Kompas, 22 Sep 2013
Surat Batu
Maaf, baru sekarang aku membalas surat
yang kamu kirim tujuh tahun yang lalu.
Waktu itu kamu memintaku merawat
sebuah batu besar di halaman rumahmu
sebelum nanti kamu pahat jadi patung,
Patung itu kamu ambil dari sungai di tengah hutan.
Aku suka duduk membaca dan melamun
di atas batumu dan bisa merasakan denyutnya.
Kadang mimpiku tertinggal di atas batumu
dan mungkin terserap ke dalam rahimnya.
Hujan sangat mencintai batumu dan cinta hujan
lebih besar dari cintamu. Aku senang
melihat batumu megap-megap dicumbu hujanku.
Akhirnya batumu hamil. Dari rahim batumu
lahir air mancur kecil yang menggemaskan.
Air mancur itu sekarang sudah besar,
sudah bisa berbincang-bincang dengan hujan.
Maaf, jangan ganggu air mancurku.
Bahkan batumu mungkin sudah tak mengenalmu.
(2013)
Surat Kau
Kau tak ada di kakiku
ketika aku membutuhkan langkahmu
untuk merambah rantauku.
Kau tak ada di tanganku
ketika aku membutuhkan jarimu
untuk mengubah gundahku.
Kau tak ada di sarungku
ketika aku membutuhkan jingkrungmu
untuk meringkus dinginku.
Kau tak ada di bibirku
ketika aku membutuhkan aminmu
untuk meringkas inginku.
Kau tak ada di mataku
ketika aku membutuhkan pejammu
untuk merengkuh tidurku.
mungkin kau sudah menjadi aku
sehingga tak perlu lagi aku menanyakanmu.
(2013)
Surat Kopi
Lima menit menjelang minum kopi,
aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih,
setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”
Mungkin karena itu empat cangkir kopi sehari
bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri.
Kau punya bermacam-maca kopi
dan kau pernah bertanya: “Kau mau pilih
kopi yang mana?” Aku menjawab: “Aku pilih kopimu.”
Di mataku telah lahir mata kopi.
Di waktu kecil aku pernah diberi Ibu cium rasa kopi.
Apakah puting susu juga mengandung kopi?
Kopi: nama yang tertera pada sebuah nama. Namaku.
Burung menumpahkan kicaunya ke dalam kopi.
Matahari mencurahkan matanya ke hitam kopi.
Dan kopi meruapkan harum darah dari lambungmu.
Tiga teguk yang akan datang aku bakal
mencecap hangat darahmu di bibir cangkir kopiku.
(2013)
Surat Senyap
Waktumu sebentar lagi habis, hujan.
Malam akan menganga dan kau menjadi gema.
Mula-mula kau berjalan rintik-rintik,
bolak-balik antara kepala dan ujung kaki.
Ketika demam berhembus, kau meluncur deras
diiringi tiga tembakan petir. Hatiku banjir.
Kau membuat kolam di lambungku dan aku
terdiam mendengar kecipak air di kolamku
Kini kau merintik kembali dirintikmu
sebentar lagi sirna. Tinggal gigil penjual sate
yang tiba-tiba berhenti di leherku, mendengar “T”
yang Tuhan serukan di ujung lidahku.
Malam mulai menganga dan kau menjadi gema.
(2013
Surat Libur
Apa kabar liburan sekolahmu?
Semoga kamu bertambah gemuk dan lucu
dan dikagumi kucing kesayanganmu.
Aku juga sedang libur. Aku baru saja
naik kelas. Aku mendapat hadiah
dari Ayah dan Ibu karena aku
rajin belajar. Belajar melamun
dan menuliskan hal-hal yang tak mudah.
Ibu memberiku sebuah jendela
untuk mengganti jendelaku yang sudah
usang dan bolong-bolong kacanya.
Dari jendela baruku aku bisa melihat
seekor kucing sedang duduk manis di bulan
sambil matanya menantang mataku.
Ayah hanya bisa memberiku sehelai sarung:
sarung cap kucing. Sarungku lebih panjang
dari tubuhku, lebih hangat dari mimpiku.
Aku mau memakainya untuk membungkus
tidurku yang simpel dan murah.
Aku masih menghitung kotak-kotaknya.
Sabar ya. Nanti kuberitahu berapa jumlahya.
(2013)
Surat Pulang
Tenanglah. Aku tak pernah mengharap
oleh-oleh dari orang yang hidupnya susah.
Kamu bisa pulang dengan rindu
yang masih utuh saja sudah merupakan berkah.
Pulang ya pulang saja. Tak usah repot-repot
membawa buah tangan yang hanya akan
membuat tanganku gemetar dan mataku basah.
Aku tahu, kepalamu kian berat
dan hidupmu bertambah penat. Mau selonjor
dan ongkang-ongkang saja kamu tak sempat.
Pernah aku jauh-jauh pergi untuk menemuimu
dan tak bisa menemukanmu.
Di manakah kamu? Ke manakah kamu?
Ealah, ternyata kau sedang beribadah di akunmu.
Pulanglah dengan girang jika pulang
adalah menulis ulang sajak yang rumpang.
Jika kau punya banyak kucing tapi tak punya
ngeong kucing, aku punya malam-malam
bertaburkan ngeong kucing.
Pulanglah dengan lugu. Masih ada pintu untukmu,
bahkan jika kau pulang telanjang malam-malam
saat aku sedang bertukar meong dengan kucingku.
(2013)
Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962;
tinggal di daerah Istimewa Yogyakarta. Buku kumpulan puisi
terbarunya adalah Tahilalat (2012) dan Baju Bulan (2013). https://puisikompas.wordpress.com/tag/joko-pinurbo/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar