Aku menjumpaimu saat air mata itu telah mengering. Seperti puisi mati dalam peti jenasah. Tapi aku mencoba membongkar lapis demi lapis riwayat daun di situ. Seperti hujan kemarin, bau tanah dan asap dupa masih menyergapku. Aku tak percaya engkau telah tiada. Seharum bau kematian itu sendiri, dari semerbak kembang mawar dan melati yang menembus kamarku. Di sini, semakin tegas dan penuh makna saat senyum di potretmu itu terus memandangku. Dinding ikut gemetar. Padahal ribuan puisi telah kutulis atas matamu. Dan getaran jiwamu yang senantiasa bercahaya. Tak ada isyarat sebelumnya, bahwa perjumpaan mesra kita berakhir di situ.
Kalimatmu seperti ingin mendekati Tuhan. Dari tumpukan kertas yang terus menggunung, menjadi instalasi dalam rumahmu. Bayangkan bagaimana kata-kata berloncatan di situ, tak dibaca lagi. Karena ingatan semakin terbatas, dan engkau terus menggerutu soal kenangan. Mari kita terus menyimpan data itu untuk anak-cucu, katanya. Maka, tak ada yang lebih baik daripada kehidupan dan perbuatan.
2008
Tuhan dan Sungai
Seperti puisi. Masih ada Tuhan di situ. Masih terus beringsut seperti tak terpermanai. Cahaya yang juga masih menyemburat tajam dalam sengatannya. Siapa tahu di sebalah sana ada yang diam-diam meleleh. Mengeluarkan kegenitan alam yang merangsang daun untuk rebah ke tanah. Tapi ini masih
Tuhan dan Sungai
sore. Tentu saja ada yang tengah bersiap untuk turun ke kali. Sungai-sungi yang dulu menyimpan riwayat kejernihan air. Dan waktu yang terus berputar. Atas nama perubahan yang diam-diam membentuk wajahmu seperti itu. Tak bisa kembali seperti mula. Apa boleh buat, katamu, begitulah waktu. Demi waktu di mana orang-orang harus sibuk berkarya. Membongkar pikiran dan tenaga entah untuk apa. Ada kesejahteraan yang dikaitkan dengan pendapatan dari kerja keras. Sungguh sederhana, ketika dia bilang bahwa mempelajari teknik tidak harus duduk dulu di bangku sekolah.
Tapi ini masih sore, walau sebentar lagi turun malam. Artinya, matahari sebentar lagi tak menampakkan batang hidungnya lagi. Ia beringsut ke barat, tenggelam di barat. Sungguh setia sejak dulu kala, seperti engkau yang setia melukis untuk dijual. Tumbuh pertanyaan, apa artinya hidup. Engkau bisa berhenti sejenak, untuk sekian tahun tak melukis. Seperti mengundang inspirasi baru untuk bisa bekerja lagi seperti biasa. Tapi rasanya nonsens ketika tahu betapa hampa hidup ini. Hidup bagai melukis di atas air. Tapi tak apa, lebih baik begitu. Kita beruntung masih diberi kesempatan hidup. Hidup untuk lebih banyak berbuat, mengukir keringat jadi jejak-jejak yang dibaca waktu. Kenapa tidak?
2008
Fatah Yasin Noor, lahir di Banyuwangi tahun 1962. Puisi-puisinya dalam antologi API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian ganjil -mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Sajak-sajak tunggalnya terkumpul dalam buku “Gagasan Hujan” (PSBB, 2003), “Rajegwesi” (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terhimpun dalam “Seribu Jalan Raya” (PSBB, 2011). Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak dan Bali Post. Puisinya yang dimuat di koran Bali Post itulah yang menarik, waktu itu redakturnya Umbu Landu Paranggi. Tahun 1979, esainya yang kritis berjudul “Film Nasional, Sebuah Tanggapan” dimuat media sastra legendaris dan pertama kali di Banyuwangi, Kertas Budaya Jejak, besutan alm. Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan.
Fatah menempuh pendidikan menengah dan tinggi di Yogyakarta, -boleh jadi tradisi berpikir kritisnya terbangun dari sana. Di Banyuwangi, nyaris media sastra tidak lepas dari tangan dinginnya. Ia Pimred jurnal Sastra-Budaya Lembaran Kebudayaan, dan pernah mengomandani kelompok budayawan serta seniman yang menolak Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) tahun 2002. Ia bersama gerbong para budayawan “bawah tanah” sempat mendirikan DKB-Reformasi, sebagai tandingan DKB “pemerintah” bergaya Orba waktu itu. Gerak budaya yang dikerjakan sastrawan nyentrik ini tak bisa dianggap remeh, terbukti “gerbong” DKB-R produktif melahirkan karya-karya berkualitas secara berkala dan melakukan kajian sastra pula penulisan sejarah Banyuwangi. Tahun 1998, menjadi salah satu dari kelompok muda yang menghadirkan alm. W.S. Rendra di Gedung Wanita, Banyuwangi, dalam peluncuran buku puisi para penyair Jawa-Bali “Cadik”, sehari sebelum tumbangnya Soeharto! Di masa itu bukan main-main mengadakan kegiatan sastra yang kritis berhadapan dengan aparat. Di tahun itu juga, bersama penyair dan budayawan lain, ia mengemukakan sikap anti kekerasan menyoal peristiwa “santet” di Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2010/12/sajak-sajak-fatah-yasin-noor/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar