http://sastra-indonesia.com/
Stasuin Ijo Kebumen
Stasiun Karang Anyar lenyap oleh lelah
Stasiun Ijo jadi pilihan
Kami turun, berlari
Padahal rasa kantuk nan lapar kian bergumul,
Lantas kutulis sajak ini di teras malam stasiun agar terkenang esok
Agar menjadi peristiwa di secarik kertas
Sambil menunggu jemputan yang tibanya setelah kokok ayam jantan
Yang saling bersahutan seolah menyambut kami yang kelelahan.
20 Januari 2010
Wrutuk*
Seekor wrutuk berbaring di telapak-tanganku seperti mati
Saat gelombang mencumbu bibir pantai
Gelisah ia mencium bau laut yang khas
“tenang saja” Bisikku,
Lalu kuletakkan ia, tubuhnya masuk ke pasir sembunyi
Tak nampak jejaknya seperti sesajen yang hilang ditelan ombak selatan
Pantai Selatan, 21 Januari 2010
*sejenis rimata laut berukuran, kecil yang hidup di pasir pantai menyerupai
Di kapal antara Merak-Bakau Hueni
Penumpang-penumpang hilir mudik mencari sela istirahat memburu nyaman
Sementara bujuk rayu pedagang buku bertambah seru
Dua jam pelayaran kiranya cukup melelahkan
Di atas sana matahari terik membias deburan ombak di dinding kapal
Bagiku puisi ini tak berujung meski kapal telah bersandar di dermaga Bakau Hueni
Lalu
Waktu
Berlalu
Kangen
Setengah perjalananku ditandai debur ombak pelabuhan Merak-Bakau Hueni
Separuh hati ini masih segar ingat kau di sana
Sisanya tertambat kampung halamanku
Kangen
Belumlah sempurna perjalanan ini hingga keduanya jadi satu
Engkau dan kampungku
Kecuali bila kita tempuh keduanya demi lunaskan harapan
21 Januari 2010
———–
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 25 Mei 2011
Sajak-Sajak Raudal Tanjung Banua
http://www.lampungpost.com/
Ke Pedalaman
1.
arus yang lamban. jembatan kayu tua
hitam batu bara
teronggok di tongkang renta
adalah susu perempuan negro
tersesat di borneo
seorang perempuan iban
menatapnya iba
“kita sama-sama matang oleh derita,
sama-sama malang di bumi yang sama.”
mourina, perempuan iban itu, kujumpai ia
di atas jembatan kayu tua
melintasi anak sungai
yang merana
2.
“tak ada yang kami miliki,
kecuali dengus nafas
kuli tanah sendiri,” masih kusimpan cakap
laki-laki bercaping pandan bagai seciap
anak ayam hutan
yang lalu bergegas hilang
ke kelindan asap pembakaran
pelepah sawit yang menua
3.
waktu kembali
ke pangkal jembatan kayu tua
perempuan dan laki-laki itu
mencangkung tanpa suara
bagai patung minta kembali ke asal-mula:
pohon, kayu, batu di rimba. saat itu aku merasa
tidak ke mana-mana; diri adalah pedalaman
yang diangan. kian dalam, kian banyak tak dikenal
/Batola-Yogyakarta, 2009-2011
Sampah-sampah Mengapung
ini zaman sampah-sampah mengapung
orang-orang gugur di mataku
tiap hari makin banyak yang kubenci
dan yang membenci lebih banyak lagi
masuk, hatiku, kunci dari dalam, kunci yang dalam!
cuaca semesta sedang buruk
para tukang tenung dan tukang sihir mabuk,
kepayang bayang-bayang kejayaan
tukang kebun tersingkir ke taman-taman api
para penyair bergerombol membincang diri sendiri
hatiku yang terasing menolak teronggok jadi sekilo daging!
“hatiku, janganlah kau bersedih melihat makhluk-makhluk
yang sekedar penduduk. mereka hanya penghuni mati
sebuah negeri di bawah garang matahari
tapi tak sanggup membakar sampah-sampah,
basah, berkilau lumpur warna-warni, terapung hanyut
melintasi taman-taman negeri.
jangan kau bersedih.”
dengan ini hatiku menyala, melebihi matahari
mengubah sungai dan muara
jadi api, jadi lautan api…
/Kalteng-Yogyakarta, 2010-2011
Minahasa
ekor kolintang menyayat mata mayat di bintang
/tomohon-yogya, 2009-2011
Nangabulik
– bersama kawan seperjalanan
ke balik bukit batu kita menuju
di kiri-kanan hamparan sawit
luas, tak terhala pandangan
diam-diam, ingatan kita bersekutu dengan sisa asap
pembakaran, membentuk sayap-sayap burung enggang
membubung ke awan menjadi mendung
bergulung, menaungi perjalanan
murung, kita dan bukit-bukit batu itu, bagaimanapun
penanda arah yang dituju. sekali waktu kausebut bukit sintang
di petaku terbaca bukit ketapang
sama saja. nama tak mengubah ia jadi emas
jangan cemas, kita akan tiba, kita telah tiba
sebelum senja, sebelum cakrawala bilang sudah
pada langit yang dipuja
lihat, patung kijang jantan itu
terlongong di atas beton bulatan tunggul kayu
terlongong memandang cahaya angslup
perlahan, bagai rawa-rawa kejam menarik cinta dan bayangan
di kaki-kaki betinanya
ia terus berdiri di situ, di alun-alun kecil timbunan waktu
barangkali menunggu, menyambut
jika anak-anaknya yang dilahirkan di sisa hutan jauh
di sisi-sisi tajam tombak pemburu
ke luar bersama barisan kera dan beruang
mengasah tanduk, gigi dan kuku-kukunya panjang!
kelak, di balik bukit batu ini
akan ada penanda lain: ruh enggang,
penantian kijang dan puisi yang juga terus memanjang….
/Lamandau, 2010 – Yogyakarta, 2011
————
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Kini redaktur rumahlebah ruangpuisi dan ketua redaksi Jurnal Cerpen Indonesia. Memperoleh Anugerah MASTERA untuk buku puisinya, Gugusan Mata Ibu (2005). Buku puisinya yang akan terbit: Api Bawah Tanah.
Ke Pedalaman
1.
arus yang lamban. jembatan kayu tua
hitam batu bara
teronggok di tongkang renta
adalah susu perempuan negro
tersesat di borneo
seorang perempuan iban
menatapnya iba
“kita sama-sama matang oleh derita,
sama-sama malang di bumi yang sama.”
mourina, perempuan iban itu, kujumpai ia
di atas jembatan kayu tua
melintasi anak sungai
yang merana
2.
“tak ada yang kami miliki,
kecuali dengus nafas
kuli tanah sendiri,” masih kusimpan cakap
laki-laki bercaping pandan bagai seciap
anak ayam hutan
yang lalu bergegas hilang
ke kelindan asap pembakaran
pelepah sawit yang menua
3.
waktu kembali
ke pangkal jembatan kayu tua
perempuan dan laki-laki itu
mencangkung tanpa suara
bagai patung minta kembali ke asal-mula:
pohon, kayu, batu di rimba. saat itu aku merasa
tidak ke mana-mana; diri adalah pedalaman
yang diangan. kian dalam, kian banyak tak dikenal
/Batola-Yogyakarta, 2009-2011
Sampah-sampah Mengapung
ini zaman sampah-sampah mengapung
orang-orang gugur di mataku
tiap hari makin banyak yang kubenci
dan yang membenci lebih banyak lagi
masuk, hatiku, kunci dari dalam, kunci yang dalam!
cuaca semesta sedang buruk
para tukang tenung dan tukang sihir mabuk,
kepayang bayang-bayang kejayaan
tukang kebun tersingkir ke taman-taman api
para penyair bergerombol membincang diri sendiri
hatiku yang terasing menolak teronggok jadi sekilo daging!
“hatiku, janganlah kau bersedih melihat makhluk-makhluk
yang sekedar penduduk. mereka hanya penghuni mati
sebuah negeri di bawah garang matahari
tapi tak sanggup membakar sampah-sampah,
basah, berkilau lumpur warna-warni, terapung hanyut
melintasi taman-taman negeri.
jangan kau bersedih.”
dengan ini hatiku menyala, melebihi matahari
mengubah sungai dan muara
jadi api, jadi lautan api…
/Kalteng-Yogyakarta, 2010-2011
Minahasa
ekor kolintang menyayat mata mayat di bintang
/tomohon-yogya, 2009-2011
Nangabulik
– bersama kawan seperjalanan
ke balik bukit batu kita menuju
di kiri-kanan hamparan sawit
luas, tak terhala pandangan
diam-diam, ingatan kita bersekutu dengan sisa asap
pembakaran, membentuk sayap-sayap burung enggang
membubung ke awan menjadi mendung
bergulung, menaungi perjalanan
murung, kita dan bukit-bukit batu itu, bagaimanapun
penanda arah yang dituju. sekali waktu kausebut bukit sintang
di petaku terbaca bukit ketapang
sama saja. nama tak mengubah ia jadi emas
jangan cemas, kita akan tiba, kita telah tiba
sebelum senja, sebelum cakrawala bilang sudah
pada langit yang dipuja
lihat, patung kijang jantan itu
terlongong di atas beton bulatan tunggul kayu
terlongong memandang cahaya angslup
perlahan, bagai rawa-rawa kejam menarik cinta dan bayangan
di kaki-kaki betinanya
ia terus berdiri di situ, di alun-alun kecil timbunan waktu
barangkali menunggu, menyambut
jika anak-anaknya yang dilahirkan di sisa hutan jauh
di sisi-sisi tajam tombak pemburu
ke luar bersama barisan kera dan beruang
mengasah tanduk, gigi dan kuku-kukunya panjang!
kelak, di balik bukit batu ini
akan ada penanda lain: ruh enggang,
penantian kijang dan puisi yang juga terus memanjang….
/Lamandau, 2010 – Yogyakarta, 2011
————
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Kini redaktur rumahlebah ruangpuisi dan ketua redaksi Jurnal Cerpen Indonesia. Memperoleh Anugerah MASTERA untuk buku puisinya, Gugusan Mata Ibu (2005). Buku puisinya yang akan terbit: Api Bawah Tanah.
Sajak-Sajak Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/
Cinta Di Bulan Juni
Bila yang pernah aku temui adalah hujan bulan juni*. Kini usai pada matahari bulan juni**. Ada kabar tentang waktu yang menua dan harus tergantikan dengan kemudaan. Melewati hari-hari sepi bulan juni. Sehabis aku meninggalkan jejak pada mei yang penuh luka dan darah dalam sejarah bangsa ini.
O juni, gadis-gadis menari dengan lekuk tubuh yang memancing gelora cinta membumbung ke awan. Kesepian dan kelukaan tentang hati sedikit meredup dalam gonjangan jeratan kisah. Akankah menjadi kasih?. Bila masa lalu masih ingatkan akan dendam pada tuhan yang memberikan kasih rapuhku (Bukankah masa lalu adalah cermin). Aku menyegerakan diri membasuh wajah luka dengan air suci menatap langit dan merebahkan diri dalam do’a-do’a panjang. Harapku adalah musim cinta akan aku petik dari gadis-gadis penari yang mengeja lakon-lakon sandiwara dengan tariannya.
Masih aku gemgam kalimat tanya. Masih aku simpan kalimat tanya. Masih saja, tak hendak meletup padanya.
Kini juni, telah aku nobatkan menjadi musim cinta. Aku jatuh cinta lagi. Pada rintik hujan dan matahari yang saling silang menyapa jejak-jejak langkah menggambar hati dengan bunga sorga. Padamu gadis bermata jelita, bulan juni milik kita.
Malang, Juni 2010
*judul puisi sapardi joko damono (hujan bulan juni)
** judul puisi ragil sukriwul (matahari bulan juni)
Sajak Untuk Neng
:lis
Betama lama aku menunggu di gelisah malam tak bertepi. Sajak-sajak cinta bercahaya menaungiku dalam gelap pekat waktu. Mencari jalan menuju taman firdaus yang di dalamnya tumbuh bunga-bunga mawar merona. kan aku petik buatmu satu.
Sinar rembulan enggan datang, mungkin juga menantimu sebab aku melihat sinarnya ada di matamu. Berbinar-binar saat kau pernah menatapku. O indahnya kala itu.
Kemarilah! Neng, ada kisah yang menuntunmu pada resah yang aku genggam saat kau bercerita tentang kekasihmu. Harap sesal kau lalui memandang jalan penuh tawa dan bahagia. Kau bercerita padaku ketika itu. Bersandarlah pada bahuku yang sudah menunggu kepalamu.
Neng, masihkah kau ragu padaku. Pada sajak-sajak yang menggambar bunga mawar dan menyelinap dalam rumah ibadah untuk menyembah pada pemilik cinta. Lantunan do’a menggema memanggil-manggil namamu. Lekaslah datang pada kerinduan hendak menjelma pada kesepian malamku.
Duh, malam. Tiada kau lelah menemani gelisah pujangga sedang meminum anggur kasmaran pada gadisnya tak kunjung menyapa. walau hanya senyum manis bibirnya yang merah. Serta kibasan rambut yang memanggut rindu?tak ada.
Neng, sayapku tampak rapuh. Bila cahaya Illahiyah yang kau bawa tak kunjung kau sematkan padaku. Pada bulu-bulu bersikukuh menahan diri untukmu. pada tulang rusukku yang kau ambil satu. Aku hendak meluruskan demi kesamaan akan hakekat kita mengenang proses penciptaan.
Lukakah aku, bila kau tak kunjung tiba. Dukakah aku, bila kau enggan menyapa. Lelahkah aku, bila harus menunggumu. Patahkah aku bila aku jatuh padamu. Hanya tuhan, aku dan kau memiliki jawab atas resah cinta.
Malang, Juni 2010
Gadis Bermata Burung Hering
aku melihat mata burung hering
memandang tajam padaku
membawa isyarat kematian:
fikiran yang menyerbu,
kalbu yang berdentang tak merdu.
debar jejakku berdebar
jika ia meletakkan kakinya di pundakku
dalam asmara malam merintih
pada hening basah menjelma luka.
aku bersetubuh dengan darah dan duka.
tubuhku menjadi hitam
mematuk-matuk kerinduan akan kematian.
terbuka pintu maut kebahagian
kesadaran membaca tubuh tak beraturan
mengintai keyakinan pada pemilik kerinduan
sujudku dalam matanya memancar perpisahan
Malang, 2010
Cinta Di Bulan Juni
Bila yang pernah aku temui adalah hujan bulan juni*. Kini usai pada matahari bulan juni**. Ada kabar tentang waktu yang menua dan harus tergantikan dengan kemudaan. Melewati hari-hari sepi bulan juni. Sehabis aku meninggalkan jejak pada mei yang penuh luka dan darah dalam sejarah bangsa ini.
O juni, gadis-gadis menari dengan lekuk tubuh yang memancing gelora cinta membumbung ke awan. Kesepian dan kelukaan tentang hati sedikit meredup dalam gonjangan jeratan kisah. Akankah menjadi kasih?. Bila masa lalu masih ingatkan akan dendam pada tuhan yang memberikan kasih rapuhku (Bukankah masa lalu adalah cermin). Aku menyegerakan diri membasuh wajah luka dengan air suci menatap langit dan merebahkan diri dalam do’a-do’a panjang. Harapku adalah musim cinta akan aku petik dari gadis-gadis penari yang mengeja lakon-lakon sandiwara dengan tariannya.
Masih aku gemgam kalimat tanya. Masih aku simpan kalimat tanya. Masih saja, tak hendak meletup padanya.
Kini juni, telah aku nobatkan menjadi musim cinta. Aku jatuh cinta lagi. Pada rintik hujan dan matahari yang saling silang menyapa jejak-jejak langkah menggambar hati dengan bunga sorga. Padamu gadis bermata jelita, bulan juni milik kita.
Malang, Juni 2010
*judul puisi sapardi joko damono (hujan bulan juni)
** judul puisi ragil sukriwul (matahari bulan juni)
Sajak Untuk Neng
:lis
Betama lama aku menunggu di gelisah malam tak bertepi. Sajak-sajak cinta bercahaya menaungiku dalam gelap pekat waktu. Mencari jalan menuju taman firdaus yang di dalamnya tumbuh bunga-bunga mawar merona. kan aku petik buatmu satu.
Sinar rembulan enggan datang, mungkin juga menantimu sebab aku melihat sinarnya ada di matamu. Berbinar-binar saat kau pernah menatapku. O indahnya kala itu.
Kemarilah! Neng, ada kisah yang menuntunmu pada resah yang aku genggam saat kau bercerita tentang kekasihmu. Harap sesal kau lalui memandang jalan penuh tawa dan bahagia. Kau bercerita padaku ketika itu. Bersandarlah pada bahuku yang sudah menunggu kepalamu.
Neng, masihkah kau ragu padaku. Pada sajak-sajak yang menggambar bunga mawar dan menyelinap dalam rumah ibadah untuk menyembah pada pemilik cinta. Lantunan do’a menggema memanggil-manggil namamu. Lekaslah datang pada kerinduan hendak menjelma pada kesepian malamku.
Duh, malam. Tiada kau lelah menemani gelisah pujangga sedang meminum anggur kasmaran pada gadisnya tak kunjung menyapa. walau hanya senyum manis bibirnya yang merah. Serta kibasan rambut yang memanggut rindu?tak ada.
Neng, sayapku tampak rapuh. Bila cahaya Illahiyah yang kau bawa tak kunjung kau sematkan padaku. Pada bulu-bulu bersikukuh menahan diri untukmu. pada tulang rusukku yang kau ambil satu. Aku hendak meluruskan demi kesamaan akan hakekat kita mengenang proses penciptaan.
Lukakah aku, bila kau tak kunjung tiba. Dukakah aku, bila kau enggan menyapa. Lelahkah aku, bila harus menunggumu. Patahkah aku bila aku jatuh padamu. Hanya tuhan, aku dan kau memiliki jawab atas resah cinta.
Malang, Juni 2010
Gadis Bermata Burung Hering
aku melihat mata burung hering
memandang tajam padaku
membawa isyarat kematian:
fikiran yang menyerbu,
kalbu yang berdentang tak merdu.
debar jejakku berdebar
jika ia meletakkan kakinya di pundakku
dalam asmara malam merintih
pada hening basah menjelma luka.
aku bersetubuh dengan darah dan duka.
tubuhku menjadi hitam
mematuk-matuk kerinduan akan kematian.
terbuka pintu maut kebahagian
kesadaran membaca tubuh tak beraturan
mengintai keyakinan pada pemilik kerinduan
sujudku dalam matanya memancar perpisahan
Malang, 2010
Sajak-Sajak Salman Rusydie Anwar
Lumpur
900 hari lamanya, aku gali lubang tanah ini. Tengoklah ke dalamnya. Kau akan temukan kerangka tubuhmu yang terlilit akar. Akar dari segala akar, yang sulurnya terus memanjang dan merambat sampai ke dalam otakmu. Mungkin kau tak merasa bahwa sel saraf di otakmu telah menjelma menjadi akar. Penuh tanah. Penuh debu. Hingga kau tak mampu membedakan cahaya matahari dan kunang-kunang.
Di malam kesekian.
900 hari lamanya, aku gali lubang tanah ini. Tengoklah ke dalamnya. Kau akan temukan kerangka tubuhmu yang terlilit akar. Akar dari segala akar, yang sulurnya terus memanjang dan merambat sampai ke dalam otakmu. Mungkin kau tak merasa bahwa sel saraf di otakmu telah menjelma menjadi akar. Penuh tanah. Penuh debu. Hingga kau tak mampu membedakan cahaya matahari dan kunang-kunang.
Di malam kesekian.
Sajak-Sajak Akhmad Muhaimin Azzet
http://www.infoanda.com/Republika
DI LERENG MERAPI
asap tebal yang membumbung itu
mengarah ke utara
sementara aku menatap selatan
guguran lava itu menggetarkan jiwa
tetapi aku hanya terpaku
dalam pesona awan bergumpalan
zet, sudah saatnya mengungsi
ke mana engkau menyelamatkan diri
namun kaki ini kaku, jiwa pun kelu
2006
SELALU ADA JEJAK
bahkan aku tak pernah mencatat
bekas air atas batu-batu dan ganggang
apalagi belaian angin pada dedaunan
hingga gemerisik dalam kemesraan
padahal selalu ada jejak
tak sekadar tanda
yang akan menjadi saksi
saat berjumpa
bahkan aku hanya bisa diam
saat kesunyian kian larut pada malam
menumpahkan segala gerak pesona
tanpa suara, tanpa kata-kata
2006
MEMILIH KEMBALI
kemacetan demi kemacetan telah merangsek
dalam hari-hariku, lihatlah, betapa luka
telah tumpah di seruang dada
bau anyirnya mengaliri jasad yang gelora
meninggalkan polusi dunia
di manakah rayuan yang dulu kau nyanyikan
nyatanya mengembarai waktu
hanyalah kota yang kian berdesakan
wajah kepalsuan
dalam geremang malam yang kegerahan
aku memilih kembali, meski tawaran
semakin menggiurkan
2006
DI UJUNG SEBUAH JALAN
wajah siapakah yang muncul bergantian
di ujung sebuah jalan, memberikan hiburan
kepada jiwa yang sempoyongan
seharian bersitegang dengan pilihan
sesekali aku menjelma magma
yang bergemuruh dalam setiap percakapan
sebab selalu ada yang berbenturan
perihal kepentingan
di ujung sebuah jalan saatnya ditentukan
siapa kalah siapa menang
2006
Akhmad Muhaimin Azzet lahir di Banjardowo, Jombang, 2 Februari 1973. Alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini banyak menulis puisi, cerpen dan esei. Karya-karyanya dimuat di media cetak daerah dan nasional. Beberapa puisinya terangkum dalam antologi puisi Tamansari (FKY, 1998), Embun Tajalli Singapura (FKY, 2000), Lirik Lereng Merapi (Aksara Indonesia dan Dewan Kesenian Sleman, 2001), Filantropi (Aksara Indonesia dan FKY, 2001), Malam Bulan (Laba-laba dan Masyarakat Sastra Jakarta, 2002), dan Sajadah Kata (Syaamil, Bandung, 2002). Tinggal di Yogyakarta.
DI LERENG MERAPI
asap tebal yang membumbung itu
mengarah ke utara
sementara aku menatap selatan
guguran lava itu menggetarkan jiwa
tetapi aku hanya terpaku
dalam pesona awan bergumpalan
zet, sudah saatnya mengungsi
ke mana engkau menyelamatkan diri
namun kaki ini kaku, jiwa pun kelu
2006
SELALU ADA JEJAK
bahkan aku tak pernah mencatat
bekas air atas batu-batu dan ganggang
apalagi belaian angin pada dedaunan
hingga gemerisik dalam kemesraan
padahal selalu ada jejak
tak sekadar tanda
yang akan menjadi saksi
saat berjumpa
bahkan aku hanya bisa diam
saat kesunyian kian larut pada malam
menumpahkan segala gerak pesona
tanpa suara, tanpa kata-kata
2006
MEMILIH KEMBALI
kemacetan demi kemacetan telah merangsek
dalam hari-hariku, lihatlah, betapa luka
telah tumpah di seruang dada
bau anyirnya mengaliri jasad yang gelora
meninggalkan polusi dunia
di manakah rayuan yang dulu kau nyanyikan
nyatanya mengembarai waktu
hanyalah kota yang kian berdesakan
wajah kepalsuan
dalam geremang malam yang kegerahan
aku memilih kembali, meski tawaran
semakin menggiurkan
2006
DI UJUNG SEBUAH JALAN
wajah siapakah yang muncul bergantian
di ujung sebuah jalan, memberikan hiburan
kepada jiwa yang sempoyongan
seharian bersitegang dengan pilihan
sesekali aku menjelma magma
yang bergemuruh dalam setiap percakapan
sebab selalu ada yang berbenturan
perihal kepentingan
di ujung sebuah jalan saatnya ditentukan
siapa kalah siapa menang
2006
Akhmad Muhaimin Azzet lahir di Banjardowo, Jombang, 2 Februari 1973. Alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini banyak menulis puisi, cerpen dan esei. Karya-karyanya dimuat di media cetak daerah dan nasional. Beberapa puisinya terangkum dalam antologi puisi Tamansari (FKY, 1998), Embun Tajalli Singapura (FKY, 2000), Lirik Lereng Merapi (Aksara Indonesia dan Dewan Kesenian Sleman, 2001), Filantropi (Aksara Indonesia dan FKY, 2001), Malam Bulan (Laba-laba dan Masyarakat Sastra Jakarta, 2002), dan Sajadah Kata (Syaamil, Bandung, 2002). Tinggal di Yogyakarta.
Sajak-Sajak Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/
BECERMIN DI HENING AIR
kusampaikan bening keraguan
pada dedaun pupus
biar segala kegoncangan angin
tercurah di redup cahaya senja;
kemarin
mungkinkah ini aku
becermin di hening air
memunguti sisa luka yang hampir punah;
ah, jangan-jangan yang kulihat adalah wajahmu
wajah yang telah kupinjam darimu
beberapa waktu lalu
dan aku pun menyaksikan
lewat kedamaian alirnya
ada sesosok bayang-bayang
bersujud pada tubuhnya
Kendalkemlagi, Oktober 2008
MENGERINGKAN LARA
bershalawat
mengeringkan lara
dalam ketakjuban hampir sirnah
membayang kejernihan syafaat
dari kesempurnaan cahaya di atas cahaya
aku yang duduk dalam gelap lampu
nyaris tersenyum
menyapa sayup nyanyianku;
ah, tembangku mengalir
membentur-bentur dinding waktu,
kembali menyapaku
Kendalkemlagi, Oktober 2008
KEPADA HALAJ
kau tak pernah memanggilnya tuhan
tapi kau kerap berbisik padaku;
aku
aku
aku
haqq!
meski berkali-kali suara itu mengusik
namun aku masih tak mengerti,
ada isyarat gaib di samudraku
ada maqam yang belum tersentuh
sungguh mustahil
aku mendayung perahu di gurun syahadatmu
menyeberang diri ke seberang tawasinmu
aku layaknya beo dalam mimesis kata-katamu;
dan kini biarkan
panggung temali itu
menjadi saksi jahiliahku
menjadi cambuk jejak perjalananku
Kendalkemlagi, Oktober 2008
PERSINGGAHAN MAYA
tak kan kubiarkan benalu hati
bersemi di pohon yakinku
menghapus keindahanya
dengan kesungsangan rupa
persinggahan maya
dalam kembara
ingin kutanam seribu kamboja
di kebun batinku
saat sehelai rumput masih bisa tumbuh;
sebelum kering
sebelum gersang
sebelum pasi
sebelum rintik hujan menetes kembali
menghidupkan yang telah mati
Kendalkemlagi, Oktober 2008
ADA TANGIS DARI YANG MATI
sayu kudengar nyanyian hati nan fitri
dalam takbir kemenangan diri,
namun ada yang berbisik;
“ada tangis dari yang mati
tentang kekalahan sendiri
sebab terbitnya surya pembalasan
atas malam kedurhakaan
silam”
dan aku bertanya akan kesejatian
benarkah aku telah membayi di seberang perayaan?
Kendalkemlagi, Oktober 2008
BECERMIN DI HENING AIR
kusampaikan bening keraguan
pada dedaun pupus
biar segala kegoncangan angin
tercurah di redup cahaya senja;
kemarin
mungkinkah ini aku
becermin di hening air
memunguti sisa luka yang hampir punah;
ah, jangan-jangan yang kulihat adalah wajahmu
wajah yang telah kupinjam darimu
beberapa waktu lalu
dan aku pun menyaksikan
lewat kedamaian alirnya
ada sesosok bayang-bayang
bersujud pada tubuhnya
Kendalkemlagi, Oktober 2008
MENGERINGKAN LARA
bershalawat
mengeringkan lara
dalam ketakjuban hampir sirnah
membayang kejernihan syafaat
dari kesempurnaan cahaya di atas cahaya
aku yang duduk dalam gelap lampu
nyaris tersenyum
menyapa sayup nyanyianku;
ah, tembangku mengalir
membentur-bentur dinding waktu,
kembali menyapaku
Kendalkemlagi, Oktober 2008
KEPADA HALAJ
kau tak pernah memanggilnya tuhan
tapi kau kerap berbisik padaku;
aku
aku
aku
haqq!
meski berkali-kali suara itu mengusik
namun aku masih tak mengerti,
ada isyarat gaib di samudraku
ada maqam yang belum tersentuh
sungguh mustahil
aku mendayung perahu di gurun syahadatmu
menyeberang diri ke seberang tawasinmu
aku layaknya beo dalam mimesis kata-katamu;
dan kini biarkan
panggung temali itu
menjadi saksi jahiliahku
menjadi cambuk jejak perjalananku
Kendalkemlagi, Oktober 2008
PERSINGGAHAN MAYA
tak kan kubiarkan benalu hati
bersemi di pohon yakinku
menghapus keindahanya
dengan kesungsangan rupa
persinggahan maya
dalam kembara
ingin kutanam seribu kamboja
di kebun batinku
saat sehelai rumput masih bisa tumbuh;
sebelum kering
sebelum gersang
sebelum pasi
sebelum rintik hujan menetes kembali
menghidupkan yang telah mati
Kendalkemlagi, Oktober 2008
ADA TANGIS DARI YANG MATI
sayu kudengar nyanyian hati nan fitri
dalam takbir kemenangan diri,
namun ada yang berbisik;
“ada tangis dari yang mati
tentang kekalahan sendiri
sebab terbitnya surya pembalasan
atas malam kedurhakaan
silam”
dan aku bertanya akan kesejatian
benarkah aku telah membayi di seberang perayaan?
Kendalkemlagi, Oktober 2008
Rabu, 18 Mei 2011
Sajak-Sajak Nunung S. Sutrisno
http://www.lampungpost.com/
Terampas di Kotamu
setelah pagi yang meremas dingin di kota lamamu
masihkah kau menungguku
di pojok taman kota di bawah pepohon waru?
sedang di sini aku masih berbenah setiap kata mengaliri
dan menjadikannya
Aku
mengapa tak sejenak kauendapkan
semua hujan untuk memulai rindu yang baru?
ah aku telah dirampas angin
tandas di deru kotamu
Tanka 11
Di Beranda Rumah
kaktus-kaktus masih basah
sisa hujan semalam
wangi pagi begitu khas seperti aroma segelas kopi
yang rajin kau pertemukan denganku, duhai kekasih
desik daun daun bambu meningkahi gemericik air kali
yang kini tak jernih lagi
namun apakah aku tak boleh menyimpan kenangan itu
atau dia tak pantas tersimpan di tempat yang kotor
atau kau ingin membingkainya seperti foto pernikahan kita
yang kini nampak sepi di atas meja ukir lusuh dan berdebu
ah, mungkin kita harus segera berharap agar hujan turun lagi
agar wajah wajah kita tersusun kembali dalam cecapnya
dalam jangkauan tangan-Nya.
Terima kasih Gusti.
Tanka11
Di Sepanjang Jalan Enggal
pedagang pedagang
jagung bakar
di sepanjang jalan enggal
menatap malam diantara bara arang
dan berpasang kekasih begitu mekar di trotoar
mereka membegal mimpi kota
susut di wajah pedagang
mungkin kelak
atau esok
kitalah
yang menggantikannya
membakar malam
agar terselami; pun luput dan tak bisa puput
di kabut asap
mengangga.
Tanka11
Malam Kunang-Kunang
mengapa masih saja
kau jual tubuhmu dimabuk kota
di impianmu dulu ketika kau masih tinggal di desa
apakah kau lupa
pesan emak dan abah tentang bianglala
malam malam serupa kunang kunang di tengah pekuburan
ketika rintik gerimis memagut indah bibirmu,
matamu berkedip seolah tak ingin pisah
namun kini resahnya mendesakmu
memimpikanmu
di impianmu
sendiri
Tanka 11
Perempuanku
perempuanku, gerimis baru saja pulang
bergegaslah kau jemput malam yang akan datang
dan mohon jangan kau jamu aku dengan kuncup hatimu
yang redup biarkan ia tumbuh segar dan mekar
serupa mawar yang setia tumbuh di samping kamar
dan perjumpaan sepasang merpati
tadi sore yang hinggap di wuwungan rumah kita
adalah sebuah tanda esok pagi akan turun hujan
dan kemarau pun pergi bersama segala impiannya
aku tahu betapa tahun tahun penuh debu
dan kau pun melunta di sepanjang jalan nuju utara
tubuhmu di penuhi udara
ada pesan di ranting ranting cempaka
namun lali untuk kusampaikan padamu
wahai kau laki laki,
tak pernahkah kau berhenti hanya sekadar mencecapi
semangkuk puisi
dan sejejak langkahmu adalah nyanyi rindu perempuanmu
yang terlentang,
menunggu maut memagutnya: mesra
Tanka11
———-
Nunung S. Sutrisno, lahir di Yogjakarta 23 Agustus 1976. Belajar kesenian di Teater Satu, Lampung. Sarjana Teknik Universitas Malahayati ini saat ini bekerja pada sebuah perusahaan swasta.
Terampas di Kotamu
setelah pagi yang meremas dingin di kota lamamu
masihkah kau menungguku
di pojok taman kota di bawah pepohon waru?
sedang di sini aku masih berbenah setiap kata mengaliri
dan menjadikannya
Aku
mengapa tak sejenak kauendapkan
semua hujan untuk memulai rindu yang baru?
ah aku telah dirampas angin
tandas di deru kotamu
Tanka 11
Di Beranda Rumah
kaktus-kaktus masih basah
sisa hujan semalam
wangi pagi begitu khas seperti aroma segelas kopi
yang rajin kau pertemukan denganku, duhai kekasih
desik daun daun bambu meningkahi gemericik air kali
yang kini tak jernih lagi
namun apakah aku tak boleh menyimpan kenangan itu
atau dia tak pantas tersimpan di tempat yang kotor
atau kau ingin membingkainya seperti foto pernikahan kita
yang kini nampak sepi di atas meja ukir lusuh dan berdebu
ah, mungkin kita harus segera berharap agar hujan turun lagi
agar wajah wajah kita tersusun kembali dalam cecapnya
dalam jangkauan tangan-Nya.
Terima kasih Gusti.
Tanka11
Di Sepanjang Jalan Enggal
pedagang pedagang
jagung bakar
di sepanjang jalan enggal
menatap malam diantara bara arang
dan berpasang kekasih begitu mekar di trotoar
mereka membegal mimpi kota
susut di wajah pedagang
mungkin kelak
atau esok
kitalah
yang menggantikannya
membakar malam
agar terselami; pun luput dan tak bisa puput
di kabut asap
mengangga.
Tanka11
Malam Kunang-Kunang
mengapa masih saja
kau jual tubuhmu dimabuk kota
di impianmu dulu ketika kau masih tinggal di desa
apakah kau lupa
pesan emak dan abah tentang bianglala
malam malam serupa kunang kunang di tengah pekuburan
ketika rintik gerimis memagut indah bibirmu,
matamu berkedip seolah tak ingin pisah
namun kini resahnya mendesakmu
memimpikanmu
di impianmu
sendiri
Tanka 11
Perempuanku
perempuanku, gerimis baru saja pulang
bergegaslah kau jemput malam yang akan datang
dan mohon jangan kau jamu aku dengan kuncup hatimu
yang redup biarkan ia tumbuh segar dan mekar
serupa mawar yang setia tumbuh di samping kamar
dan perjumpaan sepasang merpati
tadi sore yang hinggap di wuwungan rumah kita
adalah sebuah tanda esok pagi akan turun hujan
dan kemarau pun pergi bersama segala impiannya
aku tahu betapa tahun tahun penuh debu
dan kau pun melunta di sepanjang jalan nuju utara
tubuhmu di penuhi udara
ada pesan di ranting ranting cempaka
namun lali untuk kusampaikan padamu
wahai kau laki laki,
tak pernahkah kau berhenti hanya sekadar mencecapi
semangkuk puisi
dan sejejak langkahmu adalah nyanyi rindu perempuanmu
yang terlentang,
menunggu maut memagutnya: mesra
Tanka11
———-
Nunung S. Sutrisno, lahir di Yogjakarta 23 Agustus 1976. Belajar kesenian di Teater Satu, Lampung. Sarjana Teknik Universitas Malahayati ini saat ini bekerja pada sebuah perusahaan swasta.
Selasa, 10 Mei 2011
Sajak-Sajak Dody Kristianto
http://www.lampungpost.com/
Penunggu Pancang
terima kasih
sudah kau memarkan
tubuh kami
jejarum lancipmu
melebihi bilah pedang Persia
yang berulang
menghunus tubuh kami
tapi sungguh
kami tak kunjung mati
sebab kau bukakan lagi
pintu bagi kami
menuju liang:
alamat para penggali
mencintai namamu
yang tak mampu
kami seru lagi
2011
Pencatat Hikayat
ia selalu kembali
serupa padri yang tak mati
segala bara dipindainya
untuk langit yang tak ia dapati
di kamar sempitnya
2011
Pengusung Hujan
sepasang tanduk
lebih tajam
melukai pipi malam
sepanjang tatapannya,
sebarisan semut
pendar
berpencar
dari liang tubuh
menangkap kemercik
yang diyakini
sebagai benih cinta
untuk musim tanam
yang akan datang
2011
Tiga Tilas Kuping
bunyi pertama:
sepasang kesabaran
yang bosan melintas
sebab telah renta ia
melebihi kerentaan daging bumi
yang tak kunjung ia retakkan
bunyi kedua:
sepasukan pengelana
yang tak ingin berpulang
ke ketinggian
sebab purna sudah ia menarik
segala macam kerinduan
yang dipanjatkan manusia
ia lelah mendengar doa
dan semua mantra
bunyi ketiga:
selembaran kitab langit
yang alpa diisi
sesudah semua bidadari
turun ke bumi
menjelma sehamparan biji
paling putih
sehamparan biji nan letih
nan kelak tak kekal-abadi
2010
Perihal Singkat Selepas Hujan
pelangi:
ia benih yang lama iri
sementara hujan sudah merampungkan
sarapannya pada cawan pecah ini
sorak katak:
pulang, pulanglah ia pada tepian telaga
seusai sepi mengepungnya hanya
dan sayap beningnya tanggal sempurna
mengemas payung:
terbang sudah ia
sesudah rindunya yang semenjana
ditetaskan awan paling tumpah
2010
—-
Dody Kristianto lahir di Surabaya, 3 April 1986, lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) serta memberdayakan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Karya-karyanya dipublikasikan beberapa media dan antologi bersama.
Penunggu Pancang
terima kasih
sudah kau memarkan
tubuh kami
jejarum lancipmu
melebihi bilah pedang Persia
yang berulang
menghunus tubuh kami
tapi sungguh
kami tak kunjung mati
sebab kau bukakan lagi
pintu bagi kami
menuju liang:
alamat para penggali
mencintai namamu
yang tak mampu
kami seru lagi
2011
Pencatat Hikayat
ia selalu kembali
serupa padri yang tak mati
segala bara dipindainya
untuk langit yang tak ia dapati
di kamar sempitnya
2011
Pengusung Hujan
sepasang tanduk
lebih tajam
melukai pipi malam
sepanjang tatapannya,
sebarisan semut
pendar
berpencar
dari liang tubuh
menangkap kemercik
yang diyakini
sebagai benih cinta
untuk musim tanam
yang akan datang
2011
Tiga Tilas Kuping
bunyi pertama:
sepasang kesabaran
yang bosan melintas
sebab telah renta ia
melebihi kerentaan daging bumi
yang tak kunjung ia retakkan
bunyi kedua:
sepasukan pengelana
yang tak ingin berpulang
ke ketinggian
sebab purna sudah ia menarik
segala macam kerinduan
yang dipanjatkan manusia
ia lelah mendengar doa
dan semua mantra
bunyi ketiga:
selembaran kitab langit
yang alpa diisi
sesudah semua bidadari
turun ke bumi
menjelma sehamparan biji
paling putih
sehamparan biji nan letih
nan kelak tak kekal-abadi
2010
Perihal Singkat Selepas Hujan
pelangi:
ia benih yang lama iri
sementara hujan sudah merampungkan
sarapannya pada cawan pecah ini
sorak katak:
pulang, pulanglah ia pada tepian telaga
seusai sepi mengepungnya hanya
dan sayap beningnya tanggal sempurna
mengemas payung:
terbang sudah ia
sesudah rindunya yang semenjana
ditetaskan awan paling tumpah
2010
—-
Dody Kristianto lahir di Surabaya, 3 April 1986, lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) serta memberdayakan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Karya-karyanya dipublikasikan beberapa media dan antologi bersama.
Sajak Iwan Nurdaya-Djafar
Pembelaan Hawa
http://www.lampungpost.com/
Namaku Hawa alias Eva,
boleh juga kaupanggil aku Eve
bila memang kau penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak mendalam memahami kitabsuci1
dan percaya begitu saja pada dongeng yahudi tua
yang diselundupkan ke dalamnya
bahwa aku tercipta dari tulang rusuk Adam
bukan dari citra Allah seperti Adam tercipta2
kalian tak sungguh mendalami khasanah hadis
menyebut hadis israiliyat yang palsu sebagai sahih3
bahwa aku — lagi-lagi — tercipta dari tulang rusuk lelaki
bahkan bukan tulang rusuk pilihan
tapi justru yang paling bengkok
yang mudah patah
demi menyebut diriku dan kaumku lemah
padahal dalam kitabsuci yang furqan
aku dan Adam tercipta dari nafs wahidah4
artinya tanah yang ditiupkan ruh Allah.
tiba di sini masihkah kalian percaya
pada dongeng yahudi tua
yang menodai kitabsuci dan hadis
yang hendak melecehkan perempuan
sedari awal penciptaan.
Namaku Hawa alias Eva,
kalian boleh memanggiku Eve
bila memang kalian penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak mendalam memahami kitabsuci
dan percaya begitu saja
bahwa akulah penyebab kejatuhan manusia
dari surga kekal ke bumi fana
kinilah saatnya kutandaskan
bukan aku yang menggoda adam
tapi setanlah yang memperdaya kami berdua
untuk menampakkan kemaluan
dan memasuki peraduan
maka terjadilah perselingkuhan di surga
sebab aku bukanlah istri adam
adam pun bukanlah suamiku
aku adalah zawj5, artinya pasangan seksual.
bukankah Tuhan telah berfirman: jangan dekati syajara6
syajara adalah alegori
arti lugasnya: perbuatan seksual
bukan pohon atau buah
seperti dimengerti selama ini.
jika adam suamiku
dan aku istrinya
tentulah perbuatan seksual itu obyek yang halal
antara kami berdua yang dicekam sunyi surgawi
maka perselingkuhan pun terjadi
duh insyafilah, dalam soal seks manusia diciptakan lemah.7
Namaku Hawa alias Eva,
kalian boleh memanggiku Eve
bila memang kalian penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak sungguh mendalami kitabsuci
dan percaya begitu saja
bahwa dosa yang kami lakukan
terwarisi hingga akhir zaman
ditanggung renteng oleh umat manusia
kini saatnya kutandaskan
dosa itu tanggungjawab kami semata
dan bukan pula dosa tak berampun
karena kami berdua telah diampuni8
oleh Tuhan mahapengampun
sebelum kami menjejakkan kaki di bumi
demi memulai kehidupan yang lain lagi.
Sukarame, 4 Desember 2010
Catatan kaki:
1. Al-Kitab, Kitab Kejadian (Book of genesis) 2: 21-23.
2. Al-Kitab, Kitab Kejadian (Book of Genesis) 1: 26-27.
3. Terdapat enam hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, tiga hadis dalam Shahih Bukhari dan tiga lagi dalam Shahih Muslim.
4. Al-Quran, Al-Nisa’ ayat 1.
5. Menurut A Dictionary of Islamic Terms: Arabic- English (hlm 181) susunan Deeb Al-Khudrawi, zauj atau zawj (jamak azwaj) berarti suami, teman (kawan, rekan), istri.
6. Al-Quran, Al-Baqarah 92): 35; kata syajara, arti lugasnya pohon, arti kiasnya perbuatan seksual.
7. Al-Quran, Al-Nisa’ (4): 28.
8. Al-Quran, Al-A’raf (7): 23, Al-Baqarah (2): 37, dan Al-Baqarah (2): 73.
——–
Iwan Nurdaya Djafar, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 14 Maret 1959. Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (1994—1996) ini pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada acara Forum Puisi Indonesia (1987) dan acara Pembacaan Puisi Tiga Penyair Lampung bersama Isbedy Stiawan Z.S. dan Sugandhi Putra (1989). Bukunya antara lain Seratus Sajak (kumpulan sajak bersama Sugandhi Putra, 1989) dan Hukum dan Susastra (1992). Ia banyak menerjemahkan karya-karya Kahlil Gibran, Manuel Komrif, dan Ali Shariati.
http://www.lampungpost.com/
Namaku Hawa alias Eva,
boleh juga kaupanggil aku Eve
bila memang kau penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak mendalam memahami kitabsuci1
dan percaya begitu saja pada dongeng yahudi tua
yang diselundupkan ke dalamnya
bahwa aku tercipta dari tulang rusuk Adam
bukan dari citra Allah seperti Adam tercipta2
kalian tak sungguh mendalami khasanah hadis
menyebut hadis israiliyat yang palsu sebagai sahih3
bahwa aku — lagi-lagi — tercipta dari tulang rusuk lelaki
bahkan bukan tulang rusuk pilihan
tapi justru yang paling bengkok
yang mudah patah
demi menyebut diriku dan kaumku lemah
padahal dalam kitabsuci yang furqan
aku dan Adam tercipta dari nafs wahidah4
artinya tanah yang ditiupkan ruh Allah.
tiba di sini masihkah kalian percaya
pada dongeng yahudi tua
yang menodai kitabsuci dan hadis
yang hendak melecehkan perempuan
sedari awal penciptaan.
Namaku Hawa alias Eva,
kalian boleh memanggiku Eve
bila memang kalian penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak mendalam memahami kitabsuci
dan percaya begitu saja
bahwa akulah penyebab kejatuhan manusia
dari surga kekal ke bumi fana
kinilah saatnya kutandaskan
bukan aku yang menggoda adam
tapi setanlah yang memperdaya kami berdua
untuk menampakkan kemaluan
dan memasuki peraduan
maka terjadilah perselingkuhan di surga
sebab aku bukanlah istri adam
adam pun bukanlah suamiku
aku adalah zawj5, artinya pasangan seksual.
bukankah Tuhan telah berfirman: jangan dekati syajara6
syajara adalah alegori
arti lugasnya: perbuatan seksual
bukan pohon atau buah
seperti dimengerti selama ini.
jika adam suamiku
dan aku istrinya
tentulah perbuatan seksual itu obyek yang halal
antara kami berdua yang dicekam sunyi surgawi
maka perselingkuhan pun terjadi
duh insyafilah, dalam soal seks manusia diciptakan lemah.7
Namaku Hawa alias Eva,
kalian boleh memanggiku Eve
bila memang kalian penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak sungguh mendalami kitabsuci
dan percaya begitu saja
bahwa dosa yang kami lakukan
terwarisi hingga akhir zaman
ditanggung renteng oleh umat manusia
kini saatnya kutandaskan
dosa itu tanggungjawab kami semata
dan bukan pula dosa tak berampun
karena kami berdua telah diampuni8
oleh Tuhan mahapengampun
sebelum kami menjejakkan kaki di bumi
demi memulai kehidupan yang lain lagi.
Sukarame, 4 Desember 2010
Catatan kaki:
1. Al-Kitab, Kitab Kejadian (Book of genesis) 2: 21-23.
2. Al-Kitab, Kitab Kejadian (Book of Genesis) 1: 26-27.
3. Terdapat enam hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, tiga hadis dalam Shahih Bukhari dan tiga lagi dalam Shahih Muslim.
4. Al-Quran, Al-Nisa’ ayat 1.
5. Menurut A Dictionary of Islamic Terms: Arabic- English (hlm 181) susunan Deeb Al-Khudrawi, zauj atau zawj (jamak azwaj) berarti suami, teman (kawan, rekan), istri.
6. Al-Quran, Al-Baqarah 92): 35; kata syajara, arti lugasnya pohon, arti kiasnya perbuatan seksual.
7. Al-Quran, Al-Nisa’ (4): 28.
8. Al-Quran, Al-A’raf (7): 23, Al-Baqarah (2): 37, dan Al-Baqarah (2): 73.
——–
Iwan Nurdaya Djafar, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 14 Maret 1959. Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (1994—1996) ini pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada acara Forum Puisi Indonesia (1987) dan acara Pembacaan Puisi Tiga Penyair Lampung bersama Isbedy Stiawan Z.S. dan Sugandhi Putra (1989). Bukunya antara lain Seratus Sajak (kumpulan sajak bersama Sugandhi Putra, 1989) dan Hukum dan Susastra (1992). Ia banyak menerjemahkan karya-karya Kahlil Gibran, Manuel Komrif, dan Ali Shariati.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae