Selasa, 13 Maret 2018

Sajak-Sajak Benny Arnas

Lampung Post, 12 Mei 2013
Mengkhawatirkan Anak-anak 
Presiden, Pohon, Ibu

Lelaki itu muncul lagi di layar terlevisi. Entah, ini kali ke berapa aku melihatnya. Ia selalu tampak gagah dan berwibawa. Ia pandai sekali berpidato. Ya, aku sangat ingin seperti itu. Seringkali, sepulang dari sekolah aku mempratikkan caranya berpidato. Aku sering melakukannya di atas salah satu dahan pohon jambu di sebelah kanan rumah. Mungkin kalian heran mengapa aku sangat suka berada di atas pohon

Begini; aku sangat menyayangi ibu. Ibu sangat menyayangi pohon-pohon yang ditanamnya. Dan, karena pohon jambu itu adalah pohon yang paling besar—yang paling tinggi—di antara tanaman-tanaman yang lain ... kupikir pasti waktu yang ibu habiskan untuk merawatnya lebih lama dibandingkan tanaman-tanamannya yang lain, di antara pohon-pohon yang lain

Ketika aku berada di atas pohon itu, aku seolah tengah berada di dalam rumah yang dibangun ibu. Hmm, ibu pasti senang kalau sekarang ia masih hidup. Untung aku tak bercita-cita menjadi presiden hingga ibu dapat menyayangiku
seperti ini



Wasiat yang Agung

Batu permata yang tidur. Segenap marah yang subur. Mengurai dua demi dua batubata yang rekah dari rumah baru. Ke mana nian akan kita buang ruang-ruang yang menyelubung di antara jemari anak-anak yang lupa membaca kitab. Memang, semua pertanyaan—termasuk yang baru saja dibunyikan—tak ditanyakan karena tandatanya lupa diselipkan di ujung; lalu apa arti perpisahan bila batu permata itu tidak lagi menumbuhkan bungaraya-bungaraya beraroma hujan di gigir buku (bukuku atau juga  bukumu). Memang senantiasa ada perumpamaan yang cerlang untuk sebuah perjumpaan yang melupakan pulang sebagai bagian dari perjalanan. Tak ada pengecualian, rupanya. Termasuk bagi prahara yang mungkin nanti akan membuat Tuhan mempersilakan kau dan aku membuang batu permata itu. Ia terlalu berkilau, katamu. Ia menyerupai cermin, balasku tak mau kalah.

Jangan, jangan biarkan ia memantulkan dosa-dosa kita dengan begitu terang kepada anak-anak yang sekarang sedang meriap di rumah baru mereka, masing-masing.



Nasihat 

Nasihat itu sudah singup hingga tidak lagi membekas pada jarak yang diciptakan oleh kepak-kepak burung kuaw yang selalu datang berombongan dari pintu rumah baru anak-anak. Sekarang mereka sudah besar-besar, kasar-kasar, dan pakar-pakar, hingga yang tampak di mata kita (ya, kita; bukan hanya aku): Sebatang pohon beringin yang rindang, seram, dan penuh dengan kegeraman. Mereka bukan pohonnya. Mereka bukan daunnya. Mereka adalah akar-akarnya yang menolak tumbuh dari tanah. Akar-akar itu tempat kita bergantung sekaligus bergelantung sekaligus luntang-lantung sekaligus terkatung-katung. Kau jatuh, mereka geming. Aku bangun, mereka pening. Kita berjalan, mereka membuka kantung-kantung. Kantung-kantung yang dibuat dari daun-daun beringin yang dilekuk-kunci seolah dianyam dengan serta-merta dan begitu indah. Seperti sihir yang indah, memang. Seperti kepandaian yang tercurah. Dengan tiba-tiba sehingga; kau pun malu, aku pun gagu. Siapa yang digugu; aku-kau-atau-anak-anak. Kita telah lama lupa dan menghapus nasihat dari daun-daun dan pohon-pohon. Tak terkecuali dari beringin, rupanya.



Sebenarnya Kami Tak Rela Bila Merahnya Buah Ceri Menjadi Sebegini

Anak kami yang kami sayangi hari ini akan mencari perigi-perigi di dekat sebatang ceri yang tumbuh di antara sulur-sulur perenggi. Mereka memang jarang mandi seakan-akan minum kopi dapat mengantar mereka ke surga yang dijanjikan Ilahi. Pagi-pagi mereka tak menegur kami lagi. Malam hari mereka masuk ke kamar yang dikunci. Seolah kami sudah pergi. Seakan mereka hidup sendiri. Doa-doa kami adalah nama anak kami yang kami sayangi hingga haram bagi benci untuk dibiarkan semi di jantung, hati, dan sela-sela gigi. Ke mana nak dicari kekasih yang selama ini dijampi-jampi dengan daun serimpi dan bunga matahari. Kami tak menangis lagi sebagaimana duri-duri yang belum tumbuh dari ketakutan yang kami tanam sendiri. Mempunyai bidadari tanpa sayap di bahu kanan dan kiri sudah takhenti aku mensyukuri, gumamku di telingamu yang merah buah ceri. Merah buah ceri? Aku hanya mencoba menghibur diri sendiri, wajahku merah buah ceri. Merah buah ceri? Wajahmu berseri, lalu binar mataku menari-menari. Alangkah gerimisnya hidup ini: Bahkan sebilah kalimat lebih mampu membuat kami hidup kembali daripada anak kami yang kami sayangi. Ya, kami hidup kembali, merasa hidup kembali. Paling tidak, tertawa sendiri seperti ini.



Hari Ini Adalah Mulut Mereka 

Kami sudah menjadi semangka yang dipetik lalu dihangatkan di bawah mentari yang tiba-tiba turun lalu disimpan di dalam karung gandum yang kering. Biarkanlah anak-anak tidak lagi mengenal; di mana kedua mata yang kerap menangisinya, di mana tangan-tangan yang bersetia memangkunya, di mana mulut-mulut yang meninabobokkannya—ah, mereka sudah sangat benci bahkan muak dengan mulut-mulut kami. Mulut kami adalah lubuk neraka yang menyemburkan nasihat basi, peringatan yang memekakkan, dan dongeng-dongeng yang sarat kebohongan. Mulut mereka adalah kecipak ciuman, hujatan yang menyenangkan, caci-maki yang dibenarkan, dan madu-madu yang tiba-tiba dibagikan di hari yang penting dan mendebarkan; pidato politik, pemilihan kepala daerah, lobi proyek, dan kasih-yang-melayang kepada anak yatim.  

__________
Benny Arnas, lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Puisi-puisinya tersebar di Lampung Post, Riau Pos, Koran Tempo, dan sejumlah antologi bersama. Puisinya Perempuan yang Dihamili oleh Angin meraih Juara III Krakatau Award 2009.
http://sajaklampost.blogspot.co.id/search/label/Benny%20Arnas

Tidak ada komentar:

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae