Kamis, 28 Januari 2010

Sajak-Sajak Alex R. Nainggolan

lampungpost.com
Menghapal Jejak

engkaupun menghapal jejak masalalu
menemui bait kidung murung yang menggantung
dan kautemui jalan-jalan tanpa tanda
mendadak ahasveros hadir di depan
menggapai dalam hujan
melambai tangan

Sajak-Sajak Denny Mizhar

http://www.sastra-indonesia.com/
Merasakan Zaman

1
Ditimbun kebencian yang merambah masuk sejarah atas nama Tuhan. Terbaca kutukan. Saling mengutuk dengan pedang yang dipinjam dari Umar. Sebab tak ada jalan pulang selain satu kebenaran yang dikultuskan. Ketaksanggupan membaca nalar Tuhan.

2
Dibius kesenangan mengerogoti sel-sel saraf kesadaran menjadi laku penumpukan kemalasan?termanjakan. Pada aksesoris yang terbeli tawaran iklan televisi. Segalanya terkeruk di kala eforia zaman kebebasan yang kebablasan. Tuhan di dalam nikmatnya makan iklan.

3
Aku yang menggali khazana zaman terhimpit dalam kebencian dan kebebasan. Mempertanyakan “dimanakah Tuhan?” Di ujung pedang kebencian atau dinikmatnya selera makan iklan. Hanya getir aku rasakan.



Kenangan Sang Demonstran

Jalan di gedung dewan kini sepi. Kemana mereka pergi?Kemarin sehabis aku melewatinya masih ada sisa kenangan di sana. Dulu ketika kita masih mahasiswa. Teriakan-terikan lantang dengan pengeras suara menakuti muka para pengembala negara yang bermasalah.

Ketika barisan pengamanan menghadang kita, tak ada rasa takut menyapa. Tetapi semangat yang semakin mengila. Masihkah kau mengingatnya? Sedang kau kini masuk juga dalam gedung dewan yang pernah kau bilang sarang serigala pemangsa.

Bau harum darah salah satu kawan kita yang kepalanya bocor dipukul anjing penjaga masih tersisa. Menempel kering di pagar gedung yang kau puja kini. Pernahkah kau membuat upacara buatnya? Atau kau sudah lupa karena kesibukanmu mengelapkan masalah yang tak kunjung terbaca.

Baiklah, semua itu adalah kenangan. Kau bilang tak patut dikenang. Tapi bagiku adalah mata ingatan yang terus menyuburkan rasa gerahku padamu kini.

Bila nanti kita bertemu lagi. Aku tetap didepan pintu pagar tempat singgahmu, temuilah aku. Mari bersama kita angkat tangan kita. Bila kau tak ada malahan pergi dari pintu belakang. Jangan kau sapa aku lagi, sebab jalan kita berbeda.

Biarlah dulu hanya menjadi kenangan bagimu. Dan aku menjadikan pemantik semangat untuk terus berdiri di jalan depan pagar-pagar pengembala negara yang mati hatinya.

Malang, 2010



Jemari yang Menunjuk

Jemari ku terpasung pintu rindu
memanggil namamu

Getir merasakan langkah tentangku:
mata yang dulu buta kini dapat membaca
mulut yang dulu bisu kini dapat berkata
fikir yang dulu tumpul kini tajam terasah
hati yang dulu mati kini hidup kembali

Segalanya dibawah kepak kesadaran
pada pintu masa
hendak memenggal urat nadi
hingga hilang nyawa

Lihat,
jemari beku runtuh pada telunjuk menusuk
tergantung di batang pohon kelapa masih muda
ketika musim selalu berubah.

Melati Yang Tangkainya Patah Dan Aku Menjadi Serpihan Pasir

pada lara yang bernyanyi ia berlari ke ruang sepi
menyembunyikan segala dendam dalam sadarnya
diselimuti senja jingga

kekupu membawa tubuhku yang berubah menjadi pasir
berterbangan sehabis bermetamoforsis

ia melati tangkainya patah
diinjak garis nasib purba.

belahan pepasir tubuhku
singgah di bunga tak lagi beraroma.

ia menjumpai ku di lintasan waktu
sambil memandang jauh harap yang biru.

Sajak-Sajak Mahmud Jauhari Ali

http://www.sastra-indonesia.com/
Bunga-Bunga Di Musim Penghujan

kutangkap dua kelopak bunga
menebar aroma sakti
kala awan hitam runtuh dengan buasnya
dan tak reda-reda pula
menghayutkan hara-hara mahal
yang semula melingkupi sulur-sulur pohonnya

oh … aromanya menyengat-nyengat
saling beradu
serupa kucing-kucing jantan bersua
sepanjang lidah mereka menari-nari
di serambi rumah berlantai keramik hitam

sementara bunga-bunga lainnya tetap bergayut kukuh
pada ranting yang rapuh
di hari-hari temaram
tanpa lampu sorot terang
dari bunga yang bertahta di pucuk tertinggi sana

dan, masih saja kutangkap
semburan aroma sakti bernada tinggi
ke bunga lainnya
hingga mendegubkan sulur-sulur
yang sedang meronta
diinjak-injak ketertupan
selama tahun-tahun bergaram
di dinasti ini

hari ini, semoga mereka beraroma wangi

Kalimantan Selatan, 15 Januari 2010



Seputar Matamu

alis matamu yang tebal
meluruhkan air mataku
menjelma genangan keruh
pada ruas-ruas jari
kala bulanmu termenung
di bawah meja
berbahan cendana
beralas naskah juang masa dulu

sementara helai-helai rambut matamu
kutemukan membela-bela dirimu
di atas panggung kaca
bersama gemuruh gelombang pasang
walau napasmu itu
tak seharum melati berembun
yang kuhirup ribuan waktu lalu

duhai kau yang bermata sangar
berlidah kelu
di ujung ranting biru, kutangkap
tatapanmu
serupa intaian elang
pada mangsa mungil
di tanah gersang bersama surya perkasa

oh, sungguh ada tanya yang menderu
seputar matamu itu dalam batinku
ditemani desahku yang panjang

dan, kuharap kau pun bertanya!

Kalimantan Selatan, 13 Januari 2010



Tubuhmu yang Hampir Pulih

dua tahun silam
tulang-tulang tanganmu remuk
pipimu basah oleh darah
urat kakimu pecah
dan matamu nanar
melihat ususmu yang terburai-burai
terkapar begitu saja

kau tetap saja terbaring
dengan luka di sekujur tubuhmu
tanpa rawat, apalagi obat

dokter-dokter
alat-alat
obat-obatan
terlalu mahal buatmu
yang fakir

sementara ia tetap beku
dan kadang melaju di atas tubuhmu
dengan suara paraunya

berbulan-bulan kau masih terbaring
dan tiba-tiba
ada dentuman hebat
meruntuhkan pintu berangkas istana
hingga uang berhamburan
menjelma dokter-dokter
alat-alat
dan juga obat-obatan buatmu

aku terperangah
terkejut-kejut
dan tak pernah kubayangkan
ia mau merawatmu
memberimu obat
walau aku tahu
ada maksud di balik itu

dan kini, kulihat tubuhmu
hampir menyandang gelar masa lalumu
–masa gemilang awal kau ada–
di tanah ini

Kalimantan Selatan, 11 Januari 2010

Sajak-Sajak Fajar Alayubi

http://www.sastra-indonesia.com/
Langit tak dijunjung

Setinggi-tinggi bangau terbang sampainya ke kubangan juga.
Pastilah sebuah ucapan melahirkan tulisan. Pastilah unggas akan mengerami telurnya.

Belajarlah untuk terbang karna tak bisa terbang
Tidakkah rambatan pucuk pepohon semakin lebat dan jauh jangkauannya tanpa pemeliharaan?
Ataukah bunga-bunga adalah tanda kesuburan?

Lupakan pucuk dan bunga. Kepaklah sayap lalu sisirlah angin. Betapa tujuan perlu tahapan, dan pencapaian yang dimulai dari awal.

Tidaklah hayalan berputar-putar diatas sarang sampai pikiran jatuh ke “bodoh”an.

Mungkinlah angin timur membawa keharuman. Tapi bukankah padang di barat adalah tempat asal bunga-bunga tumbuh dan menarik perhatian?



Kau Berbisik; Kau Berisik

kau telah membuat otakku sekarat!!
ia kini tertegun disana
susah mengingat

apa yang telah kau perbuat!
temali yang kurajut telah kau buat kusut!!

Tidakkah arakmu cukup untukmu?
sampai akalmu bersulang
membujuk dan merayu

kini aku mabuk
mabuk bersama para pengikutmu

kini kau tertawa
tertawa manis menawan kelincahan pikiran kami

duh jemari yang kini terasa membatu
dan pena mencatat bisuku:

telah ia tunjukan pedang indahnya
telah ia membuat rahangmu geram dan ngilu

telah ia ayunkan syair-syair surga setangkas jiwa
telah ia…

cukup!
kau telah memadamkan kegairahanku!

aku muak dengan lakumu!
dan juga intip-intip pikiranmu ke masa pendahulu

aku tak perlu itu!

ajarlah jari-jarimu tuk bicara
ajarlah pena tuk membaca

rangkailah bunga-bunga dalam buket bunga
atau biarkan harumnya menetap di taman

tentangmu
masih kusimpan beberapa kuntum guman



Di mana bulan

Diunggah melalui Facebook Seluler
gendang kecapi lama sudah tiada bertalu
rebab disana membisu jua

sunyi
hening ditusuk
nyaring tong-tong dipalu
sepi ronda tiada irama
malam diburu dengus nafsu

jejaka mencumbu gadis hilang malu
separuh usia belasan nista
berpadu mesra di medan laga pestafora

nada-nada gila cubitan ketagihan
tubuh kenyal gempal pinggul
pecah resah dalam dekapan
merajuk janji ke nirwana

semalam suntuk disudut gelap
berkali-kali membakar hati
tiada jurai percikan airmata
tiada musuh dalam selimut

terbaring lesu wajah hilang ayu
tanpa baju akan kembali
temui mimpi lupakan pagi
sebelum ajal menunggu dimalam nanti



Angklung Si Bocah

angklung si bocah bernyanyi di gubuk sunyi
samar-samar tiada lagu menentu
janji kabur didekap malam
pupuslah niat mencari langkah

tak lama

angklung si bocah hilang gundah
seketika si teteh datang tiba menjelma
bisu tiada kata perawan kota kembang
pilu dan rindu melebur satu

datang dari jauh mohon terima airmata
sesal begitu dekat kala kembali
si bocah tak tahu rupa hati:
cinta eceran telah dibeli

lagu sendu masa lalu
ibu tiada pun bapak tak berlaga
cita ingin bahagia:
gubuk tinggal cerita diganti satu istana

tiada kata si bocah bertanya
silir angin dingin dimata si teteh
dibelanya salam yang melenguh
dibelai rambutnya tak lagi bermahkota desa

angkung si bocah melagu lagi
si teteh sepi di pembaringan
si bocah mendendang malam,
si teteh mendendam sesal.

Sajak-Sajak Raudal Tanjung Banua*

http://cetak.kompas.com/
Quan Am Tu

Di pintu Quan Am Tu Pulau Galang
Tua dan sepi tidak menenggang
Serombongan peziarah bersideku.
Seorang tua gemetar
dan berkisah kepadaku.
Berhari-hari lalu
Kusalin ia kembali
jadi lilin jadi api jadi lapar
yang terus kunyalakan
untuk sampai pada sebagian kecil
inti perih puisi ini—lilin kecil
kesaksian
di bumi:

Di pintu Quan Am Tu, seperti Tuan lihat, selalu

gemetar tubuhku. Terbayang semenanjung jauh
kilatan-kilatan pedang dan bunga api malam-malam
Terkenang bintang-bintang merah nyala
—bukan, merah dadu, mempertaruhkan kelam
untung-malang manusiaku
Terbayang, kapal-kapal ikan, kapal-kapal kayu tua
oleng di mata pusaran: arus topan, badai yang kejam
dan goncang nafas tuhan

Ke mana kami hendak menuju? Lautan luas
tak bertara. Daratan tak dikenal
bagai bintik hitam di luka telapak tangan
mengelupas dan hilang,
seperih harapan yang direnggutkan
seperti garam dibasuh air garam

Di manakah pintu harapan sebuah pulau? Dermaga,
pantai yang landai, atau pengap-hampa
ruang periksa? Kami ingin berlabuh
supaya tenang goncangan nafas tuhan
—reda tangis Dewi Quan Im
di dada kami yang redam.
Tapi pelabuhan dan pantai bukan lagi pintu
sejak laut dan gelombang api bersekutu
meminta kami pergi
dari tepi semenanjung…

sejak itu, api dalam diri mesti dibangkitkan
jika perlu sehalus sekaligus setegar nyanyian topan
di lapuk buritan:

Ya, ya, secerlang mata ikan dalam keranjang
seredup mata-mata ikan di air dangkal
mati lebih baik kami dapatkan
di air dalam, di tangkapan perompak

atau jaring nelayan Siam
Jangan di tanah sendiri
darah tak lagi suci
maka kami pun berkorban
demi pelayaran tak pasti ini:
sepasang kakek-nenek yang sakit, mati
berpeluk hilang ranjang. Dengan keharuan yang jinak
kami lempar mereka ke laut
tubuh mereka terapung hilang dayung
lepas dari kekangan tangan dunia
yang mengepung arah lempang ke sorga.
Lima orang anak gadis kami
diseret awak kapal patroli
dua jatuh ke tangan ketua perompak kidal
dan sambil tertawa melengking
ia bilang akan dikawini di pulau karang tersembunyi.
Seorang putra kami luka pada lambung
—kanan atau kiri, aku tak ingat lagi;
tapi apa bedanya, Tuan? Ia sudah melawan
para perompak, lalu menghadapi awak kapal patroli
yang ternyata menyita lebih banyak
dari sisi kami. Sebagian putra-putri kami, o, kefanaan,
menderita kejang-kejang karena lapar
dan infeksi luka pertempuran,
bertelentangan di geladak
menunggu ajal
Kami sendiri, sembilan keluarga
Empat puluh delapan orang—dari enam puluh enam
yang tersisa—sama menunggu pedang langit
memutus ikatan kami dengan dunia
Tapi api dalam diri harus tetap dibangkitkan
nyanyian mencari pintu harapan tak boleh majal
oleh kecut kematian:

“Para komandan, perompak dan tukang jagal
biarkan kami terus ke selatan
biar berlumut atau pecah perahu
mengeras batu kapal kayu tunggangan
biarkan kami terdampar
di pintu harapan sebuah pulau
tak perlu harpun atau terompet lokan ditiupkan!”

Akhirnya memang kami terdampar
Di pulau sebintik hitam di tengah luka telapak tangan
tapi itu yang terbaik kami dapatkan
Dari Teluk Tonkin dan Teluk Siam
akhirnya di Natuna Laut Cina Selatan
kami temui jalan; mengeram di rawa-rawa sagu,
masuk hutan bakau di celah sempit sulur akar,
dan tinggal di kebun cengkeh
di pedalaman; kapal-kapal karam dan terbakar
sudah kami lepaskan. Saudara-saudara lapar,
mati, dan bunuh diri pelan-pelan
sudah kami upacarai
sekadar menghibur diri
bahwa di tanah pijakan—seperti mimpi setengah khayalan—
kami diterima selayaknya keluarga sendiri
Kami bertukar tempe, tahu, kacang kedele,
dan sesekali emas batangan lama tersimpan
dengan beras dan sagu
Yang lain ikut ke ladang
memetik cengkeh
dan membuka huma baru
Ada yang mengajar, menjadi guru
di sekolah berdinding papan dan kulit sagu
Mendirikan bangunan, membuka jalan
Satu dua anak kami dan pemuda kampung
terlibat percintaan, oh, Dewi Quan Im
kami merasakan engkau mulai tersenyum
meski dingin, meski cengkeh dan sagu-sagu pun
berbunga di Natuna
Tapi di sini tetap lebih baik
karena tak ada perang dan pengusiran
meski bukan tak ada penderitaan
kenangan akan kampung halaman
dan panjang perjalanan
bagaimana mungkin dapat hilang?

Dan entah pada bulan atau tahun keberapa
Datang perintah bahwa kami harus pindah
ke mari. Kami pun berpisah dengan saudara-saudara kami
di Natuna yang kami cintai. Tak apa. Dengan sisa kasihan ombak
kami bersorak,”Pulau Galang, kami datang, kami datang
dan kami tak akan pulang!”

Di sinilah, di pulau sunyi ini, kami tinggal dalam kampung
berupa kamp. Para tentara dan pengawal
memisahkan kami dari kampung-kampung di seberang
O, amis darah tercium juga sampai ke mari
ketika orang berbicara soal garis dan batas,
asal-usul dan negara
Kami ingin di sini, tapi ternyata mesti pergi
selamanya.

Demikianlah akhirnya, kami diminta kembali pulang
ke kampung halaman kami di tepi semenanjung
Itu bahasa paling layak ketimbang meminta kami pergi
tanpa alasan. Tapi, apakah artinya kampung halaman
jika seseorang merasa tenang
di tengah tanah dan air yang bermil-mil ia jelang?
Beratus kami menolak,
beratus kami bilang kata tidak
bahkan dengan membakar sisa-sisa kapal kenangan
yang lain, betapa sedih, membakar dirinya sendiri
Sebagian memutuskan pergi
jadi burung-burung migrasi
mencari daratan baru di bintik luka suratan telapak tangan
Dan semakin jauh kami, semakin kekal kenangan atas pulau-pulau
tak pernah lampau ini
Maka ke sini jua kami ziarah, menghadap Dewi Kasih Sayang
Di pintu Quan Am Tu
Kami pulang dan tersedu
Terimalah doa kami, Dewi,
Terimalah kesaksian kami, Tuan,
sebagai manusia sesama pemilik hidup
di bumi yang satu.

Selesai bercerita ia ulurkan tangannya,
Aku terkesiap dan menjabat hangat
Tapi sebentar kami sudah saling melepaskan
“Nguyen, di bumi yang satu,
kita bertemu dan berpisah
di Quan Am Tu
kuziarahi jejak sunyi
derita bangsamu
di tengah kandil gemerlap
cahaya dan laku bangsaku…”

/2008-2009



Candi Tikus

terkubur ratusan tahun
di bawah air dan lumpur
ia muncul
seperti gadis habis dimandikan
fajar yang menyelinap
sampai ke tiap lekuk
tak dikenal.

ia tak bangkit dari keruntuhan
karena tak pernah runtuh
bersemayam di bawah tanah
ia sesungguhnya kepundan
di tengah kaldera
ia menampung segala makhluk melata
yang memanjat dan mengerat
tubuhnya; dan ia tabah
seperti pertapa
menunggu datangnya
cahaya pertama.

/Trowulan, 2009



Batang Nibung

bermiang bukan jelatang
berduri bukannya rotan
lurus-ramping serupa pinang
buah tiada diharap orang
mekar pelepah bukan zaitun
daun bukan tatahan lontar
hidup di hutan dan belukar
sendiri meninggi
dalam keheningan—penunjuk arah

bagi perimba
membuka jalan
menebangnya.

/Rumahlebah Yogyakarta, 2009

*) Lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. Buku puisinya adalah Gugusan Mata Ibu (2005) dan Api Bawah Tanah (dalam proses terbit).

Sajak-Sajak Yopi Setia Umbara

http://www.lampungpost.com/
Di Perempatan Dago-Sulanjana

di perempatan jalan. wajahmu merah tahan tangis darah
kota adalah basah. pada aspal pada lampu-lampu iklan
mungkin kau sangsi. kenapa aku kau tunggu lebih lama
padahal waktu tak pernah mau menunggu. tak mau diam
seperti tak sabar. ingin terus bergerak dari satu tempat
aku belum juga datang. dan kau lebih resah dari jalanan
makin kuyup lebih beku. tak ada yang bisa diajak bicara
selain memendam tujuan sendiri dan terus diguyur hujan

2009



Selamat Pagi

dari jendela kamar yang kubuka lebar. selalu kuucap
selamat pagi dunia. walau suara hanya sampai halaman
sebelum kubasuh wajah. dan kujinakan segala kenangan
sebelum pulih kesadaran. dengan secangkir kopi panas
sebelum berbagai kabar. memburu mata juga telinga
sebelum matahari pusat. jatuhkan tiap tetes keringat
tubuh adalah teman bercerita paling peka juga rentan

2009



Tanpa Cahaya Listrik

suatu malam. listrik negara padam tiba-tiba
hampir saja aku panik. tak dapat menulis sajak
tapi aku ingat Neruda. dan kisah di Siera Maestra
ditulis pada malam-malam tanpa cahaya listrik

2009



Serupa Fatima
:Dien Widjayatiningrum

kau datang tiba-tiba. sekilas serupa Fatima
menampakan diri. di padang alang-alang
pada sebuah malam. di tanah tuan Pessoa
sebagai perempuan suci. pembawa damai
dan sajak-sajakmu. adalah kalung rosario
melingkar erat di leherku. lalu menjadi doa
bagi jiwa tandus. juga tubuh yang rapuh
pada setiap perubahan cuaca yang perkasa

2009



Kembang Sepanjang Jalan

kembang sepanjang jalan. menuju Parongpong
tak cukup menutup mata. dari warna duka kota
merah mengalir dalam darah. ini tubuh kosong
melayang dari Bandung. dibawa terbang lebah
menanjak kabut bukit. sebelum malam dingin
sempurna sebagai ruang. ruang bagi pengakuan
bahwa sendiri aku dilahirkan. ke permukaan bumi
dan belajar memahami hidup melalui bahasa rasa

2009



Catatan Harian Pekerja Borongan

tak ada hari libur. bahkan di hari minggu
akal kami adalah tenaga. tenaga akal kami
cukup kasih nasi. kerja sungguh-sungguh
sebab keringat punya harga. daripada darah
sepanjang hari. tubuh kami terus basah
tak ada waktu tidur. selain menutup mata
sekejap melupakan kerja. lalu siap-siap
kembali menjadi ujung jari pembangunan

2009

*) Lahir di Bandung, 30 Maret 1984. Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS). Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi bersama dan berbagai media.

Sajak-Sajak M Aan Mansyur

http://cetak.kompas.com/
Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita

1. Kunang-kunang Merah

yang hidup dari menghirup dendam kuku-kuku
orang-orang raib, penunggang aib atau penanggung alasan gaib—
kuku orang-orang yang pernah kita desak masuk
dan bertumpuk di lubang-lubang kubur sempit

dan kita yang tubuhnya semakin mayat
berharap tumbuh dan bisa mengalahkan nyali
atau mengalihkan nyala mereka menjadi kerlap-kerlip
lampu perayaan di taman kota atau kedap-kedip
genit di sepasang mata kita

tetapi dendam dengan apakah bisa lelap?

mereka memerahkan sekeliling kita yang gelap
dan di dalam tidur, kita menyaksikan warna merekah
jadi darah lalu mencair dari mata hingga ke mati
yang membunuh seorang pahlawan
—cita-cita yang bahkan tak bisa kita kenang



2. Manusia Tebing

yang membawa tebing di tubuh—berbatang-batang tebing.
wajahnya penuh lapisan-lapisan sedih yang maha menipu.
sama sekali tak ada waspada yang mengisi pengetahuan kita
lagi. tiba-tiba kita turut bersedih dan karena itulah mereka
bersedia jatuh ke dalam tebing, seolah mengorbankan diri

dan kita mengapung di permukaan jejak mereka yang mengepung
—di sini

kita berkesedihan, berkesedihan, berkesedihan tidak berkesudahan
terpaksa tersiksa merindukan dan mereka-reka kapan mereka
datang menipu kita sekali dan sekali lagi.

mereka butuh tubuh yang terjatuh ke dalam tebing sendiri
untuk hidup. berkali-kali. kita betah dan tabah menyadari
kesedihan hanya reda oleh kesedihan yang berulang kali.

sepanjang kala.



3. Airmata Mati

yang berjatuhan dan tak bisa kembali ke langit mereka:
airmata yang tiba-tiba mati dan tinggal dalam ingatan

berwaktu-waktu mengasuh dan mengasah diri
menunggu hingga alir airnya menggelombang
dan busa-busanya menggelembung

lalu kelak dengan mudah bisa menelan habis kita

dan kini apa yang mampu dielakkan
oleh kita kecuali kata-kata?



4. Jalan Melempang dan Melengang

tak ada lekuk liku dan yang menyimpang atau turun
dan mendaki yang bisa menyembunyikan kita
—pelangkah-pelangkah takut yang mencari suaka

jalan itu terus melebar ke mana-mana,
dan membawa kita tidak ke mana-mana
selain ke tempat berangkat—selalu ke semula

jalan itu tak menyimpan ujung dan tujuan
kita tersesat di kerataan yang maha lapang
menjadi kecil, lebih kecil dari yang lebih kecil dari debu,
di telapak tangannya

lalu kita telah menjadi yang paling panik dan renik
yang akan remuk dalam lengan-lengan lengangnya

memang kita belum mati,
hanya lebih tersiksa dari hidup
dan tersiksa mengharap tidak hidup



5. Kitab-Kitab Penyesat

memiliki warna-warni lembut dan sejuk
seperti bayang-bayang yang menghalau kemarau
dan orang terhindar dari terbunuh dahaga

kita memasuki halaman-halaman
dan mengetuk pintu-pintu mereka

bermimpi tidur di pelukan kata-kata
dan kalimat mereka—yang rupanya
muslihat

apa? dengan sakit kita mendatangi apotik
yang menjual rupa-rupa racun

o, kita sendiri yang mengetuk
untuk masuk mengambil kutuk!



6. Rimba Suara

kita dulu memang mencintai tumbuh-tumbuhan
nenek moyang kita paling petani. rahim subur
yang melahirkan kita ialah tanah-tanah gembur

namun apa yang ingin kita buat hijau kini?

lalu muncullah mereka, suara-suara itu,
yang mula-mula sembunyi di mulut kita sendiri
yang malu-malu menyebut diri kawan
tapi enggan pula menyebut diri lawan

kita tidak sedang membangun surga dengan rimba
lalu ada buah-buahan yang menyelamatkan
dan mengirimkan kita ke bumi yang kosong
dan kita mulai bisa menggarap hidup

rupanya kita menimbun diri sendiri di rimbun
suara-suara yang hutan itu—yang kuat
melampaui daya hantu tuhan-tuhan



7. Bayangan-Bayangan Kita

bukan bayangan yang hitam tanpa cahaya mata
bukan makhluk yang mati tanpa kita

mereka sekawanan yang menyerupai kita
dengan pikiran yang membolak-balik
pengetahuan kita

kita berpikir telah melahirkan mereka,
mereka berpikir kita anak-anak durhaka
yang meminta hukuman

medan perang adalah cermin
namun mereka lebih gesit bergerak
dan kita mengikutinya—kita menampar
wajah kita ketika mereka menampar wajah kita

kita menangisi diri kita
ketika mereka menertawai kita



8. Hari Pertimbangan

dia, yang menamai diri hari pertimbangan,
mengumpulkan kita dan mengundang
tebing itu, kunang-kunang itu, airmata itu,
jalan-jalan itu, kitab-kitab itu, hutan-hutan itu,
bayangan-bayangan itu

dia menyuguhi kita pertunjukan dan pesta
yang mengandung rasa penasaran

dia membiarkan kita mabuk dan bicara
memperkenalkan diri sebagai tokoh utama—
satu-satunya tokoh yang paling berdaya,
yang paling dianiaya

dia dan tamu-tamunya menertawai dan menghadiahi
kita senjata-senjata dan pilihan untuk bunuh diri
atau meninggalkan cerita ini dengan mengaku
kalah

dan kita melakukan kedua-duanya

*) Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982. Sehari-hari ia bekerja sebagai pustakawan di Kafe Baca Biblioholic di Makassar. Kumpulan puisinya adalah Hujan Rintih-rintih (2005), Aku Hendak Pindah Rumah (2008), dan Cinta yang Marah (2009).

Sajak-Sajak Dahta Gautama

http://www.lampungpost.com/
Suatu Sore dengan Perempuan Bernama Istri

Kalender berguguran dan kepastian bahwa cinta
dan air mata adalah kisah: yang senantiasa
tercatat dalam kenangan.
maka selalu kuingat, hujan sore hari
engkau dan aku berangkulan di beranda sore
kita bersemayam di kalautan kabut dan basah.
Hari ini, engkaulah perempuanku
hingga hujan reda dan malam di rajam kesunyian
gulita tanpa bintang di langit.
Kekal. kekallah impian kita
walau takdir seperti wabah
mengoyak-ngoyak tembok peradaban cinta.
Hari ini, meski sunyi mengabar duka
engkau tetap perempuanku

Taman Gunter, 3 Januari 2010



Perempuan yang Membuat Kangen

Tiba-tiba langit yang mendung bocor!
kangen ini, menjelma hujan yang meletup-letup
di atap rumah. aku serupa air selokan di pekarangan rumah.
mampet. pada siapa kederasan ini kualirkan
sebab kangen yang memerah ini, semakin tajam
semakin runcing melukai kemanusianku
serupa ujung belati menorehkan
rasa pisau di tulang-belulangku.
barangkali cinta hari ini
deras tenggelam dalam hujan, adik.
dan kangen ini, terasa tajam
menggoresi urat-uratku

Taman Gunter, 3 Januari 2010



Ketika Amarah Istri Menjelma Hujan

Sungguh, kenistaan ini
telah mengalahkan kesabaranku
pada langit mendung. ketika engkau
datang juga sore itu. membawa seikat
kembang matahari. oleh-olehmu dari dunia sunyi
yang cuma memberimu perih.
Gerimis jatuh di kota kita.
kota tua. daunan kering luruh
dari tangkainya. lalu kau nikmati
trotoar itu. ada kupu-kupu
terbang di atas kepalamu
membuatmu berteriak sambil memandang
lusuhnya langit.
Ya. sejak lama telah kau pelihara
cuaca hari ini. dan wajahmu menjelma hujan

Taman Gunter, 4 Januari 2010



Kegelisahan, Perkawinan 11 Tahun

Aku tak mengenalimu lagi
semenjak kecemasan mulai tumbuh
menjadi tanaman kegelisahan
yang mengikuti kemanapun kita pergi.
Perkawinan ini menempatkan kita
di kegelapan. aku tak tahu
sebab tiba-tiba tubuh kita dingin. di sudut kamar
ada suara yang pecah. bagai bunyi peluit kereta api
Istriku. mari kita meluncur
dalam jurang peradaban ranjang

Taman Gunter, 4 Januari 2010



Keping Cahaya di Mata Istri

(tetapi aku masih angin, sebab perkawinan tidak menjadikan aku sebagai suami)
aku mengejarnya terus ke arah barat, ketengah tanah lapang
kedunia perkawinan
aku terus mengejarnya, istriku yang terhampar di spring bad
ia kering, dihisap masa lalu dan kemiskinanku yang melarat.
Oh, istriku yang tidak paripurna!
senyummu nyembelih urat-uratku
keyakinanku padamu adalah kepercayaan seutas perjaka
yang telah binasa di malam pertama.
Apakah akan lahir anakku, dari serat-serat perutmu yang kulit itu?
aku telah mendakimu
terjun ke dalam kolammu yang kemerahan itu.
sebab airku, biasa mengalir melalui parit-parit menuju
laut lepas.
Istriku adalah layar televisi, yang mengabarkan darah
di matanya. ia menangis di malam buta dan menulis catatan harian.
dan tak henti bertanya:
kapankah engkau menjelma lelaki?
yang bisa menyulap sepotong pelangi menjadi rumah.
Ah, istriku
tak henti engkau meminta rumah
padahal aku sedang membangun perumahan
dari keping cahaya di matamu.

Taman Gunter, 8 Januari 2010

*) Lahir di Hajimena, Lampung, 24 Oktober 1974. Memublikasikan puisi sejak 1994 di berbagai media dan antologi bersama. Peneliti Agri Andalas (member Japan Foundation sejak 1994). Kini pemimpin redaksi mingguan Dinamika News.

Sajak-Sajak Mutia Sukma

http://www.pikiran-rakyat.com/
Lelaki Berambut Kusut
– daeng liwang

aku menemuimu lagi di sini
di antara lipatanlipatan hari
dan kalender yang tanggal

kita pernah saling tahu
rasanya sulit;

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae