Kompas,
23 Maret, 2014
Telur Asin
Aku
memakan telur asin. Dengan kuning yang berminyak.
Dan
aku teringat padamu. Yang pernah berseloroh: “Kau
tahu,
waktu lahir, aku menetas dari telur asin. Telur asin
yang
kebiru-biruan. Agak lonjong. Dan bercangkang kuat.”
Dan
ketika telur asin telah habis, aku juga teringat, kau
memang
lentur. Dan bagi yang ingin menelisiknya, mesti
diterawangkan
ke sinar lampu. Agar terlihat gurat tipis atau
tebalnya
urat. Lain itu, pada setiap desirmu, aku mendengar debur
lautan
yang riang. Debur lautan yang tak pernah lelah
mengusung
bakal garam. Sambil merentangkan apa saja
yang
ada. Lalu berkebatan di ujung-ujung ombak:
“Tangkaplah
aku, tangkaplah juga asin yang abadi yang melekat
di
langit-langit mulutku!” Dan waktu itu, betapa aku (juga
mereka
yang sempat melihatmu) menduga, jika kami berani
memasuki
mulutmu, pasti keluarnya akan terurai dalam
butiran
garam yang mutih. Butiran garam yang kelak
tersaput
di setiap kerahasiaan rasa telur asin yang
terhidang.
Seperti tersaputnya kabut dalam asap.
(Gresik,
2014)
Nyala
Di
laptop ada yang selalu memanggil nama kita. Dan suara
panggilannya
seperti denah rabun. Kadang lurus. Kadang
tebal.
Dan kadang tak jelas. Apakah itu garis untuk rel
kereta,
arah sungai atau halte bis. Dan di laptop,
sepertinya
ada wajah yang nongol. Wajah yang penuh
warna.
Dengan rambut kelimis tipis. Terus menyela: Apa
kalian
mau menjawab balik atau tidak. Dan menambah:
Sehat
juga kan? Memang, ada sebatang lorong. Dan
Wajah
yang penuh warna itu berlagak di tengahnya.
Sesekali
kukuh berkacak pinggang. Dan sesekali yang lain
pun
berlarian ke sana ke mari. Tak lelah menaburkan
noktah
pelangi di layar monitor. Agar yang pintar menata
pun
dapat menatanya untuk jadi siapa saja. Juga apa saja
yang
senantiasa mengawasi tanpa henti. Tanpa kedip. Dan
di
laptop, memang ada yang selalu memanggil nama kita.
Dan
kita pun jadi terpana, ketika pusat listrik dimatikan.
Tapi
layar monitor tetap saja menyala. Dan sebentang
lorong
yang ada tadi pun tiba-tiba menyeruak. Gesit, lincah
dan
tangkas. Seperti ketangkasan sang tafsir atas
bergulirnya
telur-telur unduh yang tak pernah terduga
begitu
adanya. Bagaimana ini semua nanti direhatkan?
(Gresik,
2014)
Sedak
Penonton
gelap. Latar gelap. Lantai panggung mengkilat.
Dan
si penari berbaju tipis tersenyum. Mengibaskan
selendangnya
yang juga tipis. Dan bibirnya? Bibirnya yang
menyala
itu menembangkan sesuatu. Sesuatu bagi si
pengembara.
Si pengembara yang baru saja pulang.
Si pengembara yang mengusung karung yang penuh
dengan
buah tangan. Bagi siapa saja yang dulu ditinggal di
lubang
sumur. “Tapi. Ibu.” kata si pengembara, “mengapa
semua
yang ada kini tinggal bekas?” Dan si ibu (yang tak
lepas
dari geser sandal itu) cuma terdiam.
Tapi
terus mengelus kening si pengembara. Elusan yang
entah
kenapa dan untuk apa. Lalu sepasang laron dan tiga
codot
terbang. Sedang, lima kambing di kandang seperti
bantal
keriting yang bergerak. Tak ditengok. Hanya bibir
si
penari menembangkan sesuatu yang kembali terdengar.
Dan
kembali pula penonton gelap. Latar gelap. Dan si
waktu,
ya, si waktu, tiba-tiba mengurai wujudnya sendiri.
Untuk
kemudian menyusunnya balik. Dalam bentuk ember
yang
penuh kelenjar ungu. Yang sebelum panggung ditutup,
setiap
penonton mencelupkan kakinya ke ember itu.
“Ibu,
Ibu, aku melihat, ada jejak-jejak ungu yang tiba-tiba
bertebaran,”
potong si pengembara dengan sedikit tersedak.
(Gresik,
2014)
Tutul
Dulu,
setelah dibersihkan, bumi tampak elok. Air pun
mengalir.
Gunung berjejak. Angin bertiup pelan. Dan
yang
jalan, terbang dan berenang dibiarkan bertempat.
Dulu,
setelah hari berganti, ada juga yang membuang
warna.
Semula cuma tutul kecil. Lalu membesar. Dan
berpusaran.
Mengingatkan pusaran kaki badai dan topan.
Dulu,
setelah pusaran kaki badai dan topan reda, bumi
elok
jadi kelabu. Malam jadi agak berat. Relung terbuka.
Dan
gua dan terowongan jadi memanjang dan telanjang.
Dulu,
yang berdiri tegak, pun segera belajar menunjuk.
Menggaris.
Memetak. Lalu menjinakkan si mamalia
untuk
dihela dan ditunggangi. Juga dinikmati susunya.
Dulu,
dan dulu, dan dulu, mulailah perembutan itu. Dan
bumi
elok pun disergap gerhana, gempa, bandang. Juga
bergantinya
yang awal menitah dan yang dititahkan.
Atau
yang mesti terusir dan mengusir. Atau yang tidak lalai
mengetuki
pintu-rumah-depan sebagai pengingat. Tapi,
sayangnya,
kami selalu acuh tak acuh, seperti hasrat kisut.
Yang
pelan-pelan mengerut. Dan perputaran di punggung
kura-kura
tua yang oleng.
(Gresik,
2014)
Weton
:
cerita mirammastra
Jika
esok malam laut pasang datang, tolong pandanglah
dengan
jelas. Sebab, pada laut pasang, aku akan
menyerahkan
umurku. Umur yang telah terpakai. Umur
yang
berkibar. Seperti kibaran bendera yang tertancap di
karang.
Karang keling yang disorot cahaya. Cahaya kuning
keemasan.
Dan
jangan terkejut, jika di saat yang tak terduga, akan ada
si
buaya putih yang menyembul dari laut pasang. Si buaya
putih
yang punya kelebat aneka warna. Si buaya putih yang
bahagia
ketika memasuki meja pengorbanan. Meja sesaji.
Meja
yang penuh dengan bunga, beras, buah dan bumbu.
Seperti
kebahagiaan si wanita ketika menyerahkan
miliknya
pada si lelaki impian. Meski (setelah itu), arah-
arah
ombak tetap saja terambing dan terguncang. Dan para
pelayar,
para pelayar yang hebat sekali pun, hanya bisa
melayari
sambil menjambaki rambut sendiri.
Padahal,
si empu batas-muasal-lautan selalu demikian
dekat.
Seperti dekatnya urat pada leher. Urat yang selama
isi
perairan dan perabotannya dijaga, tak lelah meniupkan
denyut.
Lalu, seperti penanti yang melabaikan sapu
tangannya
di pantai, tolong lambaikan juga sapu tanganmu.
Biar
nanti setelah aku serahkan umurku pada laut pasang,
selalu
ada ingatan: “Jika apa yang ada, tidaklah pernah
cuma-cuma.
Meski itu, untuk sebuah penyerahan.”
(Gresik, 2014)
Gandum
Dia
adalah keturunan kedua-belas dari si penjaga kitab.
Kitab
yang mengajari siapa saja agar mempercayai yang
gaib.
Juga meluruskan arah kiblat agar sampai pada hasrat.
Dan
dia juga yang menyambung bisik. Tentang sepiring
gandum
bagi si buta yang galak. Yang tak bosan mencaci
maki
si hati dunia. (Padahal, si hati dunia telah menyamar
jadi
si lain. dan menyuapinya setiap pagi dengan penuh
adab).
Sepiring gandung yang akan ditukar air mata. Ketika
si
hati dunia wafat. Dan ketika si buta galak tahu, jika si
lain,
yang telah menyuapinya setiap pagi itu, tak lain adalah
si
hati dunia sendiri.
Dan
aku bertemu dia pada sebuah siang. Di sebuah pantai
tradisional.
Dan dari jenggotnya yang lembut, aku merasa,
dia
juga yang dulu membuat perahu yang teberkahi. Lalu
mewarnainya
dengan hijau, biru dan kuning. Dan
membiarkan
buritan agak lapang. Tempat sujud bagi kening
setelah
dihantam ombak. Akh, betapa rahasianya jika
sudah
di tengah keluasan? “Apakah kau juga suka berburu
ikan?”
itu tanyanya padaku. Dan aku mengernyit. Mengapa
kok
berburu? Mengapa tidak menjaring atau memancing?
Entahlah.
Tapi, aku tetap mengangguk.
Lalu,
dia tersenyum. Dari senyumnya, aku melihat seekor
ikan
raksasa melompat. Perutnya yang lebar terlihat
tembus-pandang.
Dan terlihat apa-apa yang ada di
dalamnya.
“Berburulah. Dan cari tahu apa yang ada di
dalam
perut ikan itu,” tambahnya. Terus lenyap.
Meninggalkan
aku yang sendiri. Aku yang tercekat. Dan
aku
yang langsung menebak: Apa sebenarnya yang ada di
dalam
perut ikan itu? Makhluk hidup ataukan sekerumunan
renik?
Atau cuma semacam sisa makanan yang tak terurai?
Atau
malah sebaris doa ampuh, yang dulu pernah
Dilantunkan
oleh pelari?
Hmm,
ini tentunya tebakan yang tak biasa. Dan barangkali,
si
buta yang galak yang dapat menjawabnya. Si buta yang
kini
kerap aku temui di sudut kampung. Dengan air mata
terurai.
Dan dengan kepiluan seperti ini:
“Wahai,
si hati dunia, kapan lagi kau datang padaku dengan
sepiring
gandum?”
(Gresik, 2014)
Mardi
Luhung tinggal diGresik, Jawa Timur. Buku Puisinya, Buwun (2010). Mendapat
Khatulistiawa Literaty Award 2010. https://puisikompas.wordpress.com/2014/03/29/puisi-mardi-luhung-5/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar