The Rock of Sadness
Aku pun bagai kibaran bendera dari negeri-negeri
yang gugup untuk merdeka. Perempuanku, dengan nanar
kupandangi wajahmu, keabadian yang terkoyak
oleh lenganku yang lancung. Gemetar nadiku
menghitung tahun-tahun bersamamu. Hari-hari bunga
hari-hari air mata, hari-hari kesenduan dan gelak tawa
yang memutihkan rambut kita berdua. Betapa aku tahu
tak ada rumah rindu selain ringkih tubuhmu. Tak ada
tempat pulang selain lapang senyummu.
Dari gelisah hutan dan debu jalanan; bising klakson
metropolitan dan pasar-pasar, keringatku menjelma
asap yang mengotori udara dari pengembaraanku
yang gamang karena saat senyummu menjadi air mata
aku tahu pintu dan jendela menujumu telah tiada.
Aku pun mengerti, jika saat itu tiba, meski kugali-gali peta
dalam diri, kucari-cari pintu dalam kalbu, sesungguhnya
tak bakal kutemui lagi namaku di semua alamat semesta.
Tea on the Rock
Kenangan padamu bagai butiran es
mengambang dalam segelas teh tawar.
Dan rambut malam tergerai menyergap bulan
yang tersipu di seprai cakrawala. Kuseduh
teh hangat keemasan: manis dan kental.
Namun selalu saja butiran-butiran es menjelma
di dalamnya, berenang-renang seperti kenangan,
melarutkan tubuhku ke dalam tubuhmu
yang kekal. Kenangan padamu
membuat lautan menjadi teh tawar
dan ikan-ikan menjelma butiran es berlarian
kian kemari dalam nadiku. Hari-hari kita yang jingga
melambaikan tangannya dari jauhan
luput dari genggaman. Aku pun harus membuka kembali
kitab-kitab sejarah dari abad-abad silam
kadang mengembara ke gua-gua
mengeja rajah-rajah purba di sana
untuk menemukan kembali degup rindumu,
kudus senyummu, rinai tawamu,
hangat pelukmu, yang baru kemarin berlalu.
“Dan manakala sejarah menggemakan kembali
malam-malam asmara, cinta pun menjelma
menjadi butiran-butiran es
yang meleleh di sela-sela jemari
menetes pada tawar hari-hari
yang mengigaukan namamu tak henti-henti.
Malam Kota, Rambutmu
Engkau datang dalam hidupku bagai gempa
mengirimkan runtuhan kota ke tenteram kalbuku.
Sejak itu jiwaku darurat selalu, bergegas membangun
tenda-tenda sepanjang jalan yang sesak oleh erangan
pilu, erangan rindu. Kita pun membangun kota baru
dengan tiang-tiang malam. Kau baringkan di sana
segala lukamu tempat lenganku melebar
memperban isak tangismu. Setiap matahari terbit
aku beringsut, kembali menjadi warga kota yang lain.
Baru jika lampu-lampu di sana menyala dengan kegelapan
aku berlayar diam-diam di sungai-sungai
yang mengalir oleh geraian rambutmu. Dan lautmu
yang menggenang beribu tahun mulai berombak
kembali kala perahuku mencapai bandar itu.
Hampir-hampir saja kota itu menjelma sebuah negeri baru
ketika seribu matahari tiba-tiba memanggang kota baru
yang kita bangun dari tiang-tiang malam hingga menguap
jadi bayang-bayang. Sungai-sungai mengering
memangkas rambutmu. Lalu engkau pun pergi
dari hidupku bagaikan gempa meninggalkan
hamparan puing sepanjang kota siang,
sepanjang kota malam. Di jantungku masih tertinggal
kartu warga dari sebuah kota yang perlahan sirna.
Pada Bulan Sabit Tubuhmu
Di puncak ombak bulan sabit tubuhmu
mengambang di danau malam. Aku termangu
bagai penyair hariku, gemetar
melukis erang cintamu. Maka kutulis sajak-sajak
kasmaran di hamparan geraian rambutmu.
Sejak pertama kita bertemu, saat tendangan
cerlang matamu melumpuhkan sekujur nadiku
akulah pemburu buruanmu. Pancing yang tertangkap ikan
di dasar lautan. Kaulah tiram
yang mengubah air mata menjadi mutiara.
Di puncak rindu bulan sabit tubuhmu
berdemonstrasi di sekujur nadiku,
meneriakkan yel-yel percumbuan.
Bagai tiran atau pemilik pabrik yang gugup
aku berlari dari hotel ke hotel untuk bisa lelap
tapi setiap ranjang menjelma handphone
yang berdering-dering memanggili namamu.
Di puncak malam bulan sabit tubuhmu
berlayar di angkasa raya. Bintang-bintang
menulis puisi di selembar jiwaku
hingga meriap sajak-sajak yang tak bisa dituliskan
tak bisa dibacakan. Hanya halus dengkurmu
yang mampu mendaraskan sajak-sajak itu
dalam kekudusan yang sempurna.
***
http://sastra-indonesia.com/2009/03/sajak-sajak-agus-r-sarjono/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar