Selasa, 29 Juni 2010

Sajak-Sajak Fajar Alayubi

http://www.sastra-indonesia.com/
Kaulah Hati

Kaulah Merkuri
di hadapan Sang Pemilik jagat raya

Kaulah hati
Wahai yang dianugrahi mahkota laksana raja Ishtar,
Mars tersipu wajahnya semerah rubi
Bumi tersanjung langit biru dan laut dalamnya
sungai yang mengalir pun jadi nadinya

Oh paras rupawan,
kecemburuan Venus selaksa hujan
keringatmu bercucur, menguap rasa sampai ke hulu

Bima Sakti
Kekasihmu bagaikan Andromeda
kecintaan Alesis pada padang gemintangnya
merengutkan keningnya
: kaulah pesirah, padangku tiada sejengkal dalam hatimu.



Kesaksian

Aku melukis bumi sirna
coklat langitnya,
hampa udaranya

burung-burung terbang menjilati senja
angannya jenuh melayang khayang
terbakar di tiap sayapnya

laku di atas rimba arang

Pantai sunyi kugurat badannya
telak rebah ia berselimut tinta hitam

Percikan warna api kusulut di punggungnya
selaksa luka dari sayap yang berkobar
agar langit tumbuh lembayung

Agar tampak tangan tak jahil mendurja alam,

ku apung batu karang sebagai bayang-bayang
; buih-buih ringan hiasan pucat pepasir.



Agitasi

Taman sedang kembang
geliat benih beranjak tingkah

sebelum kuntum, bunga hayal berbuah
kecambah muda mudah goyah

angin dari barat
ke timur membelai batuan karang

kayuh rayuan ke seribu pulau
serau nyiur sampai terberai

semak dan perdu
lelumut di batang tubuh

luluh.



“Koma” Cuma Sekali

aku belum mati
saat ini, di tempat sunyi

dimensi ketiga hampa kata
tiada larik hijau pelangi

merah delima dihitung jari
dirasa panca indra berganda

sekepal hati berbagi dua
: tuju surga atau neraka

sewindu telah di gerbang fana
mengetuk nama purwa sempurna

“aku dimana ?”
kau di depanku berduka.



Semut Pundak

Semut-semut pundak di muka dan halaman senggal-senggol mata dan pena

pagi tadi
sebelum ibu menyapu lantai manis gula, mereka sibuk juga berbenah

“cepat !” kataku
“nanti dulu,” kata ibu

“berpencar !”

kaki meja tulisku jalan pelarian

“naik !”

Sajak-Sajak Imron Tohari

http://www.sastra-indonesia.com/
Puisi di Kulit Pohon

menanyakan arti sebuah ketulusan
seperti halnya aku menatap sosok tubuh
berdiri diantara garis-garis hujan yang merupa kabut
sedang di ujung jalan : Cahaya lampu temaram

lalu apa bedanya yang kutanyakan tadi
tentang ketulusan, khususnya dalam hal mencinta
dengan jalanan datar,turun, mendaki , lurus atau bahkan berkelok
bilabila mencari kebenaran jawab sahaja mataku berdiri nanar-
diam: terpaku di teras rumah

o,melukis wajahmu
sama sulitnya aku bertanya pada seulas senyum
yang kau tempelkan di sudut bibirmu
dan bercerita kicau nuri
lalu sekonyong-konyong bercerita cemara tua

2/
adalah labirin, mural jantung,kau
kekasih
: cinta itu seperti mega, bergelayut
mendung lalu
rinai

o,tidaklah selamanya mega itu putih
adakalanya mega tersaput jelaga
namun, bila tak pejam mata hati
rasakan pula lembut suria
mengalungkan bianglala
membimbing burung terbang
kembali pulang
ke sarang

3/
jika engkau, kekasihku
pemantik cinta yang mengajak semilir bayu
menyisir bulubulu indah cendrawasih
menoreh baitbait puisi pada kulit pohon
yang diamnya
tetesan getah itu adanya kidung cinta
lalu kepedihan, juga kesukaan
saling mengikat

masih perlukah bertanya tulusnya cinta
sedang di setiap perputaran jarum jam
pikiran yang agung
tidak pernah untuk tidak memikirkan kekasih

: dan adalah kunang-kunang kecil
yang menyatukan sinarnya pada malam
menuju surga.

21 April 2010



Tadabur Cinta

Banyak sudah pedih kurasa
Terjal berliku ujian Cinta
Dalam kumbangan madu cekat
Gejolak asmara terkungkung sekat

O malam, malam suram bulan bertudung
Kutulis sajak di mural jantung
Kuseduh hikmah segala coba
Menadaburkan cinta berkalam surga

Kini, saat kembali mengingatmu
Dalam kedalaman Istiqomah nurani
Hangat air mata tiada lagi pilu

: Karena jiwaku tlah berkhalwat

3 Mei 2010



Mengada Untukmu

Di ladang cinta
Menyemai benih-benih
Kuambil dari tetirah rindu

Tidak mesti purnama
untuk mengajakmu melukis bayang

lihat…
kerlip kunang-kunang
indah bersinar kala gelap malam

Dan aku mengasihimu
Mengada untukmu

Di ladang cinta
Tempat menabur benih-benih
Adalah cahaya yang menjadikan kita
Memiliki kuasa hidup

26 April 2010

Sajak-Sajak Putri Sarinande

http://www.sastra-indonesia.com/
Kisah Si Pendoa

Tuhan, tolong kirimkan pesan ini padanya. Atau, jika Kau terlalu repot untuk membantuku, maafkan aku yang meminta tolong pada ciptaan Mu yang lain.

Pohon, izinkan pesanku meliuk-liuk melewatimu. Hutan, izinkan pesanku bertualang melacak jejaknya. Angin, izinkan pesanku terbang bersama hembusanmu. Sungai, izinkan pesanku mengalir hingga terdampar padanya. Lembah, izinkan pesanku menukik terjun menghampirinya dari ketinggian entah. Gunung, izinkan pesanku mendakimu menujunya. Hujan, izinkan pesanku turut menetes ke bumi membasahinya. Matahari, izinkan pesanku menguap oleh panasmu, hingga harumnya tercium olehnya. Bulan, izinkan pesanku terpantul bersama kilaumu, ke dalam pekatnya malam yang menyelimuti tidurnya.

Pohon. Hutan. Angin. Sungai. Lembah. Gunung. Hujan. Matahari. Bulan. Sudikah Kalian membantuku?

Aku yakin, ya. Sebab, Kalian lah yang selama ini menemaninya.

Tuhan, kuharap Kau tak keberatan. Karena aku telah meminta bantuan pada : Pohon, Hutan, Angin, Sungai, Lembah, Gunung, Hujan, Matahari, dan Bulan.

Lagipula, ini bukan doa. Ini hanyalah permintaan tolong olehku. Kau mungkin terlalu sibuk, Tuhan? Jadi, tak mengapa bukan?

Oh ya. Tidakkah Kau ingin tahu Tuhan? Pesan apa gerangan, yang ingin kusampaikan padanya itu? Singkat saja : “Tolong aktifkan telepon selularmu.”

23 februari 2010



Dongeng Si Gadis Mawar*

ia gadis mawar cantik, merah merekah. berduri mungil, tak menyakiti. durinya bagaikan jarum dokter, untuk mengobati bukan menyakiti. ia mawar cantik, dengan binar di matanya memandang dunia nan cerah.

keluarga mawar pun berduri. kuat tajam dan membunuh. membunuh sesama mawar. atas nama cinta kasih. keluarga mawar benar berduri. memandang dunia seolah neraka. padahal neraka adalah di dalam rumpun keluarga mawar.

semakin gadis mawar bertumbuh, semakin ia terluka. durinya cukup kuat melindungi diri, namun terlalu rapuh bertahan dalam rumpun keluarga mawar.

ia harus pergi. ia harus lepas dari rumpun keluarga mawar. ia harus pergi. ia harus bertahan dari rumpun keluarga mawar.

keluarga mawar berkeras bahwa rumpun keluarga mawar adalah tempat teraman di dunia. ia akan mati jika meninggalkan rumpun keluarga mawar.

semakin keluarga mawar melindungi gadis mawar, semakin ia terluka oleh duri. duri keluarga mawar. yang membelitnya. membelit atas nama cinta kasih. dan duri rumpun keluarga mawar. sebab dalam rumpun keluarga mawar hanya ada satu bahasa : Bahasa Duri.

gadis mawar diajari cara melindungi diri dengan durinya. tetapi tidak pernah keluarga mawar memberitahukannya bahwa duri dapat menusuk-diri. sebab bahkan keluarga mawar tak pernah tahu bahwa rumpun keluarga mawar gemar menusuk-diri : diri sendiri dan diri sesama.

ingin rasanya si gadis mawar melenyapkan keluarga mawar, dan seluruh rumpun keluarga mawar. hingga ia menjadi bak tak diperanakan. dan ia pun takkan beranak. maka ia akan menjadi maha tunggal. tak beranak dan tak diperanakan.

dan pada akhirnya gadis mawar turut melenyap bersama sejarah. menyisakan senyum luka yang menjerat,pada setiap tangkai bunga mawar yang kau lihat. dan diagung-agungkan bagaikan Tuhan dalam setiap jenis agama.

Sajak-Sajak W Haryanto

http://www2.kompas.com/
Lukisan Pengantin
-buat Linang Dian

Sebuah lukisan tentang masa lalu adalah angin yang
Menggeraikan rambutmu. Tapi makna kesangsianku tak terpahat
Dan aku bermimpi dalam kabut; cahaya memercik dari senyummu
Menjadi kelepak kelelawar. Masih aku bermimpi tentangmu
Pada segala yang hendak kuartikan dari mawar hitam
Ketika dunia kini hanya bersisa abu.

Pada sepenggal musik sengau, pikiranku memudar
Menjelma kepulan asap. Dan matahari terbunuh di sudut
Matamu yang menyala-malam tak terkisahkan, di mana tawa hantu
Hanyalah auman di balik lukisan. Kupikirkan duniamu
Tanpa isyarat. Tatapanku lepas menjadi petikan puisi
Merubah auman hujan menjadi musik yang tak bertepi
Melebihi prahara di puncak malam.

Pucuk-pucuk hening saling bertemu. Tapi isyarat ini
Tak tersampaikan: menjadi masa lalu dalam masa lalu
Isakku terkubur di balik dinding, kesangsianku mengakhiri
Kepergianku dalam waktu. Tak ada yang mesti bersisa
Selain abu dalam lukisan-bisikmu memanggil angin
Agar pikiranku terdampar di sebuah pantai yang penuh
Dengan retakan. Menghukumku dalam keramik yang tua.

(2000)



Bagi Hidup Luka Telah Mati di Bulan

Mulut menganga penuh kotoran anjing, bukankah pekik
Penyair turut mewarnai nadi malam. Menjadi keajaiban
Setelah pengetahuan hancur, tinggal pedih-
Kau menangis di air tawar; pedih ini, Dian, akan melebihi
Tusukan tombak. Luka yang memudar di bawah lampu
Luka yang melihat bayangannya: tubuh kayu yang tinggal
Arang di hutan, setelah gerimis menipis. Bahkan puisi
Tak mungkin terbaca lagi.

Luka ini menebas batas, berpendar pada bulan
Kesurupan yang menyala menjelma nyeri lolongan
Bagi hidup ini, aku kehilangan kupu-kupu; dimana luka
Bertunas dalam abu. Malam menjadi tanpa musik, hanya isak
Yang tertahan di alir sungai-isak yang membasahi bajumu
Masa lalu sekarat di pantai. Waktu terlepas ke pusat cakrawala
Mengapung-apung. Matamu memejam oleh teluh bisikmu, Dian
Tapi bukankah api berlidah dan menangkas sepi. Tapi kuragukan
Semua ini.

Malam telah tua. Maut memekik dalam penyesalanku
Pikiranku terbakar oleh mimpi buruk yang hendak meledak
Dari payudaramu-seperti mimpi; aku bernafas di pantai
Kekosongan dan hanyut dalam cahaya menuju hutan perlambang
Kulihat lukaku mati di bulan. Nyeri itu tak berbatas pada
Bayangan pohon, nyeri yang mengental. Kelak makna luka ini
Lahir di kebutaannya. Dian, ziarahilah tubuhmu, biar sepi
Tak terasa gelap-meski kau bukan pelayat yang melagukan
Cahaya; setelah auman hujan menggulungmu, membuat pikiranmu
Tinggal serpihan-serpihan di udara.

(2000)



Djati Bening, 1270
-buat Deni Tri Aryanti

Kesunyianku adalah sebuah jalan: aku belajar
Untuk mencair seperti cahaya, atau bayangan dengan
Baju musim semi dari kulit kerang. Duniaku alir dengan
Penggal ketiadaan yang meniup seruling.

Kutangkap selarik musik dari burung camar, musik yang
Menyeberangkan matahari. Luka memar telah membelah
Jadi bayangan dengan bentuk paruhnya pada bening gelas
Tapi apakah yang bersisa di mimpi ini?

Isak daun memercik. Dan hutan jati jadi nyata memerangkap
Penglihatanku. Keterpesonaanku pada sunyi mirip musik lebah
Dan memberi nyawa bagi pohon jati. Ingatanku bangkit
Untuk memulai hari, menghirup rasa pahit yang tak selamanya
Kekal oleh kata. Juga doaku membatu di kerongkongan.

Aku mencari jiwa dalam baju musim semi. Sunyi menyanyikan
Musik riangnya. Tapi dimanakah jalan-jalan ini mesti
Berakhir, jadi perlambang, dimana aku mengingat-ingat
Kembali bagaimana dunia ini pada akhirnya: yang bersisa
Hanyalah angin, dan ingatan, setelah musik sunyi perlahan
Memudar di tepi danau.

(studio teater Gapus, 1999)

Sajak-Sajak Muhammad Aris

http://www.lampungpost.com/
Tertimbun Seribu Lumpur

“bila hati hilang api
pikiranpun tak penting lagi!”
ketika hujan tinggal gemuruh
seperti derap bayang-bayang
dari semak-semak yang jauh
mungkin ruang yang berdenting
dengan warna kecapi
melarung masa lalu, barisan waktu
tanggal di antara debu dan tanah-tanah ungu
retak dengan jejak
tak lagi nampak
aku kupas pikiranku lewat sayap serangga
di hening angin
saat malam mencambuk kelamin
di kertas-kertas buram; puisi mabuk!
lihatlah, O! aku gerakkan jari-jari hingga gelombang
tenang. menjahit daun-daun kering yang terbang
di bau-bau bangkai, mayat tanpa tubuh juga nama
tertimbun seribu lumpur dan terlempar
jadi puing-puing. asing.
O! dalam mata terkapar aku lontarkan mimpi
sejarah hitam seperti tetes embun
memecah jalan-jalan elan. dan aku
bekukan darahku melukis asap-angin
hingga aku tahu
seribu malaikat pelan mendekat
dan mati

Lamongan, 2005



Musik Dendam Musik Kambang

sebab gelengan kepalaku adalah musik yang membakar
dendam ruh-ruh purba hadir dan berteriak
melaknat para khianat: kaum telanjang
pemuja pantat dan selangkang
ya widi ya tragedi
inilah sejarah tulang, musik yang kambang
batu-batu perburuan terukir di gua
asing. juga warna lumut paling maut
berputar di kepala seperti nasib di tengah manuskrib
api di dalam kutang yang menantang
ah! seperti itulah irama
semisal kutuk atas tubuh tanpa ampun
tanggal. luruh di tanah terkalang jadi sampah
dan diantara deretan makam
ada yang terloncat, mencelat
susuri lagu-lagu masa lalu
masa penuh peluru yang menghalau
gegap silau. matahari yang hijau
membentuk ruang dan salju-salju neraka
ya widi ya bir-birahi
simak segala aib di kutub-guruh senggama; senja
cekik jantung lewat pusat-pusaran gelombang
ah! tangis hentikan gerimis
dan O! segala lentik-petikan jari-jari
hilang. hilangkan hari-hari sunyi; wujud langit
waktu yang berhenti dan segera
gegas bunuh diri

Lamongan, 2005



Batu Dingin di Dalam Api

ombak pun meleleh
menggelegak!
dan tubuhku terhunjam
seribu tombak
kitapun harus pulang susuri tanah-tanah retak
persemaian pertama saat matahari merah
dan hujan penggal luka
duka yang masih basah
datang dan terus berdentang sepanjang musim
airmata
hingga jauh membentuk lubang
kubang sumur yang gembur
kita tanggalkan mata dalam mimpi
terjaga seperti batu dingin di dalam api
meluncur dan berputaran di kepala kita
terbang-tembus tubuh
lelap
gemerlap cabik-cucuki gunung
batu-karang
semua tiba-tiba menelan hari penuh elan
ombak pecah, garang meloncat di atap rumah
dan nyawa begitu gundah
seperti kita dengan jantung lepas
berdegup menghitung warna detik di telinga
ah, kitapun membuat asap dari debu
dari keringat di setiap bangkai
penuh dan bergemuruh oleh gempa
atas laut yang gelegar
selangut lagu-lagu kalut
lalu tangan seperti juga kulit tipis dalam gerimis
kita letakkan di rami-rami jerami
menghapus setiap nafas-nafas sunyi
dan pelan-pelan
memungut maut hingga impas
dan balik ke tanpa sungut

Lamongan, 2005



Mayat yang Pulang

“adakah duka ngalir pada airmata
saat angin sembur bau bangkai
mayat yang pulang, berseragam
dan ketuk pintu
ibu?”
malam bakar suara, erangan
seribu sajadah berarak lewat tetes air
dalam mimpi ngukir luka
seribu sihir dengan tubuh
berkubang darah
dari denting gerimis
aku saksikan jalan-jalan mekar
nggergaji setiap puisi, tubuh
terpenggal dan menjalar jadi aksara-aksara
mursal bergerak di antara sakal
matahari seperti taifun, tahun-tahun
kembali meledak sekaligus diam
mematung-pancari pusara-pusara panjang
berlumut dengan ilalang ditumbuhi sperma
“adakah duka?”
mungkin api
berdentam dengan janggut putih
meremas nafas bayi-bayi yang tumbuh
dan mati dengan derap
para pencuri kitab; sang keris
pukul-patahkan kaki pengelana
di padang paling gilap
rumput-rumput meranggas
tanah-tanah meluncur dari kuncup payudara
gunung berapi yang hunjam gung dan gaung
lalu kampung
menghisap gagap-gelagap irama asap
dan segala
lenyap-melesap di batas
batang-batang padi dan aku
gasak-santap penuh gegap
“mayat yang pulang, berseragam
ketuk pintu
ibu?”

Lamongan, 2005



Hujan pun Langut

hujan pun langut
angin berkibar-kobar penuh sikut
lalu diam
seperti batu apung
tenggelam
waktu kembali menetes
teriaki lubang-lubang jalan
jalan bermuara dengan serakan puing
dan bau obat yang sangat pesing
pelan-pelan cerita dimulai
menetes dari kilau lembab gua
jadi warna airmata; sebotol keringat
urung dilempar sebab terlanjur memar
semua tertikam di garis-garis ritmis
laut dan gelombang seperti rindu
gagap berlari dalam lagu lindu
gegap dan melontar tubuh lebih gemuruh
dari segala guruh dan peluru
ah, ruang hanya hitam
bayang-bayang selalu tampak saat merah
racun di sisik panah berloncatan
dan putihkan usia
seperti maut selalu luput
selalu bergelut

Lamongan, 2005

Sajak-Sajak Idrus F Shihab

http://cetak.kompas.com/
Sampan

Seperti sampan hancur di dalam dada
buih-buih ombak
uban-uban di kepala
di bawah sikuku,
kursi goyang buaian masa silam
Nina bobok, nina bobok…
sepasang kaki, sepuluh jemari
harpa dan tarian kematian
Nina bobok, nina bobok…
sampan karam perlahan
Ke dasar lahatku



Perjalanan

Dua mata,
basah di dasar kolam
Dari rindu,
Lilin tua menetes ke dalam hati
hangat sampai ke sumsum
Sampai di mana kita berjalan?



Rindu

Kudengar rebanamu di detak jantung
angin-angin berekor kuda panjang
datang dari pulau-pulau perantau di selatan
Sepuluh jariku bernyanyi
satu lagu seriuh pasar malam
dengan judul namamu
Aku rindu


Idrus F Shihab tinggal di Jakarta. Ia bekerja sebagai jurnalis.

Sajak-Sajak Putu Fajar Arcana

http://cetak.kompas.com/
Uma

Pohon yang kau pahat di dinding luluh dalam kabut.
Seorang jejaka atau gembala tua
yang menahanmu di tepi hutan cemara.
Angin tak jua berkabar tentang risau langit senja. Dan para dewa
mengintipmu dari celah dedaunan. Mungkin mereka sangsi
tentang petaka
tentang kutuk yang kau derita.
Kau tahu air susu lembu itu, hanya tipu
gerutu pilu seorang pangeran kahyangan.
Tapi cemar telah ditebar. Pantang menjilat sabda
yang bagai kilat menyambar, menghanguskan pucuk daun.
Jadi pergi, pergilah sejauh hutan.
Seorang malaikat muda menunggumu
di balik rimbun cahaya. Dan jika mukaku terbakar
karena api dalam darahmu, sebaiknya tak usah kembali.
Sebab surga tak seperti diceritakan dalam kitab.
Penuh kutuk dan sabda keji para pangeran tua.
Uma, pohon yang kau pahat di dinding leleh dalam terik.
Seorang dewa atau gembala tua yang mengutukmu.
Pasrahkan pada angin agar senja memerah
dan mengantar mataharimu ke balik malam.

2008



Malaikat Bersayap

Di retak lenganmu burung-burung meruntuhkan bulunya.
Dan jam pasir mengucur menuju senja
yang baka.
Kaukah yang mengepakkan sayap, hingga relief
berguguran seperti serbuk waktu.
Dalam kelabu batubatu kisah dewadewi menjelma gulma
yang melilit lehermu.
Pada siapa kubertanya tentang wahyu yang terkubur di dasar lingga.
Kau yang mengirim senyap, biar kurengkuh dengan sayap
dan kutabur di celah yoni.
Sudah berapa lama kita alpa membaca penanggalan
hingga serbuk waktu membatu di pusaran gugusan candi.
Pada patahan tanganmu lumut-lumut tumbuh liar.
Dan jam pasir mengucur menuju malam
yang gusar.
Kaukah yang menjelma saat aku tengadah memandang langit.
Dan bintang-bintang berkedip tanda pertalian darahku dan darahmu.

2008



Candi Sukuh

Di depan seorang dewi aku ingat penggalan kepalamu
yang terguling di dasar lembah.
Sayap-sayapmu ringkih dikikis angin,
yang berabad-abad menyelinap ke bilik candi.
Siapa yang memutar waktu ke masa lalu. Siapa diriku dan dirimu,
kalau bukan seseorang yang meletakkan batubatu
untuk merengkuhmu dari balik kabut. Aku datang kepadamu
di sore yang hangat, aku datang dengan bunga dan hati sejernih sungai.
Dan jika bukan karena dirimu, aku tak tahu siapa diriku.
Tapi kau memenggal lehermu
saat aku bertanya tentang siapa dirimu.
Ah. Waktu begitu gulita, rapuh, dan sengsara. Menjeratku
dalam pusaran kehilangan demi kehilangan.

2008

Putu Fajar Arcana lahir di Kota Negara, Bali. Sajak-sajaknya termuat antara lain dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Kembang Rampai Puisi Bali (1997).

Sajak-Sajak Heri Latief

http://sastrapembebasan.wordpress.com/
Bisu

apa lagi yang mesti ditulis?
jika korupsi dianggap biasa
pemimpin cuma bisa nyanyi
di panggung tak ada suaranya
kerna bukan dia yang berkuasa

Amsterdam, 19/06/2010



Budak

uang panas membakar napsu
manusia jadi budaknya napsu

Amsterdam, 20/06/2010



Pengembara

setiap mengulang tahun
aku selalu ingat pesan ibu
bukalah mata hati jika pergi
jangan pulang kerna merindu
dunia pengembara siapa berani?

Amsterdam, 19 Juni 2010



Teks itu Bicara

jika keramaian kumpulan suara
tulislah sajak sebelum sarapan
refleksi diri bukan sekedar berpuisi
siraman rohani dari sebaris puisi?
silakan percaya pada layar kaca

Amsterdam, 19/06/2010



Jaraknya Mimpi

teknologi tinggi bikin hati kita makin dekat
jarak yang beribu kaki itu tinggal kenangan
waktu yang memberi tahu tentang rindu
duka dan bahagia selalu jalan bersama
pelabuhan mimpimu ada di dunia maya

Amsterdam, 18 Juni 2010

Sajak-Sajak Kurniawan Yunianto

http://www.sastra-indonesia.com/
SESAJI AYAM HITAM

inilah perjalanan ke barat
bersijingkat sampai tepian sawah
memandang keemasan purnama
pada langit yang bersih

kalimat tertulis terbaca dengan jelas
kicau burung menyambut kedatangan
engkaukah itu dengan kepak sayap
sebagai isyarat keberadaan

di bawah rimbun pohon bambu
begitulah engkau berabad lalu
mencairkan garam lalu menyiramkannya
pada tanah pada ladang pada kehidupan

dan inilah ayam hitam
yang tak lagi kepengin terbang
mengorekngorek tanah pada jejakmu
yang luas dan lapang

28.06.2010



APA YANG KAU TINGGALKAN

apa yang ikut serta sayang
tiap kali pagipagi pergi meninggalkan rumah

ciuman di punggung tangan
yang membuat gagal mencuri matahari

pastel warnawarni pada dinding ruang tamu
gambar meja kursi dan belasan balon
yang menggoda mata berkalikali melirik kaca spion

ataukah

sebagian diri yang telah mendapat kepercayaan
dari seluruh penghuni

barangkali memang nyaris semua ikut terbawa
lalu secara bergilir kau tukar dengan gelapnya siang
meski tak sepadan tapi selalu kau bawa pulang

rumah siapa ini

pertanyaanmu terucap pelan ketika kau telah kembali
menyaksikan mereka tak pernah henti menatap televisi

beberapa pasang mata yang telah lama

meninggalkanmu

24.06.2010



ENGKAUKAH DI LUAR SANA

sepertinya memang huruf angka terselip di mata
atau paling tidak sedikitnya ada empat huruf langka
menjadi seolah lensa saat mengeja nama benda
saat memandang apa saja yang memantulkan cahaya

lalu bagian mana yang membuat heran dan terdiam
ketika melihat diri sendiri menyapu halaman depan
mengumpulkan daun kering membakarnya dengan api
yang menyala putih kemerahan

sesaat itu rasanya kepengin juga ikut menjadi abu
menjadi ringan menjadi debu menjadi tanpa beban

hingga keberadaan tak perlu lagi dicemaskan

21.06.2010



SIAPA YANG SAKIT

buat apa gunting
jika kain telah terpotong
menjadi warnawarni perca
merapatkan diri
khawatir jika tak ikut
terbuang ke tempat sampah

kau tak sedang
berniat bunuh diri bukan

ceritamu tentang buah hati
yang asinnya begitu getir
bikin lidah menggigil
nyaris membuat perempuanmu
menangisi yang selama ini
disangkanya sebuah kesedihan

sebelum akhirnya tertawa
saat kau tawarkan
bangkai anakmu untuk
santap malam penghabisan

rasa yang singgah
tak lebih dari semenit itu
aromanya masih saja tercium
hingga anakcucumu
terdiam dalam demam

20.06.2010



PEMBERANGKATAN KE SEKIAN

saatnya orangorang pulang
dari kerja dari belanja dari membunuh
dari merampok dari apa saja yang menghela kita ke lupa

dengan ribuan kendaraan meninggalkan siang
derunya seperti bising pesawat terbang
ditingkah gesekan logam dari bengkel sebelah
bunga api yang cerlang yang pijarnya lenyap dalam sekejap

tibatiba malam lebaran tigapuluh tahun lalu
kembali hadir dalam riuh urban yang paling sunyi
menarinarik lengan baju meludahi mukaku
lalu menunjuk ke arah kereta yang telah lama menunggu

rupanya akan ada pemberangkatan yang entah ke mana
selepas tengah malam atau mungkin dini hari nanti

di sini sudah tak ada siapasiapa lagi
bahkan dirikupun mendadak ikut tiada

tapi aku masih saja berlamalama di depan cermin
bersitahan dengan musim dengan cuaca
dengan serpihan kayu yang hampir seminggu menembus kulit
meninggalkan noktah hitam dan barangkali sedikit rasa sakit

iya sayang sebentar aku sedang memakai sepatu

10.06.2010

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae