http://www.sastra-indonesia.com/
Kaulah Hati
Kaulah Merkuri
di hadapan Sang Pemilik jagat raya
Kaulah hati
Wahai yang dianugrahi mahkota laksana raja Ishtar,
Mars tersipu wajahnya semerah rubi
Bumi tersanjung langit biru dan laut dalamnya
sungai yang mengalir pun jadi nadinya
Oh paras rupawan,
kecemburuan Venus selaksa hujan
keringatmu bercucur, menguap rasa sampai ke hulu
Bima Sakti
Kekasihmu bagaikan Andromeda
kecintaan Alesis pada padang gemintangnya
merengutkan keningnya
: kaulah pesirah, padangku tiada sejengkal dalam hatimu.
Kesaksian
Aku melukis bumi sirna
coklat langitnya,
hampa udaranya
burung-burung terbang menjilati senja
angannya jenuh melayang khayang
terbakar di tiap sayapnya
laku di atas rimba arang
Pantai sunyi kugurat badannya
telak rebah ia berselimut tinta hitam
Percikan warna api kusulut di punggungnya
selaksa luka dari sayap yang berkobar
agar langit tumbuh lembayung
Agar tampak tangan tak jahil mendurja alam,
ku apung batu karang sebagai bayang-bayang
; buih-buih ringan hiasan pucat pepasir.
Agitasi
Taman sedang kembang
geliat benih beranjak tingkah
sebelum kuntum, bunga hayal berbuah
kecambah muda mudah goyah
angin dari barat
ke timur membelai batuan karang
kayuh rayuan ke seribu pulau
serau nyiur sampai terberai
semak dan perdu
lelumut di batang tubuh
luluh.
“Koma” Cuma Sekali
aku belum mati
saat ini, di tempat sunyi
dimensi ketiga hampa kata
tiada larik hijau pelangi
merah delima dihitung jari
dirasa panca indra berganda
sekepal hati berbagi dua
: tuju surga atau neraka
sewindu telah di gerbang fana
mengetuk nama purwa sempurna
“aku dimana ?”
kau di depanku berduka.
Semut Pundak
Semut-semut pundak di muka dan halaman senggal-senggol mata dan pena
pagi tadi
sebelum ibu menyapu lantai manis gula, mereka sibuk juga berbenah
“cepat !” kataku
“nanti dulu,” kata ibu
“berpencar !”
kaki meja tulisku jalan pelarian
“naik !”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 29 Juni 2010
Sajak-Sajak Imron Tohari
http://www.sastra-indonesia.com/
Puisi di Kulit Pohon
menanyakan arti sebuah ketulusan
seperti halnya aku menatap sosok tubuh
berdiri diantara garis-garis hujan yang merupa kabut
sedang di ujung jalan : Cahaya lampu temaram
lalu apa bedanya yang kutanyakan tadi
tentang ketulusan, khususnya dalam hal mencinta
dengan jalanan datar,turun, mendaki , lurus atau bahkan berkelok
bilabila mencari kebenaran jawab sahaja mataku berdiri nanar-
diam: terpaku di teras rumah
o,melukis wajahmu
sama sulitnya aku bertanya pada seulas senyum
yang kau tempelkan di sudut bibirmu
dan bercerita kicau nuri
lalu sekonyong-konyong bercerita cemara tua
2/
adalah labirin, mural jantung,kau
kekasih
: cinta itu seperti mega, bergelayut
mendung lalu
rinai
o,tidaklah selamanya mega itu putih
adakalanya mega tersaput jelaga
namun, bila tak pejam mata hati
rasakan pula lembut suria
mengalungkan bianglala
membimbing burung terbang
kembali pulang
ke sarang
3/
jika engkau, kekasihku
pemantik cinta yang mengajak semilir bayu
menyisir bulubulu indah cendrawasih
menoreh baitbait puisi pada kulit pohon
yang diamnya
tetesan getah itu adanya kidung cinta
lalu kepedihan, juga kesukaan
saling mengikat
masih perlukah bertanya tulusnya cinta
sedang di setiap perputaran jarum jam
pikiran yang agung
tidak pernah untuk tidak memikirkan kekasih
: dan adalah kunang-kunang kecil
yang menyatukan sinarnya pada malam
menuju surga.
21 April 2010
Tadabur Cinta
Banyak sudah pedih kurasa
Terjal berliku ujian Cinta
Dalam kumbangan madu cekat
Gejolak asmara terkungkung sekat
O malam, malam suram bulan bertudung
Kutulis sajak di mural jantung
Kuseduh hikmah segala coba
Menadaburkan cinta berkalam surga
Kini, saat kembali mengingatmu
Dalam kedalaman Istiqomah nurani
Hangat air mata tiada lagi pilu
: Karena jiwaku tlah berkhalwat
3 Mei 2010
Mengada Untukmu
Di ladang cinta
Menyemai benih-benih
Kuambil dari tetirah rindu
Tidak mesti purnama
untuk mengajakmu melukis bayang
lihat…
kerlip kunang-kunang
indah bersinar kala gelap malam
Dan aku mengasihimu
Mengada untukmu
Di ladang cinta
Tempat menabur benih-benih
Adalah cahaya yang menjadikan kita
Memiliki kuasa hidup
26 April 2010
Puisi di Kulit Pohon
menanyakan arti sebuah ketulusan
seperti halnya aku menatap sosok tubuh
berdiri diantara garis-garis hujan yang merupa kabut
sedang di ujung jalan : Cahaya lampu temaram
lalu apa bedanya yang kutanyakan tadi
tentang ketulusan, khususnya dalam hal mencinta
dengan jalanan datar,turun, mendaki , lurus atau bahkan berkelok
bilabila mencari kebenaran jawab sahaja mataku berdiri nanar-
diam: terpaku di teras rumah
o,melukis wajahmu
sama sulitnya aku bertanya pada seulas senyum
yang kau tempelkan di sudut bibirmu
dan bercerita kicau nuri
lalu sekonyong-konyong bercerita cemara tua
2/
adalah labirin, mural jantung,kau
kekasih
: cinta itu seperti mega, bergelayut
mendung lalu
rinai
o,tidaklah selamanya mega itu putih
adakalanya mega tersaput jelaga
namun, bila tak pejam mata hati
rasakan pula lembut suria
mengalungkan bianglala
membimbing burung terbang
kembali pulang
ke sarang
3/
jika engkau, kekasihku
pemantik cinta yang mengajak semilir bayu
menyisir bulubulu indah cendrawasih
menoreh baitbait puisi pada kulit pohon
yang diamnya
tetesan getah itu adanya kidung cinta
lalu kepedihan, juga kesukaan
saling mengikat
masih perlukah bertanya tulusnya cinta
sedang di setiap perputaran jarum jam
pikiran yang agung
tidak pernah untuk tidak memikirkan kekasih
: dan adalah kunang-kunang kecil
yang menyatukan sinarnya pada malam
menuju surga.
21 April 2010
Tadabur Cinta
Banyak sudah pedih kurasa
Terjal berliku ujian Cinta
Dalam kumbangan madu cekat
Gejolak asmara terkungkung sekat
O malam, malam suram bulan bertudung
Kutulis sajak di mural jantung
Kuseduh hikmah segala coba
Menadaburkan cinta berkalam surga
Kini, saat kembali mengingatmu
Dalam kedalaman Istiqomah nurani
Hangat air mata tiada lagi pilu
: Karena jiwaku tlah berkhalwat
3 Mei 2010
Mengada Untukmu
Di ladang cinta
Menyemai benih-benih
Kuambil dari tetirah rindu
Tidak mesti purnama
untuk mengajakmu melukis bayang
lihat…
kerlip kunang-kunang
indah bersinar kala gelap malam
Dan aku mengasihimu
Mengada untukmu
Di ladang cinta
Tempat menabur benih-benih
Adalah cahaya yang menjadikan kita
Memiliki kuasa hidup
26 April 2010
Sajak-Sajak Putri Sarinande
http://www.sastra-indonesia.com/
Kisah Si Pendoa
Tuhan, tolong kirimkan pesan ini padanya. Atau, jika Kau terlalu repot untuk membantuku, maafkan aku yang meminta tolong pada ciptaan Mu yang lain.
Pohon, izinkan pesanku meliuk-liuk melewatimu. Hutan, izinkan pesanku bertualang melacak jejaknya. Angin, izinkan pesanku terbang bersama hembusanmu. Sungai, izinkan pesanku mengalir hingga terdampar padanya. Lembah, izinkan pesanku menukik terjun menghampirinya dari ketinggian entah. Gunung, izinkan pesanku mendakimu menujunya. Hujan, izinkan pesanku turut menetes ke bumi membasahinya. Matahari, izinkan pesanku menguap oleh panasmu, hingga harumnya tercium olehnya. Bulan, izinkan pesanku terpantul bersama kilaumu, ke dalam pekatnya malam yang menyelimuti tidurnya.
Pohon. Hutan. Angin. Sungai. Lembah. Gunung. Hujan. Matahari. Bulan. Sudikah Kalian membantuku?
Aku yakin, ya. Sebab, Kalian lah yang selama ini menemaninya.
Tuhan, kuharap Kau tak keberatan. Karena aku telah meminta bantuan pada : Pohon, Hutan, Angin, Sungai, Lembah, Gunung, Hujan, Matahari, dan Bulan.
Lagipula, ini bukan doa. Ini hanyalah permintaan tolong olehku. Kau mungkin terlalu sibuk, Tuhan? Jadi, tak mengapa bukan?
Oh ya. Tidakkah Kau ingin tahu Tuhan? Pesan apa gerangan, yang ingin kusampaikan padanya itu? Singkat saja : “Tolong aktifkan telepon selularmu.”
23 februari 2010
Dongeng Si Gadis Mawar*
ia gadis mawar cantik, merah merekah. berduri mungil, tak menyakiti. durinya bagaikan jarum dokter, untuk mengobati bukan menyakiti. ia mawar cantik, dengan binar di matanya memandang dunia nan cerah.
keluarga mawar pun berduri. kuat tajam dan membunuh. membunuh sesama mawar. atas nama cinta kasih. keluarga mawar benar berduri. memandang dunia seolah neraka. padahal neraka adalah di dalam rumpun keluarga mawar.
semakin gadis mawar bertumbuh, semakin ia terluka. durinya cukup kuat melindungi diri, namun terlalu rapuh bertahan dalam rumpun keluarga mawar.
ia harus pergi. ia harus lepas dari rumpun keluarga mawar. ia harus pergi. ia harus bertahan dari rumpun keluarga mawar.
keluarga mawar berkeras bahwa rumpun keluarga mawar adalah tempat teraman di dunia. ia akan mati jika meninggalkan rumpun keluarga mawar.
semakin keluarga mawar melindungi gadis mawar, semakin ia terluka oleh duri. duri keluarga mawar. yang membelitnya. membelit atas nama cinta kasih. dan duri rumpun keluarga mawar. sebab dalam rumpun keluarga mawar hanya ada satu bahasa : Bahasa Duri.
gadis mawar diajari cara melindungi diri dengan durinya. tetapi tidak pernah keluarga mawar memberitahukannya bahwa duri dapat menusuk-diri. sebab bahkan keluarga mawar tak pernah tahu bahwa rumpun keluarga mawar gemar menusuk-diri : diri sendiri dan diri sesama.
ingin rasanya si gadis mawar melenyapkan keluarga mawar, dan seluruh rumpun keluarga mawar. hingga ia menjadi bak tak diperanakan. dan ia pun takkan beranak. maka ia akan menjadi maha tunggal. tak beranak dan tak diperanakan.
dan pada akhirnya gadis mawar turut melenyap bersama sejarah. menyisakan senyum luka yang menjerat,pada setiap tangkai bunga mawar yang kau lihat. dan diagung-agungkan bagaikan Tuhan dalam setiap jenis agama.
Kisah Si Pendoa
Tuhan, tolong kirimkan pesan ini padanya. Atau, jika Kau terlalu repot untuk membantuku, maafkan aku yang meminta tolong pada ciptaan Mu yang lain.
Pohon, izinkan pesanku meliuk-liuk melewatimu. Hutan, izinkan pesanku bertualang melacak jejaknya. Angin, izinkan pesanku terbang bersama hembusanmu. Sungai, izinkan pesanku mengalir hingga terdampar padanya. Lembah, izinkan pesanku menukik terjun menghampirinya dari ketinggian entah. Gunung, izinkan pesanku mendakimu menujunya. Hujan, izinkan pesanku turut menetes ke bumi membasahinya. Matahari, izinkan pesanku menguap oleh panasmu, hingga harumnya tercium olehnya. Bulan, izinkan pesanku terpantul bersama kilaumu, ke dalam pekatnya malam yang menyelimuti tidurnya.
Pohon. Hutan. Angin. Sungai. Lembah. Gunung. Hujan. Matahari. Bulan. Sudikah Kalian membantuku?
Aku yakin, ya. Sebab, Kalian lah yang selama ini menemaninya.
Tuhan, kuharap Kau tak keberatan. Karena aku telah meminta bantuan pada : Pohon, Hutan, Angin, Sungai, Lembah, Gunung, Hujan, Matahari, dan Bulan.
Lagipula, ini bukan doa. Ini hanyalah permintaan tolong olehku. Kau mungkin terlalu sibuk, Tuhan? Jadi, tak mengapa bukan?
Oh ya. Tidakkah Kau ingin tahu Tuhan? Pesan apa gerangan, yang ingin kusampaikan padanya itu? Singkat saja : “Tolong aktifkan telepon selularmu.”
23 februari 2010
Dongeng Si Gadis Mawar*
ia gadis mawar cantik, merah merekah. berduri mungil, tak menyakiti. durinya bagaikan jarum dokter, untuk mengobati bukan menyakiti. ia mawar cantik, dengan binar di matanya memandang dunia nan cerah.
keluarga mawar pun berduri. kuat tajam dan membunuh. membunuh sesama mawar. atas nama cinta kasih. keluarga mawar benar berduri. memandang dunia seolah neraka. padahal neraka adalah di dalam rumpun keluarga mawar.
semakin gadis mawar bertumbuh, semakin ia terluka. durinya cukup kuat melindungi diri, namun terlalu rapuh bertahan dalam rumpun keluarga mawar.
ia harus pergi. ia harus lepas dari rumpun keluarga mawar. ia harus pergi. ia harus bertahan dari rumpun keluarga mawar.
keluarga mawar berkeras bahwa rumpun keluarga mawar adalah tempat teraman di dunia. ia akan mati jika meninggalkan rumpun keluarga mawar.
semakin keluarga mawar melindungi gadis mawar, semakin ia terluka oleh duri. duri keluarga mawar. yang membelitnya. membelit atas nama cinta kasih. dan duri rumpun keluarga mawar. sebab dalam rumpun keluarga mawar hanya ada satu bahasa : Bahasa Duri.
gadis mawar diajari cara melindungi diri dengan durinya. tetapi tidak pernah keluarga mawar memberitahukannya bahwa duri dapat menusuk-diri. sebab bahkan keluarga mawar tak pernah tahu bahwa rumpun keluarga mawar gemar menusuk-diri : diri sendiri dan diri sesama.
ingin rasanya si gadis mawar melenyapkan keluarga mawar, dan seluruh rumpun keluarga mawar. hingga ia menjadi bak tak diperanakan. dan ia pun takkan beranak. maka ia akan menjadi maha tunggal. tak beranak dan tak diperanakan.
dan pada akhirnya gadis mawar turut melenyap bersama sejarah. menyisakan senyum luka yang menjerat,pada setiap tangkai bunga mawar yang kau lihat. dan diagung-agungkan bagaikan Tuhan dalam setiap jenis agama.
Sajak-Sajak W Haryanto
http://www2.kompas.com/
Lukisan Pengantin
-buat Linang Dian
Sebuah lukisan tentang masa lalu adalah angin yang
Menggeraikan rambutmu. Tapi makna kesangsianku tak terpahat
Dan aku bermimpi dalam kabut; cahaya memercik dari senyummu
Menjadi kelepak kelelawar. Masih aku bermimpi tentangmu
Pada segala yang hendak kuartikan dari mawar hitam
Ketika dunia kini hanya bersisa abu.
Pada sepenggal musik sengau, pikiranku memudar
Menjelma kepulan asap. Dan matahari terbunuh di sudut
Matamu yang menyala-malam tak terkisahkan, di mana tawa hantu
Hanyalah auman di balik lukisan. Kupikirkan duniamu
Tanpa isyarat. Tatapanku lepas menjadi petikan puisi
Merubah auman hujan menjadi musik yang tak bertepi
Melebihi prahara di puncak malam.
Pucuk-pucuk hening saling bertemu. Tapi isyarat ini
Tak tersampaikan: menjadi masa lalu dalam masa lalu
Isakku terkubur di balik dinding, kesangsianku mengakhiri
Kepergianku dalam waktu. Tak ada yang mesti bersisa
Selain abu dalam lukisan-bisikmu memanggil angin
Agar pikiranku terdampar di sebuah pantai yang penuh
Dengan retakan. Menghukumku dalam keramik yang tua.
(2000)
Bagi Hidup Luka Telah Mati di Bulan
Mulut menganga penuh kotoran anjing, bukankah pekik
Penyair turut mewarnai nadi malam. Menjadi keajaiban
Setelah pengetahuan hancur, tinggal pedih-
Kau menangis di air tawar; pedih ini, Dian, akan melebihi
Tusukan tombak. Luka yang memudar di bawah lampu
Luka yang melihat bayangannya: tubuh kayu yang tinggal
Arang di hutan, setelah gerimis menipis. Bahkan puisi
Tak mungkin terbaca lagi.
Luka ini menebas batas, berpendar pada bulan
Kesurupan yang menyala menjelma nyeri lolongan
Bagi hidup ini, aku kehilangan kupu-kupu; dimana luka
Bertunas dalam abu. Malam menjadi tanpa musik, hanya isak
Yang tertahan di alir sungai-isak yang membasahi bajumu
Masa lalu sekarat di pantai. Waktu terlepas ke pusat cakrawala
Mengapung-apung. Matamu memejam oleh teluh bisikmu, Dian
Tapi bukankah api berlidah dan menangkas sepi. Tapi kuragukan
Semua ini.
Malam telah tua. Maut memekik dalam penyesalanku
Pikiranku terbakar oleh mimpi buruk yang hendak meledak
Dari payudaramu-seperti mimpi; aku bernafas di pantai
Kekosongan dan hanyut dalam cahaya menuju hutan perlambang
Kulihat lukaku mati di bulan. Nyeri itu tak berbatas pada
Bayangan pohon, nyeri yang mengental. Kelak makna luka ini
Lahir di kebutaannya. Dian, ziarahilah tubuhmu, biar sepi
Tak terasa gelap-meski kau bukan pelayat yang melagukan
Cahaya; setelah auman hujan menggulungmu, membuat pikiranmu
Tinggal serpihan-serpihan di udara.
(2000)
Djati Bening, 1270
-buat Deni Tri Aryanti
Kesunyianku adalah sebuah jalan: aku belajar
Untuk mencair seperti cahaya, atau bayangan dengan
Baju musim semi dari kulit kerang. Duniaku alir dengan
Penggal ketiadaan yang meniup seruling.
Kutangkap selarik musik dari burung camar, musik yang
Menyeberangkan matahari. Luka memar telah membelah
Jadi bayangan dengan bentuk paruhnya pada bening gelas
Tapi apakah yang bersisa di mimpi ini?
Isak daun memercik. Dan hutan jati jadi nyata memerangkap
Penglihatanku. Keterpesonaanku pada sunyi mirip musik lebah
Dan memberi nyawa bagi pohon jati. Ingatanku bangkit
Untuk memulai hari, menghirup rasa pahit yang tak selamanya
Kekal oleh kata. Juga doaku membatu di kerongkongan.
Aku mencari jiwa dalam baju musim semi. Sunyi menyanyikan
Musik riangnya. Tapi dimanakah jalan-jalan ini mesti
Berakhir, jadi perlambang, dimana aku mengingat-ingat
Kembali bagaimana dunia ini pada akhirnya: yang bersisa
Hanyalah angin, dan ingatan, setelah musik sunyi perlahan
Memudar di tepi danau.
(studio teater Gapus, 1999)
Lukisan Pengantin
-buat Linang Dian
Sebuah lukisan tentang masa lalu adalah angin yang
Menggeraikan rambutmu. Tapi makna kesangsianku tak terpahat
Dan aku bermimpi dalam kabut; cahaya memercik dari senyummu
Menjadi kelepak kelelawar. Masih aku bermimpi tentangmu
Pada segala yang hendak kuartikan dari mawar hitam
Ketika dunia kini hanya bersisa abu.
Pada sepenggal musik sengau, pikiranku memudar
Menjelma kepulan asap. Dan matahari terbunuh di sudut
Matamu yang menyala-malam tak terkisahkan, di mana tawa hantu
Hanyalah auman di balik lukisan. Kupikirkan duniamu
Tanpa isyarat. Tatapanku lepas menjadi petikan puisi
Merubah auman hujan menjadi musik yang tak bertepi
Melebihi prahara di puncak malam.
Pucuk-pucuk hening saling bertemu. Tapi isyarat ini
Tak tersampaikan: menjadi masa lalu dalam masa lalu
Isakku terkubur di balik dinding, kesangsianku mengakhiri
Kepergianku dalam waktu. Tak ada yang mesti bersisa
Selain abu dalam lukisan-bisikmu memanggil angin
Agar pikiranku terdampar di sebuah pantai yang penuh
Dengan retakan. Menghukumku dalam keramik yang tua.
(2000)
Bagi Hidup Luka Telah Mati di Bulan
Mulut menganga penuh kotoran anjing, bukankah pekik
Penyair turut mewarnai nadi malam. Menjadi keajaiban
Setelah pengetahuan hancur, tinggal pedih-
Kau menangis di air tawar; pedih ini, Dian, akan melebihi
Tusukan tombak. Luka yang memudar di bawah lampu
Luka yang melihat bayangannya: tubuh kayu yang tinggal
Arang di hutan, setelah gerimis menipis. Bahkan puisi
Tak mungkin terbaca lagi.
Luka ini menebas batas, berpendar pada bulan
Kesurupan yang menyala menjelma nyeri lolongan
Bagi hidup ini, aku kehilangan kupu-kupu; dimana luka
Bertunas dalam abu. Malam menjadi tanpa musik, hanya isak
Yang tertahan di alir sungai-isak yang membasahi bajumu
Masa lalu sekarat di pantai. Waktu terlepas ke pusat cakrawala
Mengapung-apung. Matamu memejam oleh teluh bisikmu, Dian
Tapi bukankah api berlidah dan menangkas sepi. Tapi kuragukan
Semua ini.
Malam telah tua. Maut memekik dalam penyesalanku
Pikiranku terbakar oleh mimpi buruk yang hendak meledak
Dari payudaramu-seperti mimpi; aku bernafas di pantai
Kekosongan dan hanyut dalam cahaya menuju hutan perlambang
Kulihat lukaku mati di bulan. Nyeri itu tak berbatas pada
Bayangan pohon, nyeri yang mengental. Kelak makna luka ini
Lahir di kebutaannya. Dian, ziarahilah tubuhmu, biar sepi
Tak terasa gelap-meski kau bukan pelayat yang melagukan
Cahaya; setelah auman hujan menggulungmu, membuat pikiranmu
Tinggal serpihan-serpihan di udara.
(2000)
Djati Bening, 1270
-buat Deni Tri Aryanti
Kesunyianku adalah sebuah jalan: aku belajar
Untuk mencair seperti cahaya, atau bayangan dengan
Baju musim semi dari kulit kerang. Duniaku alir dengan
Penggal ketiadaan yang meniup seruling.
Kutangkap selarik musik dari burung camar, musik yang
Menyeberangkan matahari. Luka memar telah membelah
Jadi bayangan dengan bentuk paruhnya pada bening gelas
Tapi apakah yang bersisa di mimpi ini?
Isak daun memercik. Dan hutan jati jadi nyata memerangkap
Penglihatanku. Keterpesonaanku pada sunyi mirip musik lebah
Dan memberi nyawa bagi pohon jati. Ingatanku bangkit
Untuk memulai hari, menghirup rasa pahit yang tak selamanya
Kekal oleh kata. Juga doaku membatu di kerongkongan.
Aku mencari jiwa dalam baju musim semi. Sunyi menyanyikan
Musik riangnya. Tapi dimanakah jalan-jalan ini mesti
Berakhir, jadi perlambang, dimana aku mengingat-ingat
Kembali bagaimana dunia ini pada akhirnya: yang bersisa
Hanyalah angin, dan ingatan, setelah musik sunyi perlahan
Memudar di tepi danau.
(studio teater Gapus, 1999)
Sajak-Sajak Muhammad Aris
http://www.lampungpost.com/
Tertimbun Seribu Lumpur
“bila hati hilang api
pikiranpun tak penting lagi!”
ketika hujan tinggal gemuruh
seperti derap bayang-bayang
dari semak-semak yang jauh
mungkin ruang yang berdenting
dengan warna kecapi
melarung masa lalu, barisan waktu
tanggal di antara debu dan tanah-tanah ungu
retak dengan jejak
tak lagi nampak
aku kupas pikiranku lewat sayap serangga
di hening angin
saat malam mencambuk kelamin
di kertas-kertas buram; puisi mabuk!
lihatlah, O! aku gerakkan jari-jari hingga gelombang
tenang. menjahit daun-daun kering yang terbang
di bau-bau bangkai, mayat tanpa tubuh juga nama
tertimbun seribu lumpur dan terlempar
jadi puing-puing. asing.
O! dalam mata terkapar aku lontarkan mimpi
sejarah hitam seperti tetes embun
memecah jalan-jalan elan. dan aku
bekukan darahku melukis asap-angin
hingga aku tahu
seribu malaikat pelan mendekat
dan mati
Lamongan, 2005
Musik Dendam Musik Kambang
sebab gelengan kepalaku adalah musik yang membakar
dendam ruh-ruh purba hadir dan berteriak
melaknat para khianat: kaum telanjang
pemuja pantat dan selangkang
ya widi ya tragedi
inilah sejarah tulang, musik yang kambang
batu-batu perburuan terukir di gua
asing. juga warna lumut paling maut
berputar di kepala seperti nasib di tengah manuskrib
api di dalam kutang yang menantang
ah! seperti itulah irama
semisal kutuk atas tubuh tanpa ampun
tanggal. luruh di tanah terkalang jadi sampah
dan diantara deretan makam
ada yang terloncat, mencelat
susuri lagu-lagu masa lalu
masa penuh peluru yang menghalau
gegap silau. matahari yang hijau
membentuk ruang dan salju-salju neraka
ya widi ya bir-birahi
simak segala aib di kutub-guruh senggama; senja
cekik jantung lewat pusat-pusaran gelombang
ah! tangis hentikan gerimis
dan O! segala lentik-petikan jari-jari
hilang. hilangkan hari-hari sunyi; wujud langit
waktu yang berhenti dan segera
gegas bunuh diri
Lamongan, 2005
Batu Dingin di Dalam Api
ombak pun meleleh
menggelegak!
dan tubuhku terhunjam
seribu tombak
kitapun harus pulang susuri tanah-tanah retak
persemaian pertama saat matahari merah
dan hujan penggal luka
duka yang masih basah
datang dan terus berdentang sepanjang musim
airmata
hingga jauh membentuk lubang
kubang sumur yang gembur
kita tanggalkan mata dalam mimpi
terjaga seperti batu dingin di dalam api
meluncur dan berputaran di kepala kita
terbang-tembus tubuh
lelap
gemerlap cabik-cucuki gunung
batu-karang
semua tiba-tiba menelan hari penuh elan
ombak pecah, garang meloncat di atap rumah
dan nyawa begitu gundah
seperti kita dengan jantung lepas
berdegup menghitung warna detik di telinga
ah, kitapun membuat asap dari debu
dari keringat di setiap bangkai
penuh dan bergemuruh oleh gempa
atas laut yang gelegar
selangut lagu-lagu kalut
lalu tangan seperti juga kulit tipis dalam gerimis
kita letakkan di rami-rami jerami
menghapus setiap nafas-nafas sunyi
dan pelan-pelan
memungut maut hingga impas
dan balik ke tanpa sungut
Lamongan, 2005
Mayat yang Pulang
“adakah duka ngalir pada airmata
saat angin sembur bau bangkai
mayat yang pulang, berseragam
dan ketuk pintu
ibu?”
malam bakar suara, erangan
seribu sajadah berarak lewat tetes air
dalam mimpi ngukir luka
seribu sihir dengan tubuh
berkubang darah
dari denting gerimis
aku saksikan jalan-jalan mekar
nggergaji setiap puisi, tubuh
terpenggal dan menjalar jadi aksara-aksara
mursal bergerak di antara sakal
matahari seperti taifun, tahun-tahun
kembali meledak sekaligus diam
mematung-pancari pusara-pusara panjang
berlumut dengan ilalang ditumbuhi sperma
“adakah duka?”
mungkin api
berdentam dengan janggut putih
meremas nafas bayi-bayi yang tumbuh
dan mati dengan derap
para pencuri kitab; sang keris
pukul-patahkan kaki pengelana
di padang paling gilap
rumput-rumput meranggas
tanah-tanah meluncur dari kuncup payudara
gunung berapi yang hunjam gung dan gaung
lalu kampung
menghisap gagap-gelagap irama asap
dan segala
lenyap-melesap di batas
batang-batang padi dan aku
gasak-santap penuh gegap
“mayat yang pulang, berseragam
ketuk pintu
ibu?”
Lamongan, 2005
Hujan pun Langut
hujan pun langut
angin berkibar-kobar penuh sikut
lalu diam
seperti batu apung
tenggelam
waktu kembali menetes
teriaki lubang-lubang jalan
jalan bermuara dengan serakan puing
dan bau obat yang sangat pesing
pelan-pelan cerita dimulai
menetes dari kilau lembab gua
jadi warna airmata; sebotol keringat
urung dilempar sebab terlanjur memar
semua tertikam di garis-garis ritmis
laut dan gelombang seperti rindu
gagap berlari dalam lagu lindu
gegap dan melontar tubuh lebih gemuruh
dari segala guruh dan peluru
ah, ruang hanya hitam
bayang-bayang selalu tampak saat merah
racun di sisik panah berloncatan
dan putihkan usia
seperti maut selalu luput
selalu bergelut
Lamongan, 2005
Tertimbun Seribu Lumpur
“bila hati hilang api
pikiranpun tak penting lagi!”
ketika hujan tinggal gemuruh
seperti derap bayang-bayang
dari semak-semak yang jauh
mungkin ruang yang berdenting
dengan warna kecapi
melarung masa lalu, barisan waktu
tanggal di antara debu dan tanah-tanah ungu
retak dengan jejak
tak lagi nampak
aku kupas pikiranku lewat sayap serangga
di hening angin
saat malam mencambuk kelamin
di kertas-kertas buram; puisi mabuk!
lihatlah, O! aku gerakkan jari-jari hingga gelombang
tenang. menjahit daun-daun kering yang terbang
di bau-bau bangkai, mayat tanpa tubuh juga nama
tertimbun seribu lumpur dan terlempar
jadi puing-puing. asing.
O! dalam mata terkapar aku lontarkan mimpi
sejarah hitam seperti tetes embun
memecah jalan-jalan elan. dan aku
bekukan darahku melukis asap-angin
hingga aku tahu
seribu malaikat pelan mendekat
dan mati
Lamongan, 2005
Musik Dendam Musik Kambang
sebab gelengan kepalaku adalah musik yang membakar
dendam ruh-ruh purba hadir dan berteriak
melaknat para khianat: kaum telanjang
pemuja pantat dan selangkang
ya widi ya tragedi
inilah sejarah tulang, musik yang kambang
batu-batu perburuan terukir di gua
asing. juga warna lumut paling maut
berputar di kepala seperti nasib di tengah manuskrib
api di dalam kutang yang menantang
ah! seperti itulah irama
semisal kutuk atas tubuh tanpa ampun
tanggal. luruh di tanah terkalang jadi sampah
dan diantara deretan makam
ada yang terloncat, mencelat
susuri lagu-lagu masa lalu
masa penuh peluru yang menghalau
gegap silau. matahari yang hijau
membentuk ruang dan salju-salju neraka
ya widi ya bir-birahi
simak segala aib di kutub-guruh senggama; senja
cekik jantung lewat pusat-pusaran gelombang
ah! tangis hentikan gerimis
dan O! segala lentik-petikan jari-jari
hilang. hilangkan hari-hari sunyi; wujud langit
waktu yang berhenti dan segera
gegas bunuh diri
Lamongan, 2005
Batu Dingin di Dalam Api
ombak pun meleleh
menggelegak!
dan tubuhku terhunjam
seribu tombak
kitapun harus pulang susuri tanah-tanah retak
persemaian pertama saat matahari merah
dan hujan penggal luka
duka yang masih basah
datang dan terus berdentang sepanjang musim
airmata
hingga jauh membentuk lubang
kubang sumur yang gembur
kita tanggalkan mata dalam mimpi
terjaga seperti batu dingin di dalam api
meluncur dan berputaran di kepala kita
terbang-tembus tubuh
lelap
gemerlap cabik-cucuki gunung
batu-karang
semua tiba-tiba menelan hari penuh elan
ombak pecah, garang meloncat di atap rumah
dan nyawa begitu gundah
seperti kita dengan jantung lepas
berdegup menghitung warna detik di telinga
ah, kitapun membuat asap dari debu
dari keringat di setiap bangkai
penuh dan bergemuruh oleh gempa
atas laut yang gelegar
selangut lagu-lagu kalut
lalu tangan seperti juga kulit tipis dalam gerimis
kita letakkan di rami-rami jerami
menghapus setiap nafas-nafas sunyi
dan pelan-pelan
memungut maut hingga impas
dan balik ke tanpa sungut
Lamongan, 2005
Mayat yang Pulang
“adakah duka ngalir pada airmata
saat angin sembur bau bangkai
mayat yang pulang, berseragam
dan ketuk pintu
ibu?”
malam bakar suara, erangan
seribu sajadah berarak lewat tetes air
dalam mimpi ngukir luka
seribu sihir dengan tubuh
berkubang darah
dari denting gerimis
aku saksikan jalan-jalan mekar
nggergaji setiap puisi, tubuh
terpenggal dan menjalar jadi aksara-aksara
mursal bergerak di antara sakal
matahari seperti taifun, tahun-tahun
kembali meledak sekaligus diam
mematung-pancari pusara-pusara panjang
berlumut dengan ilalang ditumbuhi sperma
“adakah duka?”
mungkin api
berdentam dengan janggut putih
meremas nafas bayi-bayi yang tumbuh
dan mati dengan derap
para pencuri kitab; sang keris
pukul-patahkan kaki pengelana
di padang paling gilap
rumput-rumput meranggas
tanah-tanah meluncur dari kuncup payudara
gunung berapi yang hunjam gung dan gaung
lalu kampung
menghisap gagap-gelagap irama asap
dan segala
lenyap-melesap di batas
batang-batang padi dan aku
gasak-santap penuh gegap
“mayat yang pulang, berseragam
ketuk pintu
ibu?”
Lamongan, 2005
Hujan pun Langut
hujan pun langut
angin berkibar-kobar penuh sikut
lalu diam
seperti batu apung
tenggelam
waktu kembali menetes
teriaki lubang-lubang jalan
jalan bermuara dengan serakan puing
dan bau obat yang sangat pesing
pelan-pelan cerita dimulai
menetes dari kilau lembab gua
jadi warna airmata; sebotol keringat
urung dilempar sebab terlanjur memar
semua tertikam di garis-garis ritmis
laut dan gelombang seperti rindu
gagap berlari dalam lagu lindu
gegap dan melontar tubuh lebih gemuruh
dari segala guruh dan peluru
ah, ruang hanya hitam
bayang-bayang selalu tampak saat merah
racun di sisik panah berloncatan
dan putihkan usia
seperti maut selalu luput
selalu bergelut
Lamongan, 2005
Sajak-Sajak Idrus F Shihab
http://cetak.kompas.com/
Sampan
Seperti sampan hancur di dalam dada
buih-buih ombak
uban-uban di kepala
di bawah sikuku,
kursi goyang buaian masa silam
Nina bobok, nina bobok…
sepasang kaki, sepuluh jemari
harpa dan tarian kematian
Nina bobok, nina bobok…
sampan karam perlahan
Ke dasar lahatku
Perjalanan
Dua mata,
basah di dasar kolam
Dari rindu,
Lilin tua menetes ke dalam hati
hangat sampai ke sumsum
Sampai di mana kita berjalan?
Rindu
Kudengar rebanamu di detak jantung
angin-angin berekor kuda panjang
datang dari pulau-pulau perantau di selatan
Sepuluh jariku bernyanyi
satu lagu seriuh pasar malam
dengan judul namamu
Aku rindu
—
Idrus F Shihab tinggal di Jakarta. Ia bekerja sebagai jurnalis.
Sampan
Seperti sampan hancur di dalam dada
buih-buih ombak
uban-uban di kepala
di bawah sikuku,
kursi goyang buaian masa silam
Nina bobok, nina bobok…
sepasang kaki, sepuluh jemari
harpa dan tarian kematian
Nina bobok, nina bobok…
sampan karam perlahan
Ke dasar lahatku
Perjalanan
Dua mata,
basah di dasar kolam
Dari rindu,
Lilin tua menetes ke dalam hati
hangat sampai ke sumsum
Sampai di mana kita berjalan?
Rindu
Kudengar rebanamu di detak jantung
angin-angin berekor kuda panjang
datang dari pulau-pulau perantau di selatan
Sepuluh jariku bernyanyi
satu lagu seriuh pasar malam
dengan judul namamu
Aku rindu
—
Idrus F Shihab tinggal di Jakarta. Ia bekerja sebagai jurnalis.
Sajak-Sajak Putu Fajar Arcana
http://cetak.kompas.com/
Uma
Pohon yang kau pahat di dinding luluh dalam kabut.
Seorang jejaka atau gembala tua
yang menahanmu di tepi hutan cemara.
Angin tak jua berkabar tentang risau langit senja. Dan para dewa
mengintipmu dari celah dedaunan. Mungkin mereka sangsi
tentang petaka
tentang kutuk yang kau derita.
Kau tahu air susu lembu itu, hanya tipu
gerutu pilu seorang pangeran kahyangan.
Tapi cemar telah ditebar. Pantang menjilat sabda
yang bagai kilat menyambar, menghanguskan pucuk daun.
Jadi pergi, pergilah sejauh hutan.
Seorang malaikat muda menunggumu
di balik rimbun cahaya. Dan jika mukaku terbakar
karena api dalam darahmu, sebaiknya tak usah kembali.
Sebab surga tak seperti diceritakan dalam kitab.
Penuh kutuk dan sabda keji para pangeran tua.
Uma, pohon yang kau pahat di dinding leleh dalam terik.
Seorang dewa atau gembala tua yang mengutukmu.
Pasrahkan pada angin agar senja memerah
dan mengantar mataharimu ke balik malam.
2008
Malaikat Bersayap
Di retak lenganmu burung-burung meruntuhkan bulunya.
Dan jam pasir mengucur menuju senja
yang baka.
Kaukah yang mengepakkan sayap, hingga relief
berguguran seperti serbuk waktu.
Dalam kelabu batubatu kisah dewadewi menjelma gulma
yang melilit lehermu.
Pada siapa kubertanya tentang wahyu yang terkubur di dasar lingga.
Kau yang mengirim senyap, biar kurengkuh dengan sayap
dan kutabur di celah yoni.
Sudah berapa lama kita alpa membaca penanggalan
hingga serbuk waktu membatu di pusaran gugusan candi.
Pada patahan tanganmu lumut-lumut tumbuh liar.
Dan jam pasir mengucur menuju malam
yang gusar.
Kaukah yang menjelma saat aku tengadah memandang langit.
Dan bintang-bintang berkedip tanda pertalian darahku dan darahmu.
2008
Candi Sukuh
Di depan seorang dewi aku ingat penggalan kepalamu
yang terguling di dasar lembah.
Sayap-sayapmu ringkih dikikis angin,
yang berabad-abad menyelinap ke bilik candi.
Siapa yang memutar waktu ke masa lalu. Siapa diriku dan dirimu,
kalau bukan seseorang yang meletakkan batubatu
untuk merengkuhmu dari balik kabut. Aku datang kepadamu
di sore yang hangat, aku datang dengan bunga dan hati sejernih sungai.
Dan jika bukan karena dirimu, aku tak tahu siapa diriku.
Tapi kau memenggal lehermu
saat aku bertanya tentang siapa dirimu.
Ah. Waktu begitu gulita, rapuh, dan sengsara. Menjeratku
dalam pusaran kehilangan demi kehilangan.
2008
Putu Fajar Arcana lahir di Kota Negara, Bali. Sajak-sajaknya termuat antara lain dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Kembang Rampai Puisi Bali (1997).
Uma
Pohon yang kau pahat di dinding luluh dalam kabut.
Seorang jejaka atau gembala tua
yang menahanmu di tepi hutan cemara.
Angin tak jua berkabar tentang risau langit senja. Dan para dewa
mengintipmu dari celah dedaunan. Mungkin mereka sangsi
tentang petaka
tentang kutuk yang kau derita.
Kau tahu air susu lembu itu, hanya tipu
gerutu pilu seorang pangeran kahyangan.
Tapi cemar telah ditebar. Pantang menjilat sabda
yang bagai kilat menyambar, menghanguskan pucuk daun.
Jadi pergi, pergilah sejauh hutan.
Seorang malaikat muda menunggumu
di balik rimbun cahaya. Dan jika mukaku terbakar
karena api dalam darahmu, sebaiknya tak usah kembali.
Sebab surga tak seperti diceritakan dalam kitab.
Penuh kutuk dan sabda keji para pangeran tua.
Uma, pohon yang kau pahat di dinding leleh dalam terik.
Seorang dewa atau gembala tua yang mengutukmu.
Pasrahkan pada angin agar senja memerah
dan mengantar mataharimu ke balik malam.
2008
Malaikat Bersayap
Di retak lenganmu burung-burung meruntuhkan bulunya.
Dan jam pasir mengucur menuju senja
yang baka.
Kaukah yang mengepakkan sayap, hingga relief
berguguran seperti serbuk waktu.
Dalam kelabu batubatu kisah dewadewi menjelma gulma
yang melilit lehermu.
Pada siapa kubertanya tentang wahyu yang terkubur di dasar lingga.
Kau yang mengirim senyap, biar kurengkuh dengan sayap
dan kutabur di celah yoni.
Sudah berapa lama kita alpa membaca penanggalan
hingga serbuk waktu membatu di pusaran gugusan candi.
Pada patahan tanganmu lumut-lumut tumbuh liar.
Dan jam pasir mengucur menuju malam
yang gusar.
Kaukah yang menjelma saat aku tengadah memandang langit.
Dan bintang-bintang berkedip tanda pertalian darahku dan darahmu.
2008
Candi Sukuh
Di depan seorang dewi aku ingat penggalan kepalamu
yang terguling di dasar lembah.
Sayap-sayapmu ringkih dikikis angin,
yang berabad-abad menyelinap ke bilik candi.
Siapa yang memutar waktu ke masa lalu. Siapa diriku dan dirimu,
kalau bukan seseorang yang meletakkan batubatu
untuk merengkuhmu dari balik kabut. Aku datang kepadamu
di sore yang hangat, aku datang dengan bunga dan hati sejernih sungai.
Dan jika bukan karena dirimu, aku tak tahu siapa diriku.
Tapi kau memenggal lehermu
saat aku bertanya tentang siapa dirimu.
Ah. Waktu begitu gulita, rapuh, dan sengsara. Menjeratku
dalam pusaran kehilangan demi kehilangan.
2008
Putu Fajar Arcana lahir di Kota Negara, Bali. Sajak-sajaknya termuat antara lain dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Kembang Rampai Puisi Bali (1997).
Sajak-Sajak Heri Latief
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
Bisu
apa lagi yang mesti ditulis?
jika korupsi dianggap biasa
pemimpin cuma bisa nyanyi
di panggung tak ada suaranya
kerna bukan dia yang berkuasa
Amsterdam, 19/06/2010
Budak
uang panas membakar napsu
manusia jadi budaknya napsu
Amsterdam, 20/06/2010
Pengembara
setiap mengulang tahun
aku selalu ingat pesan ibu
bukalah mata hati jika pergi
jangan pulang kerna merindu
dunia pengembara siapa berani?
Amsterdam, 19 Juni 2010
Teks itu Bicara
jika keramaian kumpulan suara
tulislah sajak sebelum sarapan
refleksi diri bukan sekedar berpuisi
siraman rohani dari sebaris puisi?
silakan percaya pada layar kaca
Amsterdam, 19/06/2010
Jaraknya Mimpi
teknologi tinggi bikin hati kita makin dekat
jarak yang beribu kaki itu tinggal kenangan
waktu yang memberi tahu tentang rindu
duka dan bahagia selalu jalan bersama
pelabuhan mimpimu ada di dunia maya
Amsterdam, 18 Juni 2010
Bisu
apa lagi yang mesti ditulis?
jika korupsi dianggap biasa
pemimpin cuma bisa nyanyi
di panggung tak ada suaranya
kerna bukan dia yang berkuasa
Amsterdam, 19/06/2010
Budak
uang panas membakar napsu
manusia jadi budaknya napsu
Amsterdam, 20/06/2010
Pengembara
setiap mengulang tahun
aku selalu ingat pesan ibu
bukalah mata hati jika pergi
jangan pulang kerna merindu
dunia pengembara siapa berani?
Amsterdam, 19 Juni 2010
Teks itu Bicara
jika keramaian kumpulan suara
tulislah sajak sebelum sarapan
refleksi diri bukan sekedar berpuisi
siraman rohani dari sebaris puisi?
silakan percaya pada layar kaca
Amsterdam, 19/06/2010
Jaraknya Mimpi
teknologi tinggi bikin hati kita makin dekat
jarak yang beribu kaki itu tinggal kenangan
waktu yang memberi tahu tentang rindu
duka dan bahagia selalu jalan bersama
pelabuhan mimpimu ada di dunia maya
Amsterdam, 18 Juni 2010
Sajak-Sajak Kurniawan Yunianto
http://www.sastra-indonesia.com/
SESAJI AYAM HITAM
inilah perjalanan ke barat
bersijingkat sampai tepian sawah
memandang keemasan purnama
pada langit yang bersih
kalimat tertulis terbaca dengan jelas
kicau burung menyambut kedatangan
engkaukah itu dengan kepak sayap
sebagai isyarat keberadaan
di bawah rimbun pohon bambu
begitulah engkau berabad lalu
mencairkan garam lalu menyiramkannya
pada tanah pada ladang pada kehidupan
dan inilah ayam hitam
yang tak lagi kepengin terbang
mengorekngorek tanah pada jejakmu
yang luas dan lapang
28.06.2010
APA YANG KAU TINGGALKAN
apa yang ikut serta sayang
tiap kali pagipagi pergi meninggalkan rumah
ciuman di punggung tangan
yang membuat gagal mencuri matahari
pastel warnawarni pada dinding ruang tamu
gambar meja kursi dan belasan balon
yang menggoda mata berkalikali melirik kaca spion
ataukah
sebagian diri yang telah mendapat kepercayaan
dari seluruh penghuni
barangkali memang nyaris semua ikut terbawa
lalu secara bergilir kau tukar dengan gelapnya siang
meski tak sepadan tapi selalu kau bawa pulang
rumah siapa ini
pertanyaanmu terucap pelan ketika kau telah kembali
menyaksikan mereka tak pernah henti menatap televisi
beberapa pasang mata yang telah lama
meninggalkanmu
24.06.2010
ENGKAUKAH DI LUAR SANA
sepertinya memang huruf angka terselip di mata
atau paling tidak sedikitnya ada empat huruf langka
menjadi seolah lensa saat mengeja nama benda
saat memandang apa saja yang memantulkan cahaya
lalu bagian mana yang membuat heran dan terdiam
ketika melihat diri sendiri menyapu halaman depan
mengumpulkan daun kering membakarnya dengan api
yang menyala putih kemerahan
sesaat itu rasanya kepengin juga ikut menjadi abu
menjadi ringan menjadi debu menjadi tanpa beban
hingga keberadaan tak perlu lagi dicemaskan
21.06.2010
SIAPA YANG SAKIT
buat apa gunting
jika kain telah terpotong
menjadi warnawarni perca
merapatkan diri
khawatir jika tak ikut
terbuang ke tempat sampah
kau tak sedang
berniat bunuh diri bukan
ceritamu tentang buah hati
yang asinnya begitu getir
bikin lidah menggigil
nyaris membuat perempuanmu
menangisi yang selama ini
disangkanya sebuah kesedihan
sebelum akhirnya tertawa
saat kau tawarkan
bangkai anakmu untuk
santap malam penghabisan
rasa yang singgah
tak lebih dari semenit itu
aromanya masih saja tercium
hingga anakcucumu
terdiam dalam demam
20.06.2010
PEMBERANGKATAN KE SEKIAN
saatnya orangorang pulang
dari kerja dari belanja dari membunuh
dari merampok dari apa saja yang menghela kita ke lupa
dengan ribuan kendaraan meninggalkan siang
derunya seperti bising pesawat terbang
ditingkah gesekan logam dari bengkel sebelah
bunga api yang cerlang yang pijarnya lenyap dalam sekejap
tibatiba malam lebaran tigapuluh tahun lalu
kembali hadir dalam riuh urban yang paling sunyi
menarinarik lengan baju meludahi mukaku
lalu menunjuk ke arah kereta yang telah lama menunggu
rupanya akan ada pemberangkatan yang entah ke mana
selepas tengah malam atau mungkin dini hari nanti
di sini sudah tak ada siapasiapa lagi
bahkan dirikupun mendadak ikut tiada
tapi aku masih saja berlamalama di depan cermin
bersitahan dengan musim dengan cuaca
dengan serpihan kayu yang hampir seminggu menembus kulit
meninggalkan noktah hitam dan barangkali sedikit rasa sakit
iya sayang sebentar aku sedang memakai sepatu
10.06.2010
SESAJI AYAM HITAM
inilah perjalanan ke barat
bersijingkat sampai tepian sawah
memandang keemasan purnama
pada langit yang bersih
kalimat tertulis terbaca dengan jelas
kicau burung menyambut kedatangan
engkaukah itu dengan kepak sayap
sebagai isyarat keberadaan
di bawah rimbun pohon bambu
begitulah engkau berabad lalu
mencairkan garam lalu menyiramkannya
pada tanah pada ladang pada kehidupan
dan inilah ayam hitam
yang tak lagi kepengin terbang
mengorekngorek tanah pada jejakmu
yang luas dan lapang
28.06.2010
APA YANG KAU TINGGALKAN
apa yang ikut serta sayang
tiap kali pagipagi pergi meninggalkan rumah
ciuman di punggung tangan
yang membuat gagal mencuri matahari
pastel warnawarni pada dinding ruang tamu
gambar meja kursi dan belasan balon
yang menggoda mata berkalikali melirik kaca spion
ataukah
sebagian diri yang telah mendapat kepercayaan
dari seluruh penghuni
barangkali memang nyaris semua ikut terbawa
lalu secara bergilir kau tukar dengan gelapnya siang
meski tak sepadan tapi selalu kau bawa pulang
rumah siapa ini
pertanyaanmu terucap pelan ketika kau telah kembali
menyaksikan mereka tak pernah henti menatap televisi
beberapa pasang mata yang telah lama
meninggalkanmu
24.06.2010
ENGKAUKAH DI LUAR SANA
sepertinya memang huruf angka terselip di mata
atau paling tidak sedikitnya ada empat huruf langka
menjadi seolah lensa saat mengeja nama benda
saat memandang apa saja yang memantulkan cahaya
lalu bagian mana yang membuat heran dan terdiam
ketika melihat diri sendiri menyapu halaman depan
mengumpulkan daun kering membakarnya dengan api
yang menyala putih kemerahan
sesaat itu rasanya kepengin juga ikut menjadi abu
menjadi ringan menjadi debu menjadi tanpa beban
hingga keberadaan tak perlu lagi dicemaskan
21.06.2010
SIAPA YANG SAKIT
buat apa gunting
jika kain telah terpotong
menjadi warnawarni perca
merapatkan diri
khawatir jika tak ikut
terbuang ke tempat sampah
kau tak sedang
berniat bunuh diri bukan
ceritamu tentang buah hati
yang asinnya begitu getir
bikin lidah menggigil
nyaris membuat perempuanmu
menangisi yang selama ini
disangkanya sebuah kesedihan
sebelum akhirnya tertawa
saat kau tawarkan
bangkai anakmu untuk
santap malam penghabisan
rasa yang singgah
tak lebih dari semenit itu
aromanya masih saja tercium
hingga anakcucumu
terdiam dalam demam
20.06.2010
PEMBERANGKATAN KE SEKIAN
saatnya orangorang pulang
dari kerja dari belanja dari membunuh
dari merampok dari apa saja yang menghela kita ke lupa
dengan ribuan kendaraan meninggalkan siang
derunya seperti bising pesawat terbang
ditingkah gesekan logam dari bengkel sebelah
bunga api yang cerlang yang pijarnya lenyap dalam sekejap
tibatiba malam lebaran tigapuluh tahun lalu
kembali hadir dalam riuh urban yang paling sunyi
menarinarik lengan baju meludahi mukaku
lalu menunjuk ke arah kereta yang telah lama menunggu
rupanya akan ada pemberangkatan yang entah ke mana
selepas tengah malam atau mungkin dini hari nanti
di sini sudah tak ada siapasiapa lagi
bahkan dirikupun mendadak ikut tiada
tapi aku masih saja berlamalama di depan cermin
bersitahan dengan musim dengan cuaca
dengan serpihan kayu yang hampir seminggu menembus kulit
meninggalkan noktah hitam dan barangkali sedikit rasa sakit
iya sayang sebentar aku sedang memakai sepatu
10.06.2010
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae