalam matadahaganya
laut lalu menggelegak ke dalam rahimpuasanya

dan batubara itu pecahrekah jadi abu jadi api puisinya

2010



Dua Ribu Tangga Ombak

dua ribu tangga ombak memecah
kegulitaan sunyi
merapikan pakaian kemurungan pesisir
enam pasang cahaya merinding di laut
mengirim musim barat ke bukit-bukit gorontalo

sunyi yang legam menggelepar
dibantai dua ribu gelombang
gulungan malam mengobarkan kepedihan
sebelum menjadi buih

memuih
jadi maut putih
menjelma dua ribu gelombang kesunyian
teluk tomini

2010



Di Padang Konda

di padang-padang konda
langit dikerumuni senja
bukit-bukit merenung
dirayapi angin tundra
tujuh anoa membahana
memburu cahaya magrib
anaway menuruni lembah
nasib dan matahari pun raib

2010



Wangi-wangi

di pulau-pulau terjauh
gemintang bergetaran
perahu-perahu menjauh
lampu-lampu bertangisan
karang-karang berlagu
angin timur berserakan

ombak membuih
gugur jua di pangkuan karang
pasir memutih
pudar dalam aduhan malam
batu-batu mendesis
dirayapi angin terang
pantai menangis
ditinggalkan jangkar nelayan
pangkal teluk merah dan memar
dirongrong persenggamaan alam
gadis-gadis berdaging samar
lambaikan senyum tangiskan salam

kutinggalkan dermaga wangi-wangi
angin gemetar merangkum nafasmu wangi
tahun depan, angin timur mengarak kenangan
aku datang mengepang rambutmu jadi delapan

2008

Syaifuddin Gani, lahir di Salubulung, Sulbar, 1978. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1998. Tinggal di Kendari dan bekerja di Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.***

Sajak-Sajak Tosa Poetra

http://sastra-indonesia.com/
Tanggal

Dapatkah menemu isarah pada daun yang tanggal dari dahan bila cuma memungut lalu memasukkannya di tong sampah kemudian dibakar atau didiamkan
tanggal berapa hari ini ? Angka angka-Nya masih sama seperti yang kemaren dibaca bulan dan sama pula untuk esuk dan lusa.
1,2,3 dan seterusnya sampai kembali pada satu dan bulan berlalu tanpa berbuat sesuatu.
Hingga di akhir desember tahun ditanggalkan seperti dahan menanggalkan daun kering.

16 Februari 2011



Bara Hati

Di antara rerintik hujan dan gemuruh Guntur
dengarkan sebait puisi tentang galau
hati yang mendesau seperti angin
menderu di pepucuk bambu

butir butir pasir dan tepung kanji,adakah beda jika tak pernah meraba
air dan api adakah sama bila bara telah menyala
air tak mampu memadam sebelum segala dilumat dibakar
habis dan dimusnah
seperti kayu menjadi abu
seperti besi menjadi debu
dan seperti itu hati lebur menjadi debu

24 Februari 2011



?

Air mata langit mengucur tiada henti menggenang di selokan dan kali
Merpati berteduh di dahan jati,berdiskusi tentang bulunya yang tak juga kering
nampak mulai bosan berdebat dengan kenyataan
; Entah kapan dapat kembali terbang
Mungkin nanti jika rintik hujan telah menjadi puisi dan alam menepati janji
Namun hujan akan cuma jadi sebaris puisi tak jadi dan janji alam tak selalu pasti
kadang hujan,kadang terang (tanpa dapat terprediksi)
Sementara jarum jam terus berotasi
(semua masih dalam sebuah tanda tanya)

08 Maret 2011



Tentang Luka (catatan sederhana negeri Sakura)

Mengalun lembut sebaris lagu oh Sakura berirama lara tak lagi berirama disco maupun salsa yang kemaren gempita membahana pada segenap ruas kota
; gejolak alam adalah bait puisi maha karya penyair kita
adakah dia yang jadikan rima tengah tampakkan kuasa
adakah dia yang lahirkan diksi tak terima atas anarki
adalah dia . . .
Oh yang Esa
yang ada pada hati insan tanpa berjeda
yang telah jadi irama hidup dan diksi
; adakah terasa luka pada celah mimpi
( di balik tirai Sakura )

16 Maret 2011



Senandung Mekanik
(catatan harian pekerja bengkel)
:kepada Goes Shoe

Menulis puisi adalah membunuh sepi
pada desir angin yang bercakap
pada malam yang perlahan membungkus hati dalam lipatan mimpi.
teringat di bawah matahari
berjemur dan mandi pada telaga oli
bersetubuh dengan besi
berhari-hari
meski tak pernah ejakulasi

Mur dan baut adalah pasangan serasi
meski tak dapat bersatu bila tak padu
namun mur,baut,besi dan oli adalah kawan sejati
yang setia mengantar bersekulah
memberi berpiring nasi
baju buat anak istri
menulis puisi dan mengantar kemana pergi.

Pada celah oli yang menembus metal dan pori besi
terselip cita dan mimpi
(membina peradaban negri ).

16 Maret 2011



Lomba puisi (sayembara Tuhan)

Tahun lalu saya bikin puisi, mau saya kirim pada Tuhan
Katanya Tuhan adakan sayembara
jika ada yang dapat bikin puisi melehihi Qur’an, Dia akan pensiun jadi Tuhan.
Saya batalkan kirim puisi, sebab saya takut melebihi Qur’an.
Jika Tuhan pensiun, siapa yang gantikan?
Kamu?
Aku?
Saya tak mau jadi Tuhan, kalau jadi Tuhan semenit saja pasti bosan, Mendengar rintih dan pintamu yang tak karuan
Melihat kau turuti ajakan setan.
Saya tak lagi membikin puisi
(saya tak mau jadi Tuhan)

3/21/2011

Sajak-Sajak Mega Vristian

http://oase.kompas.com/
DOA YANG MENCINTA
: Joe Budi Sambodo

Allah, hapuskan ragu di hatiku hapuskan rasa takut di hatiku setelah Kau terbitkan matahari cintaku tuntunlah selalu hatiku tuk berani menyemaikan rindu setitik cahaya bahagia dari perjalanan panjang kehidupan yang penuh luka-luka

Allah, lelaki itu yang mengajakku bangkit lelaki itu yang dengan jemari kasihnya telah memperkenalkan kembali kepadaku tentang sesuatu yang telah lama kutinggalkan lelaki itu yang mengenalkan cinta lewat kasihnya sendiri lewat airmatanya sendiri: seperti embun terasa seperti air wudlu di subuh hari.

Allah, dia, lelaki itu, menyadarkan aku selama ini aku terlalu sombong aku terlalu yakin bisa sendiri sampai akhir dia menanamkan kembali pohon cinta di hati yang kembara di hati yang lelah

Allah, Izinkan aku selalu mencintainya dengan ketulusan dalam suka dan duka sampai batas usia menghadapi terik bersama

atasnama-Mu dan restu-Mu aku kan menggenggam jemarinya

Allah, izinkan kami bahagia berikan kami kebahagiaan satukan kami dalam keagungan-Mu dalam kehambaan kami berjalan, menuju surga-Mu tanpa ragu sekuat mampu ?

(Hong Kong, musim dingin 2010)



SAJAK UNTUK BIMA

aku baca sanjakmu tentang layang-layang cinta dan rindu segala bayang katamu, sayang baris-barismu seperti angin keluar dari sarang menggelegakkan telaga jiwaku tentu kau akan terus belajar berbahasa belajar memahami kehidupan mata air makna yang mengeraskan kelak tulangmu tentu kaupun akan terus menghirup bening airnya kelak memurnikan darahmu sebagai manusia dan ketika itu kau pun setiap bertemu mencium tanganku mengerti duka dan lukaku bangga menjadi anakku ibumu pengembara bagai pelangi jembatan ke matahari

aku baca sanjakmu, nak oh, sayapmu sudah mengepak kau mulai mengangkasa kau tahu tentu hatiku adalah sarang hatiku adalah rumah dengan pintu terbuka menunggumu pulang

apa yang ingin kutulis dari hong kong apa yang ingin kutulis dari tanjung rantau kembara kuminta kau tidak takut luka kuminta kau tidak takut jatuh hemat dengan airmata taklukkan badai tundukkan topan k arena di nadimu mengalir darahku perempuan yang menolak menyerah kecuali pada kehendak-Nya

(Hong Kong, Hung Hom, 2010)



CINTA DI UJUNG SENJA

selembar surat kukirim kepadanya tanpa huruf dan kata hanya genang air mata membekas melukis rasa

– bahagiakah?

(Hung Hom, Musim dingin 2010)



KANGEN

anak tersedu ibu pilu aku terpasung waktu

(Causway Bay, awal Agustus 2010)



UH

Senja jatuh aku mengaduh di kening guratan keriput bertambah,uh!

(Wanchai, awal Agutus 2010)

*
Mega Vristian, penulis yang sementara ini tinggal di Hong Kong, karyanya sudah banyak dibukukan.

Sajak-Sajak Isbedy Stiawan ZS

http://www.suarakarya-online.com/
Kau Tahu

di peluk kelamaku berdiang: hangat?
di peluk sunyiaku menepi: gelisah?
kau tahu pada malam malam aku bagaikan kembang



Ke Mana Pulang

(1)
aku ingin kata kata agar mataku menyala
aku rindu mata buatku tak lagi meraba
tumpahkan rasa untuk-Mu aku puasa

(2)
apa guna sayap jika tak ada kepak
guna apa hati bila gelap memandang-Mu
apakah haus-lapar kusenyumnya pada-Mu?
aku petik senyum itu…

(3)
aku petik tawa yang meranting
aku hempas badai yang berpohon di wajahmu
aku peluk dirimu sebab kucintai-Nya

(4)
usah curiga apakah pahala puasa ini
tak sampai dengarkan gumam haus-laparmu
ke mana pulang jika tak ke Dia?
maghrib membenam wajahmu menawan:
hirup puasmu cintaku!

5-7 agustus 2011



Peristiwa Suatu Pagi

di bangku panjang
di depan televisi pada sebuah ruang masih sunyi
akhirnya kau-aku menulis puisi
tentang persahabatan.
“tapi satu kalimat ini
untuk cinta, dan sebuah ciuman
buat pagi yang masih gairah,” katamu aku
besarkan volume televisi dan sebuah anak kunci
di tanganmu menari-nari
seperti digerakkan dari dalam kamar
yang samar penuh dengkur”selamat pagi,”
katamu di depan pintu
sebagai penanda hanya pagi yang tahu

hotel prada palembang, 16.07.2011



Ingatan itu:
budisantoso budiman

kubawa debur musi ke peraduan
agar kulelapkan wajahmu
yang sempat melarung dan melambai
tadi saat aku duduk di paling tepi
dan kerlip lampu juga sengau jukung
seperti ingin menarikku
“mari berdekapan, mendekaplah: aku musi
yang pernah kau kata. akulah musi
yang telah terpatri oleh tangan soekarno! ”
kata jukung lalu benteng besak
ingin membujukku: masuk ke halamanku,
bergambar atau tancapkan ikrar
“aku ingin mengecupmu lagi,
sebab aku sudah meminum cukamu…”
pedas di lidah hangat di tubuh
“inilah nusantara, kujaga hingga mati
marwahnya…” ucapku menghadap
benteng besak: aku bawa ingatan itu
ke peraduan ini malam…

plmbng, 15/07/11



Berkalung Purnama-dzafirah
adeliaputri isbedy

engkau bangunkan pohon
engkau datangkan gerimis
selepas adzan jumat yang paling semangat,
menyambut tiap yang datang
bersama puluhan tangisan setelah itu kau akan
tersenyum bahkan terhadap cobaan
obormu dari minyak kasihku
demi menjaga marwahmu
demi jumat paling hormat
kau kais waktu yang melesat
ingin kau dekap lekat sebagai perempuan
yang tiba di siang yang cahaya
sebelum hadir gerimis
sesudah tangismu melaju di depan berpalu
kekuatan berkalung purnama…

1 Juli 2011

Sajak-Sajak Soni Farid Maulana

HU Pikiran Rakyat 7 Agustus 2011
SEBELUM SUBUH

Aku terjaga sebelum cahaya fajar
menyepuh ombak lautan.
Di luar sana hanya kegelapan seluas pandang.
Di tengah rumah di atas tikar pandan
aku dengar lembut suaramu mendaras Al-‘Araf.

Tangki airmataku pecah
Saat kau baca firmanNya:
(Iblis) menjawab, “karena Engkau
telah menyesatkan aku, pasti aku
akan selalu menghalangi mereka
dari jalanMu yang lurus.”

Ya Allah betapa jalan yang terbentang
di hadapan: gelap sungguh,
berdurikan nilai-nilai peradaban.
CahayaMu yang aku harap
adalah sesungguh jalan,
sebaik-baiknya tujuan hidupku
menujuMu. Kau yang bebas
dari kehancuran

2009



TANGAN CINTAMU

Aku terangkat dari dalam tanah, dari dasar kegelapanku:
ketika tangan cintamu sehijau lumut menyapu debu
kegelapanku tanpa ampun. Pucuk alfatihah wangi sudah
lebih wangi dari bunga manapun

2010



MIQAT

Dua lembar kain ihram di tubuhku
menguras tangki airmataku
dalam seah tambiyah.
Matahari tepat di atas ubun-ubunku.
Para peziarah berjalan khusyu.

“Aku datang kepadaMu
aku penuh panggilanMu!”
Ya Allah berapa jarak lagi dari Bir Ali
langkah ini menuju tanah suciMu,
mencapai jantung ampunanMu

2010



JABAL RAHMAH

Di tengah-tengah padang Arafah
di Jabal Rahmah:
ada kisah Adam-Hawa
dipertemukan Tuhan
setelah sekian waktu terpisah
sejak keduanya diusir dari sorga.

Dalam putaran waktu
airmataku bedah di situ.
betapa di padang gersang ini
Rahmat dan ampunanNya
di hari Arafah: Ia tebar
ke sesungguh hati yang tunduk
dan patah kepadaNya

2010



HARI ARAFAH

Inilah hari yang dirindukan itu
hari Arafah. Pintu-pintu langit dibukaNya.
“AmpunanMu yang Allah
yang hamba mohon dariMu!”
begitu hatiku berkata, Cahaya matahari
bagai mata tombak yang menyala,
menusuk ubun-ubunku.

Kain ihram basah sudah
tubuhku amis bagai ikan laut.
Yang bicara hanya airmata:
ketika segala dusta juga dosa
menampakan dirinya
serupa anjing lapar dan liar
memangsa diriku dalam kelam.

Sungguh inilah hari Arafah
hari yang dirindukan itu.
Aku datang kepadaMu
dengan segala adaku
yang fana. Fana

2010



LONTAR JUMRAH

Dengan menyebut namaMu
dan demi keagunganMu, Ya Allah
aku lontar jumrah
dengan sejumlah kerikil yang aku pungut
di gelap malam di Muzdalifah

Aku lontar jumrah dengan sesungguh hati
seperti melempar batu ke arah diriku sendiri
yang kotor dan berdebu, Lebih kelam
dari tampang Iblis yang begitu mahir menyaru
jadi orang suci, tawarkan nikmat kehidupan
palingkan arah langkah kakiku menujuMu.

Sungguh airmataku tak terbendung
bedah dan bedah lagi. Cahaya pagi
hangat sungguh. Seah takbir dan talbiyah
mengiringi setiap langkah kaki hambaMu
sejak keluar kemah di Mina
hingga kembali dalam kemah
tanpa daya. Tanpa daya

2010

Sajak-Sajak Faisal Kamandobat

kompas.com
 
Tatahan Laut
 
anak bumi tatahan laut
kalap lagu menembus
gerbang petang langit hangus
bulan mengapung dalam kalbu
riang puja menyentuh
lidah dalam impian pelarian

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae