riaupos.co, 20 Jan 2013
Panmunjeom *
Di sini awalnya, di sebuah desa di Panmunjeom
perdu-perdu dan medan kosong
ilalang liar, tanah lapang dan hamparan rumput gajah
pembatas wilayah zona demarkasi
Tahun lima puluh
setelah tentara Cina menyerbu
lalu pulang tanpa senjata
Amerika datang
seolah-olah meleraikan
dan pergi menyisakan gereja-gereja
tiba-tiba: kesepakatan itu pecah sepihak
seketika: Seoul penuh asap dan mayat-mayat
menjadi kota mati dalam sekejap
Kim, Park, Ahn, Yang, Roh, terbelah-terpecah
sengketa dengan teriakan senjata
darah dan kepedihan
hanya si bongkok dan anjing kurusnya
lalu datang perempuan Ahyandong dengan wangi mawar
dan tanpa cinta, persetubuhan bersemi di rumah tak berpenghuni
di kamar dengan tungku penghangat
ranjang yang berantakan
makanan penuh di lemari
Si Bongkok dan perempuan Ahyandong
kembali ke Panmunjeom
barak-barak tentara
sebagian Amerika
sebagian lagi wajib militer anak-anak muda
dua tahun lamanya
lewat museum perundingan dua Korea
di depan gedung utara yang penuh senjata
dua wisatawan melambaikan tangan
selebihnya tegang dan mengancam
Kami berdiri di selatan
memandang dendam masa silam
mengakar di kepala prajurit-prajurit dua negara
di Panmunjeom
yang membelah dua Korea
yang menyimpan panas magma perang
Panmunjeom, 11 November 2011
Di Museum Perundingan
Sebuah gubuk sebuah kamar
dipelihara jadi museum
seperti adanya
bersih sederhana
nyaman menegangkan
di sini monument dipancangkan
pada dua kursi berhadapan
menghadap meja kayu yang terbelah
selatan dan utara
di meja itu:
ideologi dipertahankan
perjanjian ditanamkan
Sebuah gubuk sebuah kamar
di Panmunjeom
jadi museum perundingan
dua kursi berhadapan
di tengah meja yang terbelah
di belakangnya: mayat-mayat dan moncong senjata
seperti granat waktu
setiap saat siap pecah
menjelma perang nuklir
Panmunjeom, 11 November 2011
Pagi Ini Minus Dua Belas
Lampu-lampu jalanan sudah dipadamkan
jam tujuh pagi
belum juga dating rembang matahari
segalanya masih gulita
meski suara desau mesin dan decit ban mobil
tak juga henti
merayap dari jalan layang
menyusuri hutan kecil kumpulan pinus
di bawah teras belakang
Gedung-gedung apartemen
membentuk siluet-siluet pegunungan
redup dan suram
seperti pilar-pilar raksasa
yang bertumbuhan di lapangan terbuka
Ada sirene branwir dan raung ambulans
memecah keheningan
klakson sekali-sekali
Jam delapan rembang mulai datang
perlahan dan nyalang
gas pemanas di bawah lantai
menggerakkan kehangatan
kopi masih mengepul
ketela kecil-kecil
diiris tipis-tipis
bergemerongseng di penggorengan
Setelah lewat jam setengah sembilan
matahari lebih tenang dan percaya diri
menerabas kaca jendela
melelehkan embun sisa
menciptakan lika-liku alur salju tak keruan
Matahari tumpah sempurna di tempat tidur
membuka selimut
mencabut colokan pemanas kasur
melepas rangkap tiga kaos kaki dan stoking berbulu
menggantungkan switer
Aku tahu
di luar sana masih minus dua belas derajat.
Hwarangdae, 19 Desember 2012
Di Dermaga Sungai Siak
Sungai Siak dan sejarah puak
Air yang kelu
Tonggak kayu membisu
Keciprat-keciprat yang menciptakan abrasi
Embun melayang di kejauhan
Menghadang kapal yang datang
Tongkang yang geram
Gelondong kekayuan
Gelombang mengapungkan sampan nelayan
Oleng dan ringkih
Aku takjub
Memandangi kegelisahan alam
Teriakan kelasi: Bengkalis, Bengkalis!
Pedagang rambutan dan buah-buahan
Calo dan penjual koran
Datang kepagian
Perempuan sepi
Memotreti kehidupan pagi
Hasratku wujud dalam kehati-hatian
Kita berkata-kata dalam bahasa biasa
Di dermaga sungai Siak
Aku berteriak
Engkau mengajari ketenangan gelombang
Jalan panjang ke lautan
Tak ada rintangan, seperti katamu:
“Ketika kata mengenang gerak,
huruf merangkai gejolak.”
Kumandangkan jiwa yang bersebadan
dalam pertemuan yang entah kapan
“Sekali layar terkembang
pantang surut ke belakang!”
Sungai Siak, 30 November 2005
Sebuah Berita
Seorang lelaki lewat paruh baya
membuncah hasrat menatap gadis abg sebelas tahun
belum ranum, payudara selapis buah mangga
terbungkus seragam sekolah
Seorang lelaki lewat paruh baya
menyimpan amarah di bawah selangkangan
dan malam itu
bulan tiba-tiba tenggelam
pecah di taman kota
dekat meja batu
di antara botol-botol soju
dan malam itu
angin berhenti
tak ada tegur sapa lagi
segalanya mati
tak ada tuhan
malaikat terpejam
kecuali:
napas yang berderak
napas yang tersendat
erang yang tak terdengar
segala bungkam
detak jam mendadak diam
dan darah luka yang menganga
kelam malam tenggelam dalam gelap
Berita hari ini: pecah menyebar ke seantero kota
masuk ke ruang-ruang kuliah
menempel di sekolah-sekolah
menyelinap dalam ingatan
para orang tua terpana tak terkira
sebuah berita tentang anak gadis yang diperkosa
Sudah sepekan: berita melayang-layang
tiba-tiba
pengadilan memutuskan:
seorang lelaki lewat paruh baya
disusupi chip tanda bahaya
dikebiri-diamputasi
diawasi sepanjang hidup
dilarang menginjak taman, sekolah, dan tempat bermain
dalam radius seratus meter
putus hubungan sanak keluarga
tinggal satu miliknya: napas!
Lelaki lewat paruh baya
memperkosa hidup
mungkin sesaat nikmat
mati sepanjang hayat
tiba-tiba
napasku tersendak, jika ingat Jakarta!
Seoul, 10 Oktober 2012
Catatan:
* Panmunjeom adalah salah satu tempat yang terletak di sebuah kawasan yang berbatasan langsung dengan Korea Utara. Di kota ini pula kesepakatan gencatan senjata ditandatangani. Tempat penandatanganan itu, kini dijadikan museum. Sebagai tanda bahwa Korea Selatan dan Korea Utara tidak mau bersatu, meja tempat perundingan itu, dibelah menjadi dua bagian.
*) Maman S Mahayana Lahir di Cirebon, 18 Agustus 1957. Dosen Universitas Indonesia ini lebih dikenal sebagai kritikus sastra. Akar Melayu: Ideologi dalam Sastra, adalah salah satu dari sekian banyak bukunya. Menerima Anugerah Sagang 2006 dan Anugerah Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara 2007. Sejak 2009, tinggal di Seoul, mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul.
Dijumput dari: http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=961&kat=3#.UQX1tPJ2Na8
Panmunjeom *
Di sini awalnya, di sebuah desa di Panmunjeom
perdu-perdu dan medan kosong
ilalang liar, tanah lapang dan hamparan rumput gajah
pembatas wilayah zona demarkasi
Tahun lima puluh
setelah tentara Cina menyerbu
lalu pulang tanpa senjata
Amerika datang
seolah-olah meleraikan
dan pergi menyisakan gereja-gereja
tiba-tiba: kesepakatan itu pecah sepihak
seketika: Seoul penuh asap dan mayat-mayat
menjadi kota mati dalam sekejap
Kim, Park, Ahn, Yang, Roh, terbelah-terpecah
sengketa dengan teriakan senjata
darah dan kepedihan
hanya si bongkok dan anjing kurusnya
lalu datang perempuan Ahyandong dengan wangi mawar
dan tanpa cinta, persetubuhan bersemi di rumah tak berpenghuni
di kamar dengan tungku penghangat
ranjang yang berantakan
makanan penuh di lemari
Si Bongkok dan perempuan Ahyandong
kembali ke Panmunjeom
barak-barak tentara
sebagian Amerika
sebagian lagi wajib militer anak-anak muda
dua tahun lamanya
lewat museum perundingan dua Korea
di depan gedung utara yang penuh senjata
dua wisatawan melambaikan tangan
selebihnya tegang dan mengancam
Kami berdiri di selatan
memandang dendam masa silam
mengakar di kepala prajurit-prajurit dua negara
di Panmunjeom
yang membelah dua Korea
yang menyimpan panas magma perang
Panmunjeom, 11 November 2011
Di Museum Perundingan
Sebuah gubuk sebuah kamar
dipelihara jadi museum
seperti adanya
bersih sederhana
nyaman menegangkan
di sini monument dipancangkan
pada dua kursi berhadapan
menghadap meja kayu yang terbelah
selatan dan utara
di meja itu:
ideologi dipertahankan
perjanjian ditanamkan
Sebuah gubuk sebuah kamar
di Panmunjeom
jadi museum perundingan
dua kursi berhadapan
di tengah meja yang terbelah
di belakangnya: mayat-mayat dan moncong senjata
seperti granat waktu
setiap saat siap pecah
menjelma perang nuklir
Panmunjeom, 11 November 2011
Pagi Ini Minus Dua Belas
Lampu-lampu jalanan sudah dipadamkan
jam tujuh pagi
belum juga dating rembang matahari
segalanya masih gulita
meski suara desau mesin dan decit ban mobil
tak juga henti
merayap dari jalan layang
menyusuri hutan kecil kumpulan pinus
di bawah teras belakang
Gedung-gedung apartemen
membentuk siluet-siluet pegunungan
redup dan suram
seperti pilar-pilar raksasa
yang bertumbuhan di lapangan terbuka
Ada sirene branwir dan raung ambulans
memecah keheningan
klakson sekali-sekali
Jam delapan rembang mulai datang
perlahan dan nyalang
gas pemanas di bawah lantai
menggerakkan kehangatan
kopi masih mengepul
ketela kecil-kecil
diiris tipis-tipis
bergemerongseng di penggorengan
Setelah lewat jam setengah sembilan
matahari lebih tenang dan percaya diri
menerabas kaca jendela
melelehkan embun sisa
menciptakan lika-liku alur salju tak keruan
Matahari tumpah sempurna di tempat tidur
membuka selimut
mencabut colokan pemanas kasur
melepas rangkap tiga kaos kaki dan stoking berbulu
menggantungkan switer
Aku tahu
di luar sana masih minus dua belas derajat.
Hwarangdae, 19 Desember 2012
Di Dermaga Sungai Siak
Sungai Siak dan sejarah puak
Air yang kelu
Tonggak kayu membisu
Keciprat-keciprat yang menciptakan abrasi
Embun melayang di kejauhan
Menghadang kapal yang datang
Tongkang yang geram
Gelondong kekayuan
Gelombang mengapungkan sampan nelayan
Oleng dan ringkih
Aku takjub
Memandangi kegelisahan alam
Teriakan kelasi: Bengkalis, Bengkalis!
Pedagang rambutan dan buah-buahan
Calo dan penjual koran
Datang kepagian
Perempuan sepi
Memotreti kehidupan pagi
Hasratku wujud dalam kehati-hatian
Kita berkata-kata dalam bahasa biasa
Di dermaga sungai Siak
Aku berteriak
Engkau mengajari ketenangan gelombang
Jalan panjang ke lautan
Tak ada rintangan, seperti katamu:
“Ketika kata mengenang gerak,
huruf merangkai gejolak.”
Kumandangkan jiwa yang bersebadan
dalam pertemuan yang entah kapan
“Sekali layar terkembang
pantang surut ke belakang!”
Sungai Siak, 30 November 2005
Sebuah Berita
Seorang lelaki lewat paruh baya
membuncah hasrat menatap gadis abg sebelas tahun
belum ranum, payudara selapis buah mangga
terbungkus seragam sekolah
Seorang lelaki lewat paruh baya
menyimpan amarah di bawah selangkangan
dan malam itu
bulan tiba-tiba tenggelam
pecah di taman kota
dekat meja batu
di antara botol-botol soju
dan malam itu
angin berhenti
tak ada tegur sapa lagi
segalanya mati
tak ada tuhan
malaikat terpejam
kecuali:
napas yang berderak
napas yang tersendat
erang yang tak terdengar
segala bungkam
detak jam mendadak diam
dan darah luka yang menganga
kelam malam tenggelam dalam gelap
Berita hari ini: pecah menyebar ke seantero kota
masuk ke ruang-ruang kuliah
menempel di sekolah-sekolah
menyelinap dalam ingatan
para orang tua terpana tak terkira
sebuah berita tentang anak gadis yang diperkosa
Sudah sepekan: berita melayang-layang
tiba-tiba
pengadilan memutuskan:
seorang lelaki lewat paruh baya
disusupi chip tanda bahaya
dikebiri-diamputasi
diawasi sepanjang hidup
dilarang menginjak taman, sekolah, dan tempat bermain
dalam radius seratus meter
putus hubungan sanak keluarga
tinggal satu miliknya: napas!
Lelaki lewat paruh baya
memperkosa hidup
mungkin sesaat nikmat
mati sepanjang hayat
tiba-tiba
napasku tersendak, jika ingat Jakarta!
Seoul, 10 Oktober 2012
Catatan:
* Panmunjeom adalah salah satu tempat yang terletak di sebuah kawasan yang berbatasan langsung dengan Korea Utara. Di kota ini pula kesepakatan gencatan senjata ditandatangani. Tempat penandatanganan itu, kini dijadikan museum. Sebagai tanda bahwa Korea Selatan dan Korea Utara tidak mau bersatu, meja tempat perundingan itu, dibelah menjadi dua bagian.
*) Maman S Mahayana Lahir di Cirebon, 18 Agustus 1957. Dosen Universitas Indonesia ini lebih dikenal sebagai kritikus sastra. Akar Melayu: Ideologi dalam Sastra, adalah salah satu dari sekian banyak bukunya. Menerima Anugerah Sagang 2006 dan Anugerah Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara 2007. Sejak 2009, tinggal di Seoul, mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul.
Dijumput dari: http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=961&kat=3#.UQX1tPJ2Na8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar