Rabu, 25 Agustus 2021

Sajak-Sajak Wahyu Prasetya

Harapan Rumah Petak Rojali
 
tak ada apa apa di sini. televisi, koran,
dan sarapan pagi maupun gelas kopi.
di depan meja kayu, kami biasa menguraikan
masa lalu dan masa depan di atas
telapak tangan masing masing.
pagi hingga petang udara tak pernah
berganti, selain dengus itu saja.
 
tak ada pintu dengan nasi dan krupuk
hanya jari jari tangan mengetuk ngetuk
hari demi hari yang berlompatan itu.
bagai mengajak siang hari untuk memeras
pikirannya menjadi kepulan debu.
dan di sini pula kota besar, kota kecil
tumpah antara cinta dan benci.
 
hanya guratan guratan huruf di benak,
mengantar nasib keluar pintu.
mengatakan pada diri sendiri, hari ini
iklan untuk hidup lebih manusiawi,
makan 3 kali sehari dan gizi dan kerja
buat ongkos bermimpi mencaci makimu!
 
tak ada siapa siapa selain gerit jendela.
menciptakan musik dari kehampaan,
melukiskan kekasih dan mata pisau,
kami membayangkan manusia yang terbelah
seperti dinding dan atap seng ini,
betapa rapuhnya di hadapan buldozer,
di depan ketakberdayaan yang menakjubkan.
 
Tambak, 1992-1993
 
 
 
Wish You were Here *
bagi: umbu landu paranggi
 
di mana mana tangan itu menggali jurang untuk kekosongan
dengan lengan yang terkikis waktu, menyerahkan hujan pada
laut, hingga badai memutihkan ubun ubun sendiri
begitu tak ada yang harus diperihkan, ketika manusia runtuh
masih saja menyelinap, dari bayang herbert marcuse, ronggo warsito
atau sidharta gautama,
kemudian berombak ke arah angin yang meniupkan usia itu
 
kau yang kenyang mendengar kelopak mawar jatuh, menahan tangis
seperti ombak atau rimba dalam dirimu
apa kau juga menghapal pidato dari televisi dan sandiwara
kekuasaan jaman ini
mungkin kau tak perlu belati yang terhunus di balik dadamu
hanya rindu kepada semesta untuk mengembalikan pada nol
 
kalau nanti maut menyergap, antara kebiruan langit dan
kelelawar, aku kira sudah saatnya peradaban aids ini
membuat dunia mengangkang dan sekarat
sebait lagi, kau baca rembulan yang turun ke laut,
gedeburnya kau kemanakan?
selain pada hening. kebisuan jari jari tangan yang melambai
di situ barangkali kita berhadapan,
mengelus keranda.
 
Malang, 1993-1994
*judul lagu Pink Floyd.
 
 
 
Sesudah Gelas Pecah
 
sebelum kau selesaikan lagu terakhir telinga itu terlepas
asap rokok yang membakar seorang teman dari kertas
berhadapan dengan meja yang menyediakan nafas,
juga janji memabukan, supaya tak mengubah diri siapa
siapa
selain musik yang berjatuhan menimpa kedua sepatumu
dan melemparkan kepingan jari jari tangan ke arah jendela
memecahkan genggaman kita di sana
 
habiskanlah malam hari yang mengisi botol atau udara
jam berapa sekarang? “aku sudah melukai bayangan ini”
kemudian seorang teman dari pecahan kaca, gelas, cermin,
bahkan ia berasal dari angin yang kau tiup lewat keluhan
sampai kini aku tak ingin menceritakan kepada orang lain
sejak cucuran urat nadi itu mengalirkanku sebagai kran
dan menceburkan benih gerimis airmata manusia biasa
sebelum kau selesaikan lagu terakhir leher itu terkulai
ada yang ingin menemukannya
ada yang mencarinya. ada di manakah?
 
Malang, 1994
 
 
 
More Fool Me *
buat: beni setia
 
menemukan ketenangan jalan dalam wajah debu
masihkah kecermatan bayang bayang itu menangkap keberanian
atau kemuliaan dari cinta yang gusar oleh ajakan peradaban
daya hidupku selalu tak serupa dengan kelembutan di dadamu
karena kita harus memilih jalan menuju pintu, jendela rumah
atau hanya mencengkram abjad untuk dilemparkan ke angin
aku dan kau mungkin bersalah untuk rasa mengalah ini
dengan kearifan yang menuntun kegelapan di sini
padahal, lihatlah, kukepal pedih luka dengan kasar
kurebut dari ratapan anak anak yang kujumpai dalam hatiku
 
lalu apa lagi yang akan kita usung dari hidup ini?
dunia di luar mimpi adalah cercaan, siksaan, hinaan yang diciptakan
peperangan, teror atau kemerdekaan
siapapun bisa membaca dan tak perduli apakah manusia sekarang
sekarat dalam diri sendiri,
apakah manusia sekarang lebih teliti dalam menentukan impian
hasrat jaman berlarian.
mengejar perih yang pernah kita lagukan kemarin
ketika kerikil kita lepas dari genggaman
di kolam manapun, riaknya menjelma nyanyian.
 
Malang, 1994
*judul lagu Genesis
 
 
 
Urbanisasi dari Meja Makan
bagi: goenawan muhamad
 
anak anakku menggelar peta dunia di wajahku
mencari syair samudra dan reruntuhan perang
juga menebak dongeng sebuah porselin yang fana,
ketika mereka jumpai alamat rumahnya sendiri,
dengan mengepal pisau lipat di sela tawanya
entah, aku harus berkata apa,
musik mozart, chopin atau keroncong kini jadi irama aneh
 
mereka mencari dalam diriku, siapa yang menelan impiannya
karena di sekolah, mereka belajar menghafal dan mengeja puisi
ketika rumah menjadi tumpah ke arah yang tak menentu
aku menahannya dengan lengan, jari jari dan lutut,
tapi jaman membentak dari spiker yang mereka keraskan
agar melahirkan gempuran dan mencopot telinga bersama
 
aku kini sudah terbiasa. bersembunyi di buku, koran atau
bisikan tengah malam. setiap gelap menghampiriku
dengan mereka, kulihat juga asyik menjalin bayang bayang
tentang gaya hidup amerika atau manapun
begitu aku memulai menulis sebaris kalimat
tentang makan pagi, malam, siang juga dalam tidur
sesaat ingin kutaruh batu di meja ini, di kepala mereka,
juga di dada dan tenggorokannya
dan memecah porselin yang menyimpan dongengan dunia modern.
 
1995
 
 
 
Kemerdekaan dalam Diary Anni Fitria
 
kesenyapan yang menjauh dari keriuhan kota serta mikrophon,
menjauh dari berita dan gerutu,
Allahuakbar,
huruf tak pernah sampai, tarji tak juga sampai,
chairil anwar yang menjabat bung karno, menjabat arti luka parah
dan kini, aku menelan ectasy, menelan diskotik, menelan obrolan serta
para demonstran yang entah sedang mencupakan bahasa apa
 
Allahuakbar.
rendra tak sampai, taufiq ismail tak juga sampai, juga kalian hai!
selain di spiker dengan tangan yang terkepal lemas dan mulut berbusa
katakan pada kalimat dari huruf hurufku ini, apa arti kemerdekaan kini?
 
sujudku tak sampai, alifku tak sampai, dzikirku pun tak sampai
lalu kutatap sorot matamu yang berteriak dengan pandangan seorang serdadu
merdeka atau mati, sejarah telah mencatat nama nama nama nama nama?
 
seorang jagoan, ia sebut namanya wahyu, tak punya lidah dan bibir yang
akan menciumku lewat kata kata dan huruf kesunyian ini
tapi aku melihat ia di sela kerumunan angin malam, seperti sedang mengeja
kebahagiaan tikus, dan bahasa yang ia lempar dalam setiap subuhku,
anni,
yang merdeka ternyata desir daunan dan cinta Tuhan yang merampasku
dari pelukan sebuah laras bedil atau bayonet. hanya itu anni.
 
Malang, 11-5-1995
 
Dipetik dengan hampir sesuai aslinya dari buku “Sesudah Gelas Pecah; 20 Puisi Pilihan Wahyu Prasetya” (diterbitkan untuk; Forum Sastra Bandung, oleh PT. Rekamedia Multiprakarsa Bandung, 1996)
 
Tentang Penyair:

Lahir 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur dengan nama Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto. Dalam kepenyairannya ia dikenal sebagai penyair “keras kepala sekaligus berhati dingin”. Mulai menulis sejak 1979 dengan menyebarkan karya-karyanya di berbagai media massa terbitan ibu kota maupun daerah. Termasuk Majalah sastra Horison (Jakarta). Bahana (Brunei), dan Dewan Bahasa (Kuala Lumpur). Pada tahun 1982 berkelana ke berbagai Negara ASEAN, dan pada tahun 1983-1985 sempat bermukim di Berlin, Jerman Barat. Sebagai penyair, Wahyu termasuk salah satu penyair yang sangat diperhitungkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam forum Puisi Indonesia 1987 yang diselenggarakan oleh dewan kesenian Jakarta (DKJ) di TIM, forum lainnya yang diikuti dan diselengarakan oleh DKJ antara lain forum Dialog Penyair Jakarta (1989). Ia kerap pula diundang membacakan puisinya serta puisinya pernah diterbitkan dalam suatu antologi tunggal oleh Sorbone University-Paris. Adapun kumpulan puisinya yang sudah terbit, antara lain Nafas Telanjang (1980), Tonggak IV (disunting oleh Linus Suryadi AG,1987), Sesudah Gelas Pecah (1996) diterbitkan Forum Sastra Bandung. Antologi Temu Penyair Indonesia (1987), dan Dialog Penyair Jakarta (1989), Amsal Patung (1997) dan beberapa kumpulan bersama. http://sastra-indonesia.com/2010/06/sajak-sajak-wahyu-prasetya/

Tidak ada komentar:

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae