http://cetak.kompas.com/
Seperti Adam yang Bersepeda
Seperti Adam yang bersepeda, aku juga bersepeda di pantai. Sepeda besar, ban besar dengan tuter yang berat dan gembung. Yang jika dipukul bergaung dan menembusi setiap yang telah dan akan dilalui. Membukai arah-arah yang baru. Seperti sepeda Adam, sepedaku juga berwarna ungu. Dan setiap terkayuh, jejak bannya menggoresi pasir. Membentuk selang-seling yang dalam. Yang kelak akan dibaca sebagai awal huruf. Huruf di dalam setiap lekukan lidah. Dan seperti Adam yang turun dari sepedanya, aku juga turun dari sepedaku. Menghampiri tepi pantai. Memasang umpan. Lalu melemparkan mata pancing. Seloroh gertak akaran dan karang: Apa yang ingin kau pancing? Jawabku, sama seperti jawaban Adam: Aku ingin memancing Eden. Memang, setelah pengusiran dulu, Eden terus ditenggelamkan di pantai. Dedasaran menyimpannya di suatu ceruk. Yang kata kabar dari entah: Akan menyembul jika dipancing. Dipancing tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut. Tapi anehnya, waktu tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut itu, juga seperti ditenggelamkan. Lenyap dalam keabadian. Jadinya, meski dipancing, Eden tetap tak menyembul. Pantai tetap tenang. Penuh rahasia. Hanya degup sendiri yang terdengar. Dan keluhku, sama seperti keluh Adam: Jika memang tak bisa dipancing agar menyembul, maka aku akan meminta langsung. Ya, aku, seperti cara Adam, pun meminta dengan mendongak ke langit. Mencari-Nya. Mengintai-Nya. Tapi, adakah Dia melintas dan sedikit mengerling? Akh, seperti Adam yang kembali bersepeda, aku juga kini kembali bersepeda di pantai. Bersepeda sambil mendongak. Sesekali mengayuh. Sesekali memukul tuter. Dan sesekali mencari: Di mana Dia melintas, menyeret Eden. Dan di mana juga Dia mengerling, mengembalikan yang terusir?
(Gresik, 2008)
Sumur Merah
belajar dari al falaq
Sumurku telah menjadi merah. Sebab telah kau racuni dan kau lukai. Di dasarnya kau letakkan anak kunci. Agar aku tak dapat membuka pintu kamarku. Dan tidur di dalam kedinginan luar yang memar. Dari kerahasiaan yang tak aku ketahui, kau pun mengirimkan tulahmu. Seperti debu, tulah itu menelusup lewat jalusi. Dan seperti udara, menyembul lewat lubang-lubang. Dan aku melihat tulahmu bekerja dengan mata gasalnya. Memotongi malam dan menyeretnya seperti ternak. Ternak yang kau tawarkan di pasar-pasar. Sambil berbisik: “Di dalam kerahasiaan, tak ada yang tahu, jika kejahatan dapat aku tiup dengan sempurna.” Lalu aku yang tak jahat ini apa melawanmu? Dadaku memang telah penuh bisik-bisik. Agar menengadah dan bangkit seperti pohon-pohon yang menghadang. Tapi, sekali lagi, aku tak akan melawanmu. Aku hanya berlindung sambil memanjangkan rambut. Lihatlah rambutku yang keemasan. Dan lihatlah juga bagaimana rambutku teranyam, membuat bulatan liat untukku. Bulatan benderang yang begitu tak tertembus. Dan lewat bulatan benderang itu aku akan leluasa melampaui kerahasiaan kejahatanmu. Dan aku pun yakin, sumurku yang telah menjadi merah itu tentu akan kembali bening. Dan kamarku yang terkunci, tentu akan terbuka dengan sendirinya. Aku memang akan bernyanyi, dan kau akan kecewa berat. Dan aku menari, kau terus memotongi malam dan menawarkannya. Berapa keping emas yang kau dapat? Berapa kerahasiaan kejahatan lagi yang kau kirimkan? Berapa dan berapa? Lihatlah lagi: Aku yang bersujud di puncak pagi. Dan dari puncak pagi itu, bulatan benderangku terus melayari jagat. Seperti pelayaran kerahasiaan lain yang bukan kerahasiaan kejahatanmu. Tapi kerahasiaan yang sederhana. Dan lewat kerahasiaan yang sederhana itu, kau akan tahu, jika aku memang bukan apa- apa. Aku hanyalah si yang biasa-biasa. Yang sesekali berkata: “Kegentaranku yang utama, adalah kegentaranku sendiri.” Dan aku pun merasa, semuanya jadi demikian enteng…
(Gresik, 2008)
Zahrotul
langgam blambangan
Peri belia yang menunggang daun menyusuri Kalisetail. Mencari kekasihnya yang katanya dikirim lewat kereta Rogojampi. Kereta yang juga mengirim nyali para penyabung. Yang telah memasang taji di keningnya. Agar dapat menempur para penyeleweng di lereng Kumitir. Para penyeleweng yang kerap memotong sabuk tanggul. Sampai arus kedung menghilang ke Alas Purwa. Dan, ya, Kang Mas, Kang Mas... begitu harapan peri belia. Seperti harapan belalang di lubang gembok-gerbang-kampung Sempusari. Belalang yang punya sungut melengkung. Dan warna sesamar hantu Pakis bulan yang keenam. Hantu Pakis yang menangis lewat kelok jurang Mrawan. Tangisan yang membuat semua yang tampak jadi menyurut. Untuk kemudian melepuh. Dan melepuhi tiap genting. Juga tiap genting yang dimiliki orang-orang Using yang tak asing itu. Tapi, adakah, adakah kekasih peri belia itu akan segera tersua? Sayangnya tidak. Dan sayangnya juga, peri belia yang menunggang daun itu cuma bisa terus menyusuri Kalisetail. Dan di sepanjang susurannya (mulai dari Glenmore sampai ujung Kalipahit) peri belia pun cuma mendapat gelap. Dan di dalam gelap itu, ada yang terdengar sedang menyamak Gandrung. Ada yang terdengar sedang mendengung. Dan ada juga yang dengan diam-diam menjulurkan lengannya. Seperti juluran lengan milik sang Menak Blambangan. Lengan yang persis di otot pusatnya terselip sekepal saga yang tampak begitu menjantung. Tampak begitu ingin meronta. Meronta di dalam kelebat harapan yang tak akan pernah sempat terjamah. Lihatlah, kereta Rogojampi pun lewat sudah!
(Gresik, 2008)
Ular-Tangga
merah-mudanya lan fang
Kau pergi ke bulan. Dengan gairah dan bualan yang pernah mengawetkan jalur sulur air matamu. Sebab di inangmu, kau telah bosan menunggu dia. Dia yang akan turun dengan langkah-langkahnya yang berjingkat. Berjingkat dengan seluruh kegemetaran di rahangnya. Yang akan mengunyah tiap inci tubuhmu. Kunyahan yang selalu kembali dimuntahkannya kecil-kecil. Untuk kemudian dibentuknya lagi. Ketika pagi tiba. Dan ketika encikmu, si penghafal Yasin itu, menceritakan hidupnya: Hidup yang ingin jadi pengiman. Sebab tak ingin sekedar berdagang beras dan kelontong kiloan. Tapi runtukmu: “Mengapa, mengapa dia cuma mau mengunyahku. Mengapa tidak sekalian melahapnya?” Dan matamu yang sipit seakan terjepit itu pun terus saja mengarah ke langit. Mengarah ke setiap titik angkasa. Titik yang begitu lenggang. Seperti lenggangnya gaun satin Kwan Im. Saat dijadikan pembungkus potongan dua belah lengannya sendiri. Ketika dipinta si raja. Sebagai obat penawar (yang akan dikeringkan dan ditumbuk) bagi sebuah pagebluk yang telah digariskan oleh siasat. Oleh semacam permainan ular-tangga yang berhasrat menjungkirkan isyarat mandala istana. Tapi ketika bulan sudah tampak, mengapa tiba-tiba gairahmu buyar? Buyar menjadi biji-biji warna yang berlesatan. Membuat angkasa benderang. Benderang seperti sirip bianglala yang terbuka. Oh, di antara bukaan-bukaannya itu, kau pun lagi-lagi kembali cuma mendengar suara encikmu, si penghafal Yasin itu. Si penghafal tentang hari akhir dan perkaliannya. Serta sebuah penghalang, yang seandainya dipasang, tentu akan membuatmu tak akan bisa ke atas dan ke bawah. Diam di tempat. Seperti diamnya sebentang papan ular-tangga yang tergeletak. Ditinggalkan teka-teki kejelian dan keraguan dadunya!
(Gresik, 2008).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar