KUANTARKAN SAJAKKU 1
suara-suara mendesir
menjelang sore yang teduh
palung dada yang kian rapuh
menikmati penantianmu
angin melulu numpang lewat
pena-penaku terasa lesu
dalam kalimat yang pilu
jadi tangis, rintih, dan buta
tapi sajakku mulai menembus udara
pikiran yang masuk seperti kegelisahan
tumpahan keluar seperti ketenangan
sejenak aku termangu di dinding
harapan yang telanjur lunglai
meraba lamunan demikian panjang
Tasikmalaya, 2019.
KUANTARKAN SAJAKKU 2
kini aku tak sedang menunggu apapun
selain jalan yang semakin ramai
juga luka terhormat. Kualami
di satu arah yang tak mungkin kembali
kemarau dalam tubuhku
dimana air mata tak kunjung gerimis
tapi mendung dalam dada yang gemuruh
menghentak berulang seperti kesunyianmu
menjelang perpisahan yang akan datang
telah aku pasrahkan pada penghujung
dengan bendera setengah tiang dadaku
merelakan pagi pada senyuman malam
memintal benang-benang harimu
yang ditenun dan mengandung pemberian
Tasikmalaya, 2019.
KUANTARKAN SAJAKKU 3
di bawah pohon tinggi
gesek angin pada daun begitu terdengar
setelah sajakku gugur oleh ketiadaan
menghunjam dasar yang curam
di lapangan ini mengantero sepi
semutpun jelajahi sisa ketertinggalan
mencari lubuk rumahnya
yang mengendap di belianya malam
gesek angin pada daun terasa menyayat
kemurungan yang khusyuk menjalar
semakin jauh aku. Padamu
aku menjambak rambutku. Sendiri
semakin menjadi menanggung takdir
sebagai penyair yang bingung dan buta
Tasikmalaya, 2019.
KUANTARKAN SAJAKKU 4
pada takdirku yang kian membatu
di pelataran malam oleh udara dingin
Terasa ngilu dan mematri. Rasa
yang pernah menggantung di dahan-dahan
bahkan aku tak berani bernafas
terasa sakit merenungi sebuah peristiwa
yang tak rela kusaksikan sebelumnya
mengudara dan mengusir ketepatan
aku tak bisa memberi apapun
selain kesederhanaan dan waktu
yang lahir melampaui sajak-sajakku
perlahan jiwa mulai mengundurkan. Diri
yang tak kapan kembali hadir di hadapan
tinggal peluk jauh dan angin rindu
tasikmalaya, 2019.
KUANTARKAN SAJAKKU 5
setelah melewati beban dalam diri
aku membebankan badan diriku sendiri
mengangkat pena dan membuatnya berkeringat
di kegelapan yang tak mudah dilalui
engahan nafasku seperti tak mencapaimu
begitupun kata-kata yang kubangun
setelah puluhan kenangan terlewati
jadi manfaat sekaligus kesia-siaan
selalu kuusap mataku
setelah jibaku dalam tubuh yang sengaja
disunyikan perpisahan menyebut namamu
sejenak tulisanku semakin menjeda
terkadang sebuah tulisan tanpa jeda
karena mencatat-catat namamu
tasikmalaya, 2019.
KUANTARKAN SAJAKKU 6
Berjalan arah menuju pulang
Di antara perut yang kosong
Aku berusaha memikirkan hari kemarin
Dan melahap sajak sebagai pereda diri
Memasukki kamar yang sempit
Aku menanggalkan jam tangan
Bersama jarum yang tak lagi berjalan
Seperti aku yang tak lagi mengingatmu
Dan aku rebah menengadah langit-langit
Seperti pikiran yang tak mau apapun
Juga jendela-jendela sengaja ditutup rapat
Namun pintu sedikit terbuka
Seperti isyarat bahwa mungkin kau kembali
Menyembuhkan badanku dari luka waktu
Tasikmalaya, 2019.
KUANTARKAN SAJAKKU 7
di sini aku kembali melinting
bersama jalan yang lengang
saat malam telah sampai di tengah
badan yang setengah dingin
mengingat lembaran-lembaran
sajak-sajakku menjadi ke mana-mana
bahkan tak mendulang apa-apa dari
garis kosong yang diisi kecemasan
di sini aku bukanlah sesiapamu
kembali ke jalan sepi tanpa ramai
dan ketulian yang melipat hari depanku
juga aku lupa mencantumkan titimangsa
kapan berawal dan dari mana
kecemasan mengikuti alur kekosongan
Tasikmalaya, 2019.
KUANTARKAN SAJAKKU 8
aku melihat awan-awan
melayang cepat dan lepas
saat aku melinting kesepian
ditiup angin seperti menyepuhkan asap
sepanjang hari udara terasa panas
di sekitaran rumput yang kering
kuning dan kaku sekujuran Bumi
tak ada kucuran ataupun hujan
dalam mabukku
aku mendengarkan lantunan-lantunan
dimana risau begitu menyayat
pada goresan hati yang menggores
baitpun tak mengalir apapun
walau kegelisahan bumbung ketinggian
Tasikmalaya, 2019.
KUANTARKAN SAJAKKU 9
apa yang dapat kuutarakan
selain batin yang sendu
setelah dalam mabukku
aku melayang dalam sajak
apa yang dapat kuutarakan
selain suasana sepi dan sunyi
aku sempoyongan pada malam
yang kembali mereguk fajar
di bait ini badan tak mampu lagi
karena berat yang memikul
gandengan dalam untai-untai kalimatmu
aku membaca dalam
setengah redup mataku maknai
kesunyian yang terus menemani
Tasikmalaya, 2019.
KUANTARKAN SAJAKKU 10
terus kuulangi lagi
lagu-lagu tentangmu
badan yang sudah mati rasa
bertambah berat pada sajakku
aku masih melayang-layang
juga tak kapan kembali
pulih. Tak kapan juga kembali
di malam yang makin merintih
aku sengaja menulis dalam hening
di detak jarum yang mendetak
dan aku mengingat lampau kita
senduku makin merajai sepi
juga mabuk sebagai meditasi
setelah menyusuri regukkan sunyi
Tasikmalaya, 2019.
Biografi Penulis : Sahaya Santayana Lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Desember 1995. Menulis puis sejak Tahun 2014, di samping itu juga Aktif melakukan kegiatan Satu Jam Sastra di Taman Kota Tasikmalaya. Antologi Bersama a.l : Jejak Cinta Di Bumi Raflesia (2018), Jejak Hang Tuah Dalam Puisi (2018), Bulu Waktu (2018), Bulan-Bulan Dalam Sajak (2018), Sajadah (2019), dan Risalah Api (2019), Dari Negeri Poci 9 : Pesisiran (2019), Membaca Asap (2019), Gestur Sajak Juara (2019), Suara dari Jiwa (2019), Jazirah Melayu dalam Puisi (2019). Puisinya pernah dimuat a.l : H.U Kabar Priangan, Radar Tasikmalaya, H.U Rakyat Sultra, Kuluwung.com, Koran Merapi, Magelang Ekspress, Solopos, Radar Banyuwangi dan sekarang tinggal di Kota Tasikmalaya. E-mail : sahaya.santayana@gmail.com
http://sastra-indonesia.com/2019/10/kuantarkan-sajakku-sajak-sajak-sahaya-santayana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar