(Den Sastro meninggal juga, akhirnya. Di sebuah laci di lemari kamar tidurnya ditemukan berkas-berkas kertas yang bertulisan tangan, sejumlah sajak yang semuanya tanpa judul. Mungkin-kata mereka-sajak-sajak itu ada kaitannya dengan seorang perempuan yang bernama Rahayu, tokoh rekaan yang ada dalam benak lelaki tua itu.)
Sajak Tujuh
Cinta itu sebilah pisau
yang baru selesai diasah,
sekaligus sebutir limau
yang di atas pinggan terbelah.
Sajak Delapan
"Apa yang memantul di permukaan air itu?" tanyamu, pelahan.
Sisa siang, sisa genangan sehabis hujan,
sisa langit di antara daunan basah dan selembar awan -
sisa percakapan yang melelahkan tentang harapan.
Kau menghindar dari genangan itu, memegang erat-erat
tanganku, "Ada yang memantul di air kotor itu," katamu;
waktu itu sisa matahari sudah susut ke arah barat,
menawarkan warna kemerahan, "Cahaya itu," kataku.
Di perempatan kau menunjuk ke papan reklame itu,
aku tak begitu paham apa maksudmu,
tak tahu hubungan antara genangan air, cahaya matahari,
dan gambar anak-anak muda yang warna-warni.
Sajak Sembilan
"Setiap kau menatapku, aku seperti bercermin padamu,"
katamu. Cuaca serasa sesiut angin
menghindar dari knalpot sepeda motor itu.
Aku pun membayangkan pundak gunung yang dingin.
Serasa pernah kudengar ucapanmu itu di suatu waktu
ketika tak ada suara motor, ketika saat berhenti di depan cermin,
berkata, "Setiap aku menatapmu, kau seperti bercermin padaku."
Di antara yang di balik dan di depan cermin: udara dingin.
Sajak Sepuluh
Sore tak pernah bicara tentang siang, yang melekat
di aspal dan dinding pencakar langit. Tak pernah peduli
tentang udara yang memuai, membuat dada kita berat.
Ia bicara tentang langit yang bercermin embun pagi
yang menggantung di ujung daun, yang tak kekal,
yang raib waktu siang. Sore tak memasalahkan siang,
tak pernah dikatakannya, "Selamat siang," padamu; ia hanya
Kenal ucapan "Selamat pagi." Lalu tenggelam.
Sajak Sebelas
Begitu banyak orang. Dalam gedung bioskop kehidupan Ditawarkan.
Begitu panjang antrian, begitu panjang jarak dan jangkauan
antara sosok dan bayang-bayang. "Apa pula gerangan
yang diharapkan dari poster tentang yang serba menyilaukan?"
Aku tak ingin memberikan jawaban. Aku tak ingin
membayangkan segala yang kaubayangkan tentangku,
tak ingin kau berdiri dalam deretan panjang yang mungkin
hanya berujung pada gambar haru-biru dalam gedung itu.
Sajak Duabelas
Langit tak pernah curiga. Ia hanya melengkung di atas kita,
di tengahnya matahari-seperti bola mata.
Langit tidak pernah mengawasi langkah kaki kita,
tak pernah risau apakah kita ke selatan atau utara.
Langit suka berkaca pada bola matamu, yang tak letih
Menatapku, yang tak pernah berkejap seolah kawatir ia akan
Meninggalkanmu; di tengah kota yang selalu gelisah membincangkan cuaca
langit tak pernah mendengar keluhmu, "Kenapa ia di sana?"
Sajak Tigabelas
"Aku Angreni, Raden." Lampu yang redup di kamar ini
takkan percaya bahwa aku Panji. Juga ac yang memutih
dinginnya, juga gambar sawah yang miring ke kiri.
Kau pun mungkin tak akan pernah merintih,
"Kaulah Panjiku, Raden." Tak ada Sekartaji di ruang ini;
putri itu menyaksikanmu jadi abu bersamaku. Ia kenal aku
Panji, seperti jarum jam yang tak beringsut di dinding itu.
"Aku Sekartaji, Raden," kudengar suaramu lagi. Udara bagai Abu.
Sajak Empatbelas
Rasanya aku pernah mengenal jala laba-laba itu. Tidak
di hutan. Semakin rapat di antara penangkal petir pencakar
Langit dan menara mesjid. "Tapi benang-benangnya tak tampak,"
katamu ketika kita berusaha lolos darinya. Seperti sebuah jerit.
Sajak Limabelas
Kota ini sebuah gua: tiang telepon, antene, dan parabola-
selebihnya senyap. Yang dikenal sejak cinta kita
menjadi purba. "Kota ini sebuah gua?"
tanyamu memulai keheningan yang tanpa cakap, tanpa sia-sia.
Sajak Enambelas
"Kau lihat aku menyeberang?" tanyamu
ketika di tepi jalan ini kubisikkan suara musim padamu.
Kuhapus sisa titik hujan dari pelupuk matamu,
yang hampir tergelincir-sementara kaurapikan topiku.
Hujan akan segera turun lagi tampaknya. "Kenapa kau
tampak bergegas?" Tapi, siapa pula yang bergegas
kalau tahu bahwa bahkan dalam hujan tak ada risau
dan di bulu matamu sisa rintiknya akan lagi membekas?
Sajak Tujuhbelas
Rambutmu berkibaran di arus angin penghujan,
beberapa percik air tempias di pipimu. Demi Tuhan,
bukan karena itu aku mencintaimu, bukan
karena bajumu yang kusut-tak kaurapikan.
Sajak Delapanbelas
"Setanganku basah," katamu. Tapi tak kulihat kau mengusap matamu.
Suara peluit kereta dari kejauhan, tapi tak bisa kubayangkan
suatu perpisahan. "Kita tak berumah," kataku, seperti meyakinkanmu.
"Kaudengar suara geretak rel itu?" Kusiasati kiri-kanan.
Rasanya pernah kukenal lambang-lambang itu: rel, peluit.
Kereta-tapi tak tahu apa pernah kaupedulikan maknanya;
rasanya pernah kudengar suara-suara itu. "Matamu basah!"
Seperti ada hubungan antara semuanya itu, dan rumah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar