lampungpost.com
Kembang Putih di Atas Perahu
Kularung ibu di samudera yang meliuk di taman tanpa tiang
Ia hanya mengembara
dengan biduk pelepah air mata,
dengan sauh yang membuat laut berkibar dalam
belanga yang berperigi gunung-gunung
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 24 September 2011
Sajak-Sajak Tia Setiadi
http://www.lampungpost.com/
Ode untuk Daun-Daun
: Jingga Gemilang
/1/
daun-daun yang jatuh adalah surat-surat
yang mesti kau baca.
hijau atau jambon warnanya
adalah warna lembaran hatimu sendiri
Ode untuk Daun-Daun
: Jingga Gemilang
/1/
daun-daun yang jatuh adalah surat-surat
yang mesti kau baca.
hijau atau jambon warnanya
adalah warna lembaran hatimu sendiri
Rabu, 21 September 2011
Sajak-Sajak Syaifuddin Gani
http://www.lampungpost.com/
POHON AIR MATA
sebuah pohon menggugurkan bunga-bunganya
buah berpamitan kepada tangkai
daun lerai ke sungai
masih sempat seekor burung menangkap sebutir buah merah
sebelum tersungkur ke batu
ditanggalkannya kulit ari hitam
POHON AIR MATA
sebuah pohon menggugurkan bunga-bunganya
buah berpamitan kepada tangkai
daun lerai ke sungai
masih sempat seekor burung menangkap sebutir buah merah
sebelum tersungkur ke batu
ditanggalkannya kulit ari hitam
Jumat, 16 September 2011
Sajak-Sajak Fikri MS
http://sastra-indonesia.com/
Nafsuku Tergeletak
Kepada Nurel Javissyarqi
Di beranda waktu
Ketika hujan habis dimamah angin
Kubaca Kitab Para Malaikat
Mengunyah aksara demi aksara di dalamnya
yang terasa pucat di lidahku
Udara dingin bertandang mengetuk pintu
Mengantarkan seorang perempuan kepadaku
Wanita itu berkerudung jingga
Wanginya bergairah menyapaku
Lalu sukmaku mempersilahkan ia masuk
Aku gelisah memperlakukannya
Sebab tiada kue atau minuman di meja makanku
Sementara kitab yang masih kupegang seakan-akan menggodanya
Ia menatap
Bertanya, matanya berkaca-kaca
Aku segan untuk membalas
Ia mendekat aku hanya tersenyum
Wanginya berbisik lembut
Kusudahi bacaanku menatapnya
Ia tiba-tiba menghilang seakan masuk ke liang sajak
Tanpa salam dan pesan
Hanya desah yang terlepas
Lalu nafsuku tergeletak di teras beranda
Digumuli sangsi.
September, 2011
Kegagahan Para Filsuf
Sementara para demonstran berunjuk rasa
Merubah warna
Putih pekat menjadi merah
Lalu-lintas kata dalam kota padat gemuruh
Dan lampu-lampu malu bertanya
Kepada siapa hati terpikat?
Pesona senyum bintang iklan
Kabut tipis menepi menyingkap cadar malu-malu
Dosa kecil dosa besar berumah di tepi telaga
Dekat sarang ular besi
Yang kehilangan jalan sebab mereka terlelap
Saat penyuluhan program KB
Sementara kali-kali sunyi setenang danau di bukit makna
Namun tiada teratai sudi mekar
Karna PT. Kuasa Jagad meramu tinja paling laknat
Di bawah matahari dan takdir rembulan
Zebra-zebra terbaring lemas
Lelah bertarung melawan protes penggusuran
Bersenjata ganti-rugi
Di gudang mesiu dekat taman bunga kupu-kupu
Para teknokrat berkicau ricuh
Gunung mana yang mau ditebas
Belukar mana yang baik untuk ternak Impor
Asal Inggris dan Prancis
Para filsuf sibuk menghitung bulu di betis Dewi Kesenian.
September, 2011
Fajar Mengelupas
Sebentar lagi fajar mengelupas
Sementara orang-orang terlelap dalam mimpi
Yang mereka pesan sejak kemarin
Meski tanpa kesadaran akan datangnya dalam tidur
Aku masih terkurung keraguan
Memintal do’a untuk para nasib dan takdirku
Yang telah sekian puluh tahun berkelana
Mengarungi samudra
Menuruni lembah ketakmanusiawian
Jangan-jangan yang terkubur selama ini bukan kematian
Ada sangsi yang menukik ke dalam jantungku
Menghentikan detak yang menggerincing
Ya…
Pada suatu ketika yang hampir sempurna
Mungkin ‘kan kutebus janji yang kau ucapkan sejak kanak-kanak kita dulu
Bahwa mengabdi bukanlah kutukan manusia
Dan do’a sepanjang jaman adalah nafas yang tersengal
Meminta pengampunan tatkala birahi baru saja lenyap?
Tidak!
Waktu tentu berbaik hati kepadaku
Karna usiaku bukanlah kesia-siaan yang bersemedi di kuburan kesempurnaan.
September, 2011
____________________
Fikri MS, lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda) di kampung halaman sampai sekarang.
Nafsuku Tergeletak
Kepada Nurel Javissyarqi
Di beranda waktu
Ketika hujan habis dimamah angin
Kubaca Kitab Para Malaikat
Mengunyah aksara demi aksara di dalamnya
yang terasa pucat di lidahku
Udara dingin bertandang mengetuk pintu
Mengantarkan seorang perempuan kepadaku
Wanita itu berkerudung jingga
Wanginya bergairah menyapaku
Lalu sukmaku mempersilahkan ia masuk
Aku gelisah memperlakukannya
Sebab tiada kue atau minuman di meja makanku
Sementara kitab yang masih kupegang seakan-akan menggodanya
Ia menatap
Bertanya, matanya berkaca-kaca
Aku segan untuk membalas
Ia mendekat aku hanya tersenyum
Wanginya berbisik lembut
Kusudahi bacaanku menatapnya
Ia tiba-tiba menghilang seakan masuk ke liang sajak
Tanpa salam dan pesan
Hanya desah yang terlepas
Lalu nafsuku tergeletak di teras beranda
Digumuli sangsi.
September, 2011
Kegagahan Para Filsuf
Sementara para demonstran berunjuk rasa
Merubah warna
Putih pekat menjadi merah
Lalu-lintas kata dalam kota padat gemuruh
Dan lampu-lampu malu bertanya
Kepada siapa hati terpikat?
Pesona senyum bintang iklan
Kabut tipis menepi menyingkap cadar malu-malu
Dosa kecil dosa besar berumah di tepi telaga
Dekat sarang ular besi
Yang kehilangan jalan sebab mereka terlelap
Saat penyuluhan program KB
Sementara kali-kali sunyi setenang danau di bukit makna
Namun tiada teratai sudi mekar
Karna PT. Kuasa Jagad meramu tinja paling laknat
Di bawah matahari dan takdir rembulan
Zebra-zebra terbaring lemas
Lelah bertarung melawan protes penggusuran
Bersenjata ganti-rugi
Di gudang mesiu dekat taman bunga kupu-kupu
Para teknokrat berkicau ricuh
Gunung mana yang mau ditebas
Belukar mana yang baik untuk ternak Impor
Asal Inggris dan Prancis
Para filsuf sibuk menghitung bulu di betis Dewi Kesenian.
September, 2011
Fajar Mengelupas
Sebentar lagi fajar mengelupas
Sementara orang-orang terlelap dalam mimpi
Yang mereka pesan sejak kemarin
Meski tanpa kesadaran akan datangnya dalam tidur
Aku masih terkurung keraguan
Memintal do’a untuk para nasib dan takdirku
Yang telah sekian puluh tahun berkelana
Mengarungi samudra
Menuruni lembah ketakmanusiawian
Jangan-jangan yang terkubur selama ini bukan kematian
Ada sangsi yang menukik ke dalam jantungku
Menghentikan detak yang menggerincing
Ya…
Pada suatu ketika yang hampir sempurna
Mungkin ‘kan kutebus janji yang kau ucapkan sejak kanak-kanak kita dulu
Bahwa mengabdi bukanlah kutukan manusia
Dan do’a sepanjang jaman adalah nafas yang tersengal
Meminta pengampunan tatkala birahi baru saja lenyap?
Tidak!
Waktu tentu berbaik hati kepadaku
Karna usiaku bukanlah kesia-siaan yang bersemedi di kuburan kesempurnaan.
September, 2011
____________________
Fikri MS, lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda) di kampung halaman sampai sekarang.
Kamis, 15 September 2011
Sajak-Sajak Goenawan Mohamad
http://sastrakoran.wordpress.com/
Pada Album Miguel de Cavorobias
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda,
kecuali warna sepia.
Pundakmu
yang bebas,
akan kurampas
dari sia-sia.
Akan kuletakan sintalmu
pada tubir meja:
telanjang
yang meminta
kekar kemaluan purba,
dan zat hutan
yang jauh, dengan surya
yang datang sederhana.
Akan kubiarkan waktu
mencambukmu,
lepas. Tak ada yang tersisa
dalam pigura
juga api yang tertinggal
pada klimaks ketiga,
juga para dewa, juga kau
yang akan runduk
Kematian pun akan masuk kembali
kembali, kembali…
Mari.
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda
kecuali
warna sepia
1996
TIGRIS
Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan
Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan
Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi
Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi
Setelah itu, kita tak akan di sini
Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?
Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah
Jangan menangis.
Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
“Ababil! Ababil!” mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.
Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.
(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)
1986
TENTANG SEORANG YANG TERBUNUH DI SEKITAR HARI PEMILIHAN UMUM
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”
Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan -senter, suluh dan
kunang-kunang -tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.
“Berikan suara-Mu”
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya?
“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku?”
Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”
DI MALIOBORO
–kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965
Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg
Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.
Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.
Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam
seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.
Mataram, katamu, Mataram…
Ingatan-ingatan pun bepercikan
–sekilas terang kemudian hilang– seakan pijar
di kedai tukang las.
Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya
Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,
kepundan seperti sebuah radang,
dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi
Trauma, kau bilang
(mungkin juga, “trakhoma?”)
membutakan kita
Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
1997
Pada Album Miguel de Cavorobias
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda,
kecuali warna sepia.
Pundakmu
yang bebas,
akan kurampas
dari sia-sia.
Akan kuletakan sintalmu
pada tubir meja:
telanjang
yang meminta
kekar kemaluan purba,
dan zat hutan
yang jauh, dengan surya
yang datang sederhana.
Akan kubiarkan waktu
mencambukmu,
lepas. Tak ada yang tersisa
dalam pigura
juga api yang tertinggal
pada klimaks ketiga,
juga para dewa, juga kau
yang akan runduk
Kematian pun akan masuk kembali
kembali, kembali…
Mari.
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda
kecuali
warna sepia
1996
TIGRIS
Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan
Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan
Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi
Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi
Setelah itu, kita tak akan di sini
Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?
Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah
Jangan menangis.
Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
“Ababil! Ababil!” mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.
Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.
(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)
1986
TENTANG SEORANG YANG TERBUNUH DI SEKITAR HARI PEMILIHAN UMUM
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”
Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan -senter, suluh dan
kunang-kunang -tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.
“Berikan suara-Mu”
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya?
“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku?”
Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”
DI MALIOBORO
–kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965
Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg
Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.
Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.
Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam
seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.
Mataram, katamu, Mataram…
Ingatan-ingatan pun bepercikan
–sekilas terang kemudian hilang– seakan pijar
di kedai tukang las.
Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya
Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,
kepundan seperti sebuah radang,
dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi
Trauma, kau bilang
(mungkin juga, “trakhoma?”)
membutakan kita
Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
1997
UNTUK KEPULANGAN WS RENDRA
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
”jika sang penyair benar-benar meninggal
tak sia-sialah segala perjuangannya
maka damailah di sisi-Nya”
Meski pun tidak pernah bertemu
tapi kurasakan degup jantungmu
dari balada orang-orang tercinta
kau kenalkan tari-tarian jiwamu
aku merambah masuki nalurimu
yang senantiasa girang perkasa
tampan penuh dinaya pesona,
sedari bulir-bulir air matamu
membanjirlah cahaya rasa
oh…
aku merinding menulis ini
diserang demam menggigil
entah dari mana datangnya
kau seakan menghampiriku
berwajah tegar lantas buyar, tapi
masih menungguiku sedari dekat
saat aku menuliskan catatan ini
aku melihat kau tersenyum
lalu mengelus-elus rambutku
atau ini hanya perasaanku saja
atau semua para penulis sajak
di tanah air ini merasakan pula
aku digetarkan sentuhan aneh
lebih ganjil dari sebelumnya
lebih gaib dari yang terbayangkan,
aku merasa, dan turut merasakan
sebab jikalau suatu negara
tanpa seorang pun penyair
yang mampu bersuara lantang
bukanlah negeri yang adiluhung
kau tidak sekadar penyair, pujangga
yang dikarunai daya dinaya melimpah
dari kata-katamu mengalir deras
menerjang lahar halilintar tumpah
seolah kutak mampu berkata-kata
tanpa kehadiranmu
rasa kehilangan itu luar biasa
tanda-tandanya telah hadir
ikut keseluruh getaran jiwa
memasuki rerongga sukma
dan seperti terbayangkan
kau selalu tersenyum ramah
kaulah tonggak perjuangan
lambang tiada menyepadani
nafasmu-nafasku, oh…
bau kembang itu kau hantarkan kepadaku
kau kabarkan serindang daun ditiup bayu
malam ini kau begitu khusyuk
membuatku tiada sanggup
mengatur jalannya kalimah
sayap-sayapmu
terus mengepak ke segenap cakrawala
membuyarkan awan gemawan bimbang,
bulan malam ini ialah saksi kepurnaanmu
Rendra,
bulan malam ini hadir hanya bagimu
oh… tubuhku teresapi daya entah
aku tak tahu lagi apakah ini sugesti,
kau benar-benar mengendap kemari
damailah di sisi-Nya
seperti embun berpeluk daun-daun
cahaya di bayangan pohon-pohon,
cukuplah bulan saksimu malam ini
sedari sekiankali perjuanganmu
dan apa yang kau torehkan
lebih nyata dikemudian hari
lebih segar dari bebauan kembang
lebih harum dari bunga ketinggian
lebih santun dari tubuh rerumputan
dan maafkanlah
selama usiaku tak menjengukmu
namun kuyakin kau tahu akan itu
aku bukanlah siapa-siapa
hanya pengelana semata
oh Rendra
semakin jauh kau tinggalkan bumi ini
semoga wasiatmu senantiasa hidup
berdegup jadi pusaka dan warisan
bagi generasi-generasi selanjutnya
kaulah sang pemangku itu
entah siapa lagi setelah kau,
jiwamu besar tapi kau tutupi
dengan kerendahan kalbu
aku menjadi malu,
seperti kau tampar mukaku
serupa tidak sudi melihatku
tapi sungguh tamparanmu sangat terasa
bekasnya mengenai mengembaraanku
aku kembali digetarkan kesaksian
lebih merinding sedari berdenyut
ada sejenis puncak yang entah
bukan ketinggian karang
bukan tajamnya tombak
bukan pula kilatan petir
sesuatu yang sulit dikatakan
entah dari mana datangnya
aku tertunduk saat itu
bersimpuh di hadapanmu
lalu kau angkat tubuh ini
bersatu nafas kembali,
kau berkata;
marilah kita kembara
marilah bersentuhan mesra
dan enegimu semakin tinggi
ketika kau terus berkata;
marilah… marilah…
Rendra,
aku turuti kehendak Syah
aku tak berdaya digetarkan
gemeretak tak ingin limbung
lantas angin itu mengupas halus
bagai sentuhan malaikat maut
sampai kemari,
sampai padaku
namun kau yakinkan diriku
tangan ini harus terkepal
padat dan semakin kuat
aku tak tahu
siapa yang menyelami
; apakah kau atau aku
antara jiwa dan raga
sukma segenap aura
aku tak sanggup membedakan
getaran rasa gemeretak logika
aku diserang kau, ataukah jiwaku
sedang berduyun-duyun padamu
dan terlihat kau tersenyum
persilakan semuanya datang
menghadirimu terakhirkalinya
setiap kali kuhadirkan titik
nadi menggemakan suara
huruf-huruf kau lalui pun
jadi saksimu juga mereka
Rendra,
apakah sebelumnya kita berjumpa?
sampai aku merasakan keganjilan ini
tidakakah kita tak pernah bertemu?
kau selalu hadir murni bagiku,
dan diriku dibuyarkan teka-teki
hanyutlah segala detak nadimu
atas muaramu yang lantang itu
kepada segenap kepala
mereka tahu sebenarnya
; kata-kata tanpa suara
seperti penjara
kata-kata tanpa logika
seperti perawan tua
dirimu
memasuki segala ranah kesatria
Rendra, malam ini kita berdua
meski banyak yang datang menghampiri
bagai awan lembut meneteskan gerimis
tubuh kita sama-sama terbuka
bercakap seperti teman akrab
kita lebih jauh lagi
dalam dan dingin
kau hantarkan sajak-sajakmu
kapuk-kapuk randu beterbangan
disusul angin pilu sedari seorang
yang ditinggal ke negeri sebrang
di sini
kepulan asap rokokku benar-benar lain
seperti para penyair, namun negeri ini
tak butuhkan kata-kata tidak bersuara
aku kembali menundukkan muka
menyelam jauh ke sajak-sajakmu
disamping balada-baladaku sendiri
dan kau terkekeh
diriku tersenyum lebar
lantas kita saling merangkul
lenyap dari pusaran taupan
bukan awan yang kita kenal
lebih halus memupus semua
kita meresapi maknawi kesungguhan
hidup lebih berarti dari sebuah hidup
yakni perjuangan
jika kutulis ini di lembar-lembar kertas
tentu mewangi atas tinta penuh cinta
lantas kucium kau dalam akhir kalimah
; selamat jalan Rendra
kelak kita berjumpa.
2009 Surabaya.
http://sastra-indonesia.com/2009/08/untuk-kepulanganmu-ws-rendra/
http://sastra-indonesia.com/
”jika sang penyair benar-benar meninggal
tak sia-sialah segala perjuangannya
maka damailah di sisi-Nya”
Meski pun tidak pernah bertemu
tapi kurasakan degup jantungmu
dari balada orang-orang tercinta
kau kenalkan tari-tarian jiwamu
aku merambah masuki nalurimu
yang senantiasa girang perkasa
tampan penuh dinaya pesona,
sedari bulir-bulir air matamu
membanjirlah cahaya rasa
oh…
aku merinding menulis ini
diserang demam menggigil
entah dari mana datangnya
kau seakan menghampiriku
berwajah tegar lantas buyar, tapi
masih menungguiku sedari dekat
saat aku menuliskan catatan ini
aku melihat kau tersenyum
lalu mengelus-elus rambutku
atau ini hanya perasaanku saja
atau semua para penulis sajak
di tanah air ini merasakan pula
aku digetarkan sentuhan aneh
lebih ganjil dari sebelumnya
lebih gaib dari yang terbayangkan,
aku merasa, dan turut merasakan
sebab jikalau suatu negara
tanpa seorang pun penyair
yang mampu bersuara lantang
bukanlah negeri yang adiluhung
kau tidak sekadar penyair, pujangga
yang dikarunai daya dinaya melimpah
dari kata-katamu mengalir deras
menerjang lahar halilintar tumpah
seolah kutak mampu berkata-kata
tanpa kehadiranmu
rasa kehilangan itu luar biasa
tanda-tandanya telah hadir
ikut keseluruh getaran jiwa
memasuki rerongga sukma
dan seperti terbayangkan
kau selalu tersenyum ramah
kaulah tonggak perjuangan
lambang tiada menyepadani
nafasmu-nafasku, oh…
bau kembang itu kau hantarkan kepadaku
kau kabarkan serindang daun ditiup bayu
malam ini kau begitu khusyuk
membuatku tiada sanggup
mengatur jalannya kalimah
sayap-sayapmu
terus mengepak ke segenap cakrawala
membuyarkan awan gemawan bimbang,
bulan malam ini ialah saksi kepurnaanmu
Rendra,
bulan malam ini hadir hanya bagimu
oh… tubuhku teresapi daya entah
aku tak tahu lagi apakah ini sugesti,
kau benar-benar mengendap kemari
damailah di sisi-Nya
seperti embun berpeluk daun-daun
cahaya di bayangan pohon-pohon,
cukuplah bulan saksimu malam ini
sedari sekiankali perjuanganmu
dan apa yang kau torehkan
lebih nyata dikemudian hari
lebih segar dari bebauan kembang
lebih harum dari bunga ketinggian
lebih santun dari tubuh rerumputan
dan maafkanlah
selama usiaku tak menjengukmu
namun kuyakin kau tahu akan itu
aku bukanlah siapa-siapa
hanya pengelana semata
oh Rendra
semakin jauh kau tinggalkan bumi ini
semoga wasiatmu senantiasa hidup
berdegup jadi pusaka dan warisan
bagi generasi-generasi selanjutnya
kaulah sang pemangku itu
entah siapa lagi setelah kau,
jiwamu besar tapi kau tutupi
dengan kerendahan kalbu
aku menjadi malu,
seperti kau tampar mukaku
serupa tidak sudi melihatku
tapi sungguh tamparanmu sangat terasa
bekasnya mengenai mengembaraanku
aku kembali digetarkan kesaksian
lebih merinding sedari berdenyut
ada sejenis puncak yang entah
bukan ketinggian karang
bukan tajamnya tombak
bukan pula kilatan petir
sesuatu yang sulit dikatakan
entah dari mana datangnya
aku tertunduk saat itu
bersimpuh di hadapanmu
lalu kau angkat tubuh ini
bersatu nafas kembali,
kau berkata;
marilah kita kembara
marilah bersentuhan mesra
dan enegimu semakin tinggi
ketika kau terus berkata;
marilah… marilah…
Rendra,
aku turuti kehendak Syah
aku tak berdaya digetarkan
gemeretak tak ingin limbung
lantas angin itu mengupas halus
bagai sentuhan malaikat maut
sampai kemari,
sampai padaku
namun kau yakinkan diriku
tangan ini harus terkepal
padat dan semakin kuat
aku tak tahu
siapa yang menyelami
; apakah kau atau aku
antara jiwa dan raga
sukma segenap aura
aku tak sanggup membedakan
getaran rasa gemeretak logika
aku diserang kau, ataukah jiwaku
sedang berduyun-duyun padamu
dan terlihat kau tersenyum
persilakan semuanya datang
menghadirimu terakhirkalinya
setiap kali kuhadirkan titik
nadi menggemakan suara
huruf-huruf kau lalui pun
jadi saksimu juga mereka
Rendra,
apakah sebelumnya kita berjumpa?
sampai aku merasakan keganjilan ini
tidakakah kita tak pernah bertemu?
kau selalu hadir murni bagiku,
dan diriku dibuyarkan teka-teki
hanyutlah segala detak nadimu
atas muaramu yang lantang itu
kepada segenap kepala
mereka tahu sebenarnya
; kata-kata tanpa suara
seperti penjara
kata-kata tanpa logika
seperti perawan tua
dirimu
memasuki segala ranah kesatria
Rendra, malam ini kita berdua
meski banyak yang datang menghampiri
bagai awan lembut meneteskan gerimis
tubuh kita sama-sama terbuka
bercakap seperti teman akrab
kita lebih jauh lagi
dalam dan dingin
kau hantarkan sajak-sajakmu
kapuk-kapuk randu beterbangan
disusul angin pilu sedari seorang
yang ditinggal ke negeri sebrang
di sini
kepulan asap rokokku benar-benar lain
seperti para penyair, namun negeri ini
tak butuhkan kata-kata tidak bersuara
aku kembali menundukkan muka
menyelam jauh ke sajak-sajakmu
disamping balada-baladaku sendiri
dan kau terkekeh
diriku tersenyum lebar
lantas kita saling merangkul
lenyap dari pusaran taupan
bukan awan yang kita kenal
lebih halus memupus semua
kita meresapi maknawi kesungguhan
hidup lebih berarti dari sebuah hidup
yakni perjuangan
jika kutulis ini di lembar-lembar kertas
tentu mewangi atas tinta penuh cinta
lantas kucium kau dalam akhir kalimah
; selamat jalan Rendra
kelak kita berjumpa.
2009 Surabaya.
http://sastra-indonesia.com/2009/08/untuk-kepulanganmu-ws-rendra/
Sajak-Sajak Mega Vristian
http://regional.kompas.com/
Namaku Leung Lai ching
Namaku Leung lai ching
aku lahir di Hung Hom, Hong Kong
orang tuaku penjual bunga-bunga kematian
rumahku dekat pembakaran mayat tapi harum
sejak kecil aku diajarkan makan dengan sumpit
bangun tidur setelah cuci muka dan sikat gigi
kubakar dupa untuk mengingat nenek moyang
mataku sipit kulitku putih
dibakar matahari pun akan kembali putih
kerjaku cuma sekolah
menjalani berbagai kursus agar pintar dan selebihnya bermain
membantu membersihkan rumah aku tak pernah
sebab ada pembantu yang bersamaku
anak-anak di negaraku hampir semua begitu
para ibu lebih suka bekerja dari pada mengurus anak dan rumahnya
– setiap pulang kerja ayah menggerutu, tak ada pembeli
bunga-bunga hilang aroma gugur layu
(Hong Kong)
Imlek
Menandai pergantian tahun
aku dan nenek Leung shiu Nam
dihajar kesibukan
rumah dicuci bersih agar sial tahun lalu
hilang tak terulang
bunga-bunga bermekaran
berdamping sesaji untuk para dewa
kwaci, gula-gula siap di meja
sebentar hari lagi kerabat saling berdatangan
berpeluk sesaat sambil mengucapkan kata-kata bijak
bertukar am pao aneka warna
kusiapkan seperangkat alat mah jong
untuk mereka bermain judi
ini sekedar tradisi yang tak akan ditangkap polisi
kelakar canda tawa sambil meminum teh panas
dari cangkir kecil hijau berukir naga emas
kepul asap dupa dihembus angin
menari kesegala arah
diam-diam aku jadi kanak
menyelinap membuka am pao
aha! bocah-bocah mengikutiku
kami tersenyum menahan lepas tawa
(Hong Kong, Imlek Feb 2004)
Terang Bulan di Hong Kong
lihatlah rembulan bercahaya indah menyinari bumi
mari anak-anak ambil lampion nyalakan
agar gelap malam makin terang
kau lihat di taman-taman dan sepanjang dermaga
semua kawan
membuat pesta membawa kue dan buah-buahan
bersama orang tua diringi zitar bergembira menyanyi untuk dewi rembulan
(Hung Hom, Hong Kong, Moon cakes Festival)
Pesta Dayung Perahu
ayo dayung perahu dayung ke arahku
kalahkan arus air melajulah mengejar waktu
biarlah keringat mengalir membakar semangat
dayung sampan sambil menatap ke depan
berlomba mendayung perahu naga
mengenang tradisi rakyat china
pantai Stanley sampai sungai Shatin
sambil memakan kue Chung
ayo dayung hingga ke ujung kemenangan
perahu naga berkelok-kelok indah buih airnya melukis laut
(Hong Kong, Dragon Boats Festival)
Gunung Bak Poa
Mari kawan kita berlayar naik perahu ke pulau Cheng Chau
menikmati pemandangan indah pantai
kuil Pak Tai tempat bersemayan dewa
didepannya ada perayaan panjat gunung kue bak pao
panjat tinggi ambil sebanyak-banyaknya kue
taruh di keranjang yang menggelantung di punggung
satu, dua, tiga ayo ambil terus
Mari kawan kita lihat bersama
karnaval keliling pulau dengan aneka baju tradisi China
banyak ular naga besar berdesis-desis liar
jangan takut sebab naga-naga berkaki manusia
(Hong Kong, Cheung Chau Bun Festival)
Mari-mari Bersembunyi
senja kelam di bulan tujuh malam lima belas
bakar terus dupa diantara lebatnya curah hujan
di hari Yue Lan, arwah bergentayangan dari neraka
mereka lapar dahaga bangkit setahun sekali
jangan sesekali mengumbar emosi
ragamu bisa di pinjamnya nanti
nenek merapal doa-doa
ayah menuang arak minuman dewa
ibu mengajarkan anak-anak
memasak dan melipat uang-uangan
untuk persembahan
jalanan lengang semua bersembunyi
tak ingin melihat arwah dan setan-setan
berebut lahap menyantap sesaji di pinggir jalan sepi
— Hanya raja naga beringas menari diiringi tetabuhan dengan syair mantra
(Hong Kong,Hungry Gost Festival)
Namaku Leung Lai ching
Namaku Leung lai ching
aku lahir di Hung Hom, Hong Kong
orang tuaku penjual bunga-bunga kematian
rumahku dekat pembakaran mayat tapi harum
sejak kecil aku diajarkan makan dengan sumpit
bangun tidur setelah cuci muka dan sikat gigi
kubakar dupa untuk mengingat nenek moyang
mataku sipit kulitku putih
dibakar matahari pun akan kembali putih
kerjaku cuma sekolah
menjalani berbagai kursus agar pintar dan selebihnya bermain
membantu membersihkan rumah aku tak pernah
sebab ada pembantu yang bersamaku
anak-anak di negaraku hampir semua begitu
para ibu lebih suka bekerja dari pada mengurus anak dan rumahnya
– setiap pulang kerja ayah menggerutu, tak ada pembeli
bunga-bunga hilang aroma gugur layu
(Hong Kong)
Imlek
Menandai pergantian tahun
aku dan nenek Leung shiu Nam
dihajar kesibukan
rumah dicuci bersih agar sial tahun lalu
hilang tak terulang
bunga-bunga bermekaran
berdamping sesaji untuk para dewa
kwaci, gula-gula siap di meja
sebentar hari lagi kerabat saling berdatangan
berpeluk sesaat sambil mengucapkan kata-kata bijak
bertukar am pao aneka warna
kusiapkan seperangkat alat mah jong
untuk mereka bermain judi
ini sekedar tradisi yang tak akan ditangkap polisi
kelakar canda tawa sambil meminum teh panas
dari cangkir kecil hijau berukir naga emas
kepul asap dupa dihembus angin
menari kesegala arah
diam-diam aku jadi kanak
menyelinap membuka am pao
aha! bocah-bocah mengikutiku
kami tersenyum menahan lepas tawa
(Hong Kong, Imlek Feb 2004)
Terang Bulan di Hong Kong
lihatlah rembulan bercahaya indah menyinari bumi
mari anak-anak ambil lampion nyalakan
agar gelap malam makin terang
kau lihat di taman-taman dan sepanjang dermaga
semua kawan
membuat pesta membawa kue dan buah-buahan
bersama orang tua diringi zitar bergembira menyanyi untuk dewi rembulan
(Hung Hom, Hong Kong, Moon cakes Festival)
Pesta Dayung Perahu
ayo dayung perahu dayung ke arahku
kalahkan arus air melajulah mengejar waktu
biarlah keringat mengalir membakar semangat
dayung sampan sambil menatap ke depan
berlomba mendayung perahu naga
mengenang tradisi rakyat china
pantai Stanley sampai sungai Shatin
sambil memakan kue Chung
ayo dayung hingga ke ujung kemenangan
perahu naga berkelok-kelok indah buih airnya melukis laut
(Hong Kong, Dragon Boats Festival)
Gunung Bak Poa
Mari kawan kita berlayar naik perahu ke pulau Cheng Chau
menikmati pemandangan indah pantai
kuil Pak Tai tempat bersemayan dewa
didepannya ada perayaan panjat gunung kue bak pao
panjat tinggi ambil sebanyak-banyaknya kue
taruh di keranjang yang menggelantung di punggung
satu, dua, tiga ayo ambil terus
Mari kawan kita lihat bersama
karnaval keliling pulau dengan aneka baju tradisi China
banyak ular naga besar berdesis-desis liar
jangan takut sebab naga-naga berkaki manusia
(Hong Kong, Cheung Chau Bun Festival)
Mari-mari Bersembunyi
senja kelam di bulan tujuh malam lima belas
bakar terus dupa diantara lebatnya curah hujan
di hari Yue Lan, arwah bergentayangan dari neraka
mereka lapar dahaga bangkit setahun sekali
jangan sesekali mengumbar emosi
ragamu bisa di pinjamnya nanti
nenek merapal doa-doa
ayah menuang arak minuman dewa
ibu mengajarkan anak-anak
memasak dan melipat uang-uangan
untuk persembahan
jalanan lengang semua bersembunyi
tak ingin melihat arwah dan setan-setan
berebut lahap menyantap sesaji di pinggir jalan sepi
— Hanya raja naga beringas menari diiringi tetabuhan dengan syair mantra
(Hong Kong,Hungry Gost Festival)
Sajak-Sajak Emha Ainun Nadjib
http://sastra-indonesia.com/
TEMBOK DAN GELOMBANG
(1)
sekuat-kuat gelombang
harus lebih kuat tembok
karena puncak kekuasaan
adalah ideologi gembok
tembok didirikan sekukuh-kukuhnya
agar gelombang terbentur sia-sia
gelombang direndam
menjadi ombak semilir
gelombang itu alam
tembok itu teknologi
kekuasaan timbul tenggelam
sedang jiwamu abadi
(2)
berhentilah memenjaraku
sebab jeruji besi dan sel pengurungku
terletak di dalam dadamu sendiri
tanpa bisa kemanapun kau pindahkan
kalau kau usir
kau pikir kemana aku hendak pergi
sedang lubuk jiwamu itulah alam semestaku
aku berumah di keremangan jiwamu
bilikku tersembunyi di balik kesunyian nuranimu
jadi berhentilah mendirikan tembok-tembok
karena toh aku bukan gumpalan benda yang bisa kau kurung
tak usah pula repot membakar dan memusnahkanku
sebab toh hakekatku memang musnah dan tiada
kau sang aku ini gerak atau semacam gerakan
padahal tak kupunyai apapun yang bisa kugerakkan
dan apabila kau jumpai bayangan gerak
pada yang kau sebut aku
hendaklah jelas bagimu bahwa hanya Tuhan
yang sanggup memantulkan diriNya sendiri
aku membesar-besarkanmu dan kau membesar-besarkanku
kita saling merasa terancam oleh enerji yang mendesak-desak
padahal ia hanyalah air nuranimu sendiri yang menggelombang
dan sebagaimana udara yang berhembus
ia berasal dari ruh uluhiyah kita sendiri
kita saling memandang melalui metoda benda
kita saling bersentuhan lewat tahayul peristiwa-peristiwa
padahal di awal dan akhir nanti akan ternyata
yang kita sangka kita bukanlah kita
engkau bisa menangkap benda
tapi geraknya luput dari kuasamu
engkau bisa menghentikan peristiwa
tetapi arusnya lolos dari cengkeramanmu
engkau bisa membendung air
tapi gelombangnya melompatimu ke masa depan
engkau bisa membuntu udara
tapi tenaganya memergokimu
di tempat yang tak kau duga
jadi sudahlah
untuk apa kau bungkam mulutku
sedangkan yang bersuara adalah mulutku
untuk apa engkau stop langkahku
sedangkan yang berjalan adalah sanubarimu sendiri
sedangkan yang bergema adalah pekikan hatimu sendiri
bergaung melintasi segala angkasa
menembus seluruh langit
mengatasi Negara-negara dan propinsi-propinsi
melompati kepulauan, samudera dan benua-benua
maka untuk apa engkau bungkam suaraku
karena toh kesunyian lebih berteriak dibandingkan mulutku
untuk apa kau habiskan tenaga
untuk membangun pagar dan rambu-rambu
sedang setiap menjelang tidur
selalu engkau diseret kembali oleh gelombang itu.
ABRACADABRA, KITA SEMBUNYI
abracadabra kita tiarap
karena tak ada janji peluru itu
tidak untuk ditembakkan ke jidat kita
abracadabra kita sembunyi
karena kata merdeka masih belum selesai diperdebatkan
abracadabra kita masuk liang-liang gelap
karena tak ada siapa-siapa yang menjamin apa-apa
abracadabra kita cuma bisa mabuk
sehingga kita tidak tahu bahwa kita mabuk
abracadabra kita semakin mabuk
karena setiap ingatan terlalu menusuk
Tuhan, kamu jangan tertawa
nyawa kami tidak hilang, hanya ketlingsut entah dimana
dengarkan tetap kami puja keperkasaan Mu
dalam kekaguman kami kepada diri kami sendiri
yang tetap bisa hidup
tanpa hak bicara dan peluang untuk berbagi
tidakkah kamu terharu menyaksikan kepengecutan kami?
dan mungkinkah kamu mengutuk rasa takut dalam jiwa kami
sedangkan ketakutan adalah anugerah Mu sendiri?
abracadabra otak kita bercanggih-canggih mengembara
berebut tema-tema yang tak ada hubungannya dengan apa-apa
abracadabra kita berjoget
karena sisa rakhmat Mu yang bisa dinikmati hanyalah situasi-situasi lupa
abracadabra kita meniup balon-balon kosong
abracadabra kita menggelembungkan tahayul agama
halusinasi politik dan mitos-mitos kesenian
abracadabra kita bercumbu dengan gincu ilmu omong kosong
abracadabra kita jatuh
terserimpung oleh langkah kita sendiri
abracadabra kita berlari ke utara
tiba-tiba dihadang oleh selatan
abracadabra kita terjun ke air, ternyata batu
abracadabra kita mengulum api
kita tersenggak oleh asap-asap yang semakin membumbung ke ubun-ubun kita
abracadabra baru kita tahu apa yang dianggap mengganggu ketenteraman?
ialah
KEBENARAN
abracadabra gerangan apa yang bagi mereka merusak tatanan?
ialah
KEADILAN
abracadabra dan apa kiranya puncak kejahatan?
namanya
KEBEBASAN
*) Dari Kumpulan Puisi “Doa Mohon Kutukan” Risalah Gusti 1995
RUMAH COR API
demi keadilan
hukum disingkirkan
demi kebenaran
pengabulan ganti rugi dibatalkan
demi ketenteraman
air ludah harus kembali ditelan
karena cahaya kemajuan harus memancar
maka panduan dan penerangan harus luas tersebar
karena program-program pembangunan harus lancar
maka terkadang pasar ini dan bangunan itu harus dibakar
lihatlah rumah-rumah cor api
lihatlah gedung-gedung berdiri di atas kuburan
batu-batanya terbuat dari kesengsaraan dan airmata
tembok-temboknya rekat oleh akumulasi ratapan
tiang-tiangnya tegak karena disangga oleh pengorbanan
diseberang itu engkau memandang
rumah-rumah didirikan
dekat di sisiku aku saksikan
rumah-rumah digilas dan dirobohkan
nun disana engkau melihat
rumah-rumah disusun-susun
nun disini aku menatap
perduduk terusir berduyun-duyun
ketika engkau berdiri di depan
hamparan tanah luas yang engkau beli
untuk mendirikan ratusan rumah
dan ribuan pemukiman manusia abad 21
pernahkah terlintas di kepalamu
ingatan tentang beribu-ribu saudara-saudaramu
yang kehilangan tanahnya
pernahkah engkau ingat betapa beribu-ribu orang itu
tak dianggap memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya
dan ketika mereka terpaksa menjualnya
mereka juga tak dianggap memiliki hak untuk menentukan
harga petak-petak tanah mereka
ketika engkau menempati rumah itu
tahukah engkau, siapa nama tukang-tukang
yang menumpuk bata-batanya
yang mengangkut pasir dan memasang genting-genting
ketika engkau memijakkan kakiku di lantai rumahmu
dan meletakkan punggungmu di kasur ranjang
pernahkan engkau catat kemungkinan muatan
korupsi dan kolusi di dalam proses pembuatannya
sejak tahap tender
sampai pemasangan cungkup puncaknya
bagi berjuta-juta saudara-saudaramu
yang tak senasib dengan denganmu
yang bertempat tinggal tidak di pusat uang dan kekuasaan
pernahkah engkau sekedar berdoa saja
bagi kesejahteraan mereka
dunia sudah amat tua
darahnya kita hisap bersama-sama
kehidupan semakin rapuh
dan sakit kita tidak semakin sembuh
langit robek-robek
badan kita akan semakin dipanggang hawa panas
sejumlah pulau akan tenggelam
lainnya menjadi rawa-rawa
anak cucumu akan hidup sengsara
karena ransum alam bagi masa depan
telah dihisap dengan semena-mena.
1994
TAK KUNJUNG DATANG
aku nantikan
kami rindukan
telinga yang mendengarkan
hati yang mengerti
di negeri ini
berpuluh tahun
terasa ngunngun
kami mencari dan bingung
pemimpin yang paham
dan melapangkan
tak kunjung datang
ataukah memang
tak dilahirkan oleh Tuhan
aku dambakan
kami impikan
pidato yang menentramkan
perlakuan sejuk dan pembebasan
sekian lama
engkau janjikan
horison keterbukaan
bukan penyempitan dan pengkotakan
tetapi kapan?
ia tak menjelang
jaman berlalu
dan menipu
kau tak belajar memahami
selain mau mu sendiri
tak tau beda
antara penguasa
dan pemimpin bangsa.
*) Salah satu lagu dari album “perahu Retak”, nyanyian Franky Sahilatua, liriknya Emha Ainun Nadjib.
KAMBING
kambing semacam itu pernah kau jumpaikah
yakni yang menyusu ke putingnya sendiri
sehingga tulang punggungnya patah
dan anak-anaknya haus roboh terkulai
kambing semacam itu pernah kau jumpaikah
yang membuntu lobang putingnya sendiri
seluruh air susu tubuhnya ia monopoli
hingga akhirnya mati sendiri
hanya manusialah yang demikian
jenis hewan yang diperbudak keserakahan
mencakar-cakar orang lain dengan kuku setan
sesudah uzur usia baru disiksa kecemasan
kata almuhammadi itulah jenis kebodohan
orang tak belajar kepada zakat dan kasih
makin kaya makin ditimpa kemiskinan
akhirnya dari jiwanya sendiri tersisih
1986
TAHAJJUD CINTAKU
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
1988
TEMBOK DAN GELOMBANG
(1)
sekuat-kuat gelombang
harus lebih kuat tembok
karena puncak kekuasaan
adalah ideologi gembok
tembok didirikan sekukuh-kukuhnya
agar gelombang terbentur sia-sia
gelombang direndam
menjadi ombak semilir
gelombang itu alam
tembok itu teknologi
kekuasaan timbul tenggelam
sedang jiwamu abadi
(2)
berhentilah memenjaraku
sebab jeruji besi dan sel pengurungku
terletak di dalam dadamu sendiri
tanpa bisa kemanapun kau pindahkan
kalau kau usir
kau pikir kemana aku hendak pergi
sedang lubuk jiwamu itulah alam semestaku
aku berumah di keremangan jiwamu
bilikku tersembunyi di balik kesunyian nuranimu
jadi berhentilah mendirikan tembok-tembok
karena toh aku bukan gumpalan benda yang bisa kau kurung
tak usah pula repot membakar dan memusnahkanku
sebab toh hakekatku memang musnah dan tiada
kau sang aku ini gerak atau semacam gerakan
padahal tak kupunyai apapun yang bisa kugerakkan
dan apabila kau jumpai bayangan gerak
pada yang kau sebut aku
hendaklah jelas bagimu bahwa hanya Tuhan
yang sanggup memantulkan diriNya sendiri
aku membesar-besarkanmu dan kau membesar-besarkanku
kita saling merasa terancam oleh enerji yang mendesak-desak
padahal ia hanyalah air nuranimu sendiri yang menggelombang
dan sebagaimana udara yang berhembus
ia berasal dari ruh uluhiyah kita sendiri
kita saling memandang melalui metoda benda
kita saling bersentuhan lewat tahayul peristiwa-peristiwa
padahal di awal dan akhir nanti akan ternyata
yang kita sangka kita bukanlah kita
engkau bisa menangkap benda
tapi geraknya luput dari kuasamu
engkau bisa menghentikan peristiwa
tetapi arusnya lolos dari cengkeramanmu
engkau bisa membendung air
tapi gelombangnya melompatimu ke masa depan
engkau bisa membuntu udara
tapi tenaganya memergokimu
di tempat yang tak kau duga
jadi sudahlah
untuk apa kau bungkam mulutku
sedangkan yang bersuara adalah mulutku
untuk apa engkau stop langkahku
sedangkan yang berjalan adalah sanubarimu sendiri
sedangkan yang bergema adalah pekikan hatimu sendiri
bergaung melintasi segala angkasa
menembus seluruh langit
mengatasi Negara-negara dan propinsi-propinsi
melompati kepulauan, samudera dan benua-benua
maka untuk apa engkau bungkam suaraku
karena toh kesunyian lebih berteriak dibandingkan mulutku
untuk apa kau habiskan tenaga
untuk membangun pagar dan rambu-rambu
sedang setiap menjelang tidur
selalu engkau diseret kembali oleh gelombang itu.
ABRACADABRA, KITA SEMBUNYI
abracadabra kita tiarap
karena tak ada janji peluru itu
tidak untuk ditembakkan ke jidat kita
abracadabra kita sembunyi
karena kata merdeka masih belum selesai diperdebatkan
abracadabra kita masuk liang-liang gelap
karena tak ada siapa-siapa yang menjamin apa-apa
abracadabra kita cuma bisa mabuk
sehingga kita tidak tahu bahwa kita mabuk
abracadabra kita semakin mabuk
karena setiap ingatan terlalu menusuk
Tuhan, kamu jangan tertawa
nyawa kami tidak hilang, hanya ketlingsut entah dimana
dengarkan tetap kami puja keperkasaan Mu
dalam kekaguman kami kepada diri kami sendiri
yang tetap bisa hidup
tanpa hak bicara dan peluang untuk berbagi
tidakkah kamu terharu menyaksikan kepengecutan kami?
dan mungkinkah kamu mengutuk rasa takut dalam jiwa kami
sedangkan ketakutan adalah anugerah Mu sendiri?
abracadabra otak kita bercanggih-canggih mengembara
berebut tema-tema yang tak ada hubungannya dengan apa-apa
abracadabra kita berjoget
karena sisa rakhmat Mu yang bisa dinikmati hanyalah situasi-situasi lupa
abracadabra kita meniup balon-balon kosong
abracadabra kita menggelembungkan tahayul agama
halusinasi politik dan mitos-mitos kesenian
abracadabra kita bercumbu dengan gincu ilmu omong kosong
abracadabra kita jatuh
terserimpung oleh langkah kita sendiri
abracadabra kita berlari ke utara
tiba-tiba dihadang oleh selatan
abracadabra kita terjun ke air, ternyata batu
abracadabra kita mengulum api
kita tersenggak oleh asap-asap yang semakin membumbung ke ubun-ubun kita
abracadabra baru kita tahu apa yang dianggap mengganggu ketenteraman?
ialah
KEBENARAN
abracadabra gerangan apa yang bagi mereka merusak tatanan?
ialah
KEADILAN
abracadabra dan apa kiranya puncak kejahatan?
namanya
KEBEBASAN
*) Dari Kumpulan Puisi “Doa Mohon Kutukan” Risalah Gusti 1995
RUMAH COR API
demi keadilan
hukum disingkirkan
demi kebenaran
pengabulan ganti rugi dibatalkan
demi ketenteraman
air ludah harus kembali ditelan
karena cahaya kemajuan harus memancar
maka panduan dan penerangan harus luas tersebar
karena program-program pembangunan harus lancar
maka terkadang pasar ini dan bangunan itu harus dibakar
lihatlah rumah-rumah cor api
lihatlah gedung-gedung berdiri di atas kuburan
batu-batanya terbuat dari kesengsaraan dan airmata
tembok-temboknya rekat oleh akumulasi ratapan
tiang-tiangnya tegak karena disangga oleh pengorbanan
diseberang itu engkau memandang
rumah-rumah didirikan
dekat di sisiku aku saksikan
rumah-rumah digilas dan dirobohkan
nun disana engkau melihat
rumah-rumah disusun-susun
nun disini aku menatap
perduduk terusir berduyun-duyun
ketika engkau berdiri di depan
hamparan tanah luas yang engkau beli
untuk mendirikan ratusan rumah
dan ribuan pemukiman manusia abad 21
pernahkah terlintas di kepalamu
ingatan tentang beribu-ribu saudara-saudaramu
yang kehilangan tanahnya
pernahkah engkau ingat betapa beribu-ribu orang itu
tak dianggap memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya
dan ketika mereka terpaksa menjualnya
mereka juga tak dianggap memiliki hak untuk menentukan
harga petak-petak tanah mereka
ketika engkau menempati rumah itu
tahukah engkau, siapa nama tukang-tukang
yang menumpuk bata-batanya
yang mengangkut pasir dan memasang genting-genting
ketika engkau memijakkan kakiku di lantai rumahmu
dan meletakkan punggungmu di kasur ranjang
pernahkan engkau catat kemungkinan muatan
korupsi dan kolusi di dalam proses pembuatannya
sejak tahap tender
sampai pemasangan cungkup puncaknya
bagi berjuta-juta saudara-saudaramu
yang tak senasib dengan denganmu
yang bertempat tinggal tidak di pusat uang dan kekuasaan
pernahkah engkau sekedar berdoa saja
bagi kesejahteraan mereka
dunia sudah amat tua
darahnya kita hisap bersama-sama
kehidupan semakin rapuh
dan sakit kita tidak semakin sembuh
langit robek-robek
badan kita akan semakin dipanggang hawa panas
sejumlah pulau akan tenggelam
lainnya menjadi rawa-rawa
anak cucumu akan hidup sengsara
karena ransum alam bagi masa depan
telah dihisap dengan semena-mena.
1994
TAK KUNJUNG DATANG
aku nantikan
kami rindukan
telinga yang mendengarkan
hati yang mengerti
di negeri ini
berpuluh tahun
terasa ngunngun
kami mencari dan bingung
pemimpin yang paham
dan melapangkan
tak kunjung datang
ataukah memang
tak dilahirkan oleh Tuhan
aku dambakan
kami impikan
pidato yang menentramkan
perlakuan sejuk dan pembebasan
sekian lama
engkau janjikan
horison keterbukaan
bukan penyempitan dan pengkotakan
tetapi kapan?
ia tak menjelang
jaman berlalu
dan menipu
kau tak belajar memahami
selain mau mu sendiri
tak tau beda
antara penguasa
dan pemimpin bangsa.
*) Salah satu lagu dari album “perahu Retak”, nyanyian Franky Sahilatua, liriknya Emha Ainun Nadjib.
KAMBING
kambing semacam itu pernah kau jumpaikah
yakni yang menyusu ke putingnya sendiri
sehingga tulang punggungnya patah
dan anak-anaknya haus roboh terkulai
kambing semacam itu pernah kau jumpaikah
yang membuntu lobang putingnya sendiri
seluruh air susu tubuhnya ia monopoli
hingga akhirnya mati sendiri
hanya manusialah yang demikian
jenis hewan yang diperbudak keserakahan
mencakar-cakar orang lain dengan kuku setan
sesudah uzur usia baru disiksa kecemasan
kata almuhammadi itulah jenis kebodohan
orang tak belajar kepada zakat dan kasih
makin kaya makin ditimpa kemiskinan
akhirnya dari jiwanya sendiri tersisih
1986
TAHAJJUD CINTAKU
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
1988
Belajarlah Menjaga Lidahmu Abdiku
Syifa Aulia
http://sastra-indonesia.com/
Saat ini kami tak mau gegabah
bahkan pada perih
yang menyelinap diam-diam
serupa guratan sejarah
yang di bungkam
Sebab telah kembali
kau hujamkan belati
ke dada kami
berulang kali
mengalirkan darah kebencian
di jiwa-jiwa kami
Lidahmu terlalu pedang
yang senantiasa mampu
membunuh rasa hormat
kami padamu
kami meletakkan kepala
di kaki-kaki kami
bukan untuk kalian
injak semaunya
dan perih ini tak akan
kami biarkan
Kami ingin bercanda denganmu
tanpa janji-janji yang membongkar
busuknya
kami memilih di titik hening
sambil menuntaskan teriakkan
yang tertinggal di kotamu
Saat ini kami tidak ingin ceroboh
bahkan pada jalan setapak
menuju gubug tua yang
nyaris roboh
sebab disanalah tersimpan
air mata rahasia
menjadi misteri yang melilit
kepongahan masa depan
Jangan lagi kau usik kami
sebab kami lebih nyaman
di bawah pohon rindang
dengan kaki pincang.
Nb: kalau kalian masih ngeyel saja
mari kita berperkara sebab
bukan dikening manusia lain
kami meludah tapi disinilah.
________
* Puisi ini lahir atas ucapan merendahkan dari ketua DPR Marzuki Ali pada kami TKW.
http://sastra-indonesia.com/
Saat ini kami tak mau gegabah
bahkan pada perih
yang menyelinap diam-diam
serupa guratan sejarah
yang di bungkam
Sebab telah kembali
kau hujamkan belati
ke dada kami
berulang kali
mengalirkan darah kebencian
di jiwa-jiwa kami
Lidahmu terlalu pedang
yang senantiasa mampu
membunuh rasa hormat
kami padamu
kami meletakkan kepala
di kaki-kaki kami
bukan untuk kalian
injak semaunya
dan perih ini tak akan
kami biarkan
Kami ingin bercanda denganmu
tanpa janji-janji yang membongkar
busuknya
kami memilih di titik hening
sambil menuntaskan teriakkan
yang tertinggal di kotamu
Saat ini kami tidak ingin ceroboh
bahkan pada jalan setapak
menuju gubug tua yang
nyaris roboh
sebab disanalah tersimpan
air mata rahasia
menjadi misteri yang melilit
kepongahan masa depan
Jangan lagi kau usik kami
sebab kami lebih nyaman
di bawah pohon rindang
dengan kaki pincang.
Nb: kalau kalian masih ngeyel saja
mari kita berperkara sebab
bukan dikening manusia lain
kami meludah tapi disinilah.
________
* Puisi ini lahir atas ucapan merendahkan dari ketua DPR Marzuki Ali pada kami TKW.
Riwayat
Wiji Thukul
- untuk r
sungai ini merah dulu airnya
oleh genangan darah
kakek nenek kami
sungai ini berbuncah dulu
oleh perlawanan
disambut letusan peluru
bangkai-bangkai mengapung
hanyut dibawa arus ke hilir
bangkai kakek nenek kami
bangkai-bangkai jepang mengambang
dibabat parang kakek nenek kami
demi hutan tanah air
ibu bumi kami
gagah berani
kakek nenek kami
menyerahkan riwayatnya
pada batang-batang pohon
sebesar seratus dekapan
pada sampan-sampan lincah
dari hulu ke hilir
memburu dada penjajah
bukan siapa-siapa
kakek nenek kamilah
yang merebut tanah air
tanyakan kepada yang mampu membaca
tanyakan kepada yang tak pura-pura buta
siapa
sekarang
saat aku berdiri di tepi sungai
yang mahaluas ini
kusaksikan hutan-hutan roboh
dan kayu-kayu gelondong berkapal-kapal itu
akan diangkut kemana
siapa punya
riwayat kita pahit di mulut
getir diucap buram di mata
akankah berhenti riwayat sampai di sini
1997
Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=270323872992426&set=at.258429280848552.72283.158632180828263.1355886977&type=1&ref=nf
- untuk r
sungai ini merah dulu airnya
oleh genangan darah
kakek nenek kami
sungai ini berbuncah dulu
oleh perlawanan
disambut letusan peluru
bangkai-bangkai mengapung
hanyut dibawa arus ke hilir
bangkai kakek nenek kami
bangkai-bangkai jepang mengambang
dibabat parang kakek nenek kami
demi hutan tanah air
ibu bumi kami
gagah berani
kakek nenek kami
menyerahkan riwayatnya
pada batang-batang pohon
sebesar seratus dekapan
pada sampan-sampan lincah
dari hulu ke hilir
memburu dada penjajah
bukan siapa-siapa
kakek nenek kamilah
yang merebut tanah air
tanyakan kepada yang mampu membaca
tanyakan kepada yang tak pura-pura buta
siapa
sekarang
saat aku berdiri di tepi sungai
yang mahaluas ini
kusaksikan hutan-hutan roboh
dan kayu-kayu gelondong berkapal-kapal itu
akan diangkut kemana
siapa punya
riwayat kita pahit di mulut
getir diucap buram di mata
akankah berhenti riwayat sampai di sini
1997
Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=270323872992426&set=at.258429280848552.72283.158632180828263.1355886977&type=1&ref=nf
Sajak-Sajak Amir Hamzah
http://id.wikisource.org/
PADAMU JUA
Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.
Di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu -bukan giliranku
mati hari -bukan kawanku…
HANYUT AKU
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
ulurkan tanganmu, tolong aku.
sunyinya sekelilingku!
tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam
Tenggelam dalam malam,
air di atas menindih keras
bumi di bawah menolak ke atas
mati aku, kekasihku, mati aku!
DOA POYANGKU
Poyangku rata meminta sama
semoga sekali aku diberi
memetik kecapi, kecapi firdausi
menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata
penabuh bunyian kerana suara
suara sunyi suling keramat
kini rebana di celah jariku
tari tamparku membangkit rindu
kucoba serentak genta genderang
memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasihan hatiku sayang
alahai hatiku tiada bahagia
jari menari doa semata
tapi hatiku bercabang dua.
HANYA SATU
Timbul niat dalam kalbumu;
terban hujan, ungkai badai
terendam karam
runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
lari terbang jatuh duduk
air naik tetap terus
tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh/redam terbelam
dalam gagap/gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
tempat berteduh Nuh kekasihmu
bebas lepas lelang lapang
di tengah gelisah, swara sentosa
Bersemayam sempana di jemala gembala
juriat jelita bapaku Ibrahim
keturunan intan dua cahaya
pancaran putera berlainan bonda.
Kini kami bertikai pangkai
di antara dua, mana mutiara
jauhari ahli lalai menilai
lengah langsung melewat abad
Aduh, kekasihku
padaku semua tiada berguna
hanya satu kutunggu hasrat
merasa dikau dekat rapat
serupa Musa di puncak Tursina.
________________
Amir Hamzah, yang nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera, adalah seorang sastrawan Indonesia. Dilahirkan di Tanjung Pura,Langkat, Sumatra Utara pada 28 Januari 1911, beliau wafat di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946.
PADAMU JUA
Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.
Di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu -bukan giliranku
mati hari -bukan kawanku…
HANYUT AKU
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
ulurkan tanganmu, tolong aku.
sunyinya sekelilingku!
tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam
Tenggelam dalam malam,
air di atas menindih keras
bumi di bawah menolak ke atas
mati aku, kekasihku, mati aku!
DOA POYANGKU
Poyangku rata meminta sama
semoga sekali aku diberi
memetik kecapi, kecapi firdausi
menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata
penabuh bunyian kerana suara
suara sunyi suling keramat
kini rebana di celah jariku
tari tamparku membangkit rindu
kucoba serentak genta genderang
memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasihan hatiku sayang
alahai hatiku tiada bahagia
jari menari doa semata
tapi hatiku bercabang dua.
HANYA SATU
Timbul niat dalam kalbumu;
terban hujan, ungkai badai
terendam karam
runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
lari terbang jatuh duduk
air naik tetap terus
tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh/redam terbelam
dalam gagap/gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
tempat berteduh Nuh kekasihmu
bebas lepas lelang lapang
di tengah gelisah, swara sentosa
Bersemayam sempana di jemala gembala
juriat jelita bapaku Ibrahim
keturunan intan dua cahaya
pancaran putera berlainan bonda.
Kini kami bertikai pangkai
di antara dua, mana mutiara
jauhari ahli lalai menilai
lengah langsung melewat abad
Aduh, kekasihku
padaku semua tiada berguna
hanya satu kutunggu hasrat
merasa dikau dekat rapat
serupa Musa di puncak Tursina.
________________
Amir Hamzah, yang nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera, adalah seorang sastrawan Indonesia. Dilahirkan di Tanjung Pura,Langkat, Sumatra Utara pada 28 Januari 1911, beliau wafat di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946.
Sabtu, 03 September 2011
Sajak-Sajak Syaifuddin Gani
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Pare-pare
pagi letuskan bau buruh
menyembur ke udara subuh
ton demi ton badan dan barang
menumpuk dan mengerang
menghardik dan mengganyang leher dermaga
penumpang dan pencoleng
beradu rayu
sebelum lengking sirine
memanggil
pagi itu
dermaga pare-pare jadi bongkahan rindu
air mata dan sepi jadi bangkai perjalanan
2009
Langit Lalu Rebah ke dalam Mata Dahaganya
sebongkah batubara menggelincir
ke dalam rongga dahaga dadanya
lalu tersungkur ke dalam daging jantungnya
ia mengerang, oh langit kembara
alangkah maharindu pesonamu
oh laut kembar betapa mahabuih gelegarmu
membongkar dobrak pintu fana darahku
oh bumikandung tak jua rampung
dengan seribu sembilu kidung
langit lalu rebah ke dalam matadahaganya
laut lalu menggelegak ke dalam rahimpuasanya
dan batubara itu pecahrekah jadi abu jadi api puisinya
2010
Dua Ribu Tangga Ombak
dua ribu tangga ombak memecah
kegulitaan sunyi
merapikan pakaian kemurungan pesisir
enam pasang cahaya merinding di laut
mengirim musim barat ke bukit-bukit gorontalo
sunyi yang legam menggelepar
dibantai dua ribu gelombang
gulungan malam mengobarkan kepedihan
sebelum menjadi buih
memuih
jadi maut putih
menjelma dua ribu gelombang kesunyian
teluk tomini
2010
Di Padang Konda
di padang-padang konda
langit dikerumuni senja
bukit-bukit merenung
dirayapi angin tundra
tujuh anoa membahana
memburu cahaya magrib
anaway menuruni lembah
nasib dan matahari pun raib
2010
Wangi-wangi
di pulau-pulau terjauh
gemintang bergetaran
perahu-perahu menjauh
lampu-lampu bertangisan
karang-karang berlagu
angin timur berserakan
ombak membuih
gugur jua di pangkuan karang
pasir memutih
pudar dalam aduhan malam
batu-batu mendesis
dirayapi angin terang
pantai menangis
ditinggalkan jangkar nelayan
pangkal teluk merah dan memar
dirongrong persenggamaan alam
gadis-gadis berdaging samar
lambaikan senyum tangiskan salam
kutinggalkan dermaga wangi-wangi
angin gemetar merangkum nafasmu wangi
tahun depan, angin timur mengarak kenangan
aku datang mengepang rambutmu jadi delapan
2008
Syaifuddin Gani, lahir di Salubulung, Sulbar, 1978. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1998. Tinggal di Kendari dan bekerja di Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.***
Pare-pare
pagi letuskan bau buruh
menyembur ke udara subuh
ton demi ton badan dan barang
menumpuk dan mengerang
menghardik dan mengganyang leher dermaga
penumpang dan pencoleng
beradu rayu
sebelum lengking sirine
memanggil
pagi itu
dermaga pare-pare jadi bongkahan rindu
air mata dan sepi jadi bangkai perjalanan
2009
Langit Lalu Rebah ke dalam Mata Dahaganya
sebongkah batubara menggelincir
ke dalam rongga dahaga dadanya
lalu tersungkur ke dalam daging jantungnya
ia mengerang, oh langit kembara
alangkah maharindu pesonamu
oh laut kembar betapa mahabuih gelegarmu
membongkar dobrak pintu fana darahku
oh bumikandung tak jua rampung
dengan seribu sembilu kidung
langit lalu rebah ke dalam matadahaganya
laut lalu menggelegak ke dalam rahimpuasanya
dan batubara itu pecahrekah jadi abu jadi api puisinya
2010
Dua Ribu Tangga Ombak
dua ribu tangga ombak memecah
kegulitaan sunyi
merapikan pakaian kemurungan pesisir
enam pasang cahaya merinding di laut
mengirim musim barat ke bukit-bukit gorontalo
sunyi yang legam menggelepar
dibantai dua ribu gelombang
gulungan malam mengobarkan kepedihan
sebelum menjadi buih
memuih
jadi maut putih
menjelma dua ribu gelombang kesunyian
teluk tomini
2010
Di Padang Konda
di padang-padang konda
langit dikerumuni senja
bukit-bukit merenung
dirayapi angin tundra
tujuh anoa membahana
memburu cahaya magrib
anaway menuruni lembah
nasib dan matahari pun raib
2010
Wangi-wangi
di pulau-pulau terjauh
gemintang bergetaran
perahu-perahu menjauh
lampu-lampu bertangisan
karang-karang berlagu
angin timur berserakan
ombak membuih
gugur jua di pangkuan karang
pasir memutih
pudar dalam aduhan malam
batu-batu mendesis
dirayapi angin terang
pantai menangis
ditinggalkan jangkar nelayan
pangkal teluk merah dan memar
dirongrong persenggamaan alam
gadis-gadis berdaging samar
lambaikan senyum tangiskan salam
kutinggalkan dermaga wangi-wangi
angin gemetar merangkum nafasmu wangi
tahun depan, angin timur mengarak kenangan
aku datang mengepang rambutmu jadi delapan
2008
Syaifuddin Gani, lahir di Salubulung, Sulbar, 1978. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1998. Tinggal di Kendari dan bekerja di Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.***
Sajak-Sajak Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/
Tanggal
Dapatkah menemu isarah pada daun yang tanggal dari dahan bila cuma memungut lalu memasukkannya di tong sampah kemudian dibakar atau didiamkan
tanggal berapa hari ini ? Angka angka-Nya masih sama seperti yang kemaren dibaca bulan dan sama pula untuk esuk dan lusa.
1,2,3 dan seterusnya sampai kembali pada satu dan bulan berlalu tanpa berbuat sesuatu.
Hingga di akhir desember tahun ditanggalkan seperti dahan menanggalkan daun kering.
16 Februari 2011
Bara Hati
Di antara rerintik hujan dan gemuruh Guntur
dengarkan sebait puisi tentang galau
hati yang mendesau seperti angin
menderu di pepucuk bambu
butir butir pasir dan tepung kanji,adakah beda jika tak pernah meraba
air dan api adakah sama bila bara telah menyala
air tak mampu memadam sebelum segala dilumat dibakar
habis dan dimusnah
seperti kayu menjadi abu
seperti besi menjadi debu
dan seperti itu hati lebur menjadi debu
24 Februari 2011
?
Air mata langit mengucur tiada henti menggenang di selokan dan kali
Merpati berteduh di dahan jati,berdiskusi tentang bulunya yang tak juga kering
nampak mulai bosan berdebat dengan kenyataan
; Entah kapan dapat kembali terbang
Mungkin nanti jika rintik hujan telah menjadi puisi dan alam menepati janji
Namun hujan akan cuma jadi sebaris puisi tak jadi dan janji alam tak selalu pasti
kadang hujan,kadang terang (tanpa dapat terprediksi)
Sementara jarum jam terus berotasi
(semua masih dalam sebuah tanda tanya)
08 Maret 2011
Tentang Luka (catatan sederhana negeri Sakura)
Mengalun lembut sebaris lagu oh Sakura berirama lara tak lagi berirama disco maupun salsa yang kemaren gempita membahana pada segenap ruas kota
; gejolak alam adalah bait puisi maha karya penyair kita
adakah dia yang jadikan rima tengah tampakkan kuasa
adakah dia yang lahirkan diksi tak terima atas anarki
adalah dia . . .
Oh yang Esa
yang ada pada hati insan tanpa berjeda
yang telah jadi irama hidup dan diksi
; adakah terasa luka pada celah mimpi
( di balik tirai Sakura )
16 Maret 2011
Senandung Mekanik
(catatan harian pekerja bengkel)
:kepada Goes Shoe
Menulis puisi adalah membunuh sepi
pada desir angin yang bercakap
pada malam yang perlahan membungkus hati dalam lipatan mimpi.
teringat di bawah matahari
berjemur dan mandi pada telaga oli
bersetubuh dengan besi
berhari-hari
meski tak pernah ejakulasi
Mur dan baut adalah pasangan serasi
meski tak dapat bersatu bila tak padu
namun mur,baut,besi dan oli adalah kawan sejati
yang setia mengantar bersekulah
memberi berpiring nasi
baju buat anak istri
menulis puisi dan mengantar kemana pergi.
Pada celah oli yang menembus metal dan pori besi
terselip cita dan mimpi
(membina peradaban negri ).
16 Maret 2011
Lomba puisi (sayembara Tuhan)
Tahun lalu saya bikin puisi, mau saya kirim pada Tuhan
Katanya Tuhan adakan sayembara
jika ada yang dapat bikin puisi melehihi Qur’an, Dia akan pensiun jadi Tuhan.
Saya batalkan kirim puisi, sebab saya takut melebihi Qur’an.
Jika Tuhan pensiun, siapa yang gantikan?
Kamu?
Aku?
Saya tak mau jadi Tuhan, kalau jadi Tuhan semenit saja pasti bosan, Mendengar rintih dan pintamu yang tak karuan
Melihat kau turuti ajakan setan.
Saya tak lagi membikin puisi
(saya tak mau jadi Tuhan)
3/21/2011
Tanggal
Dapatkah menemu isarah pada daun yang tanggal dari dahan bila cuma memungut lalu memasukkannya di tong sampah kemudian dibakar atau didiamkan
tanggal berapa hari ini ? Angka angka-Nya masih sama seperti yang kemaren dibaca bulan dan sama pula untuk esuk dan lusa.
1,2,3 dan seterusnya sampai kembali pada satu dan bulan berlalu tanpa berbuat sesuatu.
Hingga di akhir desember tahun ditanggalkan seperti dahan menanggalkan daun kering.
16 Februari 2011
Bara Hati
Di antara rerintik hujan dan gemuruh Guntur
dengarkan sebait puisi tentang galau
hati yang mendesau seperti angin
menderu di pepucuk bambu
butir butir pasir dan tepung kanji,adakah beda jika tak pernah meraba
air dan api adakah sama bila bara telah menyala
air tak mampu memadam sebelum segala dilumat dibakar
habis dan dimusnah
seperti kayu menjadi abu
seperti besi menjadi debu
dan seperti itu hati lebur menjadi debu
24 Februari 2011
?
Air mata langit mengucur tiada henti menggenang di selokan dan kali
Merpati berteduh di dahan jati,berdiskusi tentang bulunya yang tak juga kering
nampak mulai bosan berdebat dengan kenyataan
; Entah kapan dapat kembali terbang
Mungkin nanti jika rintik hujan telah menjadi puisi dan alam menepati janji
Namun hujan akan cuma jadi sebaris puisi tak jadi dan janji alam tak selalu pasti
kadang hujan,kadang terang (tanpa dapat terprediksi)
Sementara jarum jam terus berotasi
(semua masih dalam sebuah tanda tanya)
08 Maret 2011
Tentang Luka (catatan sederhana negeri Sakura)
Mengalun lembut sebaris lagu oh Sakura berirama lara tak lagi berirama disco maupun salsa yang kemaren gempita membahana pada segenap ruas kota
; gejolak alam adalah bait puisi maha karya penyair kita
adakah dia yang jadikan rima tengah tampakkan kuasa
adakah dia yang lahirkan diksi tak terima atas anarki
adalah dia . . .
Oh yang Esa
yang ada pada hati insan tanpa berjeda
yang telah jadi irama hidup dan diksi
; adakah terasa luka pada celah mimpi
( di balik tirai Sakura )
16 Maret 2011
Senandung Mekanik
(catatan harian pekerja bengkel)
:kepada Goes Shoe
Menulis puisi adalah membunuh sepi
pada desir angin yang bercakap
pada malam yang perlahan membungkus hati dalam lipatan mimpi.
teringat di bawah matahari
berjemur dan mandi pada telaga oli
bersetubuh dengan besi
berhari-hari
meski tak pernah ejakulasi
Mur dan baut adalah pasangan serasi
meski tak dapat bersatu bila tak padu
namun mur,baut,besi dan oli adalah kawan sejati
yang setia mengantar bersekulah
memberi berpiring nasi
baju buat anak istri
menulis puisi dan mengantar kemana pergi.
Pada celah oli yang menembus metal dan pori besi
terselip cita dan mimpi
(membina peradaban negri ).
16 Maret 2011
Lomba puisi (sayembara Tuhan)
Tahun lalu saya bikin puisi, mau saya kirim pada Tuhan
Katanya Tuhan adakan sayembara
jika ada yang dapat bikin puisi melehihi Qur’an, Dia akan pensiun jadi Tuhan.
Saya batalkan kirim puisi, sebab saya takut melebihi Qur’an.
Jika Tuhan pensiun, siapa yang gantikan?
Kamu?
Aku?
Saya tak mau jadi Tuhan, kalau jadi Tuhan semenit saja pasti bosan, Mendengar rintih dan pintamu yang tak karuan
Melihat kau turuti ajakan setan.
Saya tak lagi membikin puisi
(saya tak mau jadi Tuhan)
3/21/2011
Sajak-Sajak Mega Vristian
http://oase.kompas.com/
DOA YANG MENCINTA
: Joe Budi Sambodo
Allah, hapuskan ragu di hatiku hapuskan rasa takut di hatiku setelah Kau terbitkan matahari cintaku tuntunlah selalu hatiku tuk berani menyemaikan rindu setitik cahaya bahagia dari perjalanan panjang kehidupan yang penuh luka-luka
Allah, lelaki itu yang mengajakku bangkit lelaki itu yang dengan jemari kasihnya telah memperkenalkan kembali kepadaku tentang sesuatu yang telah lama kutinggalkan lelaki itu yang mengenalkan cinta lewat kasihnya sendiri lewat airmatanya sendiri: seperti embun terasa seperti air wudlu di subuh hari.
Allah, dia, lelaki itu, menyadarkan aku selama ini aku terlalu sombong aku terlalu yakin bisa sendiri sampai akhir dia menanamkan kembali pohon cinta di hati yang kembara di hati yang lelah
Allah, Izinkan aku selalu mencintainya dengan ketulusan dalam suka dan duka sampai batas usia menghadapi terik bersama
atasnama-Mu dan restu-Mu aku kan menggenggam jemarinya
Allah, izinkan kami bahagia berikan kami kebahagiaan satukan kami dalam keagungan-Mu dalam kehambaan kami berjalan, menuju surga-Mu tanpa ragu sekuat mampu ?
(Hong Kong, musim dingin 2010)
SAJAK UNTUK BIMA
aku baca sanjakmu tentang layang-layang cinta dan rindu segala bayang katamu, sayang baris-barismu seperti angin keluar dari sarang menggelegakkan telaga jiwaku tentu kau akan terus belajar berbahasa belajar memahami kehidupan mata air makna yang mengeraskan kelak tulangmu tentu kaupun akan terus menghirup bening airnya kelak memurnikan darahmu sebagai manusia dan ketika itu kau pun setiap bertemu mencium tanganku mengerti duka dan lukaku bangga menjadi anakku ibumu pengembara bagai pelangi jembatan ke matahari
aku baca sanjakmu, nak oh, sayapmu sudah mengepak kau mulai mengangkasa kau tahu tentu hatiku adalah sarang hatiku adalah rumah dengan pintu terbuka menunggumu pulang
apa yang ingin kutulis dari hong kong apa yang ingin kutulis dari tanjung rantau kembara kuminta kau tidak takut luka kuminta kau tidak takut jatuh hemat dengan airmata taklukkan badai tundukkan topan k arena di nadimu mengalir darahku perempuan yang menolak menyerah kecuali pada kehendak-Nya
(Hong Kong, Hung Hom, 2010)
CINTA DI UJUNG SENJA
selembar surat kukirim kepadanya tanpa huruf dan kata hanya genang air mata membekas melukis rasa
– bahagiakah?
(Hung Hom, Musim dingin 2010)
KANGEN
anak tersedu ibu pilu aku terpasung waktu
(Causway Bay, awal Agustus 2010)
UH
Senja jatuh aku mengaduh di kening guratan keriput bertambah,uh!
(Wanchai, awal Agutus 2010)
*
Mega Vristian, penulis yang sementara ini tinggal di Hong Kong, karyanya sudah banyak dibukukan.
DOA YANG MENCINTA
: Joe Budi Sambodo
Allah, hapuskan ragu di hatiku hapuskan rasa takut di hatiku setelah Kau terbitkan matahari cintaku tuntunlah selalu hatiku tuk berani menyemaikan rindu setitik cahaya bahagia dari perjalanan panjang kehidupan yang penuh luka-luka
Allah, lelaki itu yang mengajakku bangkit lelaki itu yang dengan jemari kasihnya telah memperkenalkan kembali kepadaku tentang sesuatu yang telah lama kutinggalkan lelaki itu yang mengenalkan cinta lewat kasihnya sendiri lewat airmatanya sendiri: seperti embun terasa seperti air wudlu di subuh hari.
Allah, dia, lelaki itu, menyadarkan aku selama ini aku terlalu sombong aku terlalu yakin bisa sendiri sampai akhir dia menanamkan kembali pohon cinta di hati yang kembara di hati yang lelah
Allah, Izinkan aku selalu mencintainya dengan ketulusan dalam suka dan duka sampai batas usia menghadapi terik bersama
atasnama-Mu dan restu-Mu aku kan menggenggam jemarinya
Allah, izinkan kami bahagia berikan kami kebahagiaan satukan kami dalam keagungan-Mu dalam kehambaan kami berjalan, menuju surga-Mu tanpa ragu sekuat mampu ?
(Hong Kong, musim dingin 2010)
SAJAK UNTUK BIMA
aku baca sanjakmu tentang layang-layang cinta dan rindu segala bayang katamu, sayang baris-barismu seperti angin keluar dari sarang menggelegakkan telaga jiwaku tentu kau akan terus belajar berbahasa belajar memahami kehidupan mata air makna yang mengeraskan kelak tulangmu tentu kaupun akan terus menghirup bening airnya kelak memurnikan darahmu sebagai manusia dan ketika itu kau pun setiap bertemu mencium tanganku mengerti duka dan lukaku bangga menjadi anakku ibumu pengembara bagai pelangi jembatan ke matahari
aku baca sanjakmu, nak oh, sayapmu sudah mengepak kau mulai mengangkasa kau tahu tentu hatiku adalah sarang hatiku adalah rumah dengan pintu terbuka menunggumu pulang
apa yang ingin kutulis dari hong kong apa yang ingin kutulis dari tanjung rantau kembara kuminta kau tidak takut luka kuminta kau tidak takut jatuh hemat dengan airmata taklukkan badai tundukkan topan k arena di nadimu mengalir darahku perempuan yang menolak menyerah kecuali pada kehendak-Nya
(Hong Kong, Hung Hom, 2010)
CINTA DI UJUNG SENJA
selembar surat kukirim kepadanya tanpa huruf dan kata hanya genang air mata membekas melukis rasa
– bahagiakah?
(Hung Hom, Musim dingin 2010)
KANGEN
anak tersedu ibu pilu aku terpasung waktu
(Causway Bay, awal Agustus 2010)
UH
Senja jatuh aku mengaduh di kening guratan keriput bertambah,uh!
(Wanchai, awal Agutus 2010)
*
Mega Vristian, penulis yang sementara ini tinggal di Hong Kong, karyanya sudah banyak dibukukan.
Sajak-Sajak Isbedy Stiawan ZS
http://www.suarakarya-online.com/
Kau Tahu
di peluk kelamaku berdiang: hangat?
di peluk sunyiaku menepi: gelisah?
kau tahu pada malam malam aku bagaikan kembang
Ke Mana Pulang
(1)
aku ingin kata kata agar mataku menyala
aku rindu mata buatku tak lagi meraba
tumpahkan rasa untuk-Mu aku puasa
(2)
apa guna sayap jika tak ada kepak
guna apa hati bila gelap memandang-Mu
apakah haus-lapar kusenyumnya pada-Mu?
aku petik senyum itu…
(3)
aku petik tawa yang meranting
aku hempas badai yang berpohon di wajahmu
aku peluk dirimu sebab kucintai-Nya
(4)
usah curiga apakah pahala puasa ini
tak sampai dengarkan gumam haus-laparmu
ke mana pulang jika tak ke Dia?
maghrib membenam wajahmu menawan:
hirup puasmu cintaku!
5-7 agustus 2011
Peristiwa Suatu Pagi
di bangku panjang
di depan televisi pada sebuah ruang masih sunyi
akhirnya kau-aku menulis puisi
tentang persahabatan.
“tapi satu kalimat ini
untuk cinta, dan sebuah ciuman
buat pagi yang masih gairah,” katamu aku
besarkan volume televisi dan sebuah anak kunci
di tanganmu menari-nari
seperti digerakkan dari dalam kamar
yang samar penuh dengkur”selamat pagi,”
katamu di depan pintu
sebagai penanda hanya pagi yang tahu
hotel prada palembang, 16.07.2011
Ingatan itu:
budisantoso budiman
kubawa debur musi ke peraduan
agar kulelapkan wajahmu
yang sempat melarung dan melambai
tadi saat aku duduk di paling tepi
dan kerlip lampu juga sengau jukung
seperti ingin menarikku
“mari berdekapan, mendekaplah: aku musi
yang pernah kau kata. akulah musi
yang telah terpatri oleh tangan soekarno! ”
kata jukung lalu benteng besak
ingin membujukku: masuk ke halamanku,
bergambar atau tancapkan ikrar
“aku ingin mengecupmu lagi,
sebab aku sudah meminum cukamu…”
pedas di lidah hangat di tubuh
“inilah nusantara, kujaga hingga mati
marwahnya…” ucapku menghadap
benteng besak: aku bawa ingatan itu
ke peraduan ini malam…
plmbng, 15/07/11
Berkalung Purnama-dzafirah
adeliaputri isbedy
engkau bangunkan pohon
engkau datangkan gerimis
selepas adzan jumat yang paling semangat,
menyambut tiap yang datang
bersama puluhan tangisan setelah itu kau akan
tersenyum bahkan terhadap cobaan
obormu dari minyak kasihku
demi menjaga marwahmu
demi jumat paling hormat
kau kais waktu yang melesat
ingin kau dekap lekat sebagai perempuan
yang tiba di siang yang cahaya
sebelum hadir gerimis
sesudah tangismu melaju di depan berpalu
kekuatan berkalung purnama…
1 Juli 2011
Kau Tahu
di peluk kelamaku berdiang: hangat?
di peluk sunyiaku menepi: gelisah?
kau tahu pada malam malam aku bagaikan kembang
Ke Mana Pulang
(1)
aku ingin kata kata agar mataku menyala
aku rindu mata buatku tak lagi meraba
tumpahkan rasa untuk-Mu aku puasa
(2)
apa guna sayap jika tak ada kepak
guna apa hati bila gelap memandang-Mu
apakah haus-lapar kusenyumnya pada-Mu?
aku petik senyum itu…
(3)
aku petik tawa yang meranting
aku hempas badai yang berpohon di wajahmu
aku peluk dirimu sebab kucintai-Nya
(4)
usah curiga apakah pahala puasa ini
tak sampai dengarkan gumam haus-laparmu
ke mana pulang jika tak ke Dia?
maghrib membenam wajahmu menawan:
hirup puasmu cintaku!
5-7 agustus 2011
Peristiwa Suatu Pagi
di bangku panjang
di depan televisi pada sebuah ruang masih sunyi
akhirnya kau-aku menulis puisi
tentang persahabatan.
“tapi satu kalimat ini
untuk cinta, dan sebuah ciuman
buat pagi yang masih gairah,” katamu aku
besarkan volume televisi dan sebuah anak kunci
di tanganmu menari-nari
seperti digerakkan dari dalam kamar
yang samar penuh dengkur”selamat pagi,”
katamu di depan pintu
sebagai penanda hanya pagi yang tahu
hotel prada palembang, 16.07.2011
Ingatan itu:
budisantoso budiman
kubawa debur musi ke peraduan
agar kulelapkan wajahmu
yang sempat melarung dan melambai
tadi saat aku duduk di paling tepi
dan kerlip lampu juga sengau jukung
seperti ingin menarikku
“mari berdekapan, mendekaplah: aku musi
yang pernah kau kata. akulah musi
yang telah terpatri oleh tangan soekarno! ”
kata jukung lalu benteng besak
ingin membujukku: masuk ke halamanku,
bergambar atau tancapkan ikrar
“aku ingin mengecupmu lagi,
sebab aku sudah meminum cukamu…”
pedas di lidah hangat di tubuh
“inilah nusantara, kujaga hingga mati
marwahnya…” ucapku menghadap
benteng besak: aku bawa ingatan itu
ke peraduan ini malam…
plmbng, 15/07/11
Berkalung Purnama-dzafirah
adeliaputri isbedy
engkau bangunkan pohon
engkau datangkan gerimis
selepas adzan jumat yang paling semangat,
menyambut tiap yang datang
bersama puluhan tangisan setelah itu kau akan
tersenyum bahkan terhadap cobaan
obormu dari minyak kasihku
demi menjaga marwahmu
demi jumat paling hormat
kau kais waktu yang melesat
ingin kau dekap lekat sebagai perempuan
yang tiba di siang yang cahaya
sebelum hadir gerimis
sesudah tangismu melaju di depan berpalu
kekuatan berkalung purnama…
1 Juli 2011
Sajak-Sajak Soni Farid Maulana
HU Pikiran Rakyat 7 Agustus 2011
SEBELUM SUBUH
Aku terjaga sebelum cahaya fajar
menyepuh ombak lautan.
Di luar sana hanya kegelapan seluas pandang.
Di tengah rumah di atas tikar pandan
aku dengar lembut suaramu mendaras Al-‘Araf.
Tangki airmataku pecah
Saat kau baca firmanNya:
(Iblis) menjawab, “karena Engkau
telah menyesatkan aku, pasti aku
akan selalu menghalangi mereka
dari jalanMu yang lurus.”
Ya Allah betapa jalan yang terbentang
di hadapan: gelap sungguh,
berdurikan nilai-nilai peradaban.
CahayaMu yang aku harap
adalah sesungguh jalan,
sebaik-baiknya tujuan hidupku
menujuMu. Kau yang bebas
dari kehancuran
2009
TANGAN CINTAMU
Aku terangkat dari dalam tanah, dari dasar kegelapanku:
ketika tangan cintamu sehijau lumut menyapu debu
kegelapanku tanpa ampun. Pucuk alfatihah wangi sudah
lebih wangi dari bunga manapun
2010
MIQAT
Dua lembar kain ihram di tubuhku
menguras tangki airmataku
dalam seah tambiyah.
Matahari tepat di atas ubun-ubunku.
Para peziarah berjalan khusyu.
“Aku datang kepadaMu
aku penuh panggilanMu!”
Ya Allah berapa jarak lagi dari Bir Ali
langkah ini menuju tanah suciMu,
mencapai jantung ampunanMu
2010
JABAL RAHMAH
Di tengah-tengah padang Arafah
di Jabal Rahmah:
ada kisah Adam-Hawa
dipertemukan Tuhan
setelah sekian waktu terpisah
sejak keduanya diusir dari sorga.
Dalam putaran waktu
airmataku bedah di situ.
betapa di padang gersang ini
Rahmat dan ampunanNya
di hari Arafah: Ia tebar
ke sesungguh hati yang tunduk
dan patah kepadaNya
2010
HARI ARAFAH
Inilah hari yang dirindukan itu
hari Arafah. Pintu-pintu langit dibukaNya.
“AmpunanMu yang Allah
yang hamba mohon dariMu!”
begitu hatiku berkata, Cahaya matahari
bagai mata tombak yang menyala,
menusuk ubun-ubunku.
Kain ihram basah sudah
tubuhku amis bagai ikan laut.
Yang bicara hanya airmata:
ketika segala dusta juga dosa
menampakan dirinya
serupa anjing lapar dan liar
memangsa diriku dalam kelam.
Sungguh inilah hari Arafah
hari yang dirindukan itu.
Aku datang kepadaMu
dengan segala adaku
yang fana. Fana
2010
LONTAR JUMRAH
Dengan menyebut namaMu
dan demi keagunganMu, Ya Allah
aku lontar jumrah
dengan sejumlah kerikil yang aku pungut
di gelap malam di Muzdalifah
Aku lontar jumrah dengan sesungguh hati
seperti melempar batu ke arah diriku sendiri
yang kotor dan berdebu, Lebih kelam
dari tampang Iblis yang begitu mahir menyaru
jadi orang suci, tawarkan nikmat kehidupan
palingkan arah langkah kakiku menujuMu.
Sungguh airmataku tak terbendung
bedah dan bedah lagi. Cahaya pagi
hangat sungguh. Seah takbir dan talbiyah
mengiringi setiap langkah kaki hambaMu
sejak keluar kemah di Mina
hingga kembali dalam kemah
tanpa daya. Tanpa daya
2010
SEBELUM SUBUH
Aku terjaga sebelum cahaya fajar
menyepuh ombak lautan.
Di luar sana hanya kegelapan seluas pandang.
Di tengah rumah di atas tikar pandan
aku dengar lembut suaramu mendaras Al-‘Araf.
Tangki airmataku pecah
Saat kau baca firmanNya:
(Iblis) menjawab, “karena Engkau
telah menyesatkan aku, pasti aku
akan selalu menghalangi mereka
dari jalanMu yang lurus.”
Ya Allah betapa jalan yang terbentang
di hadapan: gelap sungguh,
berdurikan nilai-nilai peradaban.
CahayaMu yang aku harap
adalah sesungguh jalan,
sebaik-baiknya tujuan hidupku
menujuMu. Kau yang bebas
dari kehancuran
2009
TANGAN CINTAMU
Aku terangkat dari dalam tanah, dari dasar kegelapanku:
ketika tangan cintamu sehijau lumut menyapu debu
kegelapanku tanpa ampun. Pucuk alfatihah wangi sudah
lebih wangi dari bunga manapun
2010
MIQAT
Dua lembar kain ihram di tubuhku
menguras tangki airmataku
dalam seah tambiyah.
Matahari tepat di atas ubun-ubunku.
Para peziarah berjalan khusyu.
“Aku datang kepadaMu
aku penuh panggilanMu!”
Ya Allah berapa jarak lagi dari Bir Ali
langkah ini menuju tanah suciMu,
mencapai jantung ampunanMu
2010
JABAL RAHMAH
Di tengah-tengah padang Arafah
di Jabal Rahmah:
ada kisah Adam-Hawa
dipertemukan Tuhan
setelah sekian waktu terpisah
sejak keduanya diusir dari sorga.
Dalam putaran waktu
airmataku bedah di situ.
betapa di padang gersang ini
Rahmat dan ampunanNya
di hari Arafah: Ia tebar
ke sesungguh hati yang tunduk
dan patah kepadaNya
2010
HARI ARAFAH
Inilah hari yang dirindukan itu
hari Arafah. Pintu-pintu langit dibukaNya.
“AmpunanMu yang Allah
yang hamba mohon dariMu!”
begitu hatiku berkata, Cahaya matahari
bagai mata tombak yang menyala,
menusuk ubun-ubunku.
Kain ihram basah sudah
tubuhku amis bagai ikan laut.
Yang bicara hanya airmata:
ketika segala dusta juga dosa
menampakan dirinya
serupa anjing lapar dan liar
memangsa diriku dalam kelam.
Sungguh inilah hari Arafah
hari yang dirindukan itu.
Aku datang kepadaMu
dengan segala adaku
yang fana. Fana
2010
LONTAR JUMRAH
Dengan menyebut namaMu
dan demi keagunganMu, Ya Allah
aku lontar jumrah
dengan sejumlah kerikil yang aku pungut
di gelap malam di Muzdalifah
Aku lontar jumrah dengan sesungguh hati
seperti melempar batu ke arah diriku sendiri
yang kotor dan berdebu, Lebih kelam
dari tampang Iblis yang begitu mahir menyaru
jadi orang suci, tawarkan nikmat kehidupan
palingkan arah langkah kakiku menujuMu.
Sungguh airmataku tak terbendung
bedah dan bedah lagi. Cahaya pagi
hangat sungguh. Seah takbir dan talbiyah
mengiringi setiap langkah kaki hambaMu
sejak keluar kemah di Mina
hingga kembali dalam kemah
tanpa daya. Tanpa daya
2010
Sajak-Sajak Faisal Kamandobat
kompas.com
Tatahan Laut
anak bumi tatahan laut
kalap lagu menembus
gerbang petang langit hangus
bulan mengapung dalam kalbu
riang puja menyentuh
lidah dalam impian pelarian
Tatahan Laut
anak bumi tatahan laut
kalap lagu menembus
gerbang petang langit hangus
bulan mengapung dalam kalbu
riang puja menyentuh
lidah dalam impian pelarian
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae