http://pustakapujangga.com/2011/01/poetry-of-nurel-javissyarqi-4/
[PERNIKAHAN MATA]
Untuk K’tut Tantri
Jiwa-jiwa muksa bertarian sukma
ruh berbangkit di tengah gerimis.
Gemerincing binggel kaki penari
kisahkan tarian di tanah pertiwi.
Mata anak-anak berkulit coklat
tangan menyatukan fajar laut.
Menyentakkan bambu runcing
menyobek leher para penjajah.
Daya-dinaya muncratkan darah
seharum melati sepanas mawar,
kain merah putih membalut luka.
Jika petang gerilyawan mengintai
di balik lintang bukit karang nurani
menggelegak jantung menghujam.
Penciuman angin di langit kemboja
belai uban-ubun ditempa purnama.
Sewarna perak pernikahan mataku
di tengah wengi penuh cahaya tinta.
[KEMBANG GAPURA]
Untuk Samira Makhmalbaf
Dari gapura negeri Iran
kepak putri sayap elang.
Kekuatan jiwanya risau
melintasi pusaran awan.
Ketinggian ombak kebisuan
serupa kekupu sebrangi teratai.
Katupan sayap buku di pangkuan
mata mungilnya menggoda insan.
Pangeran melirik dari singgasana
dinaungi cahaya ketenangan senja.
Selaguan seruling lembah gembala
menarik mahabbah jejanur kurma.
Diajaknya menjelma matahari
kibaskan gemuruh angin, pada
debu-debu memusari bara rindu.
Menggelinding gosongkan usia,
keringat mendidih gelora pecah
karang terlempar jelma purnama.
Malam harum kembang kanthil
sekuat stupa candi tegak kukuh
sepohon bergetah takkan runtuh.
Kembarai mimpi tempaan empu
sewaktu asah keris berkelok tujuh
kegigihan menerima takdir waktu.
Awan sejarah sederu jiwa semesta.
Entah di manakah dirinya sekarang?
Semoga tetap mencintai tlatah Iran.
[RAJA PELAMUN]
Untuk Kahlil Gibran
Menuang keganjilan bertemu genap
diikuti arus deras,
gemerincing anggur ke batu-batu
busanya meluap,
menelenjangi tubuh sungai malam
mendenyutkan nafas.
Jalan membentang kenangan
rerambut cemara menari-nari
sederai gerimis patahkan hati.
Ranting sayap kabut pebukitan
bergelembung embun terjatuh
dirawatnya ke tanah kelahiran.
Angkat dayung keringat lengan,
setinggi gemawan digiring angin
terpenggal lecutan dahan cahaya.
Bebuah terdampar menuju fajar
melamun di bencah batas desa
ke tangga pesawahan lembah.
Dicecapnya bulan yang dingin
terpahat tetembangan lama,
dicukupkan bersarang setia.
[DI YOGYA SUATU MALAM]
Untuk Pantomimer Enderiza
Melewati ribuan lampu
terbalut putih tubuhnya
: ia bermandikan cahaya
wajah berbedak purnama.
Jiwanya remuk dipukuli waktu
mata berkeping-keping berita:
ia lebih waras dari yang berlalu
sadarnya kaki-kaki melangkah
lentur menggapai muasal kata.
Terangnya serpihan kalimah
selembut lembaran malam
meleburkan tarian ragawi
merasuki sukma berlaksa.
Kaki-kakinya terus berjalan
hingga membatu tegak tugu
di tengah-tengah kota Yogya:
sekuat tabah setua zamannya.
[SAYAP SELENDANGMU]
Untuk Penari Saraswati
Waktu sayap selendangmu hilang ditelan panggung
bayangannya sampai ke mari, diantar cahaya pagi.
Matahari melukis cakrawala mengepak arus sungai
olehnya lupakanlah khilafku, lantas maafkan diriku.
Wahai siur rambut kelapa janur-janur hijau embun
menuju ombak angkasa jiwaku bersalam padamu:
Hukum langit memberi kasih serupa sayang ampun
darimu, selalu memberkati tapak-tapak langkahku.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 10 Januari 2011
Sajak-Sajak Kurniawan Yunianto
http://sastra-indonesia.com/
DI HUTAN METROPOLITAN
mendadak aku begitu kepengin
seketika menjelma seekor binatang liar
yang hampirhampir tanpa akal
menjadi sepenuhnya percaya pada naluri
menandai tiap menemukan mata air
dengan ludah bacin dan kucuran air kencing
mengabarkan lezatnya makanan
dengan tetes liur dan nyanyian perut lapar
memikat lawan jenis kelamin
dengan wangi sperma dan lenguh panjang
mengusir para pesaing
dengan lentur ayun pada cakar dan taring
lalu berikan aku sedikit arah pandang
dengan kemiringan sudut paling tak terduga
agar makin jeli makin waspada
segera setelah menjadi terbiasa
setelah nyaris semua membosankan
setelah kemudian Hanya benarbenar engkau
bukan segenap yang Menempel pada dikau
hai tunggu apalagi
kau boleh Membunuhku sekarang
agar aku mengerti hidup yang kau berikan
sembilan malam sudah lelap bernyanyi
Bangunkan aku kepada sunyi
29.11.2010
TAK PERNAH JELAS
KAPAN TERTIDUR PULAS
sejak menjelang subuh
di bawah cahaya
yang tak mencipta bayang
matahari menunggu
leleh mata yang lelah
gagal memandang
jatuh pada pusaran waktu
pada ruang penyembuhan
pejam dan hampa
alarm jam yang mati
nyaring dalam kesunyian
jangan dibangunkan
25.11.2010
BERKEMAS (BERDENDANG) TANPA SUARA
meski akhirnya kau datang
sudah kuputuskan kita hanya akan diam
meminimkan beban atas tanggung jawab
pada katakata yang terutara
paling tidak menjadi semakin kecil
kemungkinan kita jengah bertemu angin
dan tak perlu menjawab pertanyaan
yang mungkin saja timbul atas pernyataan
biarlah jika mata yang lelah ini
sesaat enggan saling memandang
ada baiknya sesekali sendiri tanpa suara
melihat dari masingmasing sisi
siapa tahu wajah kita sudah satu arah
hingga tak perlu lagi pembicaraan
kesepakatan tak harus dituliskan bukan
kerna kita akan kian sibuk berkemaskemas
menanggalkan semua yang masih lekat
sembari tak henti menari berdendang
yang sepertinya lebih kita pilih
ketimbang membawa yang tak kita punya
kau aku sepasang kita
yang tak lagi memiliki apaapa
23.11.2010
PERAHU TAK MAU MENUNGGU
sepenuh hari hidup dan mati
berpilinan pada kesadaran kutubkutub
yang sering muncul bergantian
bukan malam bukan pula siang yang jalang
hanya kesenangan yang dipaksakan hadir
menjauh dari kesederhanaan pikir
lalu persetan dengan cinta bukan
aku telah melewatinya di tikungan terakhir
sebelum lampulampu di pinggir pantai redup
kerna pandang terhisap mata suar
kedip cahaya dalam waktu dan jarak tempuh
saat arah tujuan telah ditetapkan
aku berupaya keras untuk menepati janji
menjadi kepengin lekas mati
menjadi benarbenar tak peduli
meski kemudian segala rupa warna suara
dan bahkan semua yang menempel padamu
mendadak lenyap dalam indera tubuh
yang semakin renta atas usia
hai siapa sudah berdiri di haluan
bongkar sauh sendirian luaskan layar
23.11.2010
BANJIR DI MUSIM KEMARAU
betapa air mengalir deras
menjauh dari basah dari bersih
yang kembali pengin dijumpainya
setelah pergantian musim begitu sungsang
membuatnya hanya menggenang
pada tanah kerontang
luka kering yang membikin jarak
menyimpan nestapa hingga ke tulang
dari sebalik kerak hitam
darah kuman bersekongkol meluaskan ruang
genang yang merapuh tiang pancang
rumah hampir roboh sayang
meski menjadi bodoh memang tak gampang
tidakkah kau lihat sekarang
pekarangan sudah tanpa penghalang
hanya menyisakan debu coklat
hingga daundaun kepincut
menyatukan warna memilih duluan gugur
sebelum pohonpohon tumbang
diterjang banjir bandang
jangan bilang kau tak tahu musim apa kali ini
katakan dengan lapar dahagamu
tenggorokan makin tercekik bukan
20.11.2010
DI HUTAN METROPOLITAN
mendadak aku begitu kepengin
seketika menjelma seekor binatang liar
yang hampirhampir tanpa akal
menjadi sepenuhnya percaya pada naluri
menandai tiap menemukan mata air
dengan ludah bacin dan kucuran air kencing
mengabarkan lezatnya makanan
dengan tetes liur dan nyanyian perut lapar
memikat lawan jenis kelamin
dengan wangi sperma dan lenguh panjang
mengusir para pesaing
dengan lentur ayun pada cakar dan taring
lalu berikan aku sedikit arah pandang
dengan kemiringan sudut paling tak terduga
agar makin jeli makin waspada
segera setelah menjadi terbiasa
setelah nyaris semua membosankan
setelah kemudian Hanya benarbenar engkau
bukan segenap yang Menempel pada dikau
hai tunggu apalagi
kau boleh Membunuhku sekarang
agar aku mengerti hidup yang kau berikan
sembilan malam sudah lelap bernyanyi
Bangunkan aku kepada sunyi
29.11.2010
TAK PERNAH JELAS
KAPAN TERTIDUR PULAS
sejak menjelang subuh
di bawah cahaya
yang tak mencipta bayang
matahari menunggu
leleh mata yang lelah
gagal memandang
jatuh pada pusaran waktu
pada ruang penyembuhan
pejam dan hampa
alarm jam yang mati
nyaring dalam kesunyian
jangan dibangunkan
25.11.2010
BERKEMAS (BERDENDANG) TANPA SUARA
meski akhirnya kau datang
sudah kuputuskan kita hanya akan diam
meminimkan beban atas tanggung jawab
pada katakata yang terutara
paling tidak menjadi semakin kecil
kemungkinan kita jengah bertemu angin
dan tak perlu menjawab pertanyaan
yang mungkin saja timbul atas pernyataan
biarlah jika mata yang lelah ini
sesaat enggan saling memandang
ada baiknya sesekali sendiri tanpa suara
melihat dari masingmasing sisi
siapa tahu wajah kita sudah satu arah
hingga tak perlu lagi pembicaraan
kesepakatan tak harus dituliskan bukan
kerna kita akan kian sibuk berkemaskemas
menanggalkan semua yang masih lekat
sembari tak henti menari berdendang
yang sepertinya lebih kita pilih
ketimbang membawa yang tak kita punya
kau aku sepasang kita
yang tak lagi memiliki apaapa
23.11.2010
PERAHU TAK MAU MENUNGGU
sepenuh hari hidup dan mati
berpilinan pada kesadaran kutubkutub
yang sering muncul bergantian
bukan malam bukan pula siang yang jalang
hanya kesenangan yang dipaksakan hadir
menjauh dari kesederhanaan pikir
lalu persetan dengan cinta bukan
aku telah melewatinya di tikungan terakhir
sebelum lampulampu di pinggir pantai redup
kerna pandang terhisap mata suar
kedip cahaya dalam waktu dan jarak tempuh
saat arah tujuan telah ditetapkan
aku berupaya keras untuk menepati janji
menjadi kepengin lekas mati
menjadi benarbenar tak peduli
meski kemudian segala rupa warna suara
dan bahkan semua yang menempel padamu
mendadak lenyap dalam indera tubuh
yang semakin renta atas usia
hai siapa sudah berdiri di haluan
bongkar sauh sendirian luaskan layar
23.11.2010
BANJIR DI MUSIM KEMARAU
betapa air mengalir deras
menjauh dari basah dari bersih
yang kembali pengin dijumpainya
setelah pergantian musim begitu sungsang
membuatnya hanya menggenang
pada tanah kerontang
luka kering yang membikin jarak
menyimpan nestapa hingga ke tulang
dari sebalik kerak hitam
darah kuman bersekongkol meluaskan ruang
genang yang merapuh tiang pancang
rumah hampir roboh sayang
meski menjadi bodoh memang tak gampang
tidakkah kau lihat sekarang
pekarangan sudah tanpa penghalang
hanya menyisakan debu coklat
hingga daundaun kepincut
menyatukan warna memilih duluan gugur
sebelum pohonpohon tumbang
diterjang banjir bandang
jangan bilang kau tak tahu musim apa kali ini
katakan dengan lapar dahagamu
tenggorokan makin tercekik bukan
20.11.2010
Minggu, 09 Januari 2011
Sajak-Sajak Fikri MS
http://sastra-indonesia.com/
Syair Ini Untukmu, Sasmitha
Serpihan waktu kita giring menuju sebuah rumah melewati lorong setapak jalan berbatu
Di kanannya tembok kokoh cat putih berlumut, bermulut, dan tak bertelinga
Di sebelah kiri berpagar bilah, ada pohon kapuk dan mangga. Di ujung jalan itu, nampaklah sebuah pelita yang menjadi pertanda sudah dekat akan kediaman yang kita idamkan sejak lama.
Semakin dekat terasa kian jauh, karna menanjak tebing. Kau meminta istirahat sejenak
Berpikir dua kali aku jadinya; bersandar pada tembok atau berteduh di bawah pohon mangga?
Tatapanmu bertanya
Aku tersenyum memandang sambil kuseka keringat di keningmu.
Kau pun lakukan yang sama terhadapku.
Lalu menggelegaklah semangat, kiri atau kanan memang pilihan. Sebab itu kita tempuh perjalanan ini.
Sasmitha, kau dan aku adalah anak zaman yang menepis garangnya warisan masa lalu
Mencoba melawan dengan tangan, kertas, dan percakapan di tengah iklan dan berita yang berlomba saling menjelas-jelaskan.
Kita lanjutkan langkah!,
Mengurai peristiwa demi peristiwa hingga tiba masa meraih apa yang dinamakan sebagai mimpi.
Syair ini untukmu, Sasmitha
Sebagai tanda kita mulai mengerti tentang makna perjalann panjang.
Warungkopi – bawah jendela kamar,
30 November 2010
Syair Seorang Senja
Peristiwa demi peristiwa terurai, sepertinya tak pernah henti.
Terurai seperti puisi ini yang malu-malu mengabarkan tentang diriku yang tengah dimabuk oleh ketakmengertian akan hidup dan kehidupan. Akan tetap i…
Di jalanan
Anak-anak berlarian saling mengejar mendahului mimpi-mimpi, berebut bola seperti memperebutkan kuasa.
Sementara di sini aku bertambah tua dan keriput, digiring usia yang semakin senja.
Aku rindu masa kanak-kanak. Dimanjakan, dibuai sekaligus dibuat menangis lalu ditimang-timang.
Apakah kembali muda adalah kebohongan?
Siapa yang mampu berikan jawab atas tanyaku ini?
Siapa …?!
Waktu bergerak, aku akan hilang ditelan umur, menjadi kembali pada keajaiban sebagai manusia.
Apakah aku kalah?
Karena apa kekalahan ini?
Ow …, penyakit!
Aku sakit dan menderita.
Apakah hanya si Jalang itu saja yang boleh hidup seribu tahun lagi?
Orang-orang sepertiku ini mau diapakan!?
Aku sepi mengulas mimpi dan peristiwa. Terhanyut dalam masa silam yang penuh canda kebahagiaan, berlari, dan berebutan …
Syair ini adalah kesunyian, tentang anugerah hidup.
Bahwa nafas adalah kebahagiaan, usia tua bukanlah kekalahan hanya saja waktu kian dekat memanggil-manggil dari kejauhannya.
Kamar di atas beranda, November 2010
Bela Sungkawa
Secangkir kopi hangat sedikit angkuh di atas meja, sebatang kretek menyala mengepulkan asap seperti keluar dari terowongan maut
Aku gelagapan menghadapinya, Ia tersenyum membuatku waspada
“Ada yang bisa saya bantu?” katanya.
Serak seperti suara Memedi
“Ada yang bisa bantu saya?” tanyaku.
Ia terkekeh mengejek, aku tersenyum cemas
Meremas-remas jemari sambil sesekali membenarkan lipatan map berwarna merah itu
Kubuka perlahan lalu suaranya terdengar lagi
“Kalau mau minta bantuan dana lain kali saja, KAS sedang Kosong!”
Kututup lagi lebih pelan, aku dendam.
“Terima kasih Bapak”
Kuletakkan korek api di atas meja tak tahu Ia
“Permisi Bapak”
Sahutannya datar saja “Ya …”, bersama kepulan asap rokok
Dua langkah menuju ambang pintu bersamaan dengan panggilannya yang lenyap ditelan ledakkan gas bensol aku tersenyum lagi, kali ini dengan segenap ucapan bela sungkawa.
“Bapak Memanggil saya?”
12 Desember 2010
Membakar Malam
Kunyalakan sebatang cigaro dengan korek api lidi
Membakar
Asapnya mengepul lalu pecah bersama nafas
Membentur dinding malam
Agustus, 2010
Sajak Hujan
Derai rerintik jatuh menetes di negeriku yang katanya bertuan baik lagi darmawan
Tanahnya subur
Bayangkan tongkat dan batu saja bisa tumbuh
…???
Januari 2010
Perang Hari Ini
Kawan kau dengar derup buruh melangkah pagi ini melintasi jalan raya yang pedas meski pagi begitu segar
Bendera-bendera merah tercancang kokoh di genggaman
Poster-poster kokoh
Spanduk-sepanduk kokoh menantang angin
Degap jantung mereka menjadi tabuhan yang mengalahkan genderang di medan perang
Teriakan mereka bertenaga dari kantung-kantung diapragma
Dan di hadapan sana telah berdiri pagar betis sembunyi di balik tameng-tameng fiber
Bersandar pada pentungan, bedil senjata, dan satu dua tiga tanki water pomp
Garang paling depan
Adu tanding perang hari ini
Dan kita Cuma jadi penonton, sekaligus juri, sekaligus sutradara yang paling jitu.
Perang hari ini.
Juli, 2010
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.
Syair Ini Untukmu, Sasmitha
Serpihan waktu kita giring menuju sebuah rumah melewati lorong setapak jalan berbatu
Di kanannya tembok kokoh cat putih berlumut, bermulut, dan tak bertelinga
Di sebelah kiri berpagar bilah, ada pohon kapuk dan mangga. Di ujung jalan itu, nampaklah sebuah pelita yang menjadi pertanda sudah dekat akan kediaman yang kita idamkan sejak lama.
Semakin dekat terasa kian jauh, karna menanjak tebing. Kau meminta istirahat sejenak
Berpikir dua kali aku jadinya; bersandar pada tembok atau berteduh di bawah pohon mangga?
Tatapanmu bertanya
Aku tersenyum memandang sambil kuseka keringat di keningmu.
Kau pun lakukan yang sama terhadapku.
Lalu menggelegaklah semangat, kiri atau kanan memang pilihan. Sebab itu kita tempuh perjalanan ini.
Sasmitha, kau dan aku adalah anak zaman yang menepis garangnya warisan masa lalu
Mencoba melawan dengan tangan, kertas, dan percakapan di tengah iklan dan berita yang berlomba saling menjelas-jelaskan.
Kita lanjutkan langkah!,
Mengurai peristiwa demi peristiwa hingga tiba masa meraih apa yang dinamakan sebagai mimpi.
Syair ini untukmu, Sasmitha
Sebagai tanda kita mulai mengerti tentang makna perjalann panjang.
Warungkopi – bawah jendela kamar,
30 November 2010
Syair Seorang Senja
Peristiwa demi peristiwa terurai, sepertinya tak pernah henti.
Terurai seperti puisi ini yang malu-malu mengabarkan tentang diriku yang tengah dimabuk oleh ketakmengertian akan hidup dan kehidupan. Akan tetap i…
Di jalanan
Anak-anak berlarian saling mengejar mendahului mimpi-mimpi, berebut bola seperti memperebutkan kuasa.
Sementara di sini aku bertambah tua dan keriput, digiring usia yang semakin senja.
Aku rindu masa kanak-kanak. Dimanjakan, dibuai sekaligus dibuat menangis lalu ditimang-timang.
Apakah kembali muda adalah kebohongan?
Siapa yang mampu berikan jawab atas tanyaku ini?
Siapa …?!
Waktu bergerak, aku akan hilang ditelan umur, menjadi kembali pada keajaiban sebagai manusia.
Apakah aku kalah?
Karena apa kekalahan ini?
Ow …, penyakit!
Aku sakit dan menderita.
Apakah hanya si Jalang itu saja yang boleh hidup seribu tahun lagi?
Orang-orang sepertiku ini mau diapakan!?
Aku sepi mengulas mimpi dan peristiwa. Terhanyut dalam masa silam yang penuh canda kebahagiaan, berlari, dan berebutan …
Syair ini adalah kesunyian, tentang anugerah hidup.
Bahwa nafas adalah kebahagiaan, usia tua bukanlah kekalahan hanya saja waktu kian dekat memanggil-manggil dari kejauhannya.
Kamar di atas beranda, November 2010
Bela Sungkawa
Secangkir kopi hangat sedikit angkuh di atas meja, sebatang kretek menyala mengepulkan asap seperti keluar dari terowongan maut
Aku gelagapan menghadapinya, Ia tersenyum membuatku waspada
“Ada yang bisa saya bantu?” katanya.
Serak seperti suara Memedi
“Ada yang bisa bantu saya?” tanyaku.
Ia terkekeh mengejek, aku tersenyum cemas
Meremas-remas jemari sambil sesekali membenarkan lipatan map berwarna merah itu
Kubuka perlahan lalu suaranya terdengar lagi
“Kalau mau minta bantuan dana lain kali saja, KAS sedang Kosong!”
Kututup lagi lebih pelan, aku dendam.
“Terima kasih Bapak”
Kuletakkan korek api di atas meja tak tahu Ia
“Permisi Bapak”
Sahutannya datar saja “Ya …”, bersama kepulan asap rokok
Dua langkah menuju ambang pintu bersamaan dengan panggilannya yang lenyap ditelan ledakkan gas bensol aku tersenyum lagi, kali ini dengan segenap ucapan bela sungkawa.
“Bapak Memanggil saya?”
12 Desember 2010
Membakar Malam
Kunyalakan sebatang cigaro dengan korek api lidi
Membakar
Asapnya mengepul lalu pecah bersama nafas
Membentur dinding malam
Agustus, 2010
Sajak Hujan
Derai rerintik jatuh menetes di negeriku yang katanya bertuan baik lagi darmawan
Tanahnya subur
Bayangkan tongkat dan batu saja bisa tumbuh
…???
Januari 2010
Perang Hari Ini
Kawan kau dengar derup buruh melangkah pagi ini melintasi jalan raya yang pedas meski pagi begitu segar
Bendera-bendera merah tercancang kokoh di genggaman
Poster-poster kokoh
Spanduk-sepanduk kokoh menantang angin
Degap jantung mereka menjadi tabuhan yang mengalahkan genderang di medan perang
Teriakan mereka bertenaga dari kantung-kantung diapragma
Dan di hadapan sana telah berdiri pagar betis sembunyi di balik tameng-tameng fiber
Bersandar pada pentungan, bedil senjata, dan satu dua tiga tanki water pomp
Garang paling depan
Adu tanding perang hari ini
Dan kita Cuma jadi penonton, sekaligus juri, sekaligus sutradara yang paling jitu.
Perang hari ini.
Juli, 2010
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.
Selasa, 04 Januari 2011
Sajak-Sajak Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/
Di Jalan Rindu Tak Usah Kau Tunggu Gugur Dedaun
Ujung garis mata lepas memandang
Langit dan laut menyatu, berbincang
Riak ombak mengangkut beribu buih
Adakah tersebut nama Kekasih?
Saat laut mengombak bergelombang
Airmata kemala memungut doa
Menatap ke depan lambaian nyiur merana
Ketam di pantai pergi membawa bimbang
Angin segara berhembus kepegunungan
Di sana tak ada ombak tak ada gelombang
Tapi hujan semalaman gugurkan dedaunan
Menelan suara-suara subuh yang tergoncang
O, laut kau mengombak;bergelombang
O, hujan kau menderas menelan subuh
Bukan harta benda, kekasih
Bukan kemolekan dan jabatan,asmara
Bukan sematamata sujud dan dakwah,cinta
Kelak kualitas kematianku jua sesungguhnya
Kekasih setia
(di tulis saat berayun di tengah laut menuju pulau sumbawa, 25 Nov 2010. Proses editing dalam pengedapan 5 Des 2010)
ke·ma·la n batu yg indah dan bercahaya (berasal dr binatang), banyak khasiatnya dan mengandung kesaktian.
ke·tam n kepiting berkaki enam dan bersepit, hidup di lumpur di tepi pantai, sungai, parit, atau di pematang sawah.
se·ga·ra n laut(an).
Kaukah Itu yang Malammalam Menertawakan Asmara
:Handoko FZ. Surat kepada Malaikat—anginkuamukapi!
angin membawa rindu begitu gemuruh
dedaun yang ada di matamu berebut ranting
mungkinkah masih terdengar kicau nuri
sedang di dinding hati tertulis hidup hanya mimpi
impian indah membuat lupa jalan pulang
impian duka menyalahkan nasib
beribu waktu kau punguti cinta
malammalam atmamu menertawakan asmara
5 Desember 2010
Dalam Poci Teh
sore ini
gerimis meratapi diri
dari poci teh tanah liat
kutuang rindu
yang kau buat untukku
23 November 2010
Di Jalan Rindu Tak Usah Kau Tunggu Gugur Dedaun
Ujung garis mata lepas memandang
Langit dan laut menyatu, berbincang
Riak ombak mengangkut beribu buih
Adakah tersebut nama Kekasih?
Saat laut mengombak bergelombang
Airmata kemala memungut doa
Menatap ke depan lambaian nyiur merana
Ketam di pantai pergi membawa bimbang
Angin segara berhembus kepegunungan
Di sana tak ada ombak tak ada gelombang
Tapi hujan semalaman gugurkan dedaunan
Menelan suara-suara subuh yang tergoncang
O, laut kau mengombak;bergelombang
O, hujan kau menderas menelan subuh
Bukan harta benda, kekasih
Bukan kemolekan dan jabatan,asmara
Bukan sematamata sujud dan dakwah,cinta
Kelak kualitas kematianku jua sesungguhnya
Kekasih setia
(di tulis saat berayun di tengah laut menuju pulau sumbawa, 25 Nov 2010. Proses editing dalam pengedapan 5 Des 2010)
ke·ma·la n batu yg indah dan bercahaya (berasal dr binatang), banyak khasiatnya dan mengandung kesaktian.
ke·tam n kepiting berkaki enam dan bersepit, hidup di lumpur di tepi pantai, sungai, parit, atau di pematang sawah.
se·ga·ra n laut(an).
Kaukah Itu yang Malammalam Menertawakan Asmara
:Handoko FZ. Surat kepada Malaikat—anginkuamukapi!
angin membawa rindu begitu gemuruh
dedaun yang ada di matamu berebut ranting
mungkinkah masih terdengar kicau nuri
sedang di dinding hati tertulis hidup hanya mimpi
impian indah membuat lupa jalan pulang
impian duka menyalahkan nasib
beribu waktu kau punguti cinta
malammalam atmamu menertawakan asmara
5 Desember 2010
Dalam Poci Teh
sore ini
gerimis meratapi diri
dari poci teh tanah liat
kutuang rindu
yang kau buat untukku
23 November 2010
Sajak-Sajak Heri Latief
http://sastra-indonesia.com/
Orba Formalin
kerna kita dibodohin dan miskin
kita senang makanan berformalin
begitulah nasibnya rakyat melarat
makan nasi kucing dan minum air hujan
siapa peduli punya nyali turun ke jalan?
Amsterdam, 25/11/2010
Mata Air
mengulang cerita
sayangku kutuklah cinta
setiap pagi kereta penuh sesak penumpang
berdesakan orang mencari kebahagiaan
setiap stasiun harapan ditinggalkan
dan jangan terlalu banyak bermimpi sayang
mendulang syair
sajaknya mata air
Amsterdam, 24/11/2010
Muara Cintamu
berkaca pada masa lalu
kenanganmu disimpan dimana?
namanya juga sepotong cerita tanpa koma
katanya, mengalir dari segunung harapan ke muara cinta
jangan percaya pada rayuan seribu satu janji
lupa tersihir senyum berbisa sayang
pada suatu pagi di bukit api
mendung menantang hujan membuka diri
rindumu sepi di sajak embun pagi
Amsterdam, 23/11/2010
Sajak buat kawan
: Asep Sambodja
di kaki gunung merapi
dingin malam di awal musim hujan ini
kawan, kenangan itu memanggilnya
rembulan mempesona batinnya
terbacalah sebaris syair sajaknya
refleksi diri dalam hidup sederhana
kita ada kerna kita mencatat kejadian
jatuh bangun perjuangan anak bangsa
melukiskan pengalaman di kanvas kehidupan
: tetap semangat membela keadilan!
Amsterdam, 22/11/2010
Asep
jauh di sana, di dekat jogja, kawanku asep sambodja sedang terbaring sakit berat. asep adalah penyair yg kukenal sejak akhir tahun 2000 di milis penyair (nanang suryadi).
beberapa kali aku jumpa asep d jakarta, kita pernah nongkrong bersama istrinya yuni di pinggir jalan di depan tim (cikini), ngobrol sembari ngopi dalam suasana yang akrab.
asep itu kawan yang asik diajak bicara soal sastra dan politik. asep pernah menulis esai tentang kumpulan puisiku “ilusiminimalis” (2003).
asep itu penyair yang punya ijasah sarjana sastra (ui), tulisannya yang terakhir banyak mengulas soal “lekra”.
asep kawanku, smoga kau kuat menghadapi cobaan hidup ini, tetaplah semangat!?
Amsterdam, 23112010
Orba Formalin
kerna kita dibodohin dan miskin
kita senang makanan berformalin
begitulah nasibnya rakyat melarat
makan nasi kucing dan minum air hujan
siapa peduli punya nyali turun ke jalan?
Amsterdam, 25/11/2010
Mata Air
mengulang cerita
sayangku kutuklah cinta
setiap pagi kereta penuh sesak penumpang
berdesakan orang mencari kebahagiaan
setiap stasiun harapan ditinggalkan
dan jangan terlalu banyak bermimpi sayang
mendulang syair
sajaknya mata air
Amsterdam, 24/11/2010
Muara Cintamu
berkaca pada masa lalu
kenanganmu disimpan dimana?
namanya juga sepotong cerita tanpa koma
katanya, mengalir dari segunung harapan ke muara cinta
jangan percaya pada rayuan seribu satu janji
lupa tersihir senyum berbisa sayang
pada suatu pagi di bukit api
mendung menantang hujan membuka diri
rindumu sepi di sajak embun pagi
Amsterdam, 23/11/2010
Sajak buat kawan
: Asep Sambodja
di kaki gunung merapi
dingin malam di awal musim hujan ini
kawan, kenangan itu memanggilnya
rembulan mempesona batinnya
terbacalah sebaris syair sajaknya
refleksi diri dalam hidup sederhana
kita ada kerna kita mencatat kejadian
jatuh bangun perjuangan anak bangsa
melukiskan pengalaman di kanvas kehidupan
: tetap semangat membela keadilan!
Amsterdam, 22/11/2010
Asep
jauh di sana, di dekat jogja, kawanku asep sambodja sedang terbaring sakit berat. asep adalah penyair yg kukenal sejak akhir tahun 2000 di milis penyair (nanang suryadi).
beberapa kali aku jumpa asep d jakarta, kita pernah nongkrong bersama istrinya yuni di pinggir jalan di depan tim (cikini), ngobrol sembari ngopi dalam suasana yang akrab.
asep itu kawan yang asik diajak bicara soal sastra dan politik. asep pernah menulis esai tentang kumpulan puisiku “ilusiminimalis” (2003).
asep itu penyair yang punya ijasah sarjana sastra (ui), tulisannya yang terakhir banyak mengulas soal “lekra”.
asep kawanku, smoga kau kuat menghadapi cobaan hidup ini, tetaplah semangat!?
Amsterdam, 23112010
Sajak-Sajak Heri Listianto
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
DALAM BALUTAN PERTIWI
Suara angin malam ini,
mengeja langkah mereka
yang berjalan tanpa kawan
sudah lama jiwa menanti semangat kalian
baju merah darah
dengan tali Negara,
kusam berbau nyawa.
Oh bumi
sampaikan salamku
pada ratu-ratu Negara
yang kau kandung selama ini
sebagai salam rindu perjuangan.
Surabaya , 10 Nov 2009
LIMPANG-LIMPUNG
Melandai diatas lantai
Badan kurus bergelimpungan lapar
Duri – duri semu berkata tak jelas
Menggulung pendapat-pendapat bodoh
Diam…! (katanya )
“kalian hanya meringis tak hajat “
ia berkepala tenang
menyelubungi kosa-kosa kata
yang hamper hilang
mereka terdiam kaku ditempat terpaku
sampai asap hutan
berontak menghadap kiblat.
28 Nov 2005
TINGKAI-TINGKAI TIKAR
Pada benih-benih malam yang diam
Menepuk tikar senja
Mataku berkedip melamun lelah
Kunci –kunci anehpun
Menggulung baja subuh yang tidur angkuh
Luntur…!
Hancur….!
Puncak merapi yang tidur disebelah tangan
Karena tahun malaikat
Berubah lelah
21 Okt 2005
KELANA HARI ASMARA
Dari ribuan debu asing
Yang berlari sepi
Membuat pijaran kataku
Menyapa sedikit luapan harum wajah cantik.
Entah rasa apa yang lewat
Berkata pelan
Kala tahun ini muncul,
Datang menyapa kita untuk berkenalan
Lautan angkuhpun
Kusiram dengan seteguk air telaga cinta
Untuk dikau kasih
Karena tahun telah berganti
17 Okt 2005
DALAM BALUTAN PERTIWI
Suara angin malam ini,
mengeja langkah mereka
yang berjalan tanpa kawan
sudah lama jiwa menanti semangat kalian
baju merah darah
dengan tali Negara,
kusam berbau nyawa.
Oh bumi
sampaikan salamku
pada ratu-ratu Negara
yang kau kandung selama ini
sebagai salam rindu perjuangan.
Surabaya , 10 Nov 2009
LIMPANG-LIMPUNG
Melandai diatas lantai
Badan kurus bergelimpungan lapar
Duri – duri semu berkata tak jelas
Menggulung pendapat-pendapat bodoh
Diam…! (katanya )
“kalian hanya meringis tak hajat “
ia berkepala tenang
menyelubungi kosa-kosa kata
yang hamper hilang
mereka terdiam kaku ditempat terpaku
sampai asap hutan
berontak menghadap kiblat.
28 Nov 2005
TINGKAI-TINGKAI TIKAR
Pada benih-benih malam yang diam
Menepuk tikar senja
Mataku berkedip melamun lelah
Kunci –kunci anehpun
Menggulung baja subuh yang tidur angkuh
Luntur…!
Hancur….!
Puncak merapi yang tidur disebelah tangan
Karena tahun malaikat
Berubah lelah
21 Okt 2005
KELANA HARI ASMARA
Dari ribuan debu asing
Yang berlari sepi
Membuat pijaran kataku
Menyapa sedikit luapan harum wajah cantik.
Entah rasa apa yang lewat
Berkata pelan
Kala tahun ini muncul,
Datang menyapa kita untuk berkenalan
Lautan angkuhpun
Kusiram dengan seteguk air telaga cinta
Untuk dikau kasih
Karena tahun telah berganti
17 Okt 2005
Sajak-Sajak Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/
Orang-Orang Percaya
Kau tak menyebut Nama-Ku, kau menyebut namamu
(Gatoloco, Goenawan Mohammad)
mereka menyebut kami
salah jalan,
kami menyebut mereka
sungsang
mereka mengatai kami
mengada-ada
kami mengatai mereka
tak tahu kedalaman
mereka menghakimi kami
sesat
kami menghakimi mereka
“wow hebat”
gelap adalah bukan karena tak ada cahaya tapi gelap
adalah ketika cahaya kami tidak sama dengan cahaya mereka
sesat adalah bukan karena jalan kami tak menuju kepada Nya tapi
sesat adalah ketika jalan kami berbeda dengan jalan mereka
begitulah dunia kami berpercaya
seperti telah menjadi kaki dan tanganNya
seperti telah menjadi mata dan telingaNya
begitulah dunia kami berpercaya
seperti iklan sebuah komoditi di televisi
ketika semua berkata ”kamilah yang paling utama, hanya kami yang paling……..”
Gresik, 2009
Musim Menyebut-Nyebut Kebaikan
ketika telah tiba musim menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan sendiri sungguh dia menjadi ragu tentang kebenaran ajaran untuk melupakan kebaikan-kebaikan dan mengingat-ingat ketidakbaikan diri sendiri.
dengan pikiran masih dalam keheranan dia melihat mereka yang menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan diri sendiri mereka menggunakan topi-topi yang mereka kenakan dipanggung-keramaian untuk menahan panas terik gunjingan.
lalu, dia mencatat ada berbagai merek topi terkenal yang mereka kenakan mulai dari topi merek: brengsek, sialan, ………dan beberapa merek terkenal berbahasa lokal dan asing: pukimak, damned, bastard………..
ah, sungguh semua sangat pas, serasi, dan cocok dengan topi-topi yang mereka kenakan sambil membual tentang penderitaan-penderitaan yang tak mereka rasakan dan janji-janji yang segera mereka lupakan.
Gresik, 14 April 2009
Tuhan, Candu, dan Teka-Teki
Syahdan ada seorang Pencari di sapa Nya justru saat dalam mimpi setelah hampir 70 tahun terjaga pada malam-malam gulita ingin menatap Nya.
Namun entah kenapa ada seorang Penyair menulis dalam sajaknya bahwa Tuhan itu selalu mengekalkan teka-teki yang mengelak di setiap ujung argumentasi.
Mungkin benar pendapat seorang Pemikir bahwa Tuhan itu seperti candu membuat mabuk dan ketagihan pada orang-orang yang tidak (sekedar) percaya.
Sedangkan dia yang bukan Pencari, Penyair, maupun Pemikir masih disini, mencandui teka-teki Tuhan sambil mengukur seberapa jarak telah ditempuh sedang langkah – langkah kecil masih begitu jauh.
Gresik, 5 Mei 2009
Kota Atas
di lereng-lereng perbukitan kami bangun tembok-tembok kesunyian sebagai tempat kami berteduh dari panas teriknya benak kami dan deras hujan yang mengguyur dari mata-mata kami.
lalu, dalam keteduhannya sepanjang petang setelah pulang membanting tulang kami pun belajar memahami hiruk-pikuk benak kami sendiri yang kerap dibanjiri oleh berbagai arus deras ilusi dan delusi yang selalu menyeret kami pada jalan buntu dan jalan pintas.
dari tembok-tembok kesunyian itu kami belajar menyelami hati kami sendiri yang dipahit-asinkan oleh rob yang selalu datang ketika laut pasang menenggelamkan jalan-jalan lurus yang kami lalui dalam menempuh perjalanan panjang kehidupan.
dalam tembok-tembok kesunyian diatas lereng-lereng perbukitan membuat kami tak selalu menengadah lagi, hanya menunduk melihat dari ketinggian tentang sebuah peta buram perjalanan menuju keharibaan.
Semarang, Maret 2009
Kota Tua
SEPERTI seorang cucu setia engkau pun mengunjunginya ingin mendengar sebuah cerita tentang kenangan kejayaan dan kejatuhan, kemewahan dan kemiskinan, kebahagiaan dan penderitaan dikisahkan oleh relief-relief tak kasat mata pada tugu-tugu tua dan tebal dinding-dinding kusam kota agar ketika engkau seperti dia, menjadi PAK TUA semakin jelas dapat membedakan antara BERANDA; (yang artinya suatu tempat untuk mengenangkan segala lukaduka) dan KERANDA; (yang artinya sebuah tempat untuk mengantar engkau melupakan segala lukaduka).
Lalu engkau pun semakin memahami bahwa ketika engkau menjadi beku semati tugu-tugu itu hanya ada tugu-tugu kecil sebagai penanda engkau telah melupakan setiap lekuk-lekuk luka yang engkau goreskan ke hati sendiri tanpa tersadari.
Semarang, Februari 2009
Jalan Sunyi
Tuhanku
bila sepanjang nafasku
adalah lukaduka
dimanakah
Engkau gantungkan
kurnia bahagia
sedangkan wajahMu
tak berisyarat
di matajiwa
Tuhanku
di jalanMu aku tetap
melangkah meski masih
sering berpaling
Januari 2009
Orang-Orang Percaya
Kau tak menyebut Nama-Ku, kau menyebut namamu
(Gatoloco, Goenawan Mohammad)
mereka menyebut kami
salah jalan,
kami menyebut mereka
sungsang
mereka mengatai kami
mengada-ada
kami mengatai mereka
tak tahu kedalaman
mereka menghakimi kami
sesat
kami menghakimi mereka
“wow hebat”
gelap adalah bukan karena tak ada cahaya tapi gelap
adalah ketika cahaya kami tidak sama dengan cahaya mereka
sesat adalah bukan karena jalan kami tak menuju kepada Nya tapi
sesat adalah ketika jalan kami berbeda dengan jalan mereka
begitulah dunia kami berpercaya
seperti telah menjadi kaki dan tanganNya
seperti telah menjadi mata dan telingaNya
begitulah dunia kami berpercaya
seperti iklan sebuah komoditi di televisi
ketika semua berkata ”kamilah yang paling utama, hanya kami yang paling……..”
Gresik, 2009
Musim Menyebut-Nyebut Kebaikan
ketika telah tiba musim menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan sendiri sungguh dia menjadi ragu tentang kebenaran ajaran untuk melupakan kebaikan-kebaikan dan mengingat-ingat ketidakbaikan diri sendiri.
dengan pikiran masih dalam keheranan dia melihat mereka yang menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan diri sendiri mereka menggunakan topi-topi yang mereka kenakan dipanggung-keramaian untuk menahan panas terik gunjingan.
lalu, dia mencatat ada berbagai merek topi terkenal yang mereka kenakan mulai dari topi merek: brengsek, sialan, ………dan beberapa merek terkenal berbahasa lokal dan asing: pukimak, damned, bastard………..
ah, sungguh semua sangat pas, serasi, dan cocok dengan topi-topi yang mereka kenakan sambil membual tentang penderitaan-penderitaan yang tak mereka rasakan dan janji-janji yang segera mereka lupakan.
Gresik, 14 April 2009
Tuhan, Candu, dan Teka-Teki
Syahdan ada seorang Pencari di sapa Nya justru saat dalam mimpi setelah hampir 70 tahun terjaga pada malam-malam gulita ingin menatap Nya.
Namun entah kenapa ada seorang Penyair menulis dalam sajaknya bahwa Tuhan itu selalu mengekalkan teka-teki yang mengelak di setiap ujung argumentasi.
Mungkin benar pendapat seorang Pemikir bahwa Tuhan itu seperti candu membuat mabuk dan ketagihan pada orang-orang yang tidak (sekedar) percaya.
Sedangkan dia yang bukan Pencari, Penyair, maupun Pemikir masih disini, mencandui teka-teki Tuhan sambil mengukur seberapa jarak telah ditempuh sedang langkah – langkah kecil masih begitu jauh.
Gresik, 5 Mei 2009
Kota Atas
di lereng-lereng perbukitan kami bangun tembok-tembok kesunyian sebagai tempat kami berteduh dari panas teriknya benak kami dan deras hujan yang mengguyur dari mata-mata kami.
lalu, dalam keteduhannya sepanjang petang setelah pulang membanting tulang kami pun belajar memahami hiruk-pikuk benak kami sendiri yang kerap dibanjiri oleh berbagai arus deras ilusi dan delusi yang selalu menyeret kami pada jalan buntu dan jalan pintas.
dari tembok-tembok kesunyian itu kami belajar menyelami hati kami sendiri yang dipahit-asinkan oleh rob yang selalu datang ketika laut pasang menenggelamkan jalan-jalan lurus yang kami lalui dalam menempuh perjalanan panjang kehidupan.
dalam tembok-tembok kesunyian diatas lereng-lereng perbukitan membuat kami tak selalu menengadah lagi, hanya menunduk melihat dari ketinggian tentang sebuah peta buram perjalanan menuju keharibaan.
Semarang, Maret 2009
Kota Tua
SEPERTI seorang cucu setia engkau pun mengunjunginya ingin mendengar sebuah cerita tentang kenangan kejayaan dan kejatuhan, kemewahan dan kemiskinan, kebahagiaan dan penderitaan dikisahkan oleh relief-relief tak kasat mata pada tugu-tugu tua dan tebal dinding-dinding kusam kota agar ketika engkau seperti dia, menjadi PAK TUA semakin jelas dapat membedakan antara BERANDA; (yang artinya suatu tempat untuk mengenangkan segala lukaduka) dan KERANDA; (yang artinya sebuah tempat untuk mengantar engkau melupakan segala lukaduka).
Lalu engkau pun semakin memahami bahwa ketika engkau menjadi beku semati tugu-tugu itu hanya ada tugu-tugu kecil sebagai penanda engkau telah melupakan setiap lekuk-lekuk luka yang engkau goreskan ke hati sendiri tanpa tersadari.
Semarang, Februari 2009
Jalan Sunyi
Tuhanku
bila sepanjang nafasku
adalah lukaduka
dimanakah
Engkau gantungkan
kurnia bahagia
sedangkan wajahMu
tak berisyarat
di matajiwa
Tuhanku
di jalanMu aku tetap
melangkah meski masih
sering berpaling
Januari 2009
KESUNYIAN SANG PUJANGGA
Kepada almarhum Suryanto Sastroatmodjo
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=662
Pujangga itu
mendiami lembah pekabutan kemanusiaan
gema suaranya memantul
ke dinding-dinding karang peradaban.
Ia tak kehabisan kehendak, tapi di sanalah telempapnya
kala kita tak sanggup menjangkau kelembutan sukma.
Ia telanjang bagaikan batu-batu diguyur deras hujan
juga sengatan matahari kesadaran.
Yang melihat lelangkahnya di tengah kota sekadar wujud,
kita tiada daya bercakap, manakala anggukan membuyar.
Waktu selalu merawat dirinya beserta alam kelembutan
isyarat angin serupa ibunda mengamatinya penuh takjub
kala ia melantunkan kata-kata menyayat-nyayat bathin
bebatuan kerikil berserak, deru hiruk-pikuk keramaian.
Ia mendamba mendayung alam ke muara sentausa
sedekahnya bersandar pada gundukan batu besar,
kepala berbaring itu, mengisi nyanyian renungan
saat berdiri, bencah moyang beri restu kerelaan.
Tampak kepanditaan hadir tidak butuhkan apa-apa
hanya yang tercurah sedari langit dirinya tengadah
kuasa-Nya dijangkau kalbu terdekat, kasih insani.
Kerinduan merengkuh sesyairan lelaku nasibnya
kangen bermelodi kesegaran air mengucur. Oh…
gemerincing alunan jiwa tak henti lafalkan mantra.
Tetumbuhan memberi petuah
bagi ruh-ruh kepekaan
menceburkan diri
dalam belahan dada ranum menampung rahmah.
Jalan dilalui, dedaun menyapa bebulu sayap mengepak
membisikkan kalimah yang terdapati tak terekam indra.
Dan tiap denyutan darahnya bersimpan peristiwa
aliran-alirannya tampak jernih sebening hatinya.
Pandangannya menembus jauh tak hilang kendali,
persaksiannya menggedor tanjung-tanjung sukma
pribadinya terkandung unsur-unsur kelembutan
ulet seserat-serat pohon mewangi kehidupan.
Rambutnya tergerai memantulkan sinar mahkota
tiadalah terlihat mewah, tampak segar sederhana
benda serta makna, fitroh teremban hikayat-hayat.
Ia terima, mendapati kulit tubuhnya langsat
sentuhan halus bayu pertiwi
senafas bayi-bayi menghidupi rumput
tiupan terisi nikmat
di kedalaman jiwamu tak tersentuh.
Di sanalah kita temukan diri, arah-arah terpampang
perlihatkan pribadi, kala kita mencipta kasih sayang.
Kala berjalan tiada dapati bayangan, dirinya tersembunyi
tertunduk santun mematung merasai cahaya rasa malu,
kekhusyukkan menyendiri dalam selubung keduniawian
terpisah sedari bebauan asap dupa pujaan.
Ia bergegas saat orang-orang berbondong meminta
ialah bukan berlari tanggung jawab, tetapi sungguh
sungkan memantul balik dalam diri masing-masing
mendiami sunyi petuah.
Pantulannya seolah angkuh saat melihat penuh iri
tetapi, lagi-lagi nalar buruk terpatahkan
menyelai lelapisan persoalan.
Ia terbiasa mengupas jiwa-jiwa menjelma pancaran hayat
dengus suara kaki-kaki melangkah pada gumam panjang,
bathin bernafas sesama, siuman dari kemabukan bayang.
Yang melihatnya dimaknai menerus, ia tegur pelahan.
Oh… tubuh telanjang lebur dalam hawa sedap malam
burung-burung melihatnya terbalut sutra kehormatan
:yang tampak ialah penipuan-penipuan.
Tidakkah niatan jernih takkan terbodohi
merawat kebeningan sampai ujung di balik pandang.
Bergetarlah jiwa-jiwa jujur mendaki cahaya kesadaran
gerak terdalam berkaki pusaran, jenjang ditentukan
pekabutan tak menyilaukan mata memberi kelegaan.
Yang diidamkan ikhlas menerima manis-getir dilalui,
ia tak menyangkal ada memberi tempat tak berkenan.
Sungguh lembut memasuki lubang jarum merajut artian
tak bakal miliki sukma pendendam, nyala bukan ambisi
namun menaklukkan air mata menjelma batu permata.
Butiran garam diterjang ombak bathin bergelora
karang terbesar menampung ruang-ruang mungkin
hikmah tinggi cakrawakla tabah berlatih kesungguhan.
Huruf-huruf terdiam mengeluarkan daya
sedari sarang langit mewujud pengajaran
lintang-gemintang cerlangkan mata angin.
Kesemangatan tentram berlabuh pengetahuan,
bukan dalam batok kepala menyimpan kekayaan,
perbendaharaan tersembunyi dalam kalbu insan.
Nurani terbimbing pada keheningan kasih menghujam
kesungguhan tekad ketetapan niat cemerlangkan akal,
menilik setiap pijakan hati berkaca dibawa jernih fikiran
di balik tanda terdapat ruang-ruang menanggung makna.
Bukan hendak mengisi semua penuh bobot
yang berharga tergali serupa ricik-gemericik
siapa melewatinya mendapati petikan hikmah
bebuah ranum hasil kekangan musim-musim
menyuguhkan pribadi diterima lapang dada.
Mungkin alunan-alunan ini dikau bilang menjemukan
saat penalaran menjangkau tak berkendara kesucian
atau pencarian sungguh, namun tak didasari niatan.
Malam hadir, meliuk bertarian unggun penciptaan;
ia bakar kesepian, alam rindu gagasan-gagasannya.
Bersiaplah menempa anak-anak di kesenyapan kangen,
kadang malam larut jauhkan nyala api rindu penciptaan
diajaknya dahaga dalam kebisuan pencarian keyakinan.
Perenungan lelangkah hening tempaan pelaku hayati
membawanya ke selubung sunyi mewarta kelembutan,
bibir-bibir kabut mengatup dalam rongga-rongga nafas.
Bathin petapa mengombak di lautan kata-kata mewaktu
ia meringkuk di tepi jalan, sering di luar pintu tertutup.
Ia tak menunggu siapa-siapa, jiwanya tidak tergopoh,
hangat pencariannya menceburkan diri di telaga kasih.
Oh yang berendam di sendang, minumlah seteguk
mengingatkan usiamu dalam perimbangan jiwamu
kesaksian hayat, terbuhul wewarna pelita rahmat.
Ia tak bermaksud melukis kesenyapan nan gaib,
tapi mengangkat bertangan lembut tak tersentuh.
Lamur mengembun di kulit lenganmu bukan kelalaian,
keterjagaan santun antara tak pedulikan malam berbagi
kekuncup abadi, tawarkan rindumu ke peraduan hangat.
Sesekali menghisap batang rokok penuh tarikan dalam
nafas-nafas ingatkan masa lalu, menggali ikhwal terlewat.
Pagi terbuka kekayaan, kau bertamu di kediamannya
paling muskil mencipta sunyi memberat serasa ringan,
melantunkan mungkin di kepalamu nan selalu bertaya
akan gaib kehidupan.
Ini percakapan meleburkan setia, yang merindu
mengajak jiwamu terbang ke tlatah ditaksirkan
batas kebekuan memancar, tenggelamkan kenang
menggugah dakian penciptaan.
Lelapisan itu menggubah kesabaran ingatan
kekisah mempercayai mimpi mengajak teridam
kepurnaan waktu lahirnya derajad kehendak sesama,
malam-siang melarut jiwamu mengikuti nafas kehadiran.
Ini sepantun hening memaklumatkan pergumulan,
penyatuan ruh batas alam mengangkat keluputan
menjelma sayap membimbing nafas ke peraduan.
Senjakala melangkahi lika-liku kesuburan, mata bathin
mengenyam gending kepada lereng pesawahan Dwipa.
Berilah kesaksian jasad kalimah-kalimah ini,
menderas sealunan ditabuh waktu-waktu lalu.
Patahan terberi, bukan pemaksaan bathin serampang.
Sejak keteringatan wajah-wajah hampir menyerupaimu,
ketampanan santun bersahabat, maha guru paling bijak.
Jiwaku ini tertambat lelangkah paling akrab,
tekat melumurkan wewaktu di masa-masa intim
teruskan limpahan berkah tak habis ditelan lelah.
Keringat dingin menambah puncak kesaksianmu
langit-laut hadirkan birunya gelombang ke pantai
berbulir-bulirnya garam menuju ceruk perenungan.
Pedesaan menanti kita, lebur pada kesaksian syahdu
gemintang di cakrawala menandaskan hayat dimaknai,
selendang menari di lengan kasihmu menarik sahabat
bagaikan sesyairan sampur para penari waktu.
Di kemanakan batas biru memberi keabadian tarian
jiwa-tubuh bergetar, bebulu sayap terangkat sukma
tengadah nafas berhembus menggebu menuruti lagu.
Bukan keinginan semua terhampar, dilewati perjanjian
melumuri tarian tinta mata pena setajam malam terjaga.
Ini titah pujangga, melambari kasihmu berkeyakinan
memandangi lekuk perjalanan terawat setiap penanda
terangkat pemaknaan wewaktu dipersiapkan bagimu.
Usiamu tertelan semangat kata menembus kebisuan
merangsek naluri pada saksi semula, kerinduan kasih.
Tarikan nafasmu perjelas perbedaan mengenyam ragu
merawat kesunyian berabad-abad memperbesarmu.
Keterpisahan tak, masa-masa dilalui tempaan abadi
manakala kegusaran merenggut perjuangan kembali,
kehendak dicitakan itu, dilakoninya bermakna titisan.
Wewaktu mematangkan kulit keriput pepohon Jati
tegak mengeras menerobos musim dedaun rontok
kemuncul lestari menandaskan tubuh matang jiwa
serat-serat pohon Waru dengan otot-otot terjaga
berbagi pergantian jaman menghujami makna.
Hujan deras menggigit, kebangkitan berulang
bayu tuah berhembus jiwamu meloloskan diri
kepada semburat jingga senjakala
yang memawarkan rindumu
dalam pelukan cakrawala.
Perjumpaan penalaran, mewartakan tekadmu
ditandaskan malam purnama ditarik pelayarnya
menyeberangi wengi pelik lewati nyanyian pesisir.
Antara nafas langgeng, kesantausaan irama imbang
melingkupi yang dihendaki kepada gagasan gemilang.
Mata membaca kalimah berita merasai jiwa
mengeja kehausan kehendak hadir tiba-tiba
kerelaan tersiar-terkembang di pedalaman.
Ketika arungi kesyahduan, keayuan alam bercahaya
keteguhan mengawal jiwamu; para prajurut menjaga
kala sang raja berpelesiran ke negeri jauh tanpa kuasa.
Ia hentikan derap kudanya, menyusuri jalan sendiri
oleh semua penglihatan buyar menjelma kepasrahan.
Kemiskinan itu tangga tingkatan tertinggi kehidupan,
serupa rasa demam mencapai kesaksian tak terbantah.
Ini peleburan kenang, terbakar sajak di tungku setia
memperbaharui wujud abu dalam tumbukan sesal,
sengaja mencari-cari butiran halus kelembutan hati.
Kalimah bukan penampung rupa bejana, air tak terukur
saat tak secangkir pengharapan, tapi niatmu manunggal
kata-kata lebur menguap, butirannya di dedaun kalbu
tersuling sedari keraguan ditandaskan sakit berulang.
Kesaksian hadir membaca alamat-alamat berkelebat
raut-raut bertengger di dedahan menanti panggilan
merunduk penuh santun berdedaun Salam gugur.
Kembang kemuncul ketabahan,
kiranya bebuah ranum mewangi
semua tidak kuasa tidak tengadah,
memetiknya bagi lambung kembara.
Keyakinan perbaharui jiwamu pada pagi kebugaran
menelusupi pori-porimu, perjalanan berulang dinilai.
Ditata laiknya bebatuan candi di pegunungan puja
letak peribadatan bergumul seirama para penyaksi.
Dan keterbatasan membetulkan lelangkahmu memilih
agar tak terbebani di persimpang bathin teridam hayat
memakmurkan sesama.
Manakala demam berkurang persaksianmu yakin
bergumul kalbu rindu dalam gelayutan mesra,
semisal purnama di tengah pencarian wengi.
Malam menjamah gurun pada kulit getarkan jiwamu
terpesona jagad hatimu oleh kesantunan sang resi
dalam menapaki tangga kekabutan menanjak
membebaskan bayang sedari tubuh keraguan.
Yang pantas bertengger di ubun-ubun kesenyapan abadi
tahap dilalui beserta unsur pribadi berkeagungan rasa
kepurnaan gagasan membeletat sesama, tiada terlupa
kaki-kaki tersandung batu, rerumputan terinjak menghijau.
17 Februari 2008, Lamongan, Jawa.
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=662
Pujangga itu
mendiami lembah pekabutan kemanusiaan
gema suaranya memantul
ke dinding-dinding karang peradaban.
Ia tak kehabisan kehendak, tapi di sanalah telempapnya
kala kita tak sanggup menjangkau kelembutan sukma.
Ia telanjang bagaikan batu-batu diguyur deras hujan
juga sengatan matahari kesadaran.
Yang melihat lelangkahnya di tengah kota sekadar wujud,
kita tiada daya bercakap, manakala anggukan membuyar.
Waktu selalu merawat dirinya beserta alam kelembutan
isyarat angin serupa ibunda mengamatinya penuh takjub
kala ia melantunkan kata-kata menyayat-nyayat bathin
bebatuan kerikil berserak, deru hiruk-pikuk keramaian.
Ia mendamba mendayung alam ke muara sentausa
sedekahnya bersandar pada gundukan batu besar,
kepala berbaring itu, mengisi nyanyian renungan
saat berdiri, bencah moyang beri restu kerelaan.
Tampak kepanditaan hadir tidak butuhkan apa-apa
hanya yang tercurah sedari langit dirinya tengadah
kuasa-Nya dijangkau kalbu terdekat, kasih insani.
Kerinduan merengkuh sesyairan lelaku nasibnya
kangen bermelodi kesegaran air mengucur. Oh…
gemerincing alunan jiwa tak henti lafalkan mantra.
Tetumbuhan memberi petuah
bagi ruh-ruh kepekaan
menceburkan diri
dalam belahan dada ranum menampung rahmah.
Jalan dilalui, dedaun menyapa bebulu sayap mengepak
membisikkan kalimah yang terdapati tak terekam indra.
Dan tiap denyutan darahnya bersimpan peristiwa
aliran-alirannya tampak jernih sebening hatinya.
Pandangannya menembus jauh tak hilang kendali,
persaksiannya menggedor tanjung-tanjung sukma
pribadinya terkandung unsur-unsur kelembutan
ulet seserat-serat pohon mewangi kehidupan.
Rambutnya tergerai memantulkan sinar mahkota
tiadalah terlihat mewah, tampak segar sederhana
benda serta makna, fitroh teremban hikayat-hayat.
Ia terima, mendapati kulit tubuhnya langsat
sentuhan halus bayu pertiwi
senafas bayi-bayi menghidupi rumput
tiupan terisi nikmat
di kedalaman jiwamu tak tersentuh.
Di sanalah kita temukan diri, arah-arah terpampang
perlihatkan pribadi, kala kita mencipta kasih sayang.
Kala berjalan tiada dapati bayangan, dirinya tersembunyi
tertunduk santun mematung merasai cahaya rasa malu,
kekhusyukkan menyendiri dalam selubung keduniawian
terpisah sedari bebauan asap dupa pujaan.
Ia bergegas saat orang-orang berbondong meminta
ialah bukan berlari tanggung jawab, tetapi sungguh
sungkan memantul balik dalam diri masing-masing
mendiami sunyi petuah.
Pantulannya seolah angkuh saat melihat penuh iri
tetapi, lagi-lagi nalar buruk terpatahkan
menyelai lelapisan persoalan.
Ia terbiasa mengupas jiwa-jiwa menjelma pancaran hayat
dengus suara kaki-kaki melangkah pada gumam panjang,
bathin bernafas sesama, siuman dari kemabukan bayang.
Yang melihatnya dimaknai menerus, ia tegur pelahan.
Oh… tubuh telanjang lebur dalam hawa sedap malam
burung-burung melihatnya terbalut sutra kehormatan
:yang tampak ialah penipuan-penipuan.
Tidakkah niatan jernih takkan terbodohi
merawat kebeningan sampai ujung di balik pandang.
Bergetarlah jiwa-jiwa jujur mendaki cahaya kesadaran
gerak terdalam berkaki pusaran, jenjang ditentukan
pekabutan tak menyilaukan mata memberi kelegaan.
Yang diidamkan ikhlas menerima manis-getir dilalui,
ia tak menyangkal ada memberi tempat tak berkenan.
Sungguh lembut memasuki lubang jarum merajut artian
tak bakal miliki sukma pendendam, nyala bukan ambisi
namun menaklukkan air mata menjelma batu permata.
Butiran garam diterjang ombak bathin bergelora
karang terbesar menampung ruang-ruang mungkin
hikmah tinggi cakrawakla tabah berlatih kesungguhan.
Huruf-huruf terdiam mengeluarkan daya
sedari sarang langit mewujud pengajaran
lintang-gemintang cerlangkan mata angin.
Kesemangatan tentram berlabuh pengetahuan,
bukan dalam batok kepala menyimpan kekayaan,
perbendaharaan tersembunyi dalam kalbu insan.
Nurani terbimbing pada keheningan kasih menghujam
kesungguhan tekad ketetapan niat cemerlangkan akal,
menilik setiap pijakan hati berkaca dibawa jernih fikiran
di balik tanda terdapat ruang-ruang menanggung makna.
Bukan hendak mengisi semua penuh bobot
yang berharga tergali serupa ricik-gemericik
siapa melewatinya mendapati petikan hikmah
bebuah ranum hasil kekangan musim-musim
menyuguhkan pribadi diterima lapang dada.
Mungkin alunan-alunan ini dikau bilang menjemukan
saat penalaran menjangkau tak berkendara kesucian
atau pencarian sungguh, namun tak didasari niatan.
Malam hadir, meliuk bertarian unggun penciptaan;
ia bakar kesepian, alam rindu gagasan-gagasannya.
Bersiaplah menempa anak-anak di kesenyapan kangen,
kadang malam larut jauhkan nyala api rindu penciptaan
diajaknya dahaga dalam kebisuan pencarian keyakinan.
Perenungan lelangkah hening tempaan pelaku hayati
membawanya ke selubung sunyi mewarta kelembutan,
bibir-bibir kabut mengatup dalam rongga-rongga nafas.
Bathin petapa mengombak di lautan kata-kata mewaktu
ia meringkuk di tepi jalan, sering di luar pintu tertutup.
Ia tak menunggu siapa-siapa, jiwanya tidak tergopoh,
hangat pencariannya menceburkan diri di telaga kasih.
Oh yang berendam di sendang, minumlah seteguk
mengingatkan usiamu dalam perimbangan jiwamu
kesaksian hayat, terbuhul wewarna pelita rahmat.
Ia tak bermaksud melukis kesenyapan nan gaib,
tapi mengangkat bertangan lembut tak tersentuh.
Lamur mengembun di kulit lenganmu bukan kelalaian,
keterjagaan santun antara tak pedulikan malam berbagi
kekuncup abadi, tawarkan rindumu ke peraduan hangat.
Sesekali menghisap batang rokok penuh tarikan dalam
nafas-nafas ingatkan masa lalu, menggali ikhwal terlewat.
Pagi terbuka kekayaan, kau bertamu di kediamannya
paling muskil mencipta sunyi memberat serasa ringan,
melantunkan mungkin di kepalamu nan selalu bertaya
akan gaib kehidupan.
Ini percakapan meleburkan setia, yang merindu
mengajak jiwamu terbang ke tlatah ditaksirkan
batas kebekuan memancar, tenggelamkan kenang
menggugah dakian penciptaan.
Lelapisan itu menggubah kesabaran ingatan
kekisah mempercayai mimpi mengajak teridam
kepurnaan waktu lahirnya derajad kehendak sesama,
malam-siang melarut jiwamu mengikuti nafas kehadiran.
Ini sepantun hening memaklumatkan pergumulan,
penyatuan ruh batas alam mengangkat keluputan
menjelma sayap membimbing nafas ke peraduan.
Senjakala melangkahi lika-liku kesuburan, mata bathin
mengenyam gending kepada lereng pesawahan Dwipa.
Berilah kesaksian jasad kalimah-kalimah ini,
menderas sealunan ditabuh waktu-waktu lalu.
Patahan terberi, bukan pemaksaan bathin serampang.
Sejak keteringatan wajah-wajah hampir menyerupaimu,
ketampanan santun bersahabat, maha guru paling bijak.
Jiwaku ini tertambat lelangkah paling akrab,
tekat melumurkan wewaktu di masa-masa intim
teruskan limpahan berkah tak habis ditelan lelah.
Keringat dingin menambah puncak kesaksianmu
langit-laut hadirkan birunya gelombang ke pantai
berbulir-bulirnya garam menuju ceruk perenungan.
Pedesaan menanti kita, lebur pada kesaksian syahdu
gemintang di cakrawala menandaskan hayat dimaknai,
selendang menari di lengan kasihmu menarik sahabat
bagaikan sesyairan sampur para penari waktu.
Di kemanakan batas biru memberi keabadian tarian
jiwa-tubuh bergetar, bebulu sayap terangkat sukma
tengadah nafas berhembus menggebu menuruti lagu.
Bukan keinginan semua terhampar, dilewati perjanjian
melumuri tarian tinta mata pena setajam malam terjaga.
Ini titah pujangga, melambari kasihmu berkeyakinan
memandangi lekuk perjalanan terawat setiap penanda
terangkat pemaknaan wewaktu dipersiapkan bagimu.
Usiamu tertelan semangat kata menembus kebisuan
merangsek naluri pada saksi semula, kerinduan kasih.
Tarikan nafasmu perjelas perbedaan mengenyam ragu
merawat kesunyian berabad-abad memperbesarmu.
Keterpisahan tak, masa-masa dilalui tempaan abadi
manakala kegusaran merenggut perjuangan kembali,
kehendak dicitakan itu, dilakoninya bermakna titisan.
Wewaktu mematangkan kulit keriput pepohon Jati
tegak mengeras menerobos musim dedaun rontok
kemuncul lestari menandaskan tubuh matang jiwa
serat-serat pohon Waru dengan otot-otot terjaga
berbagi pergantian jaman menghujami makna.
Hujan deras menggigit, kebangkitan berulang
bayu tuah berhembus jiwamu meloloskan diri
kepada semburat jingga senjakala
yang memawarkan rindumu
dalam pelukan cakrawala.
Perjumpaan penalaran, mewartakan tekadmu
ditandaskan malam purnama ditarik pelayarnya
menyeberangi wengi pelik lewati nyanyian pesisir.
Antara nafas langgeng, kesantausaan irama imbang
melingkupi yang dihendaki kepada gagasan gemilang.
Mata membaca kalimah berita merasai jiwa
mengeja kehausan kehendak hadir tiba-tiba
kerelaan tersiar-terkembang di pedalaman.
Ketika arungi kesyahduan, keayuan alam bercahaya
keteguhan mengawal jiwamu; para prajurut menjaga
kala sang raja berpelesiran ke negeri jauh tanpa kuasa.
Ia hentikan derap kudanya, menyusuri jalan sendiri
oleh semua penglihatan buyar menjelma kepasrahan.
Kemiskinan itu tangga tingkatan tertinggi kehidupan,
serupa rasa demam mencapai kesaksian tak terbantah.
Ini peleburan kenang, terbakar sajak di tungku setia
memperbaharui wujud abu dalam tumbukan sesal,
sengaja mencari-cari butiran halus kelembutan hati.
Kalimah bukan penampung rupa bejana, air tak terukur
saat tak secangkir pengharapan, tapi niatmu manunggal
kata-kata lebur menguap, butirannya di dedaun kalbu
tersuling sedari keraguan ditandaskan sakit berulang.
Kesaksian hadir membaca alamat-alamat berkelebat
raut-raut bertengger di dedahan menanti panggilan
merunduk penuh santun berdedaun Salam gugur.
Kembang kemuncul ketabahan,
kiranya bebuah ranum mewangi
semua tidak kuasa tidak tengadah,
memetiknya bagi lambung kembara.
Keyakinan perbaharui jiwamu pada pagi kebugaran
menelusupi pori-porimu, perjalanan berulang dinilai.
Ditata laiknya bebatuan candi di pegunungan puja
letak peribadatan bergumul seirama para penyaksi.
Dan keterbatasan membetulkan lelangkahmu memilih
agar tak terbebani di persimpang bathin teridam hayat
memakmurkan sesama.
Manakala demam berkurang persaksianmu yakin
bergumul kalbu rindu dalam gelayutan mesra,
semisal purnama di tengah pencarian wengi.
Malam menjamah gurun pada kulit getarkan jiwamu
terpesona jagad hatimu oleh kesantunan sang resi
dalam menapaki tangga kekabutan menanjak
membebaskan bayang sedari tubuh keraguan.
Yang pantas bertengger di ubun-ubun kesenyapan abadi
tahap dilalui beserta unsur pribadi berkeagungan rasa
kepurnaan gagasan membeletat sesama, tiada terlupa
kaki-kaki tersandung batu, rerumputan terinjak menghijau.
17 Februari 2008, Lamongan, Jawa.
Sajak-Sajak Oky Sanjaya, Ahmad Musabbih, Widya Karima
[Sajak-sajak ini secara berurut adalah juara I, II, dan III Batu Bedil Award yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanggamus dalam rangkaian Festival Teluk Semaka].
http://www.lampungpost.com/
Pukau Kampung Semaka
Oky Sanjaya
baru semalam aku pulang
subuh mulai menyulut tubuhku
namun siapa yang tak lekas pukau
Anjing menyalan Azan!
Di ujung jalan batas marga, dulu,
orang-orang pulas
selalu berkisah
tentang dengung kampung
tentang jimat penolak bala
yang ditanam waktu purnama
senggikhi kutti di tanoh sinji 1
Dan kami, pewaris marga, tinggal menjaga lada
mengunyahnya bila subuh menyulut.
Tapi lada hanya penyedap rasa.
Aku mulai melangkah
ingin membasuh muka
di sungai Semaka
Dan air sungai berwarna cadas.
Catatan:
1. seganlah kalian di tanah ini
Menjaga Cinta di Teluk Kiluan
Ahmad Musabbih
Kalau cinta ingin tetap terjaga
tengolah teluk berbunga
yang mengasingkan jantung
dari denyut kota
Di lubuk yang dijaga bukit-bukit
di teluk permohonan
tak ada yang dapat kucatat
juga kugambar
selain hati yang terus bergetar
berdebar oleh angin yang berpusar
dari hulu ke hilir
seperti sebelum kukulum bibir
yang rindu.
Di sini ada yang begitu terasa
ketika kau sisir pasir
pada pantai yang terus melambai
dengan barisan pohon kelapa
lalu degup jantungmu
dalam sajak
meluncur ke labiring laut
memanggil lumba-lumba
dan betapa cinta benar-benar
berakar dari pesoalan gelombang
yang berdebar antara bibir dan labirin.
Kemudian sekeping hatimu
juga hatinya nampak
pada kiluan laut
yang tak ingin surut
meski tersimpan dalam
dadamu yang berbaju
tetapi cinta akan tetap terjaga
di lubuk teluk
yang dijaga bukit-bukit
2010
Kenangan Bersama Ibu
Widya Karima
Way Lalaan, Way Lalaan
Aku pernah melihat di matanya ada bulan
Way Lalaan, Way Lalaan
Bulan isyarat cinta laksana intan
Airmu deras terjun mengucur sukma rasa rindu
Ketika dulu aku kecil bermain di sana bersama ibu.
===========
Oky Sanjaya, lahir di Pekon Sanggi, Bandarnegeri Semuong, Tanggamus, 13 Oktober 1988. Kini sedang belajar di FKIP MIPA Unila. Buku puisinya: Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan (BE Press, 2009).
Ahmad Musabbih, lahir di Tegal, 9 September 1985. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa puisinya masuk ke dalam berbagai antologi bersama.
Widya Karima, nama pena dari Dini Widya Herlinda, lahir di Curup, 28 Februari 1989. Mahasiswi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Kemenkes Semarang. Karya-karyanya dimuat berbagai media.
http://www.lampungpost.com/
Pukau Kampung Semaka
Oky Sanjaya
baru semalam aku pulang
subuh mulai menyulut tubuhku
namun siapa yang tak lekas pukau
Anjing menyalan Azan!
Di ujung jalan batas marga, dulu,
orang-orang pulas
selalu berkisah
tentang dengung kampung
tentang jimat penolak bala
yang ditanam waktu purnama
senggikhi kutti di tanoh sinji 1
Dan kami, pewaris marga, tinggal menjaga lada
mengunyahnya bila subuh menyulut.
Tapi lada hanya penyedap rasa.
Aku mulai melangkah
ingin membasuh muka
di sungai Semaka
Dan air sungai berwarna cadas.
Catatan:
1. seganlah kalian di tanah ini
Menjaga Cinta di Teluk Kiluan
Ahmad Musabbih
Kalau cinta ingin tetap terjaga
tengolah teluk berbunga
yang mengasingkan jantung
dari denyut kota
Di lubuk yang dijaga bukit-bukit
di teluk permohonan
tak ada yang dapat kucatat
juga kugambar
selain hati yang terus bergetar
berdebar oleh angin yang berpusar
dari hulu ke hilir
seperti sebelum kukulum bibir
yang rindu.
Di sini ada yang begitu terasa
ketika kau sisir pasir
pada pantai yang terus melambai
dengan barisan pohon kelapa
lalu degup jantungmu
dalam sajak
meluncur ke labiring laut
memanggil lumba-lumba
dan betapa cinta benar-benar
berakar dari pesoalan gelombang
yang berdebar antara bibir dan labirin.
Kemudian sekeping hatimu
juga hatinya nampak
pada kiluan laut
yang tak ingin surut
meski tersimpan dalam
dadamu yang berbaju
tetapi cinta akan tetap terjaga
di lubuk teluk
yang dijaga bukit-bukit
2010
Kenangan Bersama Ibu
Widya Karima
Way Lalaan, Way Lalaan
Aku pernah melihat di matanya ada bulan
Way Lalaan, Way Lalaan
Bulan isyarat cinta laksana intan
Airmu deras terjun mengucur sukma rasa rindu
Ketika dulu aku kecil bermain di sana bersama ibu.
===========
Oky Sanjaya, lahir di Pekon Sanggi, Bandarnegeri Semuong, Tanggamus, 13 Oktober 1988. Kini sedang belajar di FKIP MIPA Unila. Buku puisinya: Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan (BE Press, 2009).
Ahmad Musabbih, lahir di Tegal, 9 September 1985. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa puisinya masuk ke dalam berbagai antologi bersama.
Widya Karima, nama pena dari Dini Widya Herlinda, lahir di Curup, 28 Februari 1989. Mahasiswi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Kemenkes Semarang. Karya-karyanya dimuat berbagai media.
1975 [Sajak Robin Dos Santos Soares]
Robin Dos Santos Soares
http://www.kompasiana.com/robin
Aku merasa kesepian, kehilangan nalar, suara hati.
Tersesat di hutan-hutan hijau.
Pagi itu 7 Desember 1975, aku berlari melawan arus manusia dan binatang.
Bersembunyi di batu-batu tajam melihat kupu-kupu hitam terbang dengan bom.
Sejarah sedang bergerak dengan genosida.
Ibuku korbankan nyawanya untuk aku:
berlari dan berteriak sampai di ujung dunia.
Kamu sudah menyaksikan kematian ibumu, adik-adikmu,
saudaramu tidak tahu apa arti perang, politik dan ideologi.
Hari ini aku mendekati aroma kematian ibuku,
aku masih dalam kesunyian dengan jiwaku, jantungku yang mulai membeku.
Aku ingin berlari lagi melewati hutan-hutan hijau, bersembunyi dibalik batu-batu tajam. Mencoba mengingatkan mayat-mayat tak terhitung, berdiri di tepi gunung Matebian dengan protes terhadapa perang, pemerkosaan, pembunuhan massal.
Kini tenagaku hanya bergerak dari gubukku mengatur nafas, membuang ludah. Tanganku tidak bisa bergerak dengan pena. Hatiku tidak buta dengan sejarah yang mulai hilang bersama kotoranku disantap anjingku, babiku yang rakus setiap hari.
Patria ou Morte
http://www.kompasiana.com/robin
Aku merasa kesepian, kehilangan nalar, suara hati.
Tersesat di hutan-hutan hijau.
Pagi itu 7 Desember 1975, aku berlari melawan arus manusia dan binatang.
Bersembunyi di batu-batu tajam melihat kupu-kupu hitam terbang dengan bom.
Sejarah sedang bergerak dengan genosida.
Ibuku korbankan nyawanya untuk aku:
berlari dan berteriak sampai di ujung dunia.
Kamu sudah menyaksikan kematian ibumu, adik-adikmu,
saudaramu tidak tahu apa arti perang, politik dan ideologi.
Hari ini aku mendekati aroma kematian ibuku,
aku masih dalam kesunyian dengan jiwaku, jantungku yang mulai membeku.
Aku ingin berlari lagi melewati hutan-hutan hijau, bersembunyi dibalik batu-batu tajam. Mencoba mengingatkan mayat-mayat tak terhitung, berdiri di tepi gunung Matebian dengan protes terhadapa perang, pemerkosaan, pembunuhan massal.
Kini tenagaku hanya bergerak dari gubukku mengatur nafas, membuang ludah. Tanganku tidak bisa bergerak dengan pena. Hatiku tidak buta dengan sejarah yang mulai hilang bersama kotoranku disantap anjingku, babiku yang rakus setiap hari.
Patria ou Morte
Sajak Pranita Dewi
http://www.infoanda.com/Republika 6 Juli 2008
SUATU HARI DI SUATU SENJA
: bagi Jengki
Suatu hari
di suatu senja
kau tahu di mana bayang kita
akan tiba
Gagak-gagak melengking pilu
seperti ingin mencari
rumah untuk pulang
istirahat dan tenggelam
pada diri yang asing
Aku asing pada hidupku sendiri
tak ada lagi bintang
yang kita lihat dulu
dan berharap cahaya
yang tak tertutup itu
adalah nujuman bagi kita
Segelas tuak
kita teguk
untuk hidup yang sia-sia
Kemana mimpi pergi
di mana bayang ibu
yang dulu kau sebut itu
Seteguk tuak
seperti membawamu kembali
bagai bocah
menatap bintang
dari balik cahaya kelereng biru
lalu kau tahu
bahwa bintang
sebenarnya tak punya cahaya
kecuali biru
dalam mata bocahmu
Suatu hari
di suatu senja
kau akan mengajakku pergi
membangun mimpi-mimpi
jadi puisi
yang kita gali bersama
Sejauh ombak yang datang
mata nelayan yang nyisakan kegundahan
kemalangan
ia tahu akan tiba
Kau tahu
bintang-bintang itu
tak lagi punya cahaya
selain abu di langit
yang tampak ragu
tenggelamkan senja
yang kita kejar
dari Denpasar
hingga ke kuta
Suatu waktu
di hari yang seperti senja
kita akan tiba
kembali
menjelma bayang bocah
penggali mimpi
atau apa saja
tapi kau lebih memilih
tuak
ketimbang bintang
nujuman kita.
=============
Ni Wayan Eka Pranita Dewi, lahir di Denpasar, 19 Juni 1987. Menulis puisi, prosa liris dan cerita pendek. Sejumlah puisinya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Bali Post, Majalah Sastra Horison, Jurnal BlockNot Poetry, dan Jurnal Sundih. Sering menjadi juara lomba baca dan menulis puisi. Kumpulan puisinya “Pelacur Para Dewa” terbitan Komunitas Bambu, 2006. Kini ia aktif bergiat dalam Komunitas KembangLalang, Denpasar.
SUATU HARI DI SUATU SENJA
: bagi Jengki
Suatu hari
di suatu senja
kau tahu di mana bayang kita
akan tiba
Gagak-gagak melengking pilu
seperti ingin mencari
rumah untuk pulang
istirahat dan tenggelam
pada diri yang asing
Aku asing pada hidupku sendiri
tak ada lagi bintang
yang kita lihat dulu
dan berharap cahaya
yang tak tertutup itu
adalah nujuman bagi kita
Segelas tuak
kita teguk
untuk hidup yang sia-sia
Kemana mimpi pergi
di mana bayang ibu
yang dulu kau sebut itu
Seteguk tuak
seperti membawamu kembali
bagai bocah
menatap bintang
dari balik cahaya kelereng biru
lalu kau tahu
bahwa bintang
sebenarnya tak punya cahaya
kecuali biru
dalam mata bocahmu
Suatu hari
di suatu senja
kau akan mengajakku pergi
membangun mimpi-mimpi
jadi puisi
yang kita gali bersama
Sejauh ombak yang datang
mata nelayan yang nyisakan kegundahan
kemalangan
ia tahu akan tiba
Kau tahu
bintang-bintang itu
tak lagi punya cahaya
selain abu di langit
yang tampak ragu
tenggelamkan senja
yang kita kejar
dari Denpasar
hingga ke kuta
Suatu waktu
di hari yang seperti senja
kita akan tiba
kembali
menjelma bayang bocah
penggali mimpi
atau apa saja
tapi kau lebih memilih
tuak
ketimbang bintang
nujuman kita.
=============
Ni Wayan Eka Pranita Dewi, lahir di Denpasar, 19 Juni 1987. Menulis puisi, prosa liris dan cerita pendek. Sejumlah puisinya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Bali Post, Majalah Sastra Horison, Jurnal BlockNot Poetry, dan Jurnal Sundih. Sering menjadi juara lomba baca dan menulis puisi. Kumpulan puisinya “Pelacur Para Dewa” terbitan Komunitas Bambu, 2006. Kini ia aktif bergiat dalam Komunitas KembangLalang, Denpasar.
Sajak-Sajak Fatah Yasin Noor
Puisi dalam Peti Jenasah
Aku menjumpaimu saat air mata itu telah mengering. Seperti puisi mati dalam peti jenasah. Tapi aku mencoba membongkar lapis demi lapis riwayat daun di situ. Seperti hujan kemarin, bau tanah dan asap dupa masih menyergapku. Aku tak percaya engkau telah tiada. Seharum bau kematian itu sendiri, dari semerbak kembang mawar dan melati yang menembus kamarku.
Aku menjumpaimu saat air mata itu telah mengering. Seperti puisi mati dalam peti jenasah. Tapi aku mencoba membongkar lapis demi lapis riwayat daun di situ. Seperti hujan kemarin, bau tanah dan asap dupa masih menyergapku. Aku tak percaya engkau telah tiada. Seharum bau kematian itu sendiri, dari semerbak kembang mawar dan melati yang menembus kamarku.
Sajak-Sajak Indra Tjahyadi
http://www.suarakarya-online.com/
Maut Melesat
Dari perih jiwaku, maut bersayap melesat,
meledakkan waktu. Burung-burung marabu yang terkapar
di ujung cakrawala memekik, meniadakan tidur.
Aku terasing dari setubuh, tubuhmu yang telanjang
membentangkan kelam kuburku. Pohonan beringin tepi
jalan mengering tanpa umur. Jejakku mengerang di pusat
kabut, menginsyafi alur sedu kembara kesepian terkelu.
Kemudian ingatanku pun memasuki sunyi,
berusaha menangkap degup laut yang
ditenungkan manis
bibirmu. Kejantananku kian jalang kian malang
menempuh pelayaran luka, menjadi perompak bagi
hitam ombak dan lelumut. Tapi entah bagaimana di antara jaga
dan tidur masih saja kubayangkan besar pantatmu. Aku rasul,
tersalib di mula surup. Hanya ditangisi senyap dan pelacur.
2006.
Syair Setenang Bulan
sebab cinta terlampau perih
terlampau rintih menusuk kalbu
menujah hati
segarang gersang menghalau hujan
setenang bulan menghalau kelam
kureka warna senyummu
: ada hijau, putih, luka dan burung-burung
yang menulis ombak pada biru laut
lantas gerimis
gerimis yang lumpuh
yang dicambuk angin kemarau bulan agustus
di mana tubuhmu yang mulus
punggungmu yang tulus
senantiasa kurengkuh
kucumbu sepenuh syahdu
cintaku, ingatlah: bila masih ada waktu
bila masih tersisa rindu yang selalu
ini hati yang retak tak juga jengah
bermimpi melukis bentuk-bentuk kupu
di sepanjang lereng perbukitan payudaramu
yang harum
meski maut menjemputku sebelum subuh
sebelum sempat kukecup lembut ranum bibirmu
2006.
Keroncong Kemarau
Angin kering meniup cekak rambutmu,
tapi malam yang mengeras dalam bisu masih saja
membiarkan badai menyapu relung renung muram hatiku.
Barangkali musim yang kemarau telah
mengutuk khusyuk mayatku. Dari puncak gersang
dan taifun debu, kusaksikan arwahku
meluncurhancur!
Didera teluh tangis tahun bertahajud-tahajud.
2006.
Hantu Ujung Tahun
Kuinsyafi wajahmu. Kota-kota dalam keliaran
angin menggelora, membakari sukmaku. Di sungai hatimu
jenazahku hanyut, menanggung seluruh beban badai
dan rindu. Jejak-jejak burung di cakrawala melukiskan
garis derita arwahku. Punggungmu menghitam penuh peluh.
Segenap irama dzikir dan kelu menguras muram darahku.
Tapi kau tahu aku teguh mencintaimu, meski sorga
kian bergerak menjauhiku. Di ujung-ujung malam tak
berkabut kusebut namamu.
Tahajudku dipenuhi Rerintih, dikungkung
tangis dan aroma sembilu. Padamu segenap tafsir,
juga takdir, tak pernah lekang kuletuskan
penuh khusyuk. Aku requim yang dikekalkan pulau-pulau
kesunyian tersedu.
Matamu membelalak dalam ciumanku. Di ujung-ujung tahun,
kelak, aku hidup sebagai hantu. Tak habisnya menangisi lembut
bibirmu.
2006.
Dari Dasar Relung Renung
Dari dasar relung renung muram malam ajalku, kusebut
namamu. Rambutmu yang panjang kukenang dalam gebalau risau
gersang angin dan sedu. Sungguh telah kuletuskan
seluruh tangis dan tahajud bagi cantikmu. Tapi mayatku
yang kufur merindu masih saja terkubur murung di sudut-sudut
samun halimun. Kubayang lekuk lesung pipimu yang salju.
Di setiap tikungan jalan menuju rumahmu arwahku memekik.
Doa dosa badai berlindu menggeram, kekal, takziahi
keperihanku.
2006
Catatan Redaksi:
Indra Tjahyadi, lahir di Jakarta, 21 Juni 1974. Staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Menulis esai, puisi dan cerpen. Anggota Dewan Redaksi Majalah Sastra-Seni IMAJIO.
Karya-karyanya, baik puisi, esai maupun cerpen, termuat di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei), Horison, Jurnal Cipta, Sastra, Puitika, Jurnal Puisi, Kidung, Kompas, Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Suara Karya, Pikiran Rakyat dan lain-lain.
Pada tahun 1997, kumpulan puisinya yang berjudul Yang Berlari Sepanjang Gerimis memenangkan Juara I Lomba Cipta Puisi Kampus Nasional 1997 yang diadakan oleh UI. Selain itu, juga tercatat sebagai salah satu pemenang pada Sayembara Penulisan Cerpen dan Puisi “Hadiah Tepak” yang diadakah oleh Majalah Sastra dan Budaya Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis.
Maut Melesat
Dari perih jiwaku, maut bersayap melesat,
meledakkan waktu. Burung-burung marabu yang terkapar
di ujung cakrawala memekik, meniadakan tidur.
Aku terasing dari setubuh, tubuhmu yang telanjang
membentangkan kelam kuburku. Pohonan beringin tepi
jalan mengering tanpa umur. Jejakku mengerang di pusat
kabut, menginsyafi alur sedu kembara kesepian terkelu.
Kemudian ingatanku pun memasuki sunyi,
berusaha menangkap degup laut yang
ditenungkan manis
bibirmu. Kejantananku kian jalang kian malang
menempuh pelayaran luka, menjadi perompak bagi
hitam ombak dan lelumut. Tapi entah bagaimana di antara jaga
dan tidur masih saja kubayangkan besar pantatmu. Aku rasul,
tersalib di mula surup. Hanya ditangisi senyap dan pelacur.
2006.
Syair Setenang Bulan
sebab cinta terlampau perih
terlampau rintih menusuk kalbu
menujah hati
segarang gersang menghalau hujan
setenang bulan menghalau kelam
kureka warna senyummu
: ada hijau, putih, luka dan burung-burung
yang menulis ombak pada biru laut
lantas gerimis
gerimis yang lumpuh
yang dicambuk angin kemarau bulan agustus
di mana tubuhmu yang mulus
punggungmu yang tulus
senantiasa kurengkuh
kucumbu sepenuh syahdu
cintaku, ingatlah: bila masih ada waktu
bila masih tersisa rindu yang selalu
ini hati yang retak tak juga jengah
bermimpi melukis bentuk-bentuk kupu
di sepanjang lereng perbukitan payudaramu
yang harum
meski maut menjemputku sebelum subuh
sebelum sempat kukecup lembut ranum bibirmu
2006.
Keroncong Kemarau
Angin kering meniup cekak rambutmu,
tapi malam yang mengeras dalam bisu masih saja
membiarkan badai menyapu relung renung muram hatiku.
Barangkali musim yang kemarau telah
mengutuk khusyuk mayatku. Dari puncak gersang
dan taifun debu, kusaksikan arwahku
meluncurhancur!
Didera teluh tangis tahun bertahajud-tahajud.
2006.
Hantu Ujung Tahun
Kuinsyafi wajahmu. Kota-kota dalam keliaran
angin menggelora, membakari sukmaku. Di sungai hatimu
jenazahku hanyut, menanggung seluruh beban badai
dan rindu. Jejak-jejak burung di cakrawala melukiskan
garis derita arwahku. Punggungmu menghitam penuh peluh.
Segenap irama dzikir dan kelu menguras muram darahku.
Tapi kau tahu aku teguh mencintaimu, meski sorga
kian bergerak menjauhiku. Di ujung-ujung malam tak
berkabut kusebut namamu.
Tahajudku dipenuhi Rerintih, dikungkung
tangis dan aroma sembilu. Padamu segenap tafsir,
juga takdir, tak pernah lekang kuletuskan
penuh khusyuk. Aku requim yang dikekalkan pulau-pulau
kesunyian tersedu.
Matamu membelalak dalam ciumanku. Di ujung-ujung tahun,
kelak, aku hidup sebagai hantu. Tak habisnya menangisi lembut
bibirmu.
2006.
Dari Dasar Relung Renung
Dari dasar relung renung muram malam ajalku, kusebut
namamu. Rambutmu yang panjang kukenang dalam gebalau risau
gersang angin dan sedu. Sungguh telah kuletuskan
seluruh tangis dan tahajud bagi cantikmu. Tapi mayatku
yang kufur merindu masih saja terkubur murung di sudut-sudut
samun halimun. Kubayang lekuk lesung pipimu yang salju.
Di setiap tikungan jalan menuju rumahmu arwahku memekik.
Doa dosa badai berlindu menggeram, kekal, takziahi
keperihanku.
2006
Catatan Redaksi:
Indra Tjahyadi, lahir di Jakarta, 21 Juni 1974. Staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Menulis esai, puisi dan cerpen. Anggota Dewan Redaksi Majalah Sastra-Seni IMAJIO.
Karya-karyanya, baik puisi, esai maupun cerpen, termuat di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei), Horison, Jurnal Cipta, Sastra, Puitika, Jurnal Puisi, Kidung, Kompas, Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Suara Karya, Pikiran Rakyat dan lain-lain.
Pada tahun 1997, kumpulan puisinya yang berjudul Yang Berlari Sepanjang Gerimis memenangkan Juara I Lomba Cipta Puisi Kampus Nasional 1997 yang diadakan oleh UI. Selain itu, juga tercatat sebagai salah satu pemenang pada Sayembara Penulisan Cerpen dan Puisi “Hadiah Tepak” yang diadakah oleh Majalah Sastra dan Budaya Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis.
Sajak-Sajak Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/
Di Gaza Kami Rindu LemahlembutMu
di jalur ini
telah berabad-abad rakaat
kami rindu KemahalemahlembutanMu
melalui anak-anak manjaMu
melempari kami dari segala penjuru
dengan berbagai alat pemusnah
paling mutakhir
di jalur ini
telah lahir begitu banyak ratapan
ketika kehilangan demi kehilangan
menjadi mimpi selalu kami temui
dari kelam ke kelam
apakah kami benar-benar bebal
hingga tak dapat menangkap
isyarat kekerasanMu
selalu Engkau timpakan
selama berabad-abad khianat
diantara ratap-ratap
pada jalur-jalur pengap
oleh kefakiran kami
Januari 2009
Poster-Poster 2009
ini tentang wajah-wajah
terpampang ramah
di pinggir-pinggir jalan dan tempat keramaian
dengan akting paling rupawan
berharap-harap sekali tikaman
di bagian manapun yang paling aman
ini tentang wajah-wajah
terpampang murah
di pinggir-pinggir jalan dan tempat keramaian
dengan slogan-slogan semanis durian
berharap-harap sekali tusukan
buat nangkring di kursi nyaman
ah, ini hanya tentang muka-muka
dengan senyum paling ceria
seperti bersenandung dan meminta:
”pilihlah aku jadi……………….”
membuat aku berlagu pilu:
”how can I explain the sorrow and my pain…………….”
Januari 2009
Lembah Hijau
aku ingin berguru
kepada engkau, lembah hijau
tetap indah meski tempat ngalir
segala limbah segala resah
menuju rata tanah
aku ingin berburu
dalam engkau, lembah hijau
agar jiwaku menyatu
dengan onak dengan semak
ah, ternyata aku hanya bergurau
kepada engkau, lembah hijau
begitu banyak puncak-puncak
menjulang di gunung hatiku
mengharap dongakan dan tundukan
wajah-wajah ramah
Ujung Desember 2008
judul terinspirasi setelah mendengarkan lagu Lembah Damai – Ahmad Albar
Di Pasar Senggol
membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih
sepanjang jalan Arif Rahman Hakim
sebuah surga bagi para pedagang kaki lima
pada jarak lintasan pipa dan rel kereta tua
semua ada semua tersedia
aku pesan pada seorang pelayan
wajah bening lumayan
dua porsi makanan
satu untukku satu untukmu
karena engkau tak ada disisiku
akupun menghabiskannya untukmu
membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih
sepanjang jalan Arif Rahman Hakim
aku tak ingin seperti mereka,
seperti seorang kekasih tak setia
menunggu dan berharap-harap
hampiran lalu lalang orang-orang
untuk sebuah penghidupan
membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih
duduk pada sebuah kursi jati berjajar rapi
aku hanya bisa meredam kata-kata hati
agar tak bergerak dan memberontak
seperti gerbong-gerbong kereta tua
berderak-derak ke stasiun kota
ketika aku saksikan berpasang para muda
saling bergenggaman dan bersuapan
mesra seperti tak ada siapa-siapa
menarik anganku pada suatu masa
ketika kita tak hirau sekitar kita
Gresik, 24 Desember 2008
Di Gaza Kami Rindu LemahlembutMu
di jalur ini
telah berabad-abad rakaat
kami rindu KemahalemahlembutanMu
melalui anak-anak manjaMu
melempari kami dari segala penjuru
dengan berbagai alat pemusnah
paling mutakhir
di jalur ini
telah lahir begitu banyak ratapan
ketika kehilangan demi kehilangan
menjadi mimpi selalu kami temui
dari kelam ke kelam
apakah kami benar-benar bebal
hingga tak dapat menangkap
isyarat kekerasanMu
selalu Engkau timpakan
selama berabad-abad khianat
diantara ratap-ratap
pada jalur-jalur pengap
oleh kefakiran kami
Januari 2009
Poster-Poster 2009
ini tentang wajah-wajah
terpampang ramah
di pinggir-pinggir jalan dan tempat keramaian
dengan akting paling rupawan
berharap-harap sekali tikaman
di bagian manapun yang paling aman
ini tentang wajah-wajah
terpampang murah
di pinggir-pinggir jalan dan tempat keramaian
dengan slogan-slogan semanis durian
berharap-harap sekali tusukan
buat nangkring di kursi nyaman
ah, ini hanya tentang muka-muka
dengan senyum paling ceria
seperti bersenandung dan meminta:
”pilihlah aku jadi……………….”
membuat aku berlagu pilu:
”how can I explain the sorrow and my pain…………….”
Januari 2009
Lembah Hijau
aku ingin berguru
kepada engkau, lembah hijau
tetap indah meski tempat ngalir
segala limbah segala resah
menuju rata tanah
aku ingin berburu
dalam engkau, lembah hijau
agar jiwaku menyatu
dengan onak dengan semak
ah, ternyata aku hanya bergurau
kepada engkau, lembah hijau
begitu banyak puncak-puncak
menjulang di gunung hatiku
mengharap dongakan dan tundukan
wajah-wajah ramah
Ujung Desember 2008
judul terinspirasi setelah mendengarkan lagu Lembah Damai – Ahmad Albar
Di Pasar Senggol
membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih
sepanjang jalan Arif Rahman Hakim
sebuah surga bagi para pedagang kaki lima
pada jarak lintasan pipa dan rel kereta tua
semua ada semua tersedia
aku pesan pada seorang pelayan
wajah bening lumayan
dua porsi makanan
satu untukku satu untukmu
karena engkau tak ada disisiku
akupun menghabiskannya untukmu
membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih
sepanjang jalan Arif Rahman Hakim
aku tak ingin seperti mereka,
seperti seorang kekasih tak setia
menunggu dan berharap-harap
hampiran lalu lalang orang-orang
untuk sebuah penghidupan
membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih
duduk pada sebuah kursi jati berjajar rapi
aku hanya bisa meredam kata-kata hati
agar tak bergerak dan memberontak
seperti gerbong-gerbong kereta tua
berderak-derak ke stasiun kota
ketika aku saksikan berpasang para muda
saling bergenggaman dan bersuapan
mesra seperti tak ada siapa-siapa
menarik anganku pada suatu masa
ketika kita tak hirau sekitar kita
Gresik, 24 Desember 2008
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae