900 hari lamanya, aku gali lubang tanah ini. Tengoklah ke dalamnya. Kau akan temukan kerangka tubuhmu yang terlilit akar. Akar dari segala akar, yang sulurnya terus memanjang dan merambat sampai ke dalam otakmu. Mungkin kau tak merasa bahwa sel saraf di otakmu telah menjelma menjadi akar. Penuh tanah. Penuh debu. Hingga kau tak mampu membedakan cahaya matahari dan kunang-kunang.
Di malam kesekian. Dimana rembulan hanya mampu menyorotkan kecemasan. Aku berteriak. “Kau benar-benar makhluk berasalusul lumpur. Hatimu menjelma lumpur. Otakmu penuh lumpur. Matamu tertimbun lumpur. Telingamu tersumbat lumpur. Bahkan, langkah dan rencanamu hanya sampai di kedalaman lumpur.”
Aku mulai lelah. Ingin menutup lubang tanah ini. Juga sekalian dengan akarnya. Aku tak ingin sel saraf otakku menjadi akar, yang merambat dan menghisap darah di hatiku atau mungkin juga di hatimu.
Kebumen 2010.
Sempor
Ini wadukku. Tempatmu merendam gelisah. Tenang bening air seperti hamparan peta tua. Peta yang ditulis mungkin oleh tangan seorang nabi dari abad yang silam. Susurilah lekukan air dan juga batu-batunya sampai engkau tiba di gerbang cuaca. Cuaca yang mengabarkan betapa senyummu harusnya lebih merdeka dari pada duri.
Juga panjatlah ujung pinus agar tanganmu sempurna membelai awan. Tidak. Mungkin juga mengelus langit tempat yang dipenuhi kota rahasia. Kota yang menurut dongeng orang-orang tua selalu berkemas untuk membangun hari esok dengan kepingan bunga bakung, eik dan juga cempereng.
Bunga-bunga itu akan terus mekar. Mengembangkan senyum para peziarah yang sehari-hari terlempar dari jalan yang gelap ke gang yang hitam.
Kebumen 2010.
Sangsi
Ada yang mencegahmu. Mungkin kesangsian. Saat kakimu melangkah hendak memasuki senja. Senja yang menenggelamkan seluruh kota, tempat para muallif menulis kearifan di selembar kertas buram.
Kaupun membisu. Bersandar pada tiang listrik yang menyangga seluruh aliran keluh kesahmu. Tak ada sekelar cadangan yang dapat kau raba di samping kiri dadamu. Dada yang selalu gemetar menahan hembus angin yang berlompatan dari bait-bait kearifan di atas selembar kertas buram.
Engkau terus terpaku di atas kaki air matamu. Air mata yang tak pernah sanggup melata di gigir waktu, yang hanya mampu berputar-putar sendirian tanpa tahu kapan waktunya harus pulang. Kesangsian telah menjebakmu diantara huruf-huruf kearifan yang ditulis muallif itu. Dan engkau tak terbaca dan tak bisa membaca. Engkau hanya sanggup menatap mata muallif yang terus menulis kearifan dengan rasa cemas di hatimu.
Kebumen 2010. http://sastra-indonesia.com/2010/08/sajak-sajak-salman-rusydie-anwar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar