lampungpost.com
Menghapal Jejak
engkaupun menghapal jejak masalalu
menemui bait kidung murung yang menggantung
dan kautemui jalan-jalan tanpa tanda
mendadak ahasveros hadir di depan
menggapai dalam hujan
melambai tangan
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 28 Januari 2010
Sajak-Sajak Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Merasakan Zaman
1
Ditimbun kebencian yang merambah masuk sejarah atas nama Tuhan. Terbaca kutukan. Saling mengutuk dengan pedang yang dipinjam dari Umar. Sebab tak ada jalan pulang selain satu kebenaran yang dikultuskan. Ketaksanggupan membaca nalar Tuhan.
2
Dibius kesenangan mengerogoti sel-sel saraf kesadaran menjadi laku penumpukan kemalasan?termanjakan. Pada aksesoris yang terbeli tawaran iklan televisi. Segalanya terkeruk di kala eforia zaman kebebasan yang kebablasan. Tuhan di dalam nikmatnya makan iklan.
3
Aku yang menggali khazana zaman terhimpit dalam kebencian dan kebebasan. Mempertanyakan “dimanakah Tuhan?” Di ujung pedang kebencian atau dinikmatnya selera makan iklan. Hanya getir aku rasakan.
Kenangan Sang Demonstran
Jalan di gedung dewan kini sepi. Kemana mereka pergi?Kemarin sehabis aku melewatinya masih ada sisa kenangan di sana. Dulu ketika kita masih mahasiswa. Teriakan-terikan lantang dengan pengeras suara menakuti muka para pengembala negara yang bermasalah.
Ketika barisan pengamanan menghadang kita, tak ada rasa takut menyapa. Tetapi semangat yang semakin mengila. Masihkah kau mengingatnya? Sedang kau kini masuk juga dalam gedung dewan yang pernah kau bilang sarang serigala pemangsa.
Bau harum darah salah satu kawan kita yang kepalanya bocor dipukul anjing penjaga masih tersisa. Menempel kering di pagar gedung yang kau puja kini. Pernahkah kau membuat upacara buatnya? Atau kau sudah lupa karena kesibukanmu mengelapkan masalah yang tak kunjung terbaca.
Baiklah, semua itu adalah kenangan. Kau bilang tak patut dikenang. Tapi bagiku adalah mata ingatan yang terus menyuburkan rasa gerahku padamu kini.
Bila nanti kita bertemu lagi. Aku tetap didepan pintu pagar tempat singgahmu, temuilah aku. Mari bersama kita angkat tangan kita. Bila kau tak ada malahan pergi dari pintu belakang. Jangan kau sapa aku lagi, sebab jalan kita berbeda.
Biarlah dulu hanya menjadi kenangan bagimu. Dan aku menjadikan pemantik semangat untuk terus berdiri di jalan depan pagar-pagar pengembala negara yang mati hatinya.
Malang, 2010
Jemari yang Menunjuk
Jemari ku terpasung pintu rindu
memanggil namamu
Getir merasakan langkah tentangku:
mata yang dulu buta kini dapat membaca
mulut yang dulu bisu kini dapat berkata
fikir yang dulu tumpul kini tajam terasah
hati yang dulu mati kini hidup kembali
Segalanya dibawah kepak kesadaran
pada pintu masa
hendak memenggal urat nadi
hingga hilang nyawa
Lihat,
jemari beku runtuh pada telunjuk menusuk
tergantung di batang pohon kelapa masih muda
ketika musim selalu berubah.
Melati Yang Tangkainya Patah Dan Aku Menjadi Serpihan Pasir
pada lara yang bernyanyi ia berlari ke ruang sepi
menyembunyikan segala dendam dalam sadarnya
diselimuti senja jingga
kekupu membawa tubuhku yang berubah menjadi pasir
berterbangan sehabis bermetamoforsis
ia melati tangkainya patah
diinjak garis nasib purba.
belahan pepasir tubuhku
singgah di bunga tak lagi beraroma.
ia menjumpai ku di lintasan waktu
sambil memandang jauh harap yang biru.
Merasakan Zaman
1
Ditimbun kebencian yang merambah masuk sejarah atas nama Tuhan. Terbaca kutukan. Saling mengutuk dengan pedang yang dipinjam dari Umar. Sebab tak ada jalan pulang selain satu kebenaran yang dikultuskan. Ketaksanggupan membaca nalar Tuhan.
2
Dibius kesenangan mengerogoti sel-sel saraf kesadaran menjadi laku penumpukan kemalasan?termanjakan. Pada aksesoris yang terbeli tawaran iklan televisi. Segalanya terkeruk di kala eforia zaman kebebasan yang kebablasan. Tuhan di dalam nikmatnya makan iklan.
3
Aku yang menggali khazana zaman terhimpit dalam kebencian dan kebebasan. Mempertanyakan “dimanakah Tuhan?” Di ujung pedang kebencian atau dinikmatnya selera makan iklan. Hanya getir aku rasakan.
Kenangan Sang Demonstran
Jalan di gedung dewan kini sepi. Kemana mereka pergi?Kemarin sehabis aku melewatinya masih ada sisa kenangan di sana. Dulu ketika kita masih mahasiswa. Teriakan-terikan lantang dengan pengeras suara menakuti muka para pengembala negara yang bermasalah.
Ketika barisan pengamanan menghadang kita, tak ada rasa takut menyapa. Tetapi semangat yang semakin mengila. Masihkah kau mengingatnya? Sedang kau kini masuk juga dalam gedung dewan yang pernah kau bilang sarang serigala pemangsa.
Bau harum darah salah satu kawan kita yang kepalanya bocor dipukul anjing penjaga masih tersisa. Menempel kering di pagar gedung yang kau puja kini. Pernahkah kau membuat upacara buatnya? Atau kau sudah lupa karena kesibukanmu mengelapkan masalah yang tak kunjung terbaca.
Baiklah, semua itu adalah kenangan. Kau bilang tak patut dikenang. Tapi bagiku adalah mata ingatan yang terus menyuburkan rasa gerahku padamu kini.
Bila nanti kita bertemu lagi. Aku tetap didepan pintu pagar tempat singgahmu, temuilah aku. Mari bersama kita angkat tangan kita. Bila kau tak ada malahan pergi dari pintu belakang. Jangan kau sapa aku lagi, sebab jalan kita berbeda.
Biarlah dulu hanya menjadi kenangan bagimu. Dan aku menjadikan pemantik semangat untuk terus berdiri di jalan depan pagar-pagar pengembala negara yang mati hatinya.
Malang, 2010
Jemari yang Menunjuk
Jemari ku terpasung pintu rindu
memanggil namamu
Getir merasakan langkah tentangku:
mata yang dulu buta kini dapat membaca
mulut yang dulu bisu kini dapat berkata
fikir yang dulu tumpul kini tajam terasah
hati yang dulu mati kini hidup kembali
Segalanya dibawah kepak kesadaran
pada pintu masa
hendak memenggal urat nadi
hingga hilang nyawa
Lihat,
jemari beku runtuh pada telunjuk menusuk
tergantung di batang pohon kelapa masih muda
ketika musim selalu berubah.
Melati Yang Tangkainya Patah Dan Aku Menjadi Serpihan Pasir
pada lara yang bernyanyi ia berlari ke ruang sepi
menyembunyikan segala dendam dalam sadarnya
diselimuti senja jingga
kekupu membawa tubuhku yang berubah menjadi pasir
berterbangan sehabis bermetamoforsis
ia melati tangkainya patah
diinjak garis nasib purba.
belahan pepasir tubuhku
singgah di bunga tak lagi beraroma.
ia menjumpai ku di lintasan waktu
sambil memandang jauh harap yang biru.
Sajak-Sajak Mahmud Jauhari Ali
http://www.sastra-indonesia.com/
Bunga-Bunga Di Musim Penghujan
kutangkap dua kelopak bunga
menebar aroma sakti
kala awan hitam runtuh dengan buasnya
dan tak reda-reda pula
menghayutkan hara-hara mahal
yang semula melingkupi sulur-sulur pohonnya
oh … aromanya menyengat-nyengat
saling beradu
serupa kucing-kucing jantan bersua
sepanjang lidah mereka menari-nari
di serambi rumah berlantai keramik hitam
sementara bunga-bunga lainnya tetap bergayut kukuh
pada ranting yang rapuh
di hari-hari temaram
tanpa lampu sorot terang
dari bunga yang bertahta di pucuk tertinggi sana
dan, masih saja kutangkap
semburan aroma sakti bernada tinggi
ke bunga lainnya
hingga mendegubkan sulur-sulur
yang sedang meronta
diinjak-injak ketertupan
selama tahun-tahun bergaram
di dinasti ini
hari ini, semoga mereka beraroma wangi
Kalimantan Selatan, 15 Januari 2010
Seputar Matamu
alis matamu yang tebal
meluruhkan air mataku
menjelma genangan keruh
pada ruas-ruas jari
kala bulanmu termenung
di bawah meja
berbahan cendana
beralas naskah juang masa dulu
sementara helai-helai rambut matamu
kutemukan membela-bela dirimu
di atas panggung kaca
bersama gemuruh gelombang pasang
walau napasmu itu
tak seharum melati berembun
yang kuhirup ribuan waktu lalu
duhai kau yang bermata sangar
berlidah kelu
di ujung ranting biru, kutangkap
tatapanmu
serupa intaian elang
pada mangsa mungil
di tanah gersang bersama surya perkasa
oh, sungguh ada tanya yang menderu
seputar matamu itu dalam batinku
ditemani desahku yang panjang
dan, kuharap kau pun bertanya!
Kalimantan Selatan, 13 Januari 2010
Tubuhmu yang Hampir Pulih
dua tahun silam
tulang-tulang tanganmu remuk
pipimu basah oleh darah
urat kakimu pecah
dan matamu nanar
melihat ususmu yang terburai-burai
terkapar begitu saja
kau tetap saja terbaring
dengan luka di sekujur tubuhmu
tanpa rawat, apalagi obat
dokter-dokter
alat-alat
obat-obatan
terlalu mahal buatmu
yang fakir
sementara ia tetap beku
dan kadang melaju di atas tubuhmu
dengan suara paraunya
berbulan-bulan kau masih terbaring
dan tiba-tiba
ada dentuman hebat
meruntuhkan pintu berangkas istana
hingga uang berhamburan
menjelma dokter-dokter
alat-alat
dan juga obat-obatan buatmu
aku terperangah
terkejut-kejut
dan tak pernah kubayangkan
ia mau merawatmu
memberimu obat
walau aku tahu
ada maksud di balik itu
dan kini, kulihat tubuhmu
hampir menyandang gelar masa lalumu
–masa gemilang awal kau ada–
di tanah ini
Kalimantan Selatan, 11 Januari 2010
Bunga-Bunga Di Musim Penghujan
kutangkap dua kelopak bunga
menebar aroma sakti
kala awan hitam runtuh dengan buasnya
dan tak reda-reda pula
menghayutkan hara-hara mahal
yang semula melingkupi sulur-sulur pohonnya
oh … aromanya menyengat-nyengat
saling beradu
serupa kucing-kucing jantan bersua
sepanjang lidah mereka menari-nari
di serambi rumah berlantai keramik hitam
sementara bunga-bunga lainnya tetap bergayut kukuh
pada ranting yang rapuh
di hari-hari temaram
tanpa lampu sorot terang
dari bunga yang bertahta di pucuk tertinggi sana
dan, masih saja kutangkap
semburan aroma sakti bernada tinggi
ke bunga lainnya
hingga mendegubkan sulur-sulur
yang sedang meronta
diinjak-injak ketertupan
selama tahun-tahun bergaram
di dinasti ini
hari ini, semoga mereka beraroma wangi
Kalimantan Selatan, 15 Januari 2010
Seputar Matamu
alis matamu yang tebal
meluruhkan air mataku
menjelma genangan keruh
pada ruas-ruas jari
kala bulanmu termenung
di bawah meja
berbahan cendana
beralas naskah juang masa dulu
sementara helai-helai rambut matamu
kutemukan membela-bela dirimu
di atas panggung kaca
bersama gemuruh gelombang pasang
walau napasmu itu
tak seharum melati berembun
yang kuhirup ribuan waktu lalu
duhai kau yang bermata sangar
berlidah kelu
di ujung ranting biru, kutangkap
tatapanmu
serupa intaian elang
pada mangsa mungil
di tanah gersang bersama surya perkasa
oh, sungguh ada tanya yang menderu
seputar matamu itu dalam batinku
ditemani desahku yang panjang
dan, kuharap kau pun bertanya!
Kalimantan Selatan, 13 Januari 2010
Tubuhmu yang Hampir Pulih
dua tahun silam
tulang-tulang tanganmu remuk
pipimu basah oleh darah
urat kakimu pecah
dan matamu nanar
melihat ususmu yang terburai-burai
terkapar begitu saja
kau tetap saja terbaring
dengan luka di sekujur tubuhmu
tanpa rawat, apalagi obat
dokter-dokter
alat-alat
obat-obatan
terlalu mahal buatmu
yang fakir
sementara ia tetap beku
dan kadang melaju di atas tubuhmu
dengan suara paraunya
berbulan-bulan kau masih terbaring
dan tiba-tiba
ada dentuman hebat
meruntuhkan pintu berangkas istana
hingga uang berhamburan
menjelma dokter-dokter
alat-alat
dan juga obat-obatan buatmu
aku terperangah
terkejut-kejut
dan tak pernah kubayangkan
ia mau merawatmu
memberimu obat
walau aku tahu
ada maksud di balik itu
dan kini, kulihat tubuhmu
hampir menyandang gelar masa lalumu
–masa gemilang awal kau ada–
di tanah ini
Kalimantan Selatan, 11 Januari 2010
Sajak-Sajak Fajar Alayubi
http://www.sastra-indonesia.com/
Langit tak dijunjung
Setinggi-tinggi bangau terbang sampainya ke kubangan juga.
Pastilah sebuah ucapan melahirkan tulisan. Pastilah unggas akan mengerami telurnya.
Belajarlah untuk terbang karna tak bisa terbang
Tidakkah rambatan pucuk pepohon semakin lebat dan jauh jangkauannya tanpa pemeliharaan?
Ataukah bunga-bunga adalah tanda kesuburan?
Lupakan pucuk dan bunga. Kepaklah sayap lalu sisirlah angin. Betapa tujuan perlu tahapan, dan pencapaian yang dimulai dari awal.
Tidaklah hayalan berputar-putar diatas sarang sampai pikiran jatuh ke “bodoh”an.
Mungkinlah angin timur membawa keharuman. Tapi bukankah padang di barat adalah tempat asal bunga-bunga tumbuh dan menarik perhatian?
Kau Berbisik; Kau Berisik
kau telah membuat otakku sekarat!!
ia kini tertegun disana
susah mengingat
apa yang telah kau perbuat!
temali yang kurajut telah kau buat kusut!!
Tidakkah arakmu cukup untukmu?
sampai akalmu bersulang
membujuk dan merayu
kini aku mabuk
mabuk bersama para pengikutmu
kini kau tertawa
tertawa manis menawan kelincahan pikiran kami
duh jemari yang kini terasa membatu
dan pena mencatat bisuku:
telah ia tunjukan pedang indahnya
telah ia membuat rahangmu geram dan ngilu
telah ia ayunkan syair-syair surga setangkas jiwa
telah ia…
cukup!
kau telah memadamkan kegairahanku!
aku muak dengan lakumu!
dan juga intip-intip pikiranmu ke masa pendahulu
aku tak perlu itu!
ajarlah jari-jarimu tuk bicara
ajarlah pena tuk membaca
rangkailah bunga-bunga dalam buket bunga
atau biarkan harumnya menetap di taman
tentangmu
masih kusimpan beberapa kuntum guman
Di mana bulan
Diunggah melalui Facebook Seluler
gendang kecapi lama sudah tiada bertalu
rebab disana membisu jua
sunyi
hening ditusuk
nyaring tong-tong dipalu
sepi ronda tiada irama
malam diburu dengus nafsu
jejaka mencumbu gadis hilang malu
separuh usia belasan nista
berpadu mesra di medan laga pestafora
nada-nada gila cubitan ketagihan
tubuh kenyal gempal pinggul
pecah resah dalam dekapan
merajuk janji ke nirwana
semalam suntuk disudut gelap
berkali-kali membakar hati
tiada jurai percikan airmata
tiada musuh dalam selimut
terbaring lesu wajah hilang ayu
tanpa baju akan kembali
temui mimpi lupakan pagi
sebelum ajal menunggu dimalam nanti
Angklung Si Bocah
angklung si bocah bernyanyi di gubuk sunyi
samar-samar tiada lagu menentu
janji kabur didekap malam
pupuslah niat mencari langkah
tak lama
angklung si bocah hilang gundah
seketika si teteh datang tiba menjelma
bisu tiada kata perawan kota kembang
pilu dan rindu melebur satu
datang dari jauh mohon terima airmata
sesal begitu dekat kala kembali
si bocah tak tahu rupa hati:
cinta eceran telah dibeli
lagu sendu masa lalu
ibu tiada pun bapak tak berlaga
cita ingin bahagia:
gubuk tinggal cerita diganti satu istana
tiada kata si bocah bertanya
silir angin dingin dimata si teteh
dibelanya salam yang melenguh
dibelai rambutnya tak lagi bermahkota desa
angkung si bocah melagu lagi
si teteh sepi di pembaringan
si bocah mendendang malam,
si teteh mendendam sesal.
Langit tak dijunjung
Setinggi-tinggi bangau terbang sampainya ke kubangan juga.
Pastilah sebuah ucapan melahirkan tulisan. Pastilah unggas akan mengerami telurnya.
Belajarlah untuk terbang karna tak bisa terbang
Tidakkah rambatan pucuk pepohon semakin lebat dan jauh jangkauannya tanpa pemeliharaan?
Ataukah bunga-bunga adalah tanda kesuburan?
Lupakan pucuk dan bunga. Kepaklah sayap lalu sisirlah angin. Betapa tujuan perlu tahapan, dan pencapaian yang dimulai dari awal.
Tidaklah hayalan berputar-putar diatas sarang sampai pikiran jatuh ke “bodoh”an.
Mungkinlah angin timur membawa keharuman. Tapi bukankah padang di barat adalah tempat asal bunga-bunga tumbuh dan menarik perhatian?
Kau Berbisik; Kau Berisik
kau telah membuat otakku sekarat!!
ia kini tertegun disana
susah mengingat
apa yang telah kau perbuat!
temali yang kurajut telah kau buat kusut!!
Tidakkah arakmu cukup untukmu?
sampai akalmu bersulang
membujuk dan merayu
kini aku mabuk
mabuk bersama para pengikutmu
kini kau tertawa
tertawa manis menawan kelincahan pikiran kami
duh jemari yang kini terasa membatu
dan pena mencatat bisuku:
telah ia tunjukan pedang indahnya
telah ia membuat rahangmu geram dan ngilu
telah ia ayunkan syair-syair surga setangkas jiwa
telah ia…
cukup!
kau telah memadamkan kegairahanku!
aku muak dengan lakumu!
dan juga intip-intip pikiranmu ke masa pendahulu
aku tak perlu itu!
ajarlah jari-jarimu tuk bicara
ajarlah pena tuk membaca
rangkailah bunga-bunga dalam buket bunga
atau biarkan harumnya menetap di taman
tentangmu
masih kusimpan beberapa kuntum guman
Di mana bulan
Diunggah melalui Facebook Seluler
gendang kecapi lama sudah tiada bertalu
rebab disana membisu jua
sunyi
hening ditusuk
nyaring tong-tong dipalu
sepi ronda tiada irama
malam diburu dengus nafsu
jejaka mencumbu gadis hilang malu
separuh usia belasan nista
berpadu mesra di medan laga pestafora
nada-nada gila cubitan ketagihan
tubuh kenyal gempal pinggul
pecah resah dalam dekapan
merajuk janji ke nirwana
semalam suntuk disudut gelap
berkali-kali membakar hati
tiada jurai percikan airmata
tiada musuh dalam selimut
terbaring lesu wajah hilang ayu
tanpa baju akan kembali
temui mimpi lupakan pagi
sebelum ajal menunggu dimalam nanti
Angklung Si Bocah
angklung si bocah bernyanyi di gubuk sunyi
samar-samar tiada lagu menentu
janji kabur didekap malam
pupuslah niat mencari langkah
tak lama
angklung si bocah hilang gundah
seketika si teteh datang tiba menjelma
bisu tiada kata perawan kota kembang
pilu dan rindu melebur satu
datang dari jauh mohon terima airmata
sesal begitu dekat kala kembali
si bocah tak tahu rupa hati:
cinta eceran telah dibeli
lagu sendu masa lalu
ibu tiada pun bapak tak berlaga
cita ingin bahagia:
gubuk tinggal cerita diganti satu istana
tiada kata si bocah bertanya
silir angin dingin dimata si teteh
dibelanya salam yang melenguh
dibelai rambutnya tak lagi bermahkota desa
angkung si bocah melagu lagi
si teteh sepi di pembaringan
si bocah mendendang malam,
si teteh mendendam sesal.
Sajak-Sajak Raudal Tanjung Banua*
http://cetak.kompas.com/
Quan Am Tu
Di pintu Quan Am Tu Pulau Galang
Tua dan sepi tidak menenggang
Serombongan peziarah bersideku.
Seorang tua gemetar
dan berkisah kepadaku.
Berhari-hari lalu
Kusalin ia kembali
jadi lilin jadi api jadi lapar
yang terus kunyalakan
untuk sampai pada sebagian kecil
inti perih puisi ini—lilin kecil
kesaksian
di bumi:
Di pintu Quan Am Tu, seperti Tuan lihat, selalu
gemetar tubuhku. Terbayang semenanjung jauh
kilatan-kilatan pedang dan bunga api malam-malam
Terkenang bintang-bintang merah nyala
—bukan, merah dadu, mempertaruhkan kelam
untung-malang manusiaku
Terbayang, kapal-kapal ikan, kapal-kapal kayu tua
oleng di mata pusaran: arus topan, badai yang kejam
dan goncang nafas tuhan
Ke mana kami hendak menuju? Lautan luas
tak bertara. Daratan tak dikenal
bagai bintik hitam di luka telapak tangan
mengelupas dan hilang,
seperih harapan yang direnggutkan
seperti garam dibasuh air garam
Di manakah pintu harapan sebuah pulau? Dermaga,
pantai yang landai, atau pengap-hampa
ruang periksa? Kami ingin berlabuh
supaya tenang goncangan nafas tuhan
—reda tangis Dewi Quan Im
di dada kami yang redam.
Tapi pelabuhan dan pantai bukan lagi pintu
sejak laut dan gelombang api bersekutu
meminta kami pergi
dari tepi semenanjung…
sejak itu, api dalam diri mesti dibangkitkan
jika perlu sehalus sekaligus setegar nyanyian topan
di lapuk buritan:
Ya, ya, secerlang mata ikan dalam keranjang
seredup mata-mata ikan di air dangkal
mati lebih baik kami dapatkan
di air dalam, di tangkapan perompak
atau jaring nelayan Siam
Jangan di tanah sendiri
darah tak lagi suci
maka kami pun berkorban
demi pelayaran tak pasti ini:
sepasang kakek-nenek yang sakit, mati
berpeluk hilang ranjang. Dengan keharuan yang jinak
kami lempar mereka ke laut
tubuh mereka terapung hilang dayung
lepas dari kekangan tangan dunia
yang mengepung arah lempang ke sorga.
Lima orang anak gadis kami
diseret awak kapal patroli
dua jatuh ke tangan ketua perompak kidal
dan sambil tertawa melengking
ia bilang akan dikawini di pulau karang tersembunyi.
Seorang putra kami luka pada lambung
—kanan atau kiri, aku tak ingat lagi;
tapi apa bedanya, Tuan? Ia sudah melawan
para perompak, lalu menghadapi awak kapal patroli
yang ternyata menyita lebih banyak
dari sisi kami. Sebagian putra-putri kami, o, kefanaan,
menderita kejang-kejang karena lapar
dan infeksi luka pertempuran,
bertelentangan di geladak
menunggu ajal
Kami sendiri, sembilan keluarga
Empat puluh delapan orang—dari enam puluh enam
yang tersisa—sama menunggu pedang langit
memutus ikatan kami dengan dunia
Tapi api dalam diri harus tetap dibangkitkan
nyanyian mencari pintu harapan tak boleh majal
oleh kecut kematian:
“Para komandan, perompak dan tukang jagal
biarkan kami terus ke selatan
biar berlumut atau pecah perahu
mengeras batu kapal kayu tunggangan
biarkan kami terdampar
di pintu harapan sebuah pulau
tak perlu harpun atau terompet lokan ditiupkan!”
Akhirnya memang kami terdampar
Di pulau sebintik hitam di tengah luka telapak tangan
tapi itu yang terbaik kami dapatkan
Dari Teluk Tonkin dan Teluk Siam
akhirnya di Natuna Laut Cina Selatan
kami temui jalan; mengeram di rawa-rawa sagu,
masuk hutan bakau di celah sempit sulur akar,
dan tinggal di kebun cengkeh
di pedalaman; kapal-kapal karam dan terbakar
sudah kami lepaskan. Saudara-saudara lapar,
mati, dan bunuh diri pelan-pelan
sudah kami upacarai
sekadar menghibur diri
bahwa di tanah pijakan—seperti mimpi setengah khayalan—
kami diterima selayaknya keluarga sendiri
Kami bertukar tempe, tahu, kacang kedele,
dan sesekali emas batangan lama tersimpan
dengan beras dan sagu
Yang lain ikut ke ladang
memetik cengkeh
dan membuka huma baru
Ada yang mengajar, menjadi guru
di sekolah berdinding papan dan kulit sagu
Mendirikan bangunan, membuka jalan
Satu dua anak kami dan pemuda kampung
terlibat percintaan, oh, Dewi Quan Im
kami merasakan engkau mulai tersenyum
meski dingin, meski cengkeh dan sagu-sagu pun
berbunga di Natuna
Tapi di sini tetap lebih baik
karena tak ada perang dan pengusiran
meski bukan tak ada penderitaan
kenangan akan kampung halaman
dan panjang perjalanan
bagaimana mungkin dapat hilang?
Dan entah pada bulan atau tahun keberapa
Datang perintah bahwa kami harus pindah
ke mari. Kami pun berpisah dengan saudara-saudara kami
di Natuna yang kami cintai. Tak apa. Dengan sisa kasihan ombak
kami bersorak,”Pulau Galang, kami datang, kami datang
dan kami tak akan pulang!”
Di sinilah, di pulau sunyi ini, kami tinggal dalam kampung
berupa kamp. Para tentara dan pengawal
memisahkan kami dari kampung-kampung di seberang
O, amis darah tercium juga sampai ke mari
ketika orang berbicara soal garis dan batas,
asal-usul dan negara
Kami ingin di sini, tapi ternyata mesti pergi
selamanya.
Demikianlah akhirnya, kami diminta kembali pulang
ke kampung halaman kami di tepi semenanjung
Itu bahasa paling layak ketimbang meminta kami pergi
tanpa alasan. Tapi, apakah artinya kampung halaman
jika seseorang merasa tenang
di tengah tanah dan air yang bermil-mil ia jelang?
Beratus kami menolak,
beratus kami bilang kata tidak
bahkan dengan membakar sisa-sisa kapal kenangan
yang lain, betapa sedih, membakar dirinya sendiri
Sebagian memutuskan pergi
jadi burung-burung migrasi
mencari daratan baru di bintik luka suratan telapak tangan
Dan semakin jauh kami, semakin kekal kenangan atas pulau-pulau
tak pernah lampau ini
Maka ke sini jua kami ziarah, menghadap Dewi Kasih Sayang
Di pintu Quan Am Tu
Kami pulang dan tersedu
Terimalah doa kami, Dewi,
Terimalah kesaksian kami, Tuan,
sebagai manusia sesama pemilik hidup
di bumi yang satu.
Selesai bercerita ia ulurkan tangannya,
Aku terkesiap dan menjabat hangat
Tapi sebentar kami sudah saling melepaskan
“Nguyen, di bumi yang satu,
kita bertemu dan berpisah
di Quan Am Tu
kuziarahi jejak sunyi
derita bangsamu
di tengah kandil gemerlap
cahaya dan laku bangsaku…”
/2008-2009
Candi Tikus
terkubur ratusan tahun
di bawah air dan lumpur
ia muncul
seperti gadis habis dimandikan
fajar yang menyelinap
sampai ke tiap lekuk
tak dikenal.
ia tak bangkit dari keruntuhan
karena tak pernah runtuh
bersemayam di bawah tanah
ia sesungguhnya kepundan
di tengah kaldera
ia menampung segala makhluk melata
yang memanjat dan mengerat
tubuhnya; dan ia tabah
seperti pertapa
menunggu datangnya
cahaya pertama.
/Trowulan, 2009
Batang Nibung
bermiang bukan jelatang
berduri bukannya rotan
lurus-ramping serupa pinang
buah tiada diharap orang
mekar pelepah bukan zaitun
daun bukan tatahan lontar
hidup di hutan dan belukar
sendiri meninggi
dalam keheningan—penunjuk arah
bagi perimba
membuka jalan
menebangnya.
/Rumahlebah Yogyakarta, 2009
*) Lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. Buku puisinya adalah Gugusan Mata Ibu (2005) dan Api Bawah Tanah (dalam proses terbit).
Quan Am Tu
Di pintu Quan Am Tu Pulau Galang
Tua dan sepi tidak menenggang
Serombongan peziarah bersideku.
Seorang tua gemetar
dan berkisah kepadaku.
Berhari-hari lalu
Kusalin ia kembali
jadi lilin jadi api jadi lapar
yang terus kunyalakan
untuk sampai pada sebagian kecil
inti perih puisi ini—lilin kecil
kesaksian
di bumi:
Di pintu Quan Am Tu, seperti Tuan lihat, selalu
gemetar tubuhku. Terbayang semenanjung jauh
kilatan-kilatan pedang dan bunga api malam-malam
Terkenang bintang-bintang merah nyala
—bukan, merah dadu, mempertaruhkan kelam
untung-malang manusiaku
Terbayang, kapal-kapal ikan, kapal-kapal kayu tua
oleng di mata pusaran: arus topan, badai yang kejam
dan goncang nafas tuhan
Ke mana kami hendak menuju? Lautan luas
tak bertara. Daratan tak dikenal
bagai bintik hitam di luka telapak tangan
mengelupas dan hilang,
seperih harapan yang direnggutkan
seperti garam dibasuh air garam
Di manakah pintu harapan sebuah pulau? Dermaga,
pantai yang landai, atau pengap-hampa
ruang periksa? Kami ingin berlabuh
supaya tenang goncangan nafas tuhan
—reda tangis Dewi Quan Im
di dada kami yang redam.
Tapi pelabuhan dan pantai bukan lagi pintu
sejak laut dan gelombang api bersekutu
meminta kami pergi
dari tepi semenanjung…
sejak itu, api dalam diri mesti dibangkitkan
jika perlu sehalus sekaligus setegar nyanyian topan
di lapuk buritan:
Ya, ya, secerlang mata ikan dalam keranjang
seredup mata-mata ikan di air dangkal
mati lebih baik kami dapatkan
di air dalam, di tangkapan perompak
atau jaring nelayan Siam
Jangan di tanah sendiri
darah tak lagi suci
maka kami pun berkorban
demi pelayaran tak pasti ini:
sepasang kakek-nenek yang sakit, mati
berpeluk hilang ranjang. Dengan keharuan yang jinak
kami lempar mereka ke laut
tubuh mereka terapung hilang dayung
lepas dari kekangan tangan dunia
yang mengepung arah lempang ke sorga.
Lima orang anak gadis kami
diseret awak kapal patroli
dua jatuh ke tangan ketua perompak kidal
dan sambil tertawa melengking
ia bilang akan dikawini di pulau karang tersembunyi.
Seorang putra kami luka pada lambung
—kanan atau kiri, aku tak ingat lagi;
tapi apa bedanya, Tuan? Ia sudah melawan
para perompak, lalu menghadapi awak kapal patroli
yang ternyata menyita lebih banyak
dari sisi kami. Sebagian putra-putri kami, o, kefanaan,
menderita kejang-kejang karena lapar
dan infeksi luka pertempuran,
bertelentangan di geladak
menunggu ajal
Kami sendiri, sembilan keluarga
Empat puluh delapan orang—dari enam puluh enam
yang tersisa—sama menunggu pedang langit
memutus ikatan kami dengan dunia
Tapi api dalam diri harus tetap dibangkitkan
nyanyian mencari pintu harapan tak boleh majal
oleh kecut kematian:
“Para komandan, perompak dan tukang jagal
biarkan kami terus ke selatan
biar berlumut atau pecah perahu
mengeras batu kapal kayu tunggangan
biarkan kami terdampar
di pintu harapan sebuah pulau
tak perlu harpun atau terompet lokan ditiupkan!”
Akhirnya memang kami terdampar
Di pulau sebintik hitam di tengah luka telapak tangan
tapi itu yang terbaik kami dapatkan
Dari Teluk Tonkin dan Teluk Siam
akhirnya di Natuna Laut Cina Selatan
kami temui jalan; mengeram di rawa-rawa sagu,
masuk hutan bakau di celah sempit sulur akar,
dan tinggal di kebun cengkeh
di pedalaman; kapal-kapal karam dan terbakar
sudah kami lepaskan. Saudara-saudara lapar,
mati, dan bunuh diri pelan-pelan
sudah kami upacarai
sekadar menghibur diri
bahwa di tanah pijakan—seperti mimpi setengah khayalan—
kami diterima selayaknya keluarga sendiri
Kami bertukar tempe, tahu, kacang kedele,
dan sesekali emas batangan lama tersimpan
dengan beras dan sagu
Yang lain ikut ke ladang
memetik cengkeh
dan membuka huma baru
Ada yang mengajar, menjadi guru
di sekolah berdinding papan dan kulit sagu
Mendirikan bangunan, membuka jalan
Satu dua anak kami dan pemuda kampung
terlibat percintaan, oh, Dewi Quan Im
kami merasakan engkau mulai tersenyum
meski dingin, meski cengkeh dan sagu-sagu pun
berbunga di Natuna
Tapi di sini tetap lebih baik
karena tak ada perang dan pengusiran
meski bukan tak ada penderitaan
kenangan akan kampung halaman
dan panjang perjalanan
bagaimana mungkin dapat hilang?
Dan entah pada bulan atau tahun keberapa
Datang perintah bahwa kami harus pindah
ke mari. Kami pun berpisah dengan saudara-saudara kami
di Natuna yang kami cintai. Tak apa. Dengan sisa kasihan ombak
kami bersorak,”Pulau Galang, kami datang, kami datang
dan kami tak akan pulang!”
Di sinilah, di pulau sunyi ini, kami tinggal dalam kampung
berupa kamp. Para tentara dan pengawal
memisahkan kami dari kampung-kampung di seberang
O, amis darah tercium juga sampai ke mari
ketika orang berbicara soal garis dan batas,
asal-usul dan negara
Kami ingin di sini, tapi ternyata mesti pergi
selamanya.
Demikianlah akhirnya, kami diminta kembali pulang
ke kampung halaman kami di tepi semenanjung
Itu bahasa paling layak ketimbang meminta kami pergi
tanpa alasan. Tapi, apakah artinya kampung halaman
jika seseorang merasa tenang
di tengah tanah dan air yang bermil-mil ia jelang?
Beratus kami menolak,
beratus kami bilang kata tidak
bahkan dengan membakar sisa-sisa kapal kenangan
yang lain, betapa sedih, membakar dirinya sendiri
Sebagian memutuskan pergi
jadi burung-burung migrasi
mencari daratan baru di bintik luka suratan telapak tangan
Dan semakin jauh kami, semakin kekal kenangan atas pulau-pulau
tak pernah lampau ini
Maka ke sini jua kami ziarah, menghadap Dewi Kasih Sayang
Di pintu Quan Am Tu
Kami pulang dan tersedu
Terimalah doa kami, Dewi,
Terimalah kesaksian kami, Tuan,
sebagai manusia sesama pemilik hidup
di bumi yang satu.
Selesai bercerita ia ulurkan tangannya,
Aku terkesiap dan menjabat hangat
Tapi sebentar kami sudah saling melepaskan
“Nguyen, di bumi yang satu,
kita bertemu dan berpisah
di Quan Am Tu
kuziarahi jejak sunyi
derita bangsamu
di tengah kandil gemerlap
cahaya dan laku bangsaku…”
/2008-2009
Candi Tikus
terkubur ratusan tahun
di bawah air dan lumpur
ia muncul
seperti gadis habis dimandikan
fajar yang menyelinap
sampai ke tiap lekuk
tak dikenal.
ia tak bangkit dari keruntuhan
karena tak pernah runtuh
bersemayam di bawah tanah
ia sesungguhnya kepundan
di tengah kaldera
ia menampung segala makhluk melata
yang memanjat dan mengerat
tubuhnya; dan ia tabah
seperti pertapa
menunggu datangnya
cahaya pertama.
/Trowulan, 2009
Batang Nibung
bermiang bukan jelatang
berduri bukannya rotan
lurus-ramping serupa pinang
buah tiada diharap orang
mekar pelepah bukan zaitun
daun bukan tatahan lontar
hidup di hutan dan belukar
sendiri meninggi
dalam keheningan—penunjuk arah
bagi perimba
membuka jalan
menebangnya.
/Rumahlebah Yogyakarta, 2009
*) Lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. Buku puisinya adalah Gugusan Mata Ibu (2005) dan Api Bawah Tanah (dalam proses terbit).
Sajak-Sajak Yopi Setia Umbara
http://www.lampungpost.com/
Di Perempatan Dago-Sulanjana
di perempatan jalan. wajahmu merah tahan tangis darah
kota adalah basah. pada aspal pada lampu-lampu iklan
mungkin kau sangsi. kenapa aku kau tunggu lebih lama
padahal waktu tak pernah mau menunggu. tak mau diam
seperti tak sabar. ingin terus bergerak dari satu tempat
aku belum juga datang. dan kau lebih resah dari jalanan
makin kuyup lebih beku. tak ada yang bisa diajak bicara
selain memendam tujuan sendiri dan terus diguyur hujan
2009
Selamat Pagi
dari jendela kamar yang kubuka lebar. selalu kuucap
selamat pagi dunia. walau suara hanya sampai halaman
sebelum kubasuh wajah. dan kujinakan segala kenangan
sebelum pulih kesadaran. dengan secangkir kopi panas
sebelum berbagai kabar. memburu mata juga telinga
sebelum matahari pusat. jatuhkan tiap tetes keringat
tubuh adalah teman bercerita paling peka juga rentan
2009
Tanpa Cahaya Listrik
suatu malam. listrik negara padam tiba-tiba
hampir saja aku panik. tak dapat menulis sajak
tapi aku ingat Neruda. dan kisah di Siera Maestra
ditulis pada malam-malam tanpa cahaya listrik
2009
Serupa Fatima
:Dien Widjayatiningrum
kau datang tiba-tiba. sekilas serupa Fatima
menampakan diri. di padang alang-alang
pada sebuah malam. di tanah tuan Pessoa
sebagai perempuan suci. pembawa damai
dan sajak-sajakmu. adalah kalung rosario
melingkar erat di leherku. lalu menjadi doa
bagi jiwa tandus. juga tubuh yang rapuh
pada setiap perubahan cuaca yang perkasa
2009
Kembang Sepanjang Jalan
kembang sepanjang jalan. menuju Parongpong
tak cukup menutup mata. dari warna duka kota
merah mengalir dalam darah. ini tubuh kosong
melayang dari Bandung. dibawa terbang lebah
menanjak kabut bukit. sebelum malam dingin
sempurna sebagai ruang. ruang bagi pengakuan
bahwa sendiri aku dilahirkan. ke permukaan bumi
dan belajar memahami hidup melalui bahasa rasa
2009
Catatan Harian Pekerja Borongan
tak ada hari libur. bahkan di hari minggu
akal kami adalah tenaga. tenaga akal kami
cukup kasih nasi. kerja sungguh-sungguh
sebab keringat punya harga. daripada darah
sepanjang hari. tubuh kami terus basah
tak ada waktu tidur. selain menutup mata
sekejap melupakan kerja. lalu siap-siap
kembali menjadi ujung jari pembangunan
2009
*) Lahir di Bandung, 30 Maret 1984. Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS). Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi bersama dan berbagai media.
Di Perempatan Dago-Sulanjana
di perempatan jalan. wajahmu merah tahan tangis darah
kota adalah basah. pada aspal pada lampu-lampu iklan
mungkin kau sangsi. kenapa aku kau tunggu lebih lama
padahal waktu tak pernah mau menunggu. tak mau diam
seperti tak sabar. ingin terus bergerak dari satu tempat
aku belum juga datang. dan kau lebih resah dari jalanan
makin kuyup lebih beku. tak ada yang bisa diajak bicara
selain memendam tujuan sendiri dan terus diguyur hujan
2009
Selamat Pagi
dari jendela kamar yang kubuka lebar. selalu kuucap
selamat pagi dunia. walau suara hanya sampai halaman
sebelum kubasuh wajah. dan kujinakan segala kenangan
sebelum pulih kesadaran. dengan secangkir kopi panas
sebelum berbagai kabar. memburu mata juga telinga
sebelum matahari pusat. jatuhkan tiap tetes keringat
tubuh adalah teman bercerita paling peka juga rentan
2009
Tanpa Cahaya Listrik
suatu malam. listrik negara padam tiba-tiba
hampir saja aku panik. tak dapat menulis sajak
tapi aku ingat Neruda. dan kisah di Siera Maestra
ditulis pada malam-malam tanpa cahaya listrik
2009
Serupa Fatima
:Dien Widjayatiningrum
kau datang tiba-tiba. sekilas serupa Fatima
menampakan diri. di padang alang-alang
pada sebuah malam. di tanah tuan Pessoa
sebagai perempuan suci. pembawa damai
dan sajak-sajakmu. adalah kalung rosario
melingkar erat di leherku. lalu menjadi doa
bagi jiwa tandus. juga tubuh yang rapuh
pada setiap perubahan cuaca yang perkasa
2009
Kembang Sepanjang Jalan
kembang sepanjang jalan. menuju Parongpong
tak cukup menutup mata. dari warna duka kota
merah mengalir dalam darah. ini tubuh kosong
melayang dari Bandung. dibawa terbang lebah
menanjak kabut bukit. sebelum malam dingin
sempurna sebagai ruang. ruang bagi pengakuan
bahwa sendiri aku dilahirkan. ke permukaan bumi
dan belajar memahami hidup melalui bahasa rasa
2009
Catatan Harian Pekerja Borongan
tak ada hari libur. bahkan di hari minggu
akal kami adalah tenaga. tenaga akal kami
cukup kasih nasi. kerja sungguh-sungguh
sebab keringat punya harga. daripada darah
sepanjang hari. tubuh kami terus basah
tak ada waktu tidur. selain menutup mata
sekejap melupakan kerja. lalu siap-siap
kembali menjadi ujung jari pembangunan
2009
*) Lahir di Bandung, 30 Maret 1984. Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS). Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi bersama dan berbagai media.
Sajak-Sajak M Aan Mansyur
http://cetak.kompas.com/
Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita
1. Kunang-kunang Merah
yang hidup dari menghirup dendam kuku-kuku
orang-orang raib, penunggang aib atau penanggung alasan gaib—
kuku orang-orang yang pernah kita desak masuk
dan bertumpuk di lubang-lubang kubur sempit
dan kita yang tubuhnya semakin mayat
berharap tumbuh dan bisa mengalahkan nyali
atau mengalihkan nyala mereka menjadi kerlap-kerlip
lampu perayaan di taman kota atau kedap-kedip
genit di sepasang mata kita
tetapi dendam dengan apakah bisa lelap?
mereka memerahkan sekeliling kita yang gelap
dan di dalam tidur, kita menyaksikan warna merekah
jadi darah lalu mencair dari mata hingga ke mati
yang membunuh seorang pahlawan
—cita-cita yang bahkan tak bisa kita kenang
2. Manusia Tebing
yang membawa tebing di tubuh—berbatang-batang tebing.
wajahnya penuh lapisan-lapisan sedih yang maha menipu.
sama sekali tak ada waspada yang mengisi pengetahuan kita
lagi. tiba-tiba kita turut bersedih dan karena itulah mereka
bersedia jatuh ke dalam tebing, seolah mengorbankan diri
dan kita mengapung di permukaan jejak mereka yang mengepung
—di sini
kita berkesedihan, berkesedihan, berkesedihan tidak berkesudahan
terpaksa tersiksa merindukan dan mereka-reka kapan mereka
datang menipu kita sekali dan sekali lagi.
mereka butuh tubuh yang terjatuh ke dalam tebing sendiri
untuk hidup. berkali-kali. kita betah dan tabah menyadari
kesedihan hanya reda oleh kesedihan yang berulang kali.
sepanjang kala.
3. Airmata Mati
yang berjatuhan dan tak bisa kembali ke langit mereka:
airmata yang tiba-tiba mati dan tinggal dalam ingatan
berwaktu-waktu mengasuh dan mengasah diri
menunggu hingga alir airnya menggelombang
dan busa-busanya menggelembung
lalu kelak dengan mudah bisa menelan habis kita
dan kini apa yang mampu dielakkan
oleh kita kecuali kata-kata?
4. Jalan Melempang dan Melengang
tak ada lekuk liku dan yang menyimpang atau turun
dan mendaki yang bisa menyembunyikan kita
—pelangkah-pelangkah takut yang mencari suaka
jalan itu terus melebar ke mana-mana,
dan membawa kita tidak ke mana-mana
selain ke tempat berangkat—selalu ke semula
jalan itu tak menyimpan ujung dan tujuan
kita tersesat di kerataan yang maha lapang
menjadi kecil, lebih kecil dari yang lebih kecil dari debu,
di telapak tangannya
lalu kita telah menjadi yang paling panik dan renik
yang akan remuk dalam lengan-lengan lengangnya
memang kita belum mati,
hanya lebih tersiksa dari hidup
dan tersiksa mengharap tidak hidup
5. Kitab-Kitab Penyesat
memiliki warna-warni lembut dan sejuk
seperti bayang-bayang yang menghalau kemarau
dan orang terhindar dari terbunuh dahaga
kita memasuki halaman-halaman
dan mengetuk pintu-pintu mereka
bermimpi tidur di pelukan kata-kata
dan kalimat mereka—yang rupanya
muslihat
apa? dengan sakit kita mendatangi apotik
yang menjual rupa-rupa racun
o, kita sendiri yang mengetuk
untuk masuk mengambil kutuk!
6. Rimba Suara
kita dulu memang mencintai tumbuh-tumbuhan
nenek moyang kita paling petani. rahim subur
yang melahirkan kita ialah tanah-tanah gembur
namun apa yang ingin kita buat hijau kini?
lalu muncullah mereka, suara-suara itu,
yang mula-mula sembunyi di mulut kita sendiri
yang malu-malu menyebut diri kawan
tapi enggan pula menyebut diri lawan
kita tidak sedang membangun surga dengan rimba
lalu ada buah-buahan yang menyelamatkan
dan mengirimkan kita ke bumi yang kosong
dan kita mulai bisa menggarap hidup
rupanya kita menimbun diri sendiri di rimbun
suara-suara yang hutan itu—yang kuat
melampaui daya hantu tuhan-tuhan
7. Bayangan-Bayangan Kita
bukan bayangan yang hitam tanpa cahaya mata
bukan makhluk yang mati tanpa kita
mereka sekawanan yang menyerupai kita
dengan pikiran yang membolak-balik
pengetahuan kita
kita berpikir telah melahirkan mereka,
mereka berpikir kita anak-anak durhaka
yang meminta hukuman
medan perang adalah cermin
namun mereka lebih gesit bergerak
dan kita mengikutinya—kita menampar
wajah kita ketika mereka menampar wajah kita
kita menangisi diri kita
ketika mereka menertawai kita
8. Hari Pertimbangan
dia, yang menamai diri hari pertimbangan,
mengumpulkan kita dan mengundang
tebing itu, kunang-kunang itu, airmata itu,
jalan-jalan itu, kitab-kitab itu, hutan-hutan itu,
bayangan-bayangan itu
dia menyuguhi kita pertunjukan dan pesta
yang mengandung rasa penasaran
dia membiarkan kita mabuk dan bicara
memperkenalkan diri sebagai tokoh utama—
satu-satunya tokoh yang paling berdaya,
yang paling dianiaya
dia dan tamu-tamunya menertawai dan menghadiahi
kita senjata-senjata dan pilihan untuk bunuh diri
atau meninggalkan cerita ini dengan mengaku
kalah
dan kita melakukan kedua-duanya
*) Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982. Sehari-hari ia bekerja sebagai pustakawan di Kafe Baca Biblioholic di Makassar. Kumpulan puisinya adalah Hujan Rintih-rintih (2005), Aku Hendak Pindah Rumah (2008), dan Cinta yang Marah (2009).
Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita
1. Kunang-kunang Merah
yang hidup dari menghirup dendam kuku-kuku
orang-orang raib, penunggang aib atau penanggung alasan gaib—
kuku orang-orang yang pernah kita desak masuk
dan bertumpuk di lubang-lubang kubur sempit
dan kita yang tubuhnya semakin mayat
berharap tumbuh dan bisa mengalahkan nyali
atau mengalihkan nyala mereka menjadi kerlap-kerlip
lampu perayaan di taman kota atau kedap-kedip
genit di sepasang mata kita
tetapi dendam dengan apakah bisa lelap?
mereka memerahkan sekeliling kita yang gelap
dan di dalam tidur, kita menyaksikan warna merekah
jadi darah lalu mencair dari mata hingga ke mati
yang membunuh seorang pahlawan
—cita-cita yang bahkan tak bisa kita kenang
2. Manusia Tebing
yang membawa tebing di tubuh—berbatang-batang tebing.
wajahnya penuh lapisan-lapisan sedih yang maha menipu.
sama sekali tak ada waspada yang mengisi pengetahuan kita
lagi. tiba-tiba kita turut bersedih dan karena itulah mereka
bersedia jatuh ke dalam tebing, seolah mengorbankan diri
dan kita mengapung di permukaan jejak mereka yang mengepung
—di sini
kita berkesedihan, berkesedihan, berkesedihan tidak berkesudahan
terpaksa tersiksa merindukan dan mereka-reka kapan mereka
datang menipu kita sekali dan sekali lagi.
mereka butuh tubuh yang terjatuh ke dalam tebing sendiri
untuk hidup. berkali-kali. kita betah dan tabah menyadari
kesedihan hanya reda oleh kesedihan yang berulang kali.
sepanjang kala.
3. Airmata Mati
yang berjatuhan dan tak bisa kembali ke langit mereka:
airmata yang tiba-tiba mati dan tinggal dalam ingatan
berwaktu-waktu mengasuh dan mengasah diri
menunggu hingga alir airnya menggelombang
dan busa-busanya menggelembung
lalu kelak dengan mudah bisa menelan habis kita
dan kini apa yang mampu dielakkan
oleh kita kecuali kata-kata?
4. Jalan Melempang dan Melengang
tak ada lekuk liku dan yang menyimpang atau turun
dan mendaki yang bisa menyembunyikan kita
—pelangkah-pelangkah takut yang mencari suaka
jalan itu terus melebar ke mana-mana,
dan membawa kita tidak ke mana-mana
selain ke tempat berangkat—selalu ke semula
jalan itu tak menyimpan ujung dan tujuan
kita tersesat di kerataan yang maha lapang
menjadi kecil, lebih kecil dari yang lebih kecil dari debu,
di telapak tangannya
lalu kita telah menjadi yang paling panik dan renik
yang akan remuk dalam lengan-lengan lengangnya
memang kita belum mati,
hanya lebih tersiksa dari hidup
dan tersiksa mengharap tidak hidup
5. Kitab-Kitab Penyesat
memiliki warna-warni lembut dan sejuk
seperti bayang-bayang yang menghalau kemarau
dan orang terhindar dari terbunuh dahaga
kita memasuki halaman-halaman
dan mengetuk pintu-pintu mereka
bermimpi tidur di pelukan kata-kata
dan kalimat mereka—yang rupanya
muslihat
apa? dengan sakit kita mendatangi apotik
yang menjual rupa-rupa racun
o, kita sendiri yang mengetuk
untuk masuk mengambil kutuk!
6. Rimba Suara
kita dulu memang mencintai tumbuh-tumbuhan
nenek moyang kita paling petani. rahim subur
yang melahirkan kita ialah tanah-tanah gembur
namun apa yang ingin kita buat hijau kini?
lalu muncullah mereka, suara-suara itu,
yang mula-mula sembunyi di mulut kita sendiri
yang malu-malu menyebut diri kawan
tapi enggan pula menyebut diri lawan
kita tidak sedang membangun surga dengan rimba
lalu ada buah-buahan yang menyelamatkan
dan mengirimkan kita ke bumi yang kosong
dan kita mulai bisa menggarap hidup
rupanya kita menimbun diri sendiri di rimbun
suara-suara yang hutan itu—yang kuat
melampaui daya hantu tuhan-tuhan
7. Bayangan-Bayangan Kita
bukan bayangan yang hitam tanpa cahaya mata
bukan makhluk yang mati tanpa kita
mereka sekawanan yang menyerupai kita
dengan pikiran yang membolak-balik
pengetahuan kita
kita berpikir telah melahirkan mereka,
mereka berpikir kita anak-anak durhaka
yang meminta hukuman
medan perang adalah cermin
namun mereka lebih gesit bergerak
dan kita mengikutinya—kita menampar
wajah kita ketika mereka menampar wajah kita
kita menangisi diri kita
ketika mereka menertawai kita
8. Hari Pertimbangan
dia, yang menamai diri hari pertimbangan,
mengumpulkan kita dan mengundang
tebing itu, kunang-kunang itu, airmata itu,
jalan-jalan itu, kitab-kitab itu, hutan-hutan itu,
bayangan-bayangan itu
dia menyuguhi kita pertunjukan dan pesta
yang mengandung rasa penasaran
dia membiarkan kita mabuk dan bicara
memperkenalkan diri sebagai tokoh utama—
satu-satunya tokoh yang paling berdaya,
yang paling dianiaya
dia dan tamu-tamunya menertawai dan menghadiahi
kita senjata-senjata dan pilihan untuk bunuh diri
atau meninggalkan cerita ini dengan mengaku
kalah
dan kita melakukan kedua-duanya
*) Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982. Sehari-hari ia bekerja sebagai pustakawan di Kafe Baca Biblioholic di Makassar. Kumpulan puisinya adalah Hujan Rintih-rintih (2005), Aku Hendak Pindah Rumah (2008), dan Cinta yang Marah (2009).
Sajak-Sajak Dahta Gautama
http://www.lampungpost.com/
Suatu Sore dengan Perempuan Bernama Istri
Kalender berguguran dan kepastian bahwa cinta
dan air mata adalah kisah: yang senantiasa
tercatat dalam kenangan.
maka selalu kuingat, hujan sore hari
engkau dan aku berangkulan di beranda sore
kita bersemayam di kalautan kabut dan basah.
Hari ini, engkaulah perempuanku
hingga hujan reda dan malam di rajam kesunyian
gulita tanpa bintang di langit.
Kekal. kekallah impian kita
walau takdir seperti wabah
mengoyak-ngoyak tembok peradaban cinta.
Hari ini, meski sunyi mengabar duka
engkau tetap perempuanku
Taman Gunter, 3 Januari 2010
Perempuan yang Membuat Kangen
Tiba-tiba langit yang mendung bocor!
kangen ini, menjelma hujan yang meletup-letup
di atap rumah. aku serupa air selokan di pekarangan rumah.
mampet. pada siapa kederasan ini kualirkan
sebab kangen yang memerah ini, semakin tajam
semakin runcing melukai kemanusianku
serupa ujung belati menorehkan
rasa pisau di tulang-belulangku.
barangkali cinta hari ini
deras tenggelam dalam hujan, adik.
dan kangen ini, terasa tajam
menggoresi urat-uratku
Taman Gunter, 3 Januari 2010
Ketika Amarah Istri Menjelma Hujan
Sungguh, kenistaan ini
telah mengalahkan kesabaranku
pada langit mendung. ketika engkau
datang juga sore itu. membawa seikat
kembang matahari. oleh-olehmu dari dunia sunyi
yang cuma memberimu perih.
Gerimis jatuh di kota kita.
kota tua. daunan kering luruh
dari tangkainya. lalu kau nikmati
trotoar itu. ada kupu-kupu
terbang di atas kepalamu
membuatmu berteriak sambil memandang
lusuhnya langit.
Ya. sejak lama telah kau pelihara
cuaca hari ini. dan wajahmu menjelma hujan
Taman Gunter, 4 Januari 2010
Kegelisahan, Perkawinan 11 Tahun
Aku tak mengenalimu lagi
semenjak kecemasan mulai tumbuh
menjadi tanaman kegelisahan
yang mengikuti kemanapun kita pergi.
Perkawinan ini menempatkan kita
di kegelapan. aku tak tahu
sebab tiba-tiba tubuh kita dingin. di sudut kamar
ada suara yang pecah. bagai bunyi peluit kereta api
Istriku. mari kita meluncur
dalam jurang peradaban ranjang
Taman Gunter, 4 Januari 2010
Keping Cahaya di Mata Istri
(tetapi aku masih angin, sebab perkawinan tidak menjadikan aku sebagai suami)
aku mengejarnya terus ke arah barat, ketengah tanah lapang
kedunia perkawinan
aku terus mengejarnya, istriku yang terhampar di spring bad
ia kering, dihisap masa lalu dan kemiskinanku yang melarat.
Oh, istriku yang tidak paripurna!
senyummu nyembelih urat-uratku
keyakinanku padamu adalah kepercayaan seutas perjaka
yang telah binasa di malam pertama.
Apakah akan lahir anakku, dari serat-serat perutmu yang kulit itu?
aku telah mendakimu
terjun ke dalam kolammu yang kemerahan itu.
sebab airku, biasa mengalir melalui parit-parit menuju
laut lepas.
Istriku adalah layar televisi, yang mengabarkan darah
di matanya. ia menangis di malam buta dan menulis catatan harian.
dan tak henti bertanya:
kapankah engkau menjelma lelaki?
yang bisa menyulap sepotong pelangi menjadi rumah.
Ah, istriku
tak henti engkau meminta rumah
padahal aku sedang membangun perumahan
dari keping cahaya di matamu.
Taman Gunter, 8 Januari 2010
*) Lahir di Hajimena, Lampung, 24 Oktober 1974. Memublikasikan puisi sejak 1994 di berbagai media dan antologi bersama. Peneliti Agri Andalas (member Japan Foundation sejak 1994). Kini pemimpin redaksi mingguan Dinamika News.
Suatu Sore dengan Perempuan Bernama Istri
Kalender berguguran dan kepastian bahwa cinta
dan air mata adalah kisah: yang senantiasa
tercatat dalam kenangan.
maka selalu kuingat, hujan sore hari
engkau dan aku berangkulan di beranda sore
kita bersemayam di kalautan kabut dan basah.
Hari ini, engkaulah perempuanku
hingga hujan reda dan malam di rajam kesunyian
gulita tanpa bintang di langit.
Kekal. kekallah impian kita
walau takdir seperti wabah
mengoyak-ngoyak tembok peradaban cinta.
Hari ini, meski sunyi mengabar duka
engkau tetap perempuanku
Taman Gunter, 3 Januari 2010
Perempuan yang Membuat Kangen
Tiba-tiba langit yang mendung bocor!
kangen ini, menjelma hujan yang meletup-letup
di atap rumah. aku serupa air selokan di pekarangan rumah.
mampet. pada siapa kederasan ini kualirkan
sebab kangen yang memerah ini, semakin tajam
semakin runcing melukai kemanusianku
serupa ujung belati menorehkan
rasa pisau di tulang-belulangku.
barangkali cinta hari ini
deras tenggelam dalam hujan, adik.
dan kangen ini, terasa tajam
menggoresi urat-uratku
Taman Gunter, 3 Januari 2010
Ketika Amarah Istri Menjelma Hujan
Sungguh, kenistaan ini
telah mengalahkan kesabaranku
pada langit mendung. ketika engkau
datang juga sore itu. membawa seikat
kembang matahari. oleh-olehmu dari dunia sunyi
yang cuma memberimu perih.
Gerimis jatuh di kota kita.
kota tua. daunan kering luruh
dari tangkainya. lalu kau nikmati
trotoar itu. ada kupu-kupu
terbang di atas kepalamu
membuatmu berteriak sambil memandang
lusuhnya langit.
Ya. sejak lama telah kau pelihara
cuaca hari ini. dan wajahmu menjelma hujan
Taman Gunter, 4 Januari 2010
Kegelisahan, Perkawinan 11 Tahun
Aku tak mengenalimu lagi
semenjak kecemasan mulai tumbuh
menjadi tanaman kegelisahan
yang mengikuti kemanapun kita pergi.
Perkawinan ini menempatkan kita
di kegelapan. aku tak tahu
sebab tiba-tiba tubuh kita dingin. di sudut kamar
ada suara yang pecah. bagai bunyi peluit kereta api
Istriku. mari kita meluncur
dalam jurang peradaban ranjang
Taman Gunter, 4 Januari 2010
Keping Cahaya di Mata Istri
(tetapi aku masih angin, sebab perkawinan tidak menjadikan aku sebagai suami)
aku mengejarnya terus ke arah barat, ketengah tanah lapang
kedunia perkawinan
aku terus mengejarnya, istriku yang terhampar di spring bad
ia kering, dihisap masa lalu dan kemiskinanku yang melarat.
Oh, istriku yang tidak paripurna!
senyummu nyembelih urat-uratku
keyakinanku padamu adalah kepercayaan seutas perjaka
yang telah binasa di malam pertama.
Apakah akan lahir anakku, dari serat-serat perutmu yang kulit itu?
aku telah mendakimu
terjun ke dalam kolammu yang kemerahan itu.
sebab airku, biasa mengalir melalui parit-parit menuju
laut lepas.
Istriku adalah layar televisi, yang mengabarkan darah
di matanya. ia menangis di malam buta dan menulis catatan harian.
dan tak henti bertanya:
kapankah engkau menjelma lelaki?
yang bisa menyulap sepotong pelangi menjadi rumah.
Ah, istriku
tak henti engkau meminta rumah
padahal aku sedang membangun perumahan
dari keping cahaya di matamu.
Taman Gunter, 8 Januari 2010
*) Lahir di Hajimena, Lampung, 24 Oktober 1974. Memublikasikan puisi sejak 1994 di berbagai media dan antologi bersama. Peneliti Agri Andalas (member Japan Foundation sejak 1994). Kini pemimpin redaksi mingguan Dinamika News.
Sajak-Sajak Mutia Sukma
http://www.pikiran-rakyat.com/
Lelaki Berambut Kusut
– daeng liwang
aku menemuimu lagi di sini
di antara lipatanlipatan hari
dan kalender yang tanggal
kita pernah saling tahu
rasanya sulit;
Lelaki Berambut Kusut
– daeng liwang
aku menemuimu lagi di sini
di antara lipatanlipatan hari
dan kalender yang tanggal
kita pernah saling tahu
rasanya sulit;
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae