http://mashurii.blogspot.com
Mimesis
kupindah bayang-bayang
ke laut
tapi langit mencabutnya
katanya : “biarkan cermin itu di mataku”
tapi hujan terus bercucuran
di atap
gelisahku
Surabaya, 2005
Daya Hening
terumbu
---aku terkesima oleh kesabaran yang mencelat
ke runtuhmu; serupa kiblat berkhianat dari derap
batu-batu
sesat; saat riuh berulir menciummu; sorban
kugantung di kengaaan; dian tak lagi
bermimpi; ada kelambu, di sebalik arus risau
laut dikeringkan dahaga ikan ---pancaran malam
mencumbu kafan
hening
terbiar
Surabaya, 2005
Sungsang
lahirku sungsang ---serupa beringin
kapak menghujan dalam angin, dan tak ada
rintik; kecuali serbuk besi –merah
dahagakan darah
menisbat pada nubuat dan denah; tapi mata
diparam sambal
ketika rambutku tercerabut dan menghunjam
tanah
barzanzi ---masihkah sunyi
lebur dingin di kuali; meski nyala melata
dari jati
dalam wujud api
dan tak ada telapak di sepanjang jejak
selain suara-suara
sengak; retak diri, akar yang melayang
di udara
dan kebisuan
pada tanah, aku berjanji ---serupa ular
meliang di gelap dampar
sambil mengungkit langit ---di sungai
sangsai
pada bayang, sendiri
menyepuh dunia; di mimpi tercela
setubuh sia-sia
Surabaya, 2005
Puisi Ngelindur
Surga yang Tak Lagi Bersungai Susu
kita mungkin mati kedua kali, bahkan lebih
seperti lazarus, seperti tokoh kita yang terbaring sepi
di ujung gang di ampel denta, atau seperti kisah-kisah
yang tercatat di beranda: ketika pencabut nyawa
harus kembali untuk menitipkan api, sambil bersabda
: bangkitlah kembali, jiwa yang penuh mimpi!
tapi kebangkitan kita terlalu rapuh dirumuskan
cawat-cawat kita telah beterbangan bak kupu-kupu
lalu kita hanya punya ulat yang terpintal di balik kelambu
kita telah dihardik demikian hina oleh waktu
dan kita tak bisa meragu untuk menunggu
kita hanya bisa berhitung lewat belatung yang menghisap
jasad kita ke inti tanah, kita hanya bisa meraba gelap
lewat cahaya yang terpancar dari luka
kita hanya bisa menerima, tanpa bisa memberi apa-apa
sebab segala rumah telah menjadi dunia istirah
segala jalan telah menjadi nyanyian
dan burung-burung begitu cabul membuhul sahwat
sampai kita tak lagi ingat, benarkah kita pernah tersesat
atau kita telah menatap kiblat dengan nikmat
segalanya membujur seperti kubur masa lalu, seperti batu
diam dan tenggelam di kalbu, seperti mata kita yang berlubang
dan terus berlubang meski arah telah berubah
dunia pun tumbuh lebihi peta…
kita mungkin mati dua kali, bahkan lebih
lalu mencuri kabar yang terpatri di dinding rintih: muasal neraka
juga sorga yang tercuri lewat gapura
untuk memberi satu penyangkalan: bahwa pohon masih mengenal
musimnya, bahwa sungai-sungai juga mengering
dan tak ada sungai bermata air susu, kecuali pada ibu
yang tak henti berlagu dendangkan tembang-tembang purba
tentang awal cinta, tentang derita
yang dikumparkan demikian indah
di mata, juga tentang sebuah sapuan basah bibir
tuk alirkan takdir yang tiada habisnya…
meski lewat air mata, lewat sedih dan duka yang abadi
kita mungkin mati dua kali, bahkan lebih
untuk memberi arti pada impian, juga kesunyian
yang tercuri dari batas waktu: tapal kematian
Surabaya, 2007
Khidr 1
: perburuan
Seperti musa, aku pun tertumbuk hal ihwal indera: kulit yang masih sakit ketika dicambuk, mata yang perih ketika disiram lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam ketika ada sinyal yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku masih saja berlari dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu dirimu, menjadi tamu dalam tabir yang selalu mengundang para fakir untuk mengalir, di ruang tamumu, Khidr…
Dengan bekal peta yang terwarta dari ayat-ayat tua, aku memburumu di ruang-simpang sekaligus temu; ruang antara kali dan laut, antara api dan maut; tapi awamku selalu batu; batu yang tak bisa diam saat ritus rajam melabuh: aku pun bergemuruh.
Kita bertemu…
Tapi isyarat yang kau humbalangkan ke indera, kembali aku maknai sebagai manusia; aku pun terjungkal dan terus saja melipat angan dan akal; perburuanku padamu hanyalah sekat yang membuat kita tak pernah bersua di satu meja, dalam sebuah perjamuan yang kau janjikan di ujung altar: “Kau pasti tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”
Seperti musa, aku pun tersia di ujung rahasia; aku terbakar!
Surabaya, 2007
Khidr 2
: amputasi kepala
Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata, lalu memenggal kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi kepercayaanku pada dunia masih juga penuh, kesangsianku pada jalan-jalan kesunyian pun semakin menubuh; lalu apa yang bisa aku pasu dari diri yang palsu, apa yang bisa aku timba dari usia yang tersia dalam waktu
Aku ingat kalijaga, orang tua itu, ketika ia menunggu di tepi alir berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan hidup dan diri di jalan sunyi tanpa riak dan geletar, sedangkan aku masih saja berkisar antara liang penuh onak dan pusar; haruskah aku menyapih diri lalu menyulut kemenyan, wangi, sebagai sesaji dari hati yang tertambat di alir yang kau naungi
Dari penggalan kepalaku, aku masih juga sempat mendengar bibirku bernyanyi, bahkan pinggulku memutar memintak ombak dan gelombang; lalu apa yang bisa aku harapkan dari diri yang tak pernah sampai di lubuk sepi, yang tak pernah bisa mengecup inti api yang telah kau semai di jejak-jejakku, yang selalu gusar dalam sunyi…
Surabaya, 2007
Patigeni
pada hari ketiga pengasinganku dari cahya, dinding-dinding kamar begitu cepat melebar dan menyempit; aku seperti roti panggang yang dibolak-balik: diperlonggar dan dihimpit; kulitku seakan dilepas dari urat-dagingku, nyali dan hatiku berantakan, tersekat di ruang-ruang di luar diriku
uap arak tua menyeruak paru-paru, kerongkonganku dicekik tangan-tangan raksasa; aku merasa mataku berloncatan ke lantai, ke dinding, ranjang, juga atap-atap, juga ke sebalik bulu dan rambut yang tumbuh dengan lebat; aku mencuri pandang di kegelapan ---aku saksikan dadaku bergetar, tanganku melambai dalam kulai, bibirku mencipta tebing yang tersungging dari senyum tak pasti, karena aku pun tak bisa memilah: “sungguhkan aku berduka atau bersuka… ,“ kerna maut telah jelma pisau terbang mencari mangsa; maut yang membuatku karib sekaligus takut, maut yang entah di mana hulu dan muaranya yang kelepaknya bak sayap-sayap kelelawar menggetarkan malam
aku saksikan berpuluh kanak-kanak dirantai, lalu dibantai; kepalanya menggelinding memenuhi ruang heningku; aku melihat berjuta pria dikebiri; jeritnya membuat kaktus, hatiku hangus; aku melihat beratus wanita ditusuk bawuknya; getar tertahannya menderakan bilur biru di dada; aku juga menyaksikan berjuta-juta manusia berkulit lebam di panggang di bawah terik, tapi terus dihardik sebagai budak…
aku saksikan begitu banyak terngkorak berjejalan di goa bawah tanah, aku saksikan… telingaku pun mendengar suara pekik, seperti gemuruh, seperti aum, seperti suara cicak, seperti suara angin, seperti suara gobang yang ditebaskan ke leher, aku mendengar seperti suaraku sendiri yang tiba-tiba lantang, berteriak: ‘cukup!”
setelah itu, mataku terbuka; tak ada damar di kamar; senja sepertinya begitu lekas berguling ke malam
begitu aku ke luar kamar, aku saksikan bintang-bintang bersinar; ternyata malam masih gelap, ternyata dunia demikian senyap
Surabaya, 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar