http://jurnalnasional.com/
Sepuluh Lanturan Tentang Hutan
i
Malam adalah telur yang menetas,
dan aku ingin kau tak menetaskanku.
Begitu berwarni perangai mimpi,
sedang pagi tinggal kuning tai
dan kau tak akan kembali.
Tapi, aku tetap memimpikanmu,
keluar dari kuntum bunga dan
berkata, larilah, kejarlah…
ii
Darahku membeku.
Sepasang kakiku jadi batu.
Dan, jika ada yang terbang dari ubunku,
itulah yang menumbuhi malam-
malamku.
Kau tahu?
Duh, bagaimana aku tanya itu padamu,
sementara tak ada angin puyuh
yang sanggup menerbangkan kunang-
kunang dari matamu?
iii
Rusukku pun berbulu.
Malam bergemuruh.
dan aku ingin angan jadi ungu,
setenang subuh.
Biar kuda-kuda merah meringkik.
Biar langit yang masih punya banyak kerdip itu
memekik.
Aku tak ingin seperti kumbang
dan singgah dari kembang ke tembang.
Aku tak ingin jadi jalang dan mengerang
di padang panjang.
Sayangku, datanglah kau bagai subuh.
Beri aku pagi dan kupu-kupu
iv
Aku sebut namamu,
tapi separuh lidahku jadi batu.
Menyebut namamu dengan batu?
Ah, bukankah dengan lidah dan seluruh pun
aku hanya gagu?
v
Rambutku mengeras
dan mataku terlepas,
seperti kelereng menggelindingi sepi.
Sepinya basah. Oh,
apa mataku sedang menangis sendiri?
Seperti dulu, ketika ia sering
kupakai mencuci bajuku.
Ketika
tanganku masih bisa
rasakan air dan dingin.
Ketika
masih ada ledakan-ledakan kecil
di balik dadaku.
Ketika
kuku belum merambat
ke sekujur dagingku
vi
Kau tak usah jadi ibu dan mengutukku.
Kini, aku telah sempurna jadi batu,
lebih hening dari spinx
menghikmati sepasang mawar
yang memekari dagingmu.
Dan aku pun tak mungkin lagi menikammu,
seperti bayi ranum yang mengasah
segenap taring dan purbaku?
Tubuhmu lebih luas timbang waktu.
Dadamu lebih bebas timbang kupu-kupu.
Dan farjimu seganas giras sungai
yang menabrak dan melemparku
ke gunung,
ke kembaranku yang setia
menunggu terjun
vii
Kau tahu,
sungai dan batu tak pernah bersekutu?
Maksudku, aku tak mungkin
mencumbumu. Aku selalu gagal
mencecap getah perdumu, seperti dulu,
ketika mula belajar tidur.
Sebagaimana keinginan kembali
ke gua gaib, di mana tuhan pernah mengintip,
membisikkan tiga suku kata
yang memekarkan jantungku:
tiga suku kata yang mirip panggilanmu.
Hingga,
rusukku yang berbulu itu terbang,
layaknya kupu-kupu lugu yang hinggap
di lengkung alismu,
di kelopak matamu
yang dungu
viii
Tapi dungu bukanlah milikmu.
Kau lebih beku dari batu.
Kau lebih ungu timbang masa lalu.
Kau juga melebihi keruh ibuku.
Hingga,
aku tak bisa menemukan perutmu.
menyusup ke rahim,
atau mengalir
di arus nadimu.
Menjadi terumbu di laut darahmu,
dan bukan jadi batu yang sendiri,
di sini,
di bugil pagi yang menggigil
di bawah kuntum matahari
ix
Ini tentu sudah ngelantur, bukan?
tapi tidak. Tidak, Sayangku.
Prihal cinta memang sering tampak ganjil.
Dan mungkin, 1001 pangkur,
1001 mazmur tak akan manjur bertutur.
Sebelum kita benar tidur,
baiklah, kulengkapkan cerita ini:
Kamu tahu, apa yang diminta Hawa
ketika Adam mulai tergoda?
Waktu itu, sorga serupa bunga raksasa
dengan bulu dan sepasang-pasang
penuh warna.
Dia meminta itu. Maksudku,
lubang itu. Dan seperti Adam yang merajuk
ceruk hitam, aku terkenang
lubang batang kayu yang
persis milikmu.
Milikmu.
Dan milikmu.
Di lubang itu, bersembunyi
ular bermahkota mawar yang membuat
jantung keduanya jadi nanar.
Hingga tanpa sadar
mereka bareng berujar,
ajari kami, ajari kami terbang
menuju hulu dan kupu-kupu…
Dan mereka pun diajar.
Mula-mula mereka dianjur menjuluri tidur.
Dan tidur mereka jadi ular yang saling membelit,
seperti sepasang kutuk yang melingkari pohon.
Pohon yang di tengahnya,
lubang yang tak pernah habis terbakar itu,
tiba-tiba menyala dan menjatuhkan mereka
ke kedalaman panas dan bergetah.
Sebutir apel pun pecah.
Sepuluh kupu di pucuk tangan adam terbang,
seperti luput pertama yang berteriak dan meminta:
Bapa! Bapa!
:sejak itu, manusia punya kuku
untuk mencakar dan berdoa.
x
Pagi jadi bangka.
Waktu seperti lelaki tua
yang diam tak bersuara.
Dan, seperti Adam yang kembali terjaga,
aku hanya duka yang menatapmu,
menatap dedaun yang tumbuh dan gugur
di wajahmu, seperti jari-jari gaib, melambai
hari-hari yang pucat pergi, tanpa berahi…
(2008)
Bunga Batu
Duh, bunga batu yang tumbuh di badanku,
aku ingin mencucupmu sekeras batu:
batu yang melahir dan mengutukku.
Lalu, kita sama pergi,
seperti mimpimu,
seperti mimpi batu yang tak mati-mati
dan berkedipan
sepanjang pantai.
Aku tahu,
(seperti yang juga kau tahu),
pantai hanya pantai.
Pantai bukan ibu yang membuat kau dan aku
lebih batu.
Dan aku juga tak mencintaimu seperti cinta batu.
Ketahuilah,
cintaku bukan gelang atau cincin,
cintaku hanya pasang saat aku bimbang
dan tuhan menghilang.
Jangan katakan cintaku bulan, sebab
cintaku hanya bunga api yang menyala pergi.
Jamur-jamur di tubuhku meninggi,
lebih tinggi dari mulutmu,
mulut batu
juga mulut nujum
yang tak pandai
menyebut mati.
Lalu,
aku pun mencucupmu
seperti menciumi selingkar batu
dalam kitaran pantai,
seperti mengitari hari-hari
yang pulang-
pergi
dengan ciuman batu
yang membunuh sang ibu
dan melubangi perahuku…
(2008)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar