Rabu, 25 Mei 2011

Sajak-Sajak Fikri MS

http://sastra-indonesia.com/
Stasuin Ijo Kebumen

Stasiun Karang Anyar lenyap oleh lelah
Stasiun Ijo jadi pilihan

Kami turun, berlari
Padahal rasa kantuk nan lapar kian bergumul,
Lantas kutulis sajak ini di teras malam stasiun agar terkenang esok
Agar menjadi peristiwa di secarik kertas
Sambil menunggu jemputan yang tibanya setelah kokok ayam jantan
Yang saling bersahutan seolah menyambut kami yang kelelahan.

20 Januari 2010



Wrutuk*

Seekor wrutuk berbaring di telapak-tanganku seperti mati
Saat gelombang mencumbu bibir pantai

Gelisah ia mencium bau laut yang khas

“tenang saja” Bisikku,

Lalu kuletakkan ia, tubuhnya masuk ke pasir sembunyi
Tak nampak jejaknya seperti sesajen yang hilang ditelan ombak selatan

Pantai Selatan, 21 Januari 2010
*sejenis rimata laut berukuran, kecil yang hidup di pasir pantai menyerupai



Di kapal antara Merak-Bakau Hueni

Penumpang-penumpang hilir mudik mencari sela istirahat memburu nyaman
Sementara bujuk rayu pedagang buku bertambah seru

Dua jam pelayaran kiranya cukup melelahkan

Di atas sana matahari terik membias deburan ombak di dinding kapal
Bagiku puisi ini tak berujung meski kapal telah bersandar di dermaga Bakau Hueni

Lalu
Waktu
Berlalu



Kangen

Setengah perjalananku ditandai debur ombak pelabuhan Merak-Bakau Hueni
Separuh hati ini masih segar ingat kau di sana
Sisanya tertambat kampung halamanku

Kangen
Belumlah sempurna perjalanan ini hingga keduanya jadi satu
Engkau dan kampungku
Kecuali bila kita tempuh keduanya demi lunaskan harapan

21 Januari 2010

———–
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.

Sajak-Sajak Raudal Tanjung Banua

http://www.lampungpost.com/
Ke Pedalaman

1.
arus yang lamban. jembatan kayu tua
hitam batu bara
teronggok di tongkang renta
adalah susu perempuan negro
tersesat di borneo
seorang perempuan iban
menatapnya iba
“kita sama-sama matang oleh derita,
sama-sama malang di bumi yang sama.”
mourina, perempuan iban itu, kujumpai ia
di atas jembatan kayu tua
melintasi anak sungai
yang merana

2.
“tak ada yang kami miliki,
kecuali dengus nafas
kuli tanah sendiri,” masih kusimpan cakap
laki-laki bercaping pandan bagai seciap
anak ayam hutan
yang lalu bergegas hilang
ke kelindan asap pembakaran
pelepah sawit yang menua

3.
waktu kembali
ke pangkal jembatan kayu tua
perempuan dan laki-laki itu
mencangkung tanpa suara
bagai patung minta kembali ke asal-mula:
pohon, kayu, batu di rimba. saat itu aku merasa
tidak ke mana-mana; diri adalah pedalaman
yang diangan. kian dalam, kian banyak tak dikenal

/Batola-Yogyakarta, 2009-2011



Sampah-sampah Mengapung

ini zaman sampah-sampah mengapung
orang-orang gugur di mataku
tiap hari makin banyak yang kubenci
dan yang membenci lebih banyak lagi
masuk, hatiku, kunci dari dalam, kunci yang dalam!
cuaca semesta sedang buruk
para tukang tenung dan tukang sihir mabuk,
kepayang bayang-bayang kejayaan
tukang kebun tersingkir ke taman-taman api
para penyair bergerombol membincang diri sendiri
hatiku yang terasing menolak teronggok jadi sekilo daging!
“hatiku, janganlah kau bersedih melihat makhluk-makhluk
yang sekedar penduduk. mereka hanya penghuni mati
sebuah negeri di bawah garang matahari
tapi tak sanggup membakar sampah-sampah,
basah, berkilau lumpur warna-warni, terapung hanyut
melintasi taman-taman negeri.
jangan kau bersedih.”
dengan ini hatiku menyala, melebihi matahari
mengubah sungai dan muara
jadi api, jadi lautan api…

/Kalteng-Yogyakarta, 2010-2011



Minahasa

ekor kolintang menyayat mata mayat di bintang

/tomohon-yogya, 2009-2011



Nangabulik
– bersama kawan seperjalanan

ke balik bukit batu kita menuju
di kiri-kanan hamparan sawit
luas, tak terhala pandangan
diam-diam, ingatan kita bersekutu dengan sisa asap
pembakaran, membentuk sayap-sayap burung enggang
membubung ke awan menjadi mendung
bergulung, menaungi perjalanan
murung, kita dan bukit-bukit batu itu, bagaimanapun
penanda arah yang dituju. sekali waktu kausebut bukit sintang
di petaku terbaca bukit ketapang
sama saja. nama tak mengubah ia jadi emas
jangan cemas, kita akan tiba, kita telah tiba
sebelum senja, sebelum cakrawala bilang sudah
pada langit yang dipuja
lihat, patung kijang jantan itu
terlongong di atas beton bulatan tunggul kayu
terlongong memandang cahaya angslup
perlahan, bagai rawa-rawa kejam menarik cinta dan bayangan
di kaki-kaki betinanya
ia terus berdiri di situ, di alun-alun kecil timbunan waktu
barangkali menunggu, menyambut
jika anak-anaknya yang dilahirkan di sisa hutan jauh
di sisi-sisi tajam tombak pemburu
ke luar bersama barisan kera dan beruang
mengasah tanduk, gigi dan kuku-kukunya panjang!
kelak, di balik bukit batu ini
akan ada penanda lain: ruh enggang,
penantian kijang dan puisi yang juga terus memanjang….

/Lamandau, 2010 – Yogyakarta, 2011

————
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Kini redaktur rumahlebah ruangpuisi dan ketua redaksi Jurnal Cerpen Indonesia. Memperoleh Anugerah MASTERA untuk buku puisinya, Gugusan Mata Ibu (2005). Buku puisinya yang akan terbit: Api Bawah Tanah.

Sajak-Sajak Denny Mizhar

http://sastra-indonesia.com/
Cinta Di Bulan Juni

Bila yang pernah aku temui adalah hujan bulan juni*. Kini usai pada matahari bulan juni**. Ada kabar tentang waktu yang menua dan harus tergantikan dengan kemudaan. Melewati hari-hari sepi bulan juni. Sehabis aku meninggalkan jejak pada mei yang penuh luka dan darah dalam sejarah bangsa ini.

O juni, gadis-gadis menari dengan lekuk tubuh yang memancing gelora cinta membumbung ke awan. Kesepian dan kelukaan tentang hati sedikit meredup dalam gonjangan jeratan kisah. Akankah menjadi kasih?. Bila masa lalu masih ingatkan akan dendam pada tuhan yang memberikan kasih rapuhku (Bukankah masa lalu adalah cermin). Aku menyegerakan diri membasuh wajah luka dengan air suci menatap langit dan merebahkan diri dalam do’a-do’a panjang. Harapku adalah musim cinta akan aku petik dari gadis-gadis penari yang mengeja lakon-lakon sandiwara dengan tariannya.

Masih aku gemgam kalimat tanya. Masih aku simpan kalimat tanya. Masih saja, tak hendak meletup padanya.

Kini juni, telah aku nobatkan menjadi musim cinta. Aku jatuh cinta lagi. Pada rintik hujan dan matahari yang saling silang menyapa jejak-jejak langkah menggambar hati dengan bunga sorga. Padamu gadis bermata jelita, bulan juni milik kita.

Malang, Juni 2010

*judul puisi sapardi joko damono (hujan bulan juni)
** judul puisi ragil sukriwul (matahari bulan juni)



Sajak Untuk Neng
:lis

Betama lama aku menunggu di gelisah malam tak bertepi. Sajak-sajak cinta bercahaya menaungiku dalam gelap pekat waktu. Mencari jalan menuju taman firdaus yang di dalamnya tumbuh bunga-bunga mawar merona. kan aku petik buatmu satu.

Sinar rembulan enggan datang, mungkin juga menantimu sebab aku melihat sinarnya ada di matamu. Berbinar-binar saat kau pernah menatapku. O indahnya kala itu.

Kemarilah! Neng, ada kisah yang menuntunmu pada resah yang aku genggam saat kau bercerita tentang kekasihmu. Harap sesal kau lalui memandang jalan penuh tawa dan bahagia. Kau bercerita padaku ketika itu. Bersandarlah pada bahuku yang sudah menunggu kepalamu.

Neng, masihkah kau ragu padaku. Pada sajak-sajak yang menggambar bunga mawar dan menyelinap dalam rumah ibadah untuk menyembah pada pemilik cinta. Lantunan do’a menggema memanggil-manggil namamu. Lekaslah datang pada kerinduan hendak menjelma pada kesepian malamku.

Duh, malam. Tiada kau lelah menemani gelisah pujangga sedang meminum anggur kasmaran pada gadisnya tak kunjung menyapa. walau hanya senyum manis bibirnya yang merah. Serta kibasan rambut yang memanggut rindu?tak ada.

Neng, sayapku tampak rapuh. Bila cahaya Illahiyah yang kau bawa tak kunjung kau sematkan padaku. Pada bulu-bulu bersikukuh menahan diri untukmu. pada tulang rusukku yang kau ambil satu. Aku hendak meluruskan demi kesamaan akan hakekat kita mengenang proses penciptaan.

Lukakah aku, bila kau tak kunjung tiba. Dukakah aku, bila kau enggan menyapa. Lelahkah aku, bila harus menunggumu. Patahkah aku bila aku jatuh padamu. Hanya tuhan, aku dan kau memiliki jawab atas resah cinta.

Malang, Juni 2010



Gadis Bermata Burung Hering

aku melihat mata burung hering
memandang tajam padaku
membawa isyarat kematian:
fikiran yang menyerbu,
kalbu yang berdentang tak merdu.

debar jejakku berdebar
jika ia meletakkan kakinya di pundakku

dalam asmara malam merintih
pada hening basah menjelma luka.

aku bersetubuh dengan darah dan duka.
tubuhku menjadi hitam
mematuk-matuk kerinduan akan kematian.

terbuka pintu maut kebahagian
kesadaran membaca tubuh tak beraturan
mengintai keyakinan pada pemilik kerinduan
sujudku dalam matanya memancar perpisahan

Malang, 2010

Sajak-Sajak Salman Rusydie Anwar

Lumpur
 
900 hari lamanya, aku gali lubang tanah ini. Tengoklah ke dalamnya. Kau akan temukan kerangka tubuhmu yang terlilit akar. Akar dari segala akar, yang sulurnya terus memanjang dan merambat sampai ke dalam otakmu. Mungkin kau tak merasa bahwa sel saraf di otakmu telah menjelma menjadi akar. Penuh tanah. Penuh debu. Hingga kau tak mampu membedakan cahaya matahari dan kunang-kunang.
Di malam kesekian.

Sajak-Sajak Akhmad Muhaimin Azzet

http://www.infoanda.com/Republika
DI LERENG MERAPI

asap tebal yang membumbung itu
mengarah ke utara
sementara aku menatap selatan

guguran lava itu menggetarkan jiwa
tetapi aku hanya terpaku
dalam pesona awan bergumpalan

zet, sudah saatnya mengungsi
ke mana engkau menyelamatkan diri
namun kaki ini kaku, jiwa pun kelu

2006



SELALU ADA JEJAK

bahkan aku tak pernah mencatat
bekas air atas batu-batu dan ganggang
apalagi belaian angin pada dedaunan
hingga gemerisik dalam kemesraan

padahal selalu ada jejak
tak sekadar tanda
yang akan menjadi saksi
saat berjumpa

bahkan aku hanya bisa diam
saat kesunyian kian larut pada malam
menumpahkan segala gerak pesona
tanpa suara, tanpa kata-kata

2006



MEMILIH KEMBALI

kemacetan demi kemacetan telah merangsek

dalam hari-hariku, lihatlah, betapa luka
telah tumpah di seruang dada
bau anyirnya mengaliri jasad yang gelora
meninggalkan polusi dunia

di manakah rayuan yang dulu kau nyanyikan
nyatanya mengembarai waktu
hanyalah kota yang kian berdesakan
wajah kepalsuan

dalam geremang malam yang kegerahan
aku memilih kembali, meski tawaran
semakin menggiurkan

2006



DI UJUNG SEBUAH JALAN

wajah siapakah yang muncul bergantian
di ujung sebuah jalan, memberikan hiburan
kepada jiwa yang sempoyongan
seharian bersitegang dengan pilihan

sesekali aku menjelma magma
yang bergemuruh dalam setiap percakapan
sebab selalu ada yang berbenturan
perihal kepentingan

di ujung sebuah jalan saatnya ditentukan
siapa kalah siapa menang

2006

Akhmad Muhaimin Azzet lahir di Banjardowo, Jombang, 2 Februari 1973. Alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini banyak menulis puisi, cerpen dan esei. Karya-karyanya dimuat di media cetak daerah dan nasional. Beberapa puisinya terangkum dalam antologi puisi Tamansari (FKY, 1998), Embun Tajalli Singapura (FKY, 2000), Lirik Lereng Merapi (Aksara Indonesia dan Dewan Kesenian Sleman, 2001), Filantropi (Aksara Indonesia dan FKY, 2001), Malam Bulan (Laba-laba dan Masyarakat Sastra Jakarta, 2002), dan Sajadah Kata (Syaamil, Bandung, 2002). Tinggal di Yogyakarta.

Sajak-Sajak Imamuddin SA

http://sastra-indonesia.com/
BECERMIN DI HENING AIR

kusampaikan bening keraguan
pada dedaun pupus
biar segala kegoncangan angin
tercurah di redup cahaya senja;
kemarin

mungkinkah ini aku
becermin di hening air
memunguti sisa luka yang hampir punah;
ah, jangan-jangan yang kulihat adalah wajahmu
wajah yang telah kupinjam darimu
beberapa waktu lalu

dan aku pun menyaksikan
lewat kedamaian alirnya
ada sesosok bayang-bayang
bersujud pada tubuhnya
Kendalkemlagi, Oktober 2008



MENGERINGKAN LARA

bershalawat
mengeringkan lara
dalam ketakjuban hampir sirnah
membayang kejernihan syafaat
dari kesempurnaan cahaya di atas cahaya

aku yang duduk dalam gelap lampu
nyaris tersenyum
menyapa sayup nyanyianku;

ah, tembangku mengalir
membentur-bentur dinding waktu,
kembali menyapaku

Kendalkemlagi, Oktober 2008



KEPADA HALAJ

kau tak pernah memanggilnya tuhan
tapi kau kerap berbisik padaku;
aku
aku
aku
haqq!

meski berkali-kali suara itu mengusik
namun aku masih tak mengerti,
ada isyarat gaib di samudraku
ada maqam yang belum tersentuh

sungguh mustahil
aku mendayung perahu di gurun syahadatmu
menyeberang diri ke seberang tawasinmu
aku layaknya beo dalam mimesis kata-katamu;

dan kini biarkan
panggung temali itu
menjadi saksi jahiliahku
menjadi cambuk jejak perjalananku

Kendalkemlagi, Oktober 2008



PERSINGGAHAN MAYA

tak kan kubiarkan benalu hati
bersemi di pohon yakinku
menghapus keindahanya
dengan kesungsangan rupa
persinggahan maya

dalam kembara
ingin kutanam seribu kamboja
di kebun batinku
saat sehelai rumput masih bisa tumbuh;
sebelum kering
sebelum gersang
sebelum pasi
sebelum rintik hujan menetes kembali
menghidupkan yang telah mati

Kendalkemlagi, Oktober 2008



ADA TANGIS DARI YANG MATI

sayu kudengar nyanyian hati nan fitri
dalam takbir kemenangan diri,
namun ada yang berbisik;
“ada tangis dari yang mati
tentang kekalahan sendiri
sebab terbitnya surya pembalasan
atas malam kedurhakaan
silam”

dan aku bertanya akan kesejatian
benarkah aku telah membayi di seberang perayaan?

Kendalkemlagi, Oktober 2008

Rabu, 18 Mei 2011

Sajak-Sajak Nunung S. Sutrisno

http://www.lampungpost.com/
Terampas di Kotamu

setelah pagi yang meremas dingin di kota lamamu
masihkah kau menungguku
di pojok taman kota di bawah pepohon waru?

sedang di sini aku masih berbenah setiap kata mengaliri
dan menjadikannya



Aku

mengapa tak sejenak kauendapkan
semua hujan untuk memulai rindu yang baru?

ah aku telah dirampas angin
tandas di deru kotamu

Tanka 11



Di Beranda Rumah

kaktus-kaktus masih basah
sisa hujan semalam

wangi pagi begitu khas seperti aroma segelas kopi
yang rajin kau pertemukan denganku, duhai kekasih

desik daun daun bambu meningkahi gemericik air kali
yang kini tak jernih lagi

namun apakah aku tak boleh menyimpan kenangan itu
atau dia tak pantas tersimpan di tempat yang kotor

atau kau ingin membingkainya seperti foto pernikahan kita
yang kini nampak sepi di atas meja ukir lusuh dan berdebu

ah, mungkin kita harus segera berharap agar hujan turun lagi
agar wajah wajah kita tersusun kembali dalam cecapnya

dalam jangkauan tangan-Nya.
Terima kasih Gusti.

Tanka11



Di Sepanjang Jalan Enggal

pedagang pedagang
jagung bakar
di sepanjang jalan enggal
menatap malam diantara bara arang
dan berpasang kekasih begitu mekar di trotoar

mereka membegal mimpi kota
susut di wajah pedagang

mungkin kelak
atau esok
kitalah
yang menggantikannya

membakar malam
agar terselami; pun luput dan tak bisa puput
di kabut asap
mengangga.

Tanka11



Malam Kunang-Kunang

mengapa masih saja
kau jual tubuhmu dimabuk kota
di impianmu dulu ketika kau masih tinggal di desa

apakah kau lupa
pesan emak dan abah tentang bianglala
malam malam serupa kunang kunang di tengah pekuburan

ketika rintik gerimis memagut indah bibirmu,
matamu berkedip seolah tak ingin pisah
namun kini resahnya mendesakmu

memimpikanmu
di impianmu
sendiri

Tanka 11



Perempuanku

perempuanku, gerimis baru saja pulang
bergegaslah kau jemput malam yang akan datang
dan mohon jangan kau jamu aku dengan kuncup hatimu
yang redup biarkan ia tumbuh segar dan mekar
serupa mawar yang setia tumbuh di samping kamar

dan perjumpaan sepasang merpati
tadi sore yang hinggap di wuwungan rumah kita
adalah sebuah tanda esok pagi akan turun hujan
dan kemarau pun pergi bersama segala impiannya

aku tahu betapa tahun tahun penuh debu
dan kau pun melunta di sepanjang jalan nuju utara

tubuhmu di penuhi udara
ada pesan di ranting ranting cempaka
namun lali untuk kusampaikan padamu

wahai kau laki laki,
tak pernahkah kau berhenti hanya sekadar mencecapi
semangkuk puisi

dan sejejak langkahmu adalah nyanyi rindu perempuanmu
yang terlentang,
menunggu maut memagutnya: mesra

Tanka11

———-
Nunung S. Sutrisno, lahir di Yogjakarta 23 Agustus 1976. Belajar kesenian di Teater Satu, Lampung. Sarjana Teknik Universitas Malahayati ini saat ini bekerja pada sebuah perusahaan swasta.

Selasa, 10 Mei 2011

Sajak-Sajak Dody Kristianto

http://www.lampungpost.com/
Penunggu Pancang

terima kasih
sudah kau memarkan
tubuh kami

jejarum lancipmu
melebihi bilah pedang Persia
yang berulang
menghunus tubuh kami

tapi sungguh
kami tak kunjung mati
sebab kau bukakan lagi
pintu bagi kami

menuju liang:
alamat para penggali
mencintai namamu
yang tak mampu
kami seru lagi

2011



Pencatat Hikayat

ia selalu kembali
serupa padri yang tak mati
segala bara dipindainya
untuk langit yang tak ia dapati
di kamar sempitnya

2011



Pengusung Hujan

sepasang tanduk
lebih tajam
melukai pipi malam

sepanjang tatapannya,
sebarisan semut
pendar
berpencar
dari liang tubuh
menangkap kemercik

yang diyakini
sebagai benih cinta
untuk musim tanam
yang akan datang

2011



Tiga Tilas Kuping

bunyi pertama:
sepasang kesabaran
yang bosan melintas

sebab telah renta ia
melebihi kerentaan daging bumi
yang tak kunjung ia retakkan

bunyi kedua:
sepasukan pengelana
yang tak ingin berpulang
ke ketinggian

sebab purna sudah ia menarik
segala macam kerinduan
yang dipanjatkan manusia

ia lelah mendengar doa
dan semua mantra

bunyi ketiga:
selembaran kitab langit
yang alpa diisi

sesudah semua bidadari
turun ke bumi
menjelma sehamparan biji
paling putih

sehamparan biji nan letih
nan kelak tak kekal-abadi

2010



Perihal Singkat Selepas Hujan

pelangi:
ia benih yang lama iri
sementara hujan sudah merampungkan
sarapannya pada cawan pecah ini

sorak katak:
pulang, pulanglah ia pada tepian telaga
seusai sepi mengepungnya hanya
dan sayap beningnya tanggal sempurna

mengemas payung:
terbang sudah ia
sesudah rindunya yang semenjana
ditetaskan awan paling tumpah

2010

—-
Dody Kristianto lahir di Surabaya, 3 April 1986, lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) serta memberdayakan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Karya-karyanya dipublikasikan beberapa media dan antologi bersama.

Sajak Iwan Nurdaya-Djafar

Pembelaan Hawa
http://www.lampungpost.com/

Namaku Hawa alias Eva,
boleh juga kaupanggil aku Eve
bila memang kau penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak mendalam memahami kitabsuci1
dan percaya begitu saja pada dongeng yahudi tua
yang diselundupkan ke dalamnya
bahwa aku tercipta dari tulang rusuk Adam
bukan dari citra Allah seperti Adam tercipta2
kalian tak sungguh mendalami khasanah hadis
menyebut hadis israiliyat yang palsu sebagai sahih3
bahwa aku — lagi-lagi — tercipta dari tulang rusuk lelaki
bahkan bukan tulang rusuk pilihan
tapi justru yang paling bengkok
yang mudah patah
demi menyebut diriku dan kaumku lemah
padahal dalam kitabsuci yang furqan
aku dan Adam tercipta dari nafs wahidah4
artinya tanah yang ditiupkan ruh Allah.

tiba di sini masihkah kalian percaya
pada dongeng yahudi tua
yang menodai kitabsuci dan hadis
yang hendak melecehkan perempuan
sedari awal penciptaan.

Namaku Hawa alias Eva,
kalian boleh memanggiku Eve
bila memang kalian penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak mendalam memahami kitabsuci
dan percaya begitu saja
bahwa akulah penyebab kejatuhan manusia
dari surga kekal ke bumi fana
kinilah saatnya kutandaskan
bukan aku yang menggoda adam
tapi setanlah yang memperdaya kami berdua
untuk menampakkan kemaluan
dan memasuki peraduan
maka terjadilah perselingkuhan di surga
sebab aku bukanlah istri adam
adam pun bukanlah suamiku
aku adalah zawj5, artinya pasangan seksual.

bukankah Tuhan telah berfirman: jangan dekati syajara6
syajara adalah alegori
arti lugasnya: perbuatan seksual
bukan pohon atau buah
seperti dimengerti selama ini.

jika adam suamiku
dan aku istrinya
tentulah perbuatan seksual itu obyek yang halal
antara kami berdua yang dicekam sunyi surgawi
maka perselingkuhan pun terjadi
duh insyafilah, dalam soal seks manusia diciptakan lemah.7

Namaku Hawa alias Eva,
kalian boleh memanggiku Eve
bila memang kalian penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak sungguh mendalami kitabsuci
dan percaya begitu saja
bahwa dosa yang kami lakukan
terwarisi hingga akhir zaman
ditanggung renteng oleh umat manusia
kini saatnya kutandaskan
dosa itu tanggungjawab kami semata
dan bukan pula dosa tak berampun
karena kami berdua telah diampuni8
oleh Tuhan mahapengampun
sebelum kami menjejakkan kaki di bumi
demi memulai kehidupan yang lain lagi.

Sukarame, 4 Desember 2010

Catatan kaki:

1. Al-Kitab, Kitab Kejadian (Book of genesis) 2: 21-23.

2. Al-Kitab, Kitab Kejadian (Book of Genesis) 1: 26-27.

3. Terdapat enam hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, tiga hadis dalam Shahih Bukhari dan tiga lagi dalam Shahih Muslim.

4. Al-Quran, Al-Nisa’ ayat 1.

5. Menurut A Dictionary of Islamic Terms: Arabic- English (hlm 181) susunan Deeb Al-Khudrawi, zauj atau zawj (jamak azwaj) berarti suami, teman (kawan, rekan), istri.

6. Al-Quran, Al-Baqarah 92): 35; kata syajara, arti lugasnya pohon, arti kiasnya perbuatan seksual.

7. Al-Quran, Al-Nisa’ (4): 28.

8. Al-Quran, Al-A’raf (7): 23, Al-Baqarah (2): 37, dan Al-Baqarah (2): 73.

——–
Iwan Nurdaya Djafar, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 14 Maret 1959. Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (1994—1996) ini pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada acara Forum Puisi Indonesia (1987) dan acara Pembacaan Puisi Tiga Penyair Lampung bersama Isbedy Stiawan Z.S. dan Sugandhi Putra (1989). Bukunya antara lain Seratus Sajak (kumpulan sajak bersama Sugandhi Putra, 1989) dan Hukum dan Susastra (1992). Ia banyak menerjemahkan karya-karya Kahlil Gibran, Manuel Komrif, dan Ali Shariati.

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae