Awalludin GD Mualif
I
Kenangan adalah angin yang
menyapu raga
namun tak dapat direngkuh
jiwa.
Ia menyentuh setiap lekuk
tubuh tanpa malu
bercumbu dengan rindu.
Cahaya memusar pada
secangkir warna
yang lebih menekankan
keberanian.
II
Adakalanya aku tercenung
sendiri
lalu terkelejat, dan
kemudian...
temungkul
dalam keadaan sama.
Warna itu menjadi kelabu
ia menyapu setiap rindu
demi beningnya kaca jiwaku.
III
Saat ku rengkuh di ujung
bibir
menyusuri tenggorokanku yang
hampa.
Mata memijar binar
pikiran menerangi sekujur
badan
perasaan menemu ruang
pemberhentian.
IV
Ooo.... Candrawijaya
akankah kau pergi dari sudut
mata gelapku
dan membiarkanku dalam
pembaringan rapuh.
V
Biarlah reruntuhan rindu
menghujani badanku
ketika diam hanya berarti
kelam.
Lalu ku tenggelamkan diriku
pada keramaian yang
menarikku menepi
ke dalam kesunyian yang tak
lagi sepi.
VI
Hidupku di secangkir warna
yang melimpahkan jutaan rasa;
seperti sendiri di dalam
kesendirian.
Padamkan api diri lewat
warna ini
agar tersemai tunas baru
bernama hidup kembali.
VII
Tatkala percik nyali mengalir
sukma pengembara mencuri sepi
lalu meletakkannya di altar
sunyi.
Dalam deru harap berkalung
doa
supaya kelam menepi.
Saat itu
sedenyar senyum terpancar
lagi
yakni hayat menemu alam
ragawi.
VIII
Dawai sungsang
jiwa tak kan pernah mati
meski raga terkubur suci.
Sebab sukma masih menari nari
di atap ingatan para pemuja
hingga menerobos dinding
jiwa.
Maka selamilah hidup
lewat nada nada yang kau
benci.
Bernafaslah dengan kepicikan
diri
supaya cahaya mau kembali.
IX
Apakah kita ingat
kapan jiwa ini terluka dan
membenahi diri?
Pada nafas keberapa semua
itu terekam pasti
pada detik yang mana ia
menampakkan diri.
Lalu mengapa kenangan kerap
melukai
jika ia tak mampu kita raih.
Bulan ini memang bukan bulan
sempurna
ia bertahta separuh cahaya
di ujung langit sadarku.
X
Pada penghujung malam
terdengar derik hewan
mendendangkan langgam masa lalu
sahut-menyaut dengan desir
angin pembawa kabar langit.
Lalu mendiamlah keduanya
pada palung sadar
seolah terusir dari kalam
Ilahi.
Inikah bulan
yang tak kumaui untuk
mendiami?
XI
Pada ini aku tak berani
berlari
kubiarkan semuanya mati.
Hingga nyawa beranjak pergi
di dalam secangkir kopi.
_________
15 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar