Kamis, 13 Desember 2018

Sajak-Sajak Afrizal Malna

Kompas, 3 Feb 2013

Apartemen Identitas

Aku ingin bisa melihat angin. Melihatnya. Menggenggamnya.
Menatapnya. Menghembuskan setiap pecahan aku ke aku yang
lain. Biji-biji bahasa berjatuhan. Seseorang melihatku melalui
mata sebuah bangsa dari jendela apartemennya, di jalan Eugene

Sue, telah berlalu meninggalkan yang telah berlalu. Empat
kelompok angin besar, kelabu, bergerak. Membuat perempatan
angin di langit. Kelompok awan putih dibaliknya, menyimpan
perpustakaan Utara dan Selatan. Bergerak dari empat arah. Biji-
biji bahasa memecah identitas, kamus-kamus tercabik, setelah
Perancis dan Afrika. Malam datang bersama suara
ambulan. Kita belajar sendiri-sendiri ketika bersama. Udara dari
tubuhmu membuat biji-biji bahasa tumbuh di atas debu-debu
yang berkumpul di balkon apartemen. Asap tembakau
menjemput seorang penyair yang bermukin dalam tas kopernya.
Burung-burung, anak-anak musim yang setia, menjaganya
dengan cerita-cerita botanikal. Penggaris yang mengukur
kematian, dan pidato seorang pengangguran di kreta metro,
melintasi stasiun Stalingrad.

Apartemen itu berisi:
-Pemberontakan tali sepatu daerah kubusmu
-Slide cincin pernikahan di atas lidah
-Tarian tak selesai Henri Matisse
-Bung-bunga bunuh diri di Saint Muchel, Notre-Dame
-Seorang tua berkulit hitam bicara dengan dua tas besarnya di
Stasiun metro, Duroc
-Kematian post-modernisme dalam aliran keuangan
internasional.

Alarm apartemen merontokkan semua bunyi di dinding, minyak
goreng yang hangus di kompor elektrik. Asapnya mengumpal,
tak bisa kulihat, tak bisa kugenggam, tak bisa kutatap,
menjemput identitas dalam tas koper yang terus bergerak tanpa
rekening bank. Membuat perempatan angin untuk potret-potret
luka setiap bangsa.

Lupakan aku. Lupakan aku, setelah semua kultur membisu.



Mesin Jahit Bayangan
Hello Ulrike Draesner

Malam, sebelum agak malam. Buku-buku mengaborsi suami,
setelah suami mulai kehilangan lelaki. Radius yang tidak pernah
berubah antara daftar surat masuk dan surat keluar. Pisau bedah
di ujung bahasa, botol infus dari balik gerbang Berlin,
mengaborsi lampu-lampu malam. Ukuran kemeja yang tidak bisa
memperbesar bayangan lelaki di luar rumah. Apakah puisi,
tanyamu: di antara kursus-kursus bahasa, memindahkan kultur
kota dari mural East Side Gallery ke tembok yang lain, dan bau
mentega yang menciptakan lidah di antara pisau. Dekontruksi
memori dari rahim ke bekas reruntuhan pesawat. Lebih turun
lagi ke rasa berantakan. Kau rasakan, puisi mengambil jiwaku
untuk mendapatkan bayangan bahasa, ruangnya yang tak punya
luar dan tak punya dalam. Gravitasi cinta yang melampaui benua,
menyentuh seorang anak India dalam pelukanmu. Lebih naik
lagi, kata yang meruntuhkan setiap representasi. Agak malam
setelah malam. Kau rasakan dinding-dinding rumah masih
merasakan setiap memori yang melepaskan diri dari sejarah,
dengan membaca, melalui dan mengalami membaca, jembatan-
jembatan yang mengantar cerita. Apakah puisi, tanyaku: sebuah
potongan tiket kereta di stasiun Beusselstrasse, menciptakan
bayangan angin ke Rosenthaler Platz. Memindahkan puisi antar
benua dari perangkap kata, dari setiap terjemahan yang mencium
bau luka. Aku masukkan lenganku ke dalam bahasa, kau tanam
musim berwarna putih dalam senyummu. Aku masih bisa
mencium rempah-rempah yang melangkah di belakangku,
memunggungi waktu, merayuku antara dekorasi Jawa dan aku
yang diperbanyak dalam mesin foto copy. Malam, setelah
melalui malam. Apakah puisi. Kita potret bahasa. Banyangan
mengelupas. Mengaborsi cahaya dari setiap rahim yang ingin
melahirkannya. Apakah puisi: mesin jahit yang terus menjahit
bayangan antara tubuh dan setelah tubuh. Membuat kobaran
sunyi dalam pakaian yang telah ditinggalkan. Malam, setelah
malam tak lagi di sini.



Jembatan Iblis dari Keningku
Buat BOT, Marianne dan Elia

Sebuah gereja dalam salju. Kursinya membekukan kekosongan.
Pintunya menutup musim dingin. Salin masih terus membekukkan
sunyi. Di Gotthard, melewati Zurich ke Andemartt, sebuah hotel
dalam salju. Albergo San Gottardo. Pintunya menutup musim
dingin dari 5 menit musim panas. Lima jam mendaki,
menyesatkan diri dalam lubang-lubang udara. Kota telah berlalu
dalam kenangan memasak dan mesin printer. Lembah-lembah
Urseren dan Laventina. Setiap belokan, melingkar. Arsitektur
kesunyian, melingkar. Konstruksi kesedihan, melingkar.
Mengubah warna kenangan dan gua-gua bekas peninggalan
militer. Melingkar di bawah tebing-tebing batu di atas tebing-
tebing batu yang kembali ke bawah dan ke atas. Ke luar dan ke
dalam.

Cahaya dari bukit-bukit batu, mengelupas melewati erangan
Salju di musim panas, benturan antara yang berlalu dan
berkelanjutan. Ruang di sini terus menciptakan dirinya berulang-
ulang, untuk menyesatkan waktu dalam perjanjian antara iblis
dan pendeta suci Gottardo, antara monumen kesunyian dan
tebing-tebing sejarah. 800 tahun lalu melewati tebing-tebing
Schollenen dan Reuss, di atas jembatan Teufelsbrucke, iblis yang
tertipu seekor kambing. Di bawahnya, air dari lelehan salju
masih terus mengalirkan potret-potret perang Napoleon. Tubuh
melawan tubuh, membuktikan waktu. Jiwa melawan jiwa,
membuktikan yang berulang. Udara menjadi begitu curam, 9
derajat di bawah kultur yang ketakutan.

6 jam berjalan kaki, turun dari kecuraman waktu, sampai di
Airolo. Makan malam di Lauzers, di tepi sungai. Di tepi
Bayanganku yang curam.



Aku Setelah Aku
:eyelight

Aku berdiri sebagai reruntuhan, atau, mungkin sebagai
reruntuhan yang duduk di depan monitor kesunyian. Gelombang-
gelombang memori masih bergerak, seperti mesin scanner yang
mondar-mandir di atas keningku. Batas kematianku dan batas
kecantikanmu, membuat tikungan yang pernah dilalui para
petapa. Aku masih reruntuhan dalam pelukanmu. Batu-batu
bergema dalam puing-puingnya. Menuntunku dari yang jatuh.
Berenang, dalam yang tenggelam. Menghidupkan gamelan mati
di mataku.

Ketukan-ketukan kecil, putaran di kening, lembah-lembah yang
belum pernah kulihat. Aku berdiri melihat garis bibirmu dari
matamu, garis yang dilalui sebuah truk. Seorang perempuan
menyetirnya dengan lengan kirinya yang patah. Ia gulingkan
cermin-cermin busuk ke dalam keca: aku pada batas-batas
berakhirnya aku. Perempuan yang kecantikannya melumpuhkan
batas-batas militer. Parit-parit bekas peperangan, membuat mata
rantai baru ke telaga. Bebaskanlah aku, bebaskanlah aku dari
kultur yang menawan kebinatanganku.

Ia bergerak, kejutan-kejutan pendek dari setiap bayangan puisi.
Garis pantai lurus dari matanya, semakin lurus dalam horison
keheningan: batas setelah manusia menyerahkan dirinya kembali
sebagai binatang. Perempuan yang kecantikkannya menyihirku
sebagai lelaki setelah lelaki, sebagai aku setelah aku. Kecantikan
yang mengisi kembali botol-botol kosong dalam puisi, setelah
kekejaman di luar tutup botol.

Aku ambil kembali manyatku dari lidahnya. Perempuan yang
kecantikannya terus menerus merajut pecahan-pecahan kaca. Aku tak
percaya, tubuh penuh jahitan setelah aku di depanku.
Perempuan yang kecantikannya membangun sebuah hutan di
mataku, siang-malam, mengisinya dengan binatang-binatang
kecil, pagar jiwa dalam cincin yang mengusir kehancuran makna.
Gua bagi pemuja tubuh dan burung-burung dalam kicauannya.
Di dalam sarangnya, aku dan waktu menjadi purba.

________
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Selain menulis puisi dan prosa, ia banyak bekerja untuk teater, tari, dan seni rupa. Buku puisinya antara lain Pada Bantal Berasap: Empat Kumpulan Puisi (2010). https://puisikompas.wordpress.com/2013/02/04/puisi-afizal-malna/

Tidak ada komentar:

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae