Kamis, 15 April 2010

Sajak-Sajak Amien Wangsitalaja

http://www.sastra-indonesia.com/
Orang Kada Balampu

“kami tak pernah memuja mandau
tak pernah menyanjung badik”
orang kada balampu
tertulis di kitab yaumiyah
mengasuh lapar
tanpa pernah punya pekerjaan
menjarah penghasilan orang
tanpa menghiraukan tanah asal
orang kada balampu
memulakan pertikaian
bukan untuk bertikai
asah badik cabut mandau
bukan menyulut perang
orang kada balampu
tak membunuh madura
banjar, dayak, bugis, jawa
orang kada balampu
semata membunuh manusia

___
kada balampu (bhs. Banjar: tidak berlampu): julukan bagi segerombolan perompak/tukang onar di Kalimantan



Tajau Pecah

ini pengajian tauhid
“asal tajau dari tanah
maka ia mudah pecah”

kami rindu perempuan
mandi berkain basah
di sungai yang masih luput
dari sengketa

aku
—bersama orang-orang
yang tidak terlibat perang
berebut tanah negeri—
mencoba merawat rindu
dan mengaji statistik

kami genggam sejumput bumi
dengan nusea patriotik
kami simpan untuk berkubur

___
tajau: genthong/tempayan
Tajau Pecah: nama desa di pedalaman wilayah Kab. Tanah Laut, Kalsel



Tajau Mulia

ini pengajian tauhid
“asal tajau dari tanah
maka ia mulia”

kembali ke selera asal
negeri tanpa birahi ekonomi
orang banjar mengaji mandau
orang madura mengaji badik
orang jawa mengaji sabit

tapi tanah terlanjur tandus
buat berladang
dan kami tak punya saham
buat birahi

maka
buat memuliakan negeri
kami membakar bukit

___
tajau: genthong/tempayan
Tajau Mulia: nama desa di pedalaman wilayah Kab. Tanah Laut, Kalsel



Acheh Nampar

ya hayyu ya qayyumu
kalau hari ini tubuhku tercabik, bukan baru hari ini tubuhku tercabik
kalau kali ini badanku terkorban, bukan baru kali ini badanku terkorban

tubuhku telah lama robek oleh keserakahan nafsu
badanku telah lama menjadi korban pertarungan ambisi dan kuasa
arunku, hutanku, kakaoku tak mampu lagi meronta dari luka
orang-orang tak berdosaku tak kuasa lagi mengucap kata
karena popor dan senjata terlalu cepat berbicara

setiap hari nyawa orang menjadi bahan mainan
“buat apa sekolah, nanti juga mati di jalan
ditembak orang
mati tak dikenal”

amboi, betapa akrabnya aku dengan derita dan derita,
kematian dan kematian
ya hayyu
akankah selamanya kaupilihkan bagiku jalan hidup yang seperti ini
akankah hanya dengan coba semacam ini kautinggikan maqam imanku

setahunan lalu, pantai bireuen-ku dikejutkan dengan mayat-mayat
terbungkus karung beras
terdampar dihempas ombak
(mereka adalah yang kaupilih menjadi saksi dari kebiadaban segelintir
yang dibebalkan oleh nafsu kekuasaan)

hari ini, bukan hanya pantai-pantaiku, bahkan segenap sisi kota-kotaku
jalan rayanya, selokannya, tanah lapangnya diratusribui hempasan mayat
(mereka adalah yang kaumuliakan menjadi saksi dari kuasamu
menampar kebebalan nafsu)

tahun-tahun lalu, bukit-bukitku, hutan-hutanku, sungai-sungaiku,
laut-lautku menjadi saksi
dari nyawa-nyawa yang selalu saja melayang tanpa nama
kali ini, dalam sekejap saja, kembali harus kupersaksikan
ratusan ribu nyawa melayang tanpa nama
(kiranya merekalah syahidin
yang ingin kau bergegas merengkuhnya dalam pelukmu)

kemarin dulu, di salah satu kampungku
mayat muzakir abdullah tersampir+terikat di pohon
lehernya tergorok darahnya menoreh di dada
(al hallaj-kah dia
dihantarkan segerombol orang bertopeng yang brutal menyiksanya
tanpa salah dan dosa apa pun telah dilakukannya)

hari ini, beberapa mayat yang tak sempat menyebut nama
tersampir di pohon-pohon di kota-kotaku, tubuhnya membeku biru
(al hallaj-kah mereka
berperantara ombak yang kaukirim untuk menjemput
mereka hanyut kepadamu tanpa salah dan dosa yang menyisa)

ya hayyu
betapa tingginya maqam mereka
yang menghadapmu dengan seketika
yang menghadapmu bersama-sama

ya qayyumu
betapa rendahnya maqam yang lainnya
yang masih saja tak tersentak hatinya
yang masih saja bebal jiwanya
menggenggam nafsu rendah menumpuk amarah
mengumbar kuasa

ya hayyu ya qayyumu
kupersembahkan tubuhku kepadamu
moga kemudiannya
kauselamatkan jiwaku
dari murkamu

2004
____
catatan:
1. data tentang mayat-mayat terbungkus karung beras di pantai Bireuen dan Muzakir Abdullah yang disiksa dan diikat di pohon adalah diambil dari majalah acehkita edisi 15 januari 2004.

Sajak-Sajak Kika Syafii

http://berbagipuisi.blogspot.com/
Titik Air

Setiap manusia duduk di atas tumpukan kertas-kertas kenangan yang bertambah tanpa terasa. Di dalam detik, detak waktunya. Bertambah tebal tumpukan, semakin meninggi ketakutan hingga terkadang melebihi tinggi badan.

mari nikmati satu titik air
yang menetes di kaca,
merambat pelan
hingga termakan hangat udara

Kesedihan adalah titik air, yang seiring waktu pasti tertelan debur ombak kehidupan. Ketika hujan telah turun, itu pertanda cerah ceria warna langit akan kembali menemani.

**
Re-edit dan re-post
“Tak perlu membayar/membunuh masa lalu”.
Februari 2010.



Hari dimana aku mengenal udara

Tanpa terasa waktu terus bergulir
tanpa terasa kenangan banyak tertanam
ada yang datang dan pergi
masih dalam kutat langkah kaki
aku tautkan hati
berjalan melingkari jiwa
hingga saatnya nanti aku mati
dalam senyum bahagia
karena waktu mengijinkanku
menikmati masa-masa hingga hari ini
ya, hari ini
hari dimana ibu menandai
tiupan ruh suci terlahir di dunia
berikut teriakan tangis
diiringi lantunan pujapuji Tuhan
maka inilah aku.

Depok, 2009
Untuk Deeja yang berulangtahun hari ini.
Semoga selalu bahagia.



Kaya tanpa harta

Menimang abu
menggosok kulit
menunggu kesat
dihantaran air

kaya tanpa harta



Kerinduan Pagi

Berteman kokok ayam, setelah hujan,
air dingin bersauh hangat adalah ciumanku,
dimana telah aku sebut namamu,
dari gelinjangan tubuh malas,
yang masih sempat menyisipkan keluh,
meski untuk menemui cintaku,

Menjalani diri menuju rumahmu,
sempat aku melenggangkan kaki,
mencandai butir embun pagi,
tersenyum membalas sapa pipit yang terpeleset,
tertawa tergelak menghindari kupu yang mengejarku,
melompat kaget kala sang katak bersuara,

“kalian merindukanku?”,
“kemana saja dirimu?”, kalian serempak,
“sekian waktu kami lihat hanya lampu,
padahal terdengar nafasmu”, pipit bertanya dan menggumam,
“hey..kalian mengintipku?”, tuduhku,
“ya karena kamu sempat hilang”,

Benar, sekian waktu aku tenggelam,
begitu jauh rupaku berpaling,
tidak mengindahkan kehadiran kalian,
bahkan dirimu,
hembusan nafasku tidak memberi jawaban,
aku resah.

Sekian langkah aku mendekati rumahmu,
kerikil di depan mata kakiku terantuk,
“haii..lihat langkahmu”,
“maaf..tidak akan terjadi lagi”, jawabku,
dan aku terbirit menujumu,
aku ucap salam serta aku bilas kaki,

Aku cium punggung tanganmu,
begitu juga keningmu,
damai menemani hati,
karena kamu tersenyum tak menampik,
aku bangga mencintaimu,
sungguh bangga.

Depok, 2009



Bersahabat dengan angin

Aku melatih diri untuk mendekat,
aku ajak diri untuk mengenal,
bahkan aku paksa diri untuk berdiri berjajar,
tanpa mengurangi jati diri yang ada,

Sering aku hentikan nafas, melihatmu jauh,
sering juga jantungku berdegup kencang,
ketika kamu mendekat,
sedikit kesalahan selalu membuatku khawatir,
kehilangan kamu bukan bagian rencanaku,
seperti juga aku berdiri disampingmu,
lebih mudah bagiku bersahabat dengan angin,
sungguh lebih mudah,

Tidak ada waktu untuk kembali,
para pencinta lebih banyak mengalirkan mata ke hati,
dan cinta ini menemukan hati menuju mataku,
lebih mudah bagiku bersahabat dengan angin.



Gagak dan Hantu

“Hey, siapa disitu??”. Si gagak coba melihat.
“Eh itukan si parin yang kemarin melayang layang karena buaian..?!”. Kembali si gagak coba meneliti. “Bukan, kemarin dia melayang bukan karena buaian, tapi karena sentuhan!”. Sergah si hantu. “Begitukah manusia hantu??”. Tanya gagak.
“Mereka bisa terbang hanya karena disentuh? Dan mungkinkah mereka juga bisa mati karena disentuh juga?? Tanpa harus ditembak seperti kita??”. Gagak penasaran sembari memandang hantu.
“Bukankah kamu adalah burung penjemput..? seharusnya kamu lebih tahu dengan semua itu!”. Dengus hantu. “Aku hanya memakan bau busuk dan menjaga keharuman tubuh manusia, tidak mengawalinya.” Si hantu kembali menimpal.

“Tapi merekalah sumber tugas dan makanan kita kan… kenapa kita bisa sampai tidak tahu yah??” Gumam gagak. “Sudahlah, bukan tarian yang kita berikan, juga bukan gurauan yang kita masukkan. Bumi dan bulan berpasangan namun mataharilah penengahnya, seperti juga kita. Manusialah sumber kita. Dari keserakahan, kesombongan dan kengerian yang ditimbulkan oleh kita, sedikit sifat kita terbuat olehnya..” geram hantu.

“Eh lihat, si parin melayang lagi. Kenapa ya?” sergah gagak heran lagi. “Kali ini dia menari – nari, jarinya tiada berhenti seperti memetik senar gitar.” Sambung gagak.

“Biarin saja, bentar lagi dia bakal turun mencari tubuhnya. Pijakannya tidak seindah tariannya, dia pasti jatuh.” Sungut hantu. Belum sedetik si hantu bersungut, si parin mendadak memakan kesenangan – kesenangan disekelilingnya. Dan dia tersedak. Terlalu banyak. Matanya melotot. Dan terdengar siulan tanda bekerja bagi burung gagak. Dan selalu akhirnya burung hantu lah yang berteriak kegirangan, “Akhirnya aku bisa kenyang lagi.” Seru Si hantu. Dan Burung Gagak pun terbang mengambil perlengkapannya.

Sajak-Sajak Samsudin Adlawi

http://www.sastra-indonesia.com/
Memanggul Amanah Mereka Bertopeng

karena merah amarah
hitam sedih putih suci
mereka pilih topeng hitam
tempat wajahnya sembunyi

topeng itu menangis
air matanya merah
mengetuk pintu rumah
simpati kami tercuri

lalu mereka pergi
tinggalkan sulaman janji

mereka datang lagi
berganti topeng putih
makimaki topeng hitam
membakar topeng merah
memecah layar tv kami

the sunrise of java, 22012010



Tenun Kata Tenung

Mata dia buta air nasi buta. Sampai juga dia di matahari ketujuh. Dia sirami taman kerongkongan yang mulai layu. Lalu makamkan jenazah padi di samping taman itu.
Katakata yang dia tenun sepanjang jalan rampung. Menjadi tenung. Menjelma seekor burung. Bersarang di mulut. Telurnya cepat matang. Anaknya garang. Pecah cangkang. Dua balon di pipi dia meledak. Angin kencang hembus dari mulut dia. Mencincang otakku. Hatiku tercincang. Tercincangcincang jantungku. Kakiku terpincangpincang.

The sunrise of java, 20012009



Mata

kulempar biji mata ke udara

ia terbang melesat jalang
menembus sumbu waktu

ia putar arah jarum jam
menuju mula kejadian

tampak anak hujan
yang baru membuang riang
melesat pulang ke sarang

tampak cengkeram angin
menarik gulunggulung awan
kembali ke atas samudra

tampak awan meringis
tubuhnya muai dimamah matahari
lalu jatuh di ayunan ombak

biji mataku kembali
membawa pupil baru
hadiah perangkai waktu

the sunrise of java, 12012010



Anginlah

baiklah baiknya melesat seperti angin kau
kencang berlari surut langkah ia pantang

seperti wajah ke depan ia buang air muka
layarkan mantra bagi para pemuja

seperti mata bukan samping dan belakang
tapi di hadapan alamat mengantar pandang

the sunrise of java, 08012009



Lumpur

di air muka bocah itu riang berenang
biji matanya menyembul lalu melompat
di kubang lumpur yang mengubah warna
baju bapaknya

setelah lama berenang pupil itu terantuk gambar
tujuh purnama bertengger di atas kepala
anak sawah sedang gembalakan anaianai
yang lahap memakan batang padi

biji mata itu pulang ke rumah
melukis senyum di bibir si bocah

the sunrise of java, 07012010

Sajak-Sajak Alfiyan Harfi

http://www.sastra-indonesia.com/
MIMPI BURUK ABADI

orang-orang tersesat
dalam mimpi buruk abadi
pada tubuhnya yang membusuk
mereka tak akan bisa kembali

apa yang dialami bertahun-tahun:
udara putih di masa kanak,
nyanyian ibu di puncak malam,
bahasa burung yang suci
tak akan pernah terjadi kembali

hanya ujud baru yang mengerikan:
anak-anak menjadi dewasa
dan mengetahui ketelanjangannya
seorang perempuan
menggeliat di atas ranjangnya
menyerupai peristiwa melahirkan
duka abadi.

orang-orang tersesat
dalam mimpi buruk abadi
malam lebih nyata
ketimbang gelapnya
duka lebih agung
dari tangisannya

2006



PERJUMPAAN TERAKHIR DENGAN MATAHARI

pada perjumpaaan terakhir dengan matahari
kita bercerita tentang senja
dan dari parasmu yang muram
kuterima bola-bola api
untuk kugengam di alam tak berwarna

pada perjumpaan terakhir dengan matahari
kuceritakan dongeng-dongeng
agar kau terjaga dalam mimpimu
dan kita melebur menjadi malam

ya senja, mari berpelukan dengan rembulan
sebelum kita dapati wajah pagi telanjang
terbangun dari tidur, dan kita bertemu
di hari kedua yang asing

Cigaru 2004



SURGA YANG MENYAMAR

Setiap aku mempunyai titik yang harus ditembus ketika berdiri dihadapan kau yang kucintai, begitu juga kau. Kita berdiri berhadapan, namun di dalam ruang yang berdeda. Masing masing berada di kamar kesendirian bersama selembar cermin. Kita mesti menembusnya, agar tidak menjadi laki-laki dan perempuan. Karena kita adalah jiwa dibalik setiap mawar, adalah kekuatan yang mengalirkan darah dunia, adalah kehidupan, surga, yang menyamar di dunia.

Agustus 2007

Sajak-Sajak Satmoko Budi Santoso

http://www2.kompas.com/
Berlayar ke Tepi Krui
(Variasi atas Hikayat Bujang Tan Domang* )

bagai si domang yang suatu hari singgah
terantuk di tanggul sialang kawan, dusun betung,
sungai bunut, tanjung sialang, dan tanjung perusa
aku berlayar. limbung terbantun dari tepian selat sunda
menumpang sampan dayung bercadik
“lupakanlah si raja lalim, si panjang hidung,” ebokku merengek
menghela galah galau, melontar sepah dendam
sumpah seranah atas kampung halaman
(berlayar, berlayarlah aku ke seberang, krui yang merindu
atas nama basah angin, kelepak camar dan mega-mega)
seperti terkisah dalam nujuman
teluk, bandar, dan semenanjung telah kulayari
kucari kampung hunian, tempat istirah dan berserah
tanah dusun yang kuharap tertundukkan, memperpanjang usia
memasrahkannya pada buah pauh, rambai, durian, cempedak, maupun macang
kukunyah buah-buah itu, seperti mengunyah kenangan yang kekal dalam almanak
serat hari, kelupasan kalender. lenggang waktu bagaikan langgam
dendang pantun dan gurindam. di pinggiran pantai itu kutengadah
memandang langit. kebiruan yang rimpuh, tersepuh kabut, tersepuh mega
sore yang muram mengingatkanku pada tepian krui
nun di jauh risik seumur bocah, ebokku terisak setengah berbisik,
“berlayarlah domang, jangan sesempat maksud kembali…”

Yogyakarta, 2005-2006

* Hikayat Bujang Tan Domang adalah sebentuk “nyanyi panjang” yang berasal dari tradisi lisan masyarakat Petalangan, Riau.



Pada Asin Pantai yang Sama

pada asin pantai yang sama
tak mampu kau sembunyikan serpih sisik ikan
di sela batu, pun gerumbul terumbu karang
pada asin pantai yang sama
adakah jejak kaki yang tersesap julur lidah laut?
dulu, seorang anak pernah menggambar perahu
di tepian gundukan pasir pantai
katamu, perahu itu tak pernah karam dilayarkan gelombang
namun, seriang waktu yang membubu
menunjam pagut kelir arloji
perahu bergoyang senyalang angin
merobek kain kibas layar
uncu berkalung manik-manik berteriak di kejauhan
mencari gambar di gundukan pasir
yang memburam, yang melantak

Yogyakarta, 2005-2006.

Sajak-Sajak Acep Zamzam Noor

http://cetak.kompas.com/
Bagian dari Kegembiraan

1
Jalan di belakang stadion itu sudah lama tidak kulewati
Mungkin madrasah yang dibangun persis depan kamarmu
Sekarang sudah rampung. Aku teringat pohon beringin
Yang berdiri anggun dekat taman kanak-kanak dan pos ronda
Setiap pulang mengantarmu aku sering kencing di sulur-sulurnya
Yang rimbun. Sepi terasa menyayat jika kebetulan lewat:
Ingin sekali minum jamu kuat, tapi kios yang biasa kita kunjungi
Sudah tidak nampak di sana

2
Volkswagen yang bentuknya mirip roti tawar itu masih kusimpan
Di garasi. Aku belum berniat menjualnya meski dengan harga tinggi
Di badannya yang mulai karatan masih tersimpan ratusan senja
Yang pernah kita lewati bersama. Di joknya yang mulai rombeng
Masih melekat ribuan pelukan dan ciuman. Catnya belum kuganti
Aku masih ingat bagaimana dulu kau ngotot memilih hijau lumut
“Biar mirip seragam tentara,” ujarmu. Tapi mobil yang usianya
Delapan tahun lebih tua darimu atau tiga belas tahun di bawahku itu
Akhirnya kulabur dengan hitam. Kini mesinnya harus sering dipanaskan
Dan sesekali mesti dibawa jalan-jalan. Aku sangat menyayanginya
Sekalipun kerap membuatku jengkel dan putus asa. Pada kaca spionnya
Masih tersimpan gambar yang menjelaskan betapa berliku jalan
Yang kita susuri. Pada rodanya masih tercatat angka yang menunjukkan
Betapa panjang kilometer yang kita tempuh

3
Apa makna alun-alun bagimu? Kenapa selalu mengajakku duduk-duduk
Di salah satu sudutnya? Apakah kau suka mendengar bunyi air mancur
Atau senang melihat pasangan-pasangan yang berpelukan dalam remang
Lampu taman? Atau ingin menjadi bagian dari Tasik Volkswagen Club
Yang sering nongkrong malam-malam? Lalu apakah makna kegembiraan
Bagimu? Kau hanya tersenyum setiap kutunjukkan di mana letak bintang
Yang suka menyendiri di gelap malam, setiap kukatakan bahwa ricik air
Adalah suara hatiku yang paling dalam

4
Tiba-tiba kausentuh lagi ingatanku pada bunyi tek-tek
Pedagang mie keliling. Kautarik lagi kenanganku
Pada nama jalan, tembok penuh coretan dan tiga kelokan
Yang selalu menyaksikan kita sempoyongan malam-malam
Menuju kamar kontrakanmu di ujung gang. Kaugetarkan lagi
Kesepianku pada harum rambut, sisa bedak serta kecupan singkat
Yang sesekali hinggap di antara rintik gerimis yang rapat:
Jangan menelpon. Aku tidak akan tahan mendengar suaramu

5
Waktu melingkar seperti jalan yang mengelilingi stadion
Berawal dari titik sepi dan akan selalu berujung pada titik
Yang sama. Bermula dari kekosongan dan kembali lagi
Pada kekosongan. Sejak perutku membuncit dan punggungku
Mulai terserang rematik, setiap sore aku selalu ikut berlari
Bersama mereka yang rajin memelihara badan dan kesehatan
Aku tidak muda lagi, namun seperti yang pernah kaukatakan dulu
Cinta tidak ada hubungannya dengan usia. Aku berlari pelan-pelan
Melewati lapak-lapak kaki lima, melewati warung-warung kopi
Yang jika malam akan berubah menjadi tempat transaksi, melewati
Anak-anak sekolah yang main basket, melewati deretan sepeda motor
Melewati ibu-ibu muda yang bajunya ketat serta rambutnya cokelat
Dan sepi terus melingkar seperti mereka yang rutin berolahraga, seperti
Mereka yang takut akan kematian, seperti poster-poster yang bertaburan
Seperti wajah-wajah calon walikota yang senyumnya seragam, seperti
Baris-baris puisi yang tidak sempat kutuliskan. Di depan sebuah gang
Kadang aku berhenti dan tanpa terasa meleleh airmata di pipi



Tugu

1
Di stasiun peninggalan kolonial, di bangku hijau
Yang berjejer menghadap rel, seorang perempuan putih
Menyampaikan sesuatu: mungkin isyarat, mungkin juga wasiat
Atau semacam maklumat yang santai
Tentang cinta yang langka. “Tahun depan aku kembali,” bisiknya
Dan perempuan putih itu (sebut saja demikian karena kulitnya terang
Karena kontras dengan kebaya luriknya yang kelam) berdiri dan berjalan
Ke pinggir rel, menyongsong datangnya kereta
Dari timur kereta datang. Rel bergetar, dinding ratusan tahun bergetar
Tiang besi, atap seng, gantungan lampu, jam besar
Semua bergetar. Dari timur kereta kusam yang bersaput debu
Datang dengan tulisan di badannya: Biru Malam
Seorang lelaki berkacamata hitam melambai, tapi lunglai
Seperti adegan film India. Lelaki itu
Tak bisa menahan bergulirnya airmata
(Padahal rambutnya gimbal, memakai gelang dan anting
Serta sebuah tato binatang di lengan kirinya)
Jarum pada jam seakan terdiam, seperti tiang besi yang dingin

2
“Sepi tak ada kaitannya dengan gelang, anting atau tato,” lelaki itu
Bergumam pada dirinya sendiri. Dulu ia mengenal kekasihnya
Di sebuah jalan paling terkenal, di depan gang paling banal
Tak jauh dari stasiun. “Rindu tak ada hubungannya dengan kacamata
Apalagi rambut gimbal,” gumamnya lagi. Lalu menenggak minuman
Nampaknya ia menangis. Yogyakarta diguyur gerimis

3
Seorang lelaki berlari patah-patah, menembus gerimis yang beranjak
Menjadi hujan. Seorang lelaki berlari patah-patah ke utara, terus ke utara
Seperti adegan film India. Dengan segumpal perasaan kehilangan
Lelaki itu memanjat tugu, merayap hingga ke puncaknya
Kemudian berdiri dan melambai-lambaikan tangan ke langit:
Mungkin memanggil seseorang, mungkin juga mengutuk seseorang
Seseorang yang belum lama dilepasnya pergi. ”Maryaaam…” pekiknya
Langit hanya diam. Airmata lelaki itu berlelehan



Aku Ingin Menemanimu

Aku ingin menemanimu pulang malam ini
Menaiki bis kota dan berhimpitan di dalamnya
Aku ingin menemanimu sampai halte berikutnya
Sampai kilometer selanjutnya, turun depan kantor polisi
Menunggu metro mini. Aku ingin menemanimu bersidekap
Dalam angkutan yang pengap, melewati sejumlah lampu merah
Melewati sekian perlintasan kereta api, melewati jalan-jalan layang
Melewati terowongan-terowongan hingga terjebak kemacetan
Dekat terminal. Aku ingin menemanimu menarik napas panjang
Mengeluarkan tisu dan mengelap keringat di kening serta lehermu
Aku ingin menemanimu turun dari kendaraan rombeng itu
Berjalan menuju pangkalan ojek. Aku ingin menemanimu
Melintasi tanah-tanah berlubang, menerobos liku-liku gang
Hingga pekarangan rumah kontrakanmu yang penuh jemuran
Aku ingin menemanimu membuka pintu, memasuki kamarmu
Mencopot sepatu, melepas semua pakaian dan melemparkannya
Ke bawah dipan. Aku ingin menemanimu menghidupkan kipas angin
Lalu meneguk air mineral yang dingin. Aku ingin menemanimu
Menyalakan televisi, menonton film biru dan mengisap candu
Aku ingin menemanimu bermain-main dengan sepi di kamarmu



Sepanjang Jalan

Sepanjang jalan kupungut patahan ranting
Kukumpulkan luruhan daun dan kutandai jejak kaki
Sepanjang musim yang basah kuaduk tong sampah
Kubongkar cuaca. Hanya hujan, hanya banjir
Dan aku kehilangan seluruh matahari
Kususuri selokan dan gang, kureguk minuman paling keras
Kulepaskan pakaian dan kuburu sunyi yang berloncatan
Seperti bunyi senapan. Kukejar hingga ke tengah pasar:
Aku pun menjelma pedagang kaki lima, menjajakan cinta
Pada setiap orang. Mengobral janji dan harapan
Sepanjang jalan kutulis sajak-sajak penuh kutukan
Kucari ungkapan-ungkapan paling gelap serta kurekam raung
Ambulan dan pemadam kebakaran. Sepanjang jalan raya
Sepanjang siang dan malam. Kumasuki penjara
Kujelajahi semua masjid, gereja dan vihara
Selalu saja aku tak tahu mesti menuju ke mana
Sepanjang keterdamparan, sepanjang keterasingan
Tak ada yang bisa kumengerti, tak ada yang perlu kupahami
Ingin berlayar, ingin terus mengembara
Mengayuh perahu usia, menggali kubur di lautan kata-kata


Acep Zamzam Noor adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat. Kumpulan puisinya yang terbaru, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sehari-hari ia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan.

Sajak-Sajak Saut Situmorang

http://sautsitumorang.wordpress.com/
andung andung petualang

”kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

matahari panas
angin berhembus panas
bus tua meninggalkan kota
aspal jalanan melarikannya selamanya

”kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

kota berganti kampung
sawah berganti gunung
anak lelaki dekat jendela
lagu petualang jadi hidup di darahnya

”kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

kampung menjelma kota
gunung gunung kembali rumah rumah
begitulah berhari bermalam
makin jauh anak dalam perjalanan tenggelam

”kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”

menyebrang laut menyebrang pulau
beribu gunung kota terlampau
di negeri sebrang di negeri baru
anak melangkah masuk hidup perantau

o jakarta metropolis pertama
dongeng yang jadi silau mata
makin sayup kini suara ibu
dalam hiruk pikuk karnaval aspal hitammu

jakarta membuatnya gelisah
jakarta bukan tujuan hidupnya
jogja yang jauh
tak sabar mimpinya menunggu

tak ada yang lebih romantis
dari sosok stasiun kereta tua yang manis
lengking kereta dan derit roda besinya
membuat sang anak tak ngantuk matanya

gambir, cirebon, kroya…
lalu jogja bersama pagi tiba
dingin semen lantai dan sapa tukang becak
tak mungkin terhapus dari kepala sang anak

di atas becak antara koper dan bapak
malioboro menyambutnya ramah dan kompak
jogja tua yang manis
cinta pertama memabukkan liris

medan yang jauh
terkubur bersama suara ibu
gamelan dari radio pinggir jalan
musik upacara ritual perantauan

o tembok benteng kraton yang kokoh
lindungi tidur sang anak perantau
alun alun tamansari
mercusuar di labirin gang gang malam hari

o turis turis manis berdada manis
keluar masuk lukisan batik dan parangtritis
sang anak mabuk sempoyongan tercengang
jiwanya bergetar sekalut goro goro wayang

o hidup bebas seorang petualang
siang sekolah malam di pasar kembang
suara ibu cuma wesel surat surat bulanan
sampai kartu natal bawa berita kematian

sang anak terpukul matanya kabur
lonceng gereja jadi koor tanah kubur
cerita kristus pembawa keselamatan
jadi cerita ibu andung andung petualangan

jogja kota manis romantis
di jantungmu seorang lelaki menangis
kematian pertama yang menggores wajah
suara ibu dicarinya kini dalam kelana tak sudah

1999

*Andung-andung adalah sebuah nyanyian ratapan kematian di kalangan orang Batak Toba. Isinya biasanya kisah hidup yang meninggal dunia dan “dinyanyikan” dalam bentuk performance tunggal di hadapan jasadnya. Kebanyakan lagu pop Batak Toba kontemporer berangkat dari tradisi oral performance ini.***



kata dalam telinga

ada sebuah tangga menuju ke atap
dimana burung burung merpati membangun sarangnya
cukup kuat
untuk melindungi
bawah perut yang lembut
terbuat dari renda renda dan daging otot
hairspray dan air ludah
20 kaki di atas kepala kita
jauh seperti sebuah perahu mengapung
seperti wayar wayar lembut lentur
montok seperti oyster
kalung bulu dan tulang di leher
berlayar antara bulan dan bintang bintang
di air halusinasi di atas bukit orang mati
seperti Pinocchio
main film biru di bawah meja kantor
demi elokuens
di dinding alfabet
bukan batu giok
dalam truk sampah
do you read me?

ada sebuah tangga menuju ke atap
sebuah rumah berjendela hitam
dimana kami mengubur laundry kotormu
biar kami bisa cerita hal hal yang baik saja tentang dirimu
bocah kemaren sore
yang berhenti percaya pada tuhan
yang berkata, “kalau tuhan itu pemabuk
aku tak perlu minum alkohol!”
ayolah

ada sebuah tangga menuju ke atap
dimana burung burung merpati membangun sarangnya
sebelum musim dingin tiba
dengan botol botol susu beku dalam kotak surat
yang sedang diukiri tetanggaku dengan pahat
sambil berkata, “cuka dipakai di zaman Sebelum Masehi
sebagai spermicide-a pessary!”
“caranya, dicelupkan ke dalam,
mungkin menyengat sedikit!”

ada sebuah tangga menuju ke atap
dimana burung burung merpati membangun sarangnya
sebelum musim dingin tiba
ya, musim dingin akan indah tahun ini
dengan televisi televisi bisu membaca
bibirnya sendiri dengan logat Inggris
menghembuskan kesunyian kesunyian panjang
untuk menghangatkan diri
e hoa ma! o sobat
belut perut perak adalah yang terbaik untuk dikeringkan!
jadi waktu pemain sax
membuka lagunya
seperti minum
kita tak punya pilihan lain
kita mesti mengikuti
boneka boneka Gringo
kemana burung burung merpati membangun sarangnya
waktu arah angin berubah
dan mengikutimu masuk ke dalam kegelapan pikiran
candi penuh ular
candi dewi ular
dewi birahi orang orang pagan
candi 13 warna biru
biru airmata, biru rasa rindu
biru hijau cemburu
biru palung dalam, biru bumi
biru cinta, biru cermin kaca
biru nostalgia, biru bahaya
biru tipu, biru napsu
biru kehilangan, biru kematian

ada sebuah tangga menuju ke atap
dimana matahari jadi lebih berarti
dimana hantu seseorang yang dulu kau cintai
seseorang kepada siapa dulu kau selalu berkata “karenamu aku selalu kesepian”
berbisik padamu dalam bahasa Morse
“pandanglah aku sekarang. aku kembali untuk menghantuimu!”
Valhalla nampak
begitu jauh
seperti bola bola golf
para businessman bangsa Jepang
yang sedang menghapal percakapan Inggris-Zen
“hi, I’m Richard Taylor
and so are you!”

ada sebuah tangga menuju ke atap
seperti sebuah gantungan baju dari logam
tergantung tanpa baju
sexual pleasure
on empty roads
sebuah daun gugur
Jumat
adalah hari yang paling kejam dalam seminggu
berat
tailor-made
terbuat dari pecahan pecahan kaca halte bis kota
old talk
sebuah café
sebuah pekerjaan tetap

ada sebuah tangga menuju ke atap
dimana dua burung Enggang mengitari tiang totem tua
dimana burung burung merpati membangun sarangnya
seperti sebuah Big Mac
oleh Picasso
datanglah kalian wahai para hantu
yang menjaga pikiran pikiran duniawi
hantu hantu sebuah tangga menuju ke atap
atap perak atap kaca atap burung burung
atap sayap sayap kupu kupu patah
hitam, putih, dan multiwarna
dan beruap seperti onggokan onggokan tahi sapi
di pagi kota Te Puke yang dingin
datanglah kalian wahai para hantu pemilik hak cipta
seni yang palsu, immoral, angkuh, dan penuh tipu

aku tak bertanggung jawab atas sajak ini!

Sajak-Sajak Dwi S. Wibowo*

http://www.sastra-indonesia.com/
Lorong

Pot-pot tanaman baru
Kini berjajar di lorong
menuju rumahku

tinggal di alamat baru
dari sisa akar yang tercerabut
dari kebun di tempat nun sana

oleh paman kurus
yang kutemu tengah malam
di jalan sempit, lelaki
penabuh besi tiang listrik

-mendera bunyi lonceng gereja
yang dikirim pastor-pastor
berjubah ungu pada pembaptis
seorang balita
dengan kaleng susu digenggamnya-

selama
menyusuri jalanan ke utara
mengikuti
sekilau cahaya berkilatan
seluruh bimbangku bersatu
kemanakah sebenarnya?
Arah menuju alamat rumah baru,
Benarkah ia
yang tak balik
kemari
adalah penunjuk jalanku?

2009



Ode Bagi Hutan

bukan semak
tanpa ada pilihan jalan lain

meski rimbun pohonan
jadi peneduh sepanjang perjalanan
namun akar yang berserak
bersaudara dengan ular
dan kalajengking

daun-daun
satu persatu jatuh berguguran
diterpa angin.

september 2009



Jam

Waktu, dalam
Putaran jam
Lewat begitu saja,
Tanpa sapa
Ataupun salam

Meninggalkan sesuatu
Yang tak bisa kutulis
Jadi sebait sajak

dan setiap detik,
Adalah detak jantung
yang harus di tebus
Tanpa penyesalan,
Atau kesia-siaan
Belaka.

november 2009



Anjing Malam Di Palka Kereta
Kepada Sajakku

Selamat malam,

Dan ucapan merdu lainnya
Kusampaikan setelah
Lewat tiga purnama
Di tiang pergantian.

Lebih dari itu, seekor kunang
Terbang di lompatan cahaya
-Liplip
Jalanan yang rusak menghadang di gurat malam
Antara gelap dan remang
Yang terbias sorot kereta
Dengan kepulan asap
Dari cerobong hitam
Melewati jembatan di atas kepalaku
Dan beberapa wajah pria
Pencari ikan serta
Istrinya yang tengah mencuci di kali
Dekat bendungan.

Angin malam mengelus rindu
Menyelinap di celah ketiak
Perempuan berbaju biru
Tanpa lengan, anjing hitam
Membawa bayang di sekujur tubuh
Dan dua ekor gagak
-yang kehilangan bayang-
Mengejar di belakang,
Dengan mata nanar
Serta paruh yang sebelumnya telah mereka asah
Di gerenda
Meminta bayangnya kembali.

Namun seorang kakek
Dengan satu lengan dan mata juling itu
Membunuh anjing hitam
Dengan tongkatnya
Lalu menelan bayangbayang itu
Mentah

Laju kereta kembali
Membawa sehelai bulu
Anjing hitam
Yang tersangkut di besi palka
Menuju pemberhentian terakhir,
Stasiun kota
Yang telah lewat
Dari sewindu
Peron itu sepi tanpa penumpang
Kecuali beberapa anjing hitam
Yang tak punya tuan.

maret 2009

*) Beberapa puisinya terangkum dalam antologi bersama penyair muda “Sebuket Mawar Merah” dan “Sang Pengembara”, salah satu puisinya mendapat penghargaan dari Radar Bali Literary Award 2009.

Sajak-Sajak Isbedy Stiawan ZS

http://www.suarakarya-online.com/
Jalan Siput

mulai diusik jemu. jalan macet.
bahkan sejenak lalu tak bisa bergerak
“mahasiwa unjukrasa lagi
di Kantor Walikota Jakarta Barat. Mereka menuntut”
kini bis merayap, masuk ke dunia siput
menuju perhentian kau mulai dibantai jemu
tak seperti janjimu sebelum pergi:
“aku akan tetap baik, semangat pejalan akan
menguatkan hatiku,” katamu
dan semenjak turun dari pesawat,
kenapa jalanmu limbung, matamu nanar, rambutmu tak lagi tergerai?
bahkan wajahmu tampak memerah. dunia, katamu, mulai terasa tak bundar.
“aku melangkah layaknya di tanah bergelombang. diayun-ayun…” ujarmu pelan
baiknya santap hidangan di depanmu
sebelum kau dikalahkan, dan
kita tak bisa menemukan penginapan
ataupun rumah bagi setiap orang pasti merindukan karena tak ingin menjadi ahasveros
yang dikutuk agar lupa
pada pintu rumah…maka lupakan kejemuan, juga para demonstran lalu tembus kemacetan

* jkt 271009



Ruang Tunggu

CATAT kembali nama dan alamatku,
juga jika penting tanggal dan tahun kelahiranku,
sebelum aku jauh dari
mulalu ingatlah segala kenangan
juga jam keberangkatan karena itulah waktu akhir tangan kita berjabat
sebagai perpisahan: sementara?
tanyamu cemasaku pun mulai dirundung gelisah
tapi bukan karena perpisahan,
aku hanya mencoba untuk menerka
apakah kepergianku inimenuju pertemuan
kembali?

* branti, 271009



Kubawa Kau

kubawa kau ke depan gerbang
yang akan mengantarmu
dan aku mengepak langit lengkung
“kuterima kau dengan segala dan
sepenuh sayap…”
lalu langit memberkati kita,
hujan memberi jalan, dan sungai
menandai langkah kita juga matahari jadi arah
di mana kita akan tiba dan berpelukcium
mahkota di kepalamu menjelma kupukupu
menuju taman bungadan peci yang terpasang di keplaku juga
kini ingin jadi merak membelah cakrawala!

* tnjngbintang, 231009



Perempuan Dibalut Malam

perempuan bercakap-cakap dalam telepon genggam di bawah langit malam membentang: dan teriakan-teriakan dari amarah tertahan “lelaki hanya tahu tapi tak pernah mau mengerti…”
perasaan perempuan selapis kulit bawang
hingga matamu merah, airmata yang tak bisa kau jaga
“perempuan hanya menjaga hati tapi tak mampu menulisnya jadi kalimat”
jadi peristiwa di lengkung malam ditandu oleh mendung wajahmu. perempuan yang memberi telinganya untuk selalu dibisiki
bercakap-cakapdan membuai

* lb, 221009, 22.59



Peristiwa Lain tentang Laut

kenapa selalu kau menyebutku lalut,
sedang aku cumalah air terhampar
menyilakan kapal-kapal berlayar mencari bandar
ataupun pada akhirnya terdampar
tenggelam? mestinya kau tidak memanggilku laut,
karena daku tak pula kuketahui:
apakah aku danau, kolam, atau?
hingga akhirnya musa membelah jadi dua bagian
lalu si laknat yang datang
kemudian terjepit setelah titian itu kembali pecah
oleh satu pukulan tongkat.
jadilah daratan, kembalilah ke asal!
apakah asalku adalah gelombang
sehingga kau selalu menyapaku laut
mungkin pula aku daratan
lalu banjir dari kota nuh memuara
sehingga kau memanggilku laut laut.?
alangkah rindu aku pada genangan,
banjir bandang
atau kota-kota yang dijungkirbalikkan
agar aku jadi peristiwa lagi,
seperti telah kau ceritakan
turun temurun di nukil dalam kitab-kitab
yang mungkin bisa kau tinggalkan di lemari
akankah musa datang lagi
dan menghentakkan tongkatnya ke tubuhku
agar para laknat terkubur dalam jiwakubahkan kuinginkan nuh membikin kapal lain sebelum banjir,
kemudian aku pun ikut menghanyutkan kota jadi tak bertanda:di antara gunung-gunung,
kapal-kapal, angin yang menggulung
aku pun jadi hidup bersama gelombang,
topan, dan ancaman untuk kau tandai
sebagai rahasia betapa maut dan hidup
sejalan dalam denyutku

* ss, 191009, 14.02



Aku Ikan di Kolam

kolam di belakang rumah
yang dulu kulihat jelas tanahnya
mulai menampung segala air mataku
dan ikan-ikan dari potongan tulangku tengah mencari kenikmatan lain
seraya menunggu kau pancing
akulah ikan itu kini menggelepar di kolam
yang kering oleh musim panas panjang
dan sebagai ikan, siripku menggapai
mulutku mengucap-ucap meski tak kutahu
apakah doa atau serapah
di kolam belakang rumah, aku jadi ikan
menunggu musim berganti
dan peri mencabut kutukan!

* 141009, 02.20

Sajak-Sajak Pringadi AS

http://reinvandiritto.blogspot.com/
Tubuh dalam Mikrofon

Ada tubuhmu dalam mikrofon. Tubuh biola. Tubuh gitar cantik dari
Negeri matador yang sapi yang kerbau yang sengau yang pura-pura
Drama dua babak di televisi jam enam sore. Jam yang masih lengket
Di sajadah bau dan tua. Diam-diam ia menjadi keningmu. Diam-diam
Ia naik ke atas mimbar membacakan khotbah singkat lima menit di
Bawah hujan yang genit malu-malu memecah dirinya di kaca-kaca
Jedela. Di tanah. Di batang-batang yang keras menantang langit biru.

Ada tubuhmu dalam mikrofon. Sempat ia kukira tiang listrik sebelum
Suara-suara berebutan masuk memperebutkan tubuh itu. Suara-suara
Interupsi. Suara-suara malu-malu. Suara-suara dari jam enam sore di
Senja sebuah taman seperti sedang bersidang. Seperti sedang menamat
-kan tiga chapter di komik-komik stensilan itu.

(2010)



Pareidolia

Aku lupa bagaimana caranya menggubah sajak

meski cuma sajak-sajak cengeng semacam:

tiba-tiba awan menjelma wajahmu. tiba-tiba
laut menjelma suaramu. tiba-tiba angin menjelma
rindumu. tiba-tiba pula batu menjadi hatimu.

seperti itulah, semuanya serba tiba-tiba. seperti
tiba-tiba pula aku ingin menulis sajak, tetapi tiba-tiba
pula aku lupa bagaimana caranya menggubah sajak

baiklah, aku coba bikin sajak cinta yang tidak biasa:

ada sebuah kota dengan jam dua belas malam. suara-suara
seperti memanggil nama yang jauh. nama yang dulu sembunyi
di sepatu. sepatu-sepatu itu berlari dari airmatanya sendiri.
seperti aku.
seperti
aku.

bagaimana, apa sajak ini cukup mengena di hatimu?

ah, aku lupa bagaimana caranya menggubah sajak
seperti kisah midas dahulu itu. kusentuh tivi jadi sajak.
kusentuh pasir jadi sajak. kusentuh apa-apa saja juga
jadi sajak. sampai tubuhku pun jadi sajak.

aku yang sajak jadi lupa bagaimana menggubah sajak.



Kura-Kura dalam Tubuhmu

Malam-malam sekali ada ombak berjalan ke tubuhmu. Aku pikir itu laut yang tiba-tiba
kalut dan takut kalau hujan tak lagi mau turun. Hujan pasir. Hujan lambaian nyiur
di pantai itu, yang diam-diam memanggil kura-kura ke pinggiran. Meninggalkan telur.
Menyampaikan rindu yang lain dari bekas-bekas tetasan yang tak pernah kembali.

Kura-kura itu berjalan ke tubuhmu. Aku takut kura-kura itu akan memakanmu yang sedang
lelap dalam tidur memimpikan sepasang kepiting yang tak lagi berjalan miring. Kepiting anjing
yang menggonggong malam-malam. Kepiting kuda yang meringkik meminta penggembalaan
seperti domba-domba lain yang pernah kauceritakan dalam suratmu itu.

Malam-malam sekali bantal itu berkhianat pada janji untuk memberimu sepasang mimpi
lain tentang caranya bercinta sambil melenguh-lenguhkan namaNya sebelum ada kura-kura
yang berjalan ke tubuhmu. Kura-kura itu mungkin sekali adalah gadis empat belasan yang
pernah kau cumbui di halaman sekolah. Lalu kau bekap ia dengan sebuah bantal yang
kini berkhianat di tidurmu.



Parit Layang-Layang
: seorang teman, dwi rahma ramadani aulia

apatah salah tentang pilihan, menempatkanmu sebagai yang pertama
dari senyuman yang pernah menunaikan musim kering itu dengan
hujan dan kesejukan dari selokan air di belakang rumahmu?

ranting patah, derap sepatu, dan gugur bulan adalah engkau
yang duduk diam-diam di taman sambil mengerutkan dahi
mengusir peri-peri malam yang sedang bermain api unggun

tapi dulu, kau pun menyalakan kembang api berwarna pelangi
yang kaubeli di sebuah persimpangan, saat kau memutuskan untuk memilih
dari bayangan yang makin memanjang itu
bersama jejak-jejak daun yang hidup
dan kenangan dari bunyi sepeda tua yang berderit

dan benang cinta yang kadung terparit.



Aku Akan

aku akan menjadi angin
yang menerbangkan layang-layang
sebelum jatuh di pelukanmu

aku akan membawakan sepotong bulan
yang dulu sempat kaunyanyikan
dengan merdu
sebelum sekerumun kabut cemburu
dan memainkan mendung yang kelabu

tetapi aku angin
yang menciptakan hujan lain dari mendung itu

di matamu.

Sajak-Sajak Dea Anugrah*

AKU MENCINTAI KALIAN

aku mencintai kalian,
yang meringkuk di trotoar di malam malam
berembun yang bikin meriang.

aku mencintai kalian,
yang tak sanggup menahan perihnya lambung
lalu tercebur ke paret paret penuh limbah pabrik
karena kawanan anjing neraka telah keluar dari lorong lorong
dan melarikan nasi keras nasi kotor kalian
merebut roti roti keras kotor kalian.

aku mencintai kalian,
maka aku mengangkat penaku
dengan segenggam ketakutan
bergerak gerak di dalam saku.

(februari 2010)



ROMANTISME
:buat lilian sumarno

barangkali kekecewaanmu
adalah bukti kegagalanku
sebagai kekasih

yang selalu menerjemahkan cinta
tak ubahnya pelabuhan
dan hidup
sebagai pelayaran.

(2010)



BUAT SENI PURNAMASARI

sepasang alismu yang lebat
menjelma kupu kupu bersayap
kuning pucat.
-menemaniku
di senja tasikmalaya yang teduh
di gerbong kereta api yang lusuh
juga di jalanan kotaku
yang kelewat riuh.

sen, pertemuan begitu singkat
pertemuan begitu singkat
namun kenangan
selalu abadi

maka biarkan aku
biarkanlah aku
mencintaimu lewat memori.

(Tasikmalaya-Jogjakarta, 2010)

Pernah dimuat di Ruang Sajak dalam Jurnal Bogor, 28 Febr 2010.
*) Lahir di Pangkalpinang, Bangka, 27 Juni 1991. Kuliah di Fakultas Filsafat UGM angkatan 2008. Buku kumpulan puisi pertamanya adalah “Penyair (itu) Bodoh” (Greentea Publishing, 2009). Bergiat di Komunitas Sastra Rawarawa di Yogyakarta.

Sajak-Sajak Ria Octaviansari

http://www.lampungpost.com/
Terminal

di luas tanah lapang
jejak roda adalah garis wajah ibu
keriput di dahinya yang selalu ku rindu
di luas tanah lapang
aku menggambar peta ke mana pulang
saat cahaya matari merasuk tulang
di luas tanah lapang itulah
kepergian dan kedatangan hinggap di pundak
meretas tiba tiba di kuncup mata
yang menggenang air mata
pada terminal itu bermuara segala kelana

Rajabasa, 261109

Ruang Tunggu

di tiap kertap cuaca aku melihat sepasang bola mata memandang ke langit
seperti sedang membaca mantra-mantra agar hujan lekas henti
tapi aku tak pernah mengenali bola mataku sendiri pada selasar ruang tunggu

Oktober 2009

Layang-layang

bersiap dengan seutas tali dan selembar layang-layang
ku baca mantra pemanggil angin :
ngin maringin
remangin ulungin
jalungin kamingin
seembus makin embus
keras angin menghunus
oh!
benangku putus
layang-layang semakin jauh
berseteru dengan gemuruh
aku hanya bisa melenguh

2007-2009

Malam di Tengah Kota
bagi Di

di depan sebuah pusat perbelanjaan
sejenak aku-kau duduk di berandanya
sambil mengamati lalu lalang
tuan dan nyonya, anak-anak, dan remaja
membawa tas belanja
berisi cerita pilu dan mimpi bahagia
yang tak pernah sempat terucap
setiap lalu lalang akan meninggalkan sebuah jejak
yang mungkin akan di pungut kembali atau ditinggal mati
aku tahu, kau telah memahami jejakmu sendiri
entah itu di dadamu atau di dadaku.
berbincang denganmu di tengah kota
membuatku makin tenggelam
dalam bayangan jejak kita kelak
apakah kita akan bertemu lagi
dalam salah satu ruang di kota ini
atau mati seperti jejak jejak yang lain?
pencipta tentu menyayangi kita
dan kita pun tahu hidup ini memang sebuah pilihan
setiap pilihan memiliki duri yang tajam
percayalah napasmu pernah kuhirup
dan napasku pernah juga kau embuskan.

2009

*) Lahir di Tanjungkarang, Lampung 16 Oktober 1985. Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bandar Lampung. Menetap di Bandar Lampung dan bekerja di Lampung Timur. Beberapa sajaknya pernah terbit di beberapa media massa lokal.

Sajak-Sajak Wahyu Heriyadi

http://www.lampungpost.com/
Ibu Datang Sekaligus Berangkat Siang Ini

Tadi siang ibu datang dari telepon. Rambutnya kering dengan tangan dan jemari yang hampir jatuh ke halaman. “Waktu, pada kemana sih? Oh ya? Berapa nomornya?” kalimat itu seperti loncat dari baju-bajunya. Hingga ibu tak pernah bisa menyimpan piring di mulutnya. Sebab, ada paragraf tentang sorabi dan gorengan lain-lain berkejaran. Paragraf itu seperti menyusun kembali matanya dari jauh.

Mata dari hulu sungai yang keruh. Mata tempat ikan menggunduli sisik-sisiknya yang rapuh.

Tapi tadi, ibu rajin mengganti bajunya dengan kalimat yang dipetik dari salon. Disebabkan warna rambutnya sama dengan siang, tangannya seperti mencubiti helai-helai rambut. Sambil mengunyah es batu, ngilu di lelubang giginya.

Ibu juga sempat memantas-mantas baju lamanya seperti kenangan yang bertabrakan. Sambil berjalan di sekitar reruntuhan kalimat, tak sempat didebat sesaat buah mangga menjadi lebat. Suara buah mangga yang berjatuhan, isak lirih dan serpih menggores kulit-kulit mangga.

Suaranya seperti suara-suara lainnya. Antara suara sama dan tak sama, antara suara lama dan tak lama. Suara yang lepas dan berkemas. Ternyata ibu menyimpan mangga dan duri-duri ikan di perutnya yang sedikit sobek dan membusuk. Aku baru tahu. Padahal ibu sudah berangkat dari telpon.



Kenangan Akhir Tahun yang Gerimis Belukar Kamar

Sudah kucoba untuk mengangkut kasur itu dari tubuhmu yang memar. Sebab di kamar itu tak ada kisah yang keluar selain gerimis yang tipis. Aku selalu mencoba melipat kasur itu seperti melipat lekukan tubuhmu, di sekian kali yang tak disimpuli tali-temali, erat dan penat mulai memanjat. “Aku hendak mengajak keping-keping hening yang mengering ke sebalik dinding, diluar kamar yang megar oleh pendar gegar.”

Pada malamnya, tubuhmu selirih rumputan basah di lantai kamar, menebar pada resah jingga di coretan lenganmu. “Ini sepeti kecupanku dengan lengan tertahan, betapa lengan ini dengan darah yang asing, menyandu perih menurih.”

Bukan hanya sobek kenang, tetapi belah memanjang ke sepi-sepi kening, menyadap dengan kedap ke sela gagap, menetesi seprai yang terbengkalai, jeri ke dalam lemari diri. Tapi aku tak menyentuh gemuruh, bagian-bagian hilang ke dalam kenang yang merasuk punduk dan rusuk.

Di temali itu, ada sisa kulitmu yang peluh. Ada sisa bayang temali yang ikut menyangkuti jemari, tertahan lama disana. Menggumpal seperti keringnya darah segar. Darah dari pembuangan rahimmu.

Aku pun mesti mengangkat rahimmu keluar kamar. Bersama wajah yang samar, liukan ingatan yang bergetar.



Memaklumi Sabun Cairmu di Antara Bebatang Sabunku

Seperti bebatang sabun yang gamang ketika kuseka dari gosokan bebatangnya. Bebatang sewarna putih yang beraroma lavender. Tapi tak kuasa mencekal bebintil yang merah yang menyentak, seasyik menggasak. Hingga menggenang peluh itu di sekujur, betapa pergi dengan ngilu terbilas lekas, menandu jerit dan diorama daki-daki.

Ketika kau genangi sabun cairmu, genap mengguyur tubuh, menyelusup ke dalam pepori; spon. Serabut yang menggelitik dan mengetuki dinding peporiku. Ingin merembes ke dalam jangat, hingga menyentuh daging sendiri.

Sabun cairmu bercampur tuangan susu yang meronta ke dalam gundah. Selalu, dalam pengakuan; sebab ini tuangan penghabisan, dalam rentang tubuhmu ke tubuhmu. Meski aku tetap bersekutu pada bebatang sabun itu.



Tangan dan Kali yang Berjatuhan

Kakinya sempat patah, sebab tangga menjatuhinya. Tangannya juga ikutan saat itu, seperti hatinya juga yang nyangkut. Melihat itu semua tubuhnya jatuh ke tangga, seperti tenggelam disana, tangan yang menggapai-gapai. Akibatnya, tangan mulai membengkok. Memulai kisah tangan-tangan yang belok berkelok. Tangan-tangan yang tak tampak dari grafik yang tak teratur. Meski kakinya sempat terselamatkan, dengan tangan yang sedemikan rupa.

Bagaimana bisa kuluruskan tanganmu, sebab telah layu seperti ranting jambu yang kuyu. Betapa rela dan bersetia mengarungi bengkok tangannya.
___

*) Lahir di Ciamis, 4 April 1983. Lulusan Universitas Lampung. Puisi-puisinya dimuat berbagai media antologi bersama. Mendapatkan beasiswa dari Dewan Kesenian Jakarta untuk mengikuti Bengkel Penulisan Novel (2008). Saat ini sedang berada di Palu, Sulawesi Tengah, mengabdi di panti sosial yang merehabilitasi penyandang cacat mental retardasi.

Sajak-Sajak Oky Sanjaya

http://www.lampungpost.com/
Rumah di Atas Kertas

rumah yang akan kita bangun kelak, dinda, adalah rumah yang dibangun di atas
sebidang kertas. Tanpa halaman, tanpa garis bantu kata-kata. Tanpa penjaga,
tukang kebun, dan perempuan renta. Hanya ada kau dan aku. Hanya ada kita
dan pohon mangga itu; yang kau cita-citakan ingin tumbuh dan dipetik buahnya;
yang kita tambahkan baskom berisi air di bawahnya; yang suatu waktu
merundukkan kita menatap bakalnya. Kita tetap berada dibawahnya



Atom

apakah kau masih percaya pada kedudukan angka_ ; yang
telah merepresentasikan kata sehingga kita tertib pada
rumus umumnya? Apakah kau masih percaya_; pada
sifat fisik benda saja sehingga kau berkeliling di kulit, diameter,
dan kemungkinan jari-jarinya? Apakah kau masih percaya_ ;
cinta menyertai kita pada spin yang tetap terjaga? Apakah kau
masih percaya_ ; yang kau representasikan itu adalah kata? Tidak.
karena kata adalah cinta.



Selagi Rambutmu Surut

lima mayat kelopak bunga hanyut di atas arus rambutmu;
kubiarkan begitu saja sebagai tanda;
tak habis-habisnya kita mencari cara.

___
*) Lahir di Sanggi, Lampung, 13 Oktober 1988. Sedang belajar di Jurusan PMIPA Fisika Universitas Lampung. Bergiat di Forum Pembinaan dan Pengkajian Islam dan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL). Buku puisinya yang baru terbit: Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan (BE Press, 2009).

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae