Selasa, 27 Juli 2021

Sajak-Sajak Dimas Arika Mihardja

oase.kompas.com
 
CANDI MUARO JAMBI
 
aku dengar keluh batubatu runtuh
berpeluh. tak ada arca atau stupa
hanya ilalang bergoyang terpanggang matahari
sebuah situs tak terurus menggerus hati
pejalan sunyi, sendiri memikul luka diri
mengaca pada bayang batanghari
yang tiada henti merangkum tragedi
 
aku sendiri membangun candi
dalam mimpi yang sulit diurai
di kedalaman hati: kau tegar
abadi.
 
Jambi, 1994
 
 
 
RIAK DAN OMBAK BATANGHARI
 
ada masanya engkau bicara kecipak riak
atau teriak ombak dalam sajak
semuanya saling desak
jika ingin bicaralah tentng angin
cuaca dingin atau soal lain:
satwa, aneka derita
doa-doa purba
bersilancar bersama debar
atau menggulung layar
 
di bidang dadaku tumbuh menyemak pusaran waktu
tetapi selalu lupa kaucumbu
sampan dan perahu melaju di hatiku
sejuta kata mengarus dan berpusar
di pasar: orang-orang saling menawar harga diri
gengsi atau menjajakan mimpi
 
di urat nadiku budak-budak jambi lasak
mengejar matahari—membakar sesaji
menebar jala—merenda makna
sementara irama gerakku—riak dan ombak itu
terus menderu menghanyutkan mimpimu
 
Pasar Angso Duo, 1994
 
 
 
UPACARA GERIMIS
 
pasukan hujan berbaris
pandang matanya mengiris nurani
mikrofon tegak di atas kehampaan
menyimpan aneka suara aneka irama
basah disiram resah
komandan upacara—ibu pertiwi
sedang bersedih hati
upacara kenduri tak usai
tak sampai tak terpahami
o, air mataku berlinang
nyanyikan bendera setengah tiang!
 
1993
 
 
 
CATATAN PERJALANAN, 5
 
(di bawah bayang bulan merah darah
dibawa daulat rakyat yang meluapluap
anakanak sejarah berderap
membuka sekatsekat birokrat yang mampat
kota telah berubah belantara
orangorang jadi binatang berbisa
ada juga sejenis trenggiling
yang suka menyelamatkan diri dengan cara tak terpuji)
 
“pak, bagaimana cara membaca cuaca?”
bertanya seorang anak
suaranya bagai mesiu meledak
 
sang bapak cepat bisa menebak:
di balik semak katakata tergambar peta
tahta
dan mahkota
maka kata tanya membentur meja para pemuja
bendabenda
nguap dalam sajak yang sesak
oleh segala isak
 
 
 
SAJAK SEDERHANA UNTUKMU
 
kutulis sajak sederhana untukmu
dan untuk-Mu. Sebuah sajak
mengelopak dalam dada
kupersembahkan untuk-Mu
inilah sajakku. Suara sukma
yang melagukan nama nama
mesra menyentuh kalbu
 
kuhidangkan lanskap batin diperjamuan
pesta anggur: Santaplah penuh gairah
sebab di sana ada desah sederhana
buat keselamatan perhelatan
 
makanlah sajakku—anggurnya
mewangi. Santaplah buah yang terhidang
penuh kecintaan, sebab segalanya tersurat
segalanya menggeliat segalanya
untukmu
 
jika dada rasa sesak
tuak menggelegak
jangan campakkan sajak
sajak-Nya.
 
Sungaiputri, 1993
 
 
 
PERJALANAN, 2
: Piek Ardijanto Supriadi
 
lama kita untai wirid di ujung senja
sementara mega berarak melintas barak
persinggahan kita
 
jejak siapakah membiak sepanjang pantai
 
wahai, sejenak kita terhenyak
mendekap debardebar di dada
luka
 
ayo, dentingkan lagi petikan gitas tuamu
sama kita lagukan irama qasidah cinta
 
perjalanan kita lah sampai
di tapal batas arasy menghitung puisi
tiada sangsi menyanyikan irama wangi melati
menapaki jalan sunyi
menggenggam pelita Nur Ilahi Robbi
 
Sungaiputri, 1993
 
 
 
PADA TIRAI YANG MELAMBAI
 
pada tirai yang melambai
terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai
pucatpasi. tiada suara
tawa atau canda. di sini semua fana semata
hanya seremoni belaka: doadoa sederhana
mengangkasa
 
pada tirai yang melambai
ada yang tergadai, seperti pantai landai
tempat riak dan ombak berontak
atau saling bantai, tak hentihenti mencumbui
karang, teripang, juga segala bayang
 
pada tirai yang melambai
kuuntai tragedi—demi—tragedi
yang tak kunjung usai
 
 
 
AKU SENANTIASA MENYERU
 
aku senantiasa menyeru tanpa jemu ketika sawahsawah
rekah dan bumi tengadah memeram wajahwajah
gelisah petani yang menggigil. aku
senantiasa tiada lelah memapah jiwa-jiwa resah
menuju lembahlembah yang dibanjiri darah. aku
terus melangkah mengucurkan darah ketika penyair
kehilangan katakata karena bahasa telah pecah
berdarahdarah
 
maka aku senantiasa menyeru jiwajiwa batu
agar selalu ingat keringat rakyat yang dengan
tangantangan penuh lumpur mengadukaduk nasib
mengolah masa depan yang suram
aku senantiasa menyeru kamu yang dengan kejam
memakan insaninsan malang
 
aku senantiasa menyeru kamu yang tanpa ragu
memangsa sesama yang begitu menderita
senantiasa menyeru kamu yang tanpaa perasaan
memakan masa depan demi memuaskan
nafsunafsu menggebu
 
Malang, 1996
 
 
 
SILATURAHMI
 
sekian kali kukunjungi
makam-makam peradaban di altar persembahan
kita sama merasa asing oleh derapwaktu
dan tahu jalan yang dituju taktentu
 
beraparibu kita bercumbu
mengurai missteri jarak pendakian
tapi tak satu jua arti bisa dipahami
 
di atas geriap sayapsayap keasingan
kembali kueja makna pertemuan ini
hingga waktu enggan berbagi
 
Merenungi Obituari Rembulan
:kado ulang tahun dalam almanak yang pecah
 
arus sungai mengusung keranda rembulan ke huluan
puntungpuntung kata dan frasa berserak di atas tongkang
yang diayun gelombang. bidukbiduk sayak
bersajak tentang tempoyak, riak dan ombak batanghari
di lapaklapak pasar lopak yang sesak:
rembulan itu hanyut ke seberang lalu tersangkut
di jaringjaring nelayan
 
rembulan nyaris purnama
sungai memanen riakriak isak sajak
di rerimbun semak seluwang, patin jambal
baung dan arwana merenangi arah arus batanghari
menembus cermin langit dengan kompas di siripsiripnya
sawit pun taklelah melepaskan cangkangcangkangnya:
dan terasa ada yang luruh menjelang subuh
 
bayang rembulan menyusut saat mentari bangun pagi
balam, murai batu, dan pipit berkompangan
menyanyikan tradisi di dahan pohonpohon tembesi
nelayan menjaring gerhana
dan menyelam di palung paling dalam:
rembulan dan matahari adalah bolabola bilyar
disodok lalu saling berbenturan
satudemisatu bola itu masuk lubang di akhir permainan
 
di ujung senja angsoangso kecilmu berenang di kedalaman airmata
sebelum pada akhirnya meregang di huluan
pedagang lemang di simpang mayang gamang
memandang gerhana tanpa bintangbintang
tempoyak dan cempedak berteriak serak:
beri aku sajak yang paling tuak!
 
bengkel puisi swaddaya mandiri jambi, 2007-01-25
 
 
 
Membangun Pelabuhan
: ary mhs ce’gu
 
setelah ayat 73 menghukummu
baik kita pugar pasar angso duo dan lapaklapak lopak
memasang sayap anakanak balam di pedalaman semak
atau menjual tempoyak dan lemang di simpang mayang
 
di simpang rimbo (dalam bayangbayang ruko terminal alam barajo)
anakanak kubu mengepit buku berburu waktu
dan aspal jalan yang kaupijak mulai mengelupas:
aku tandai batasbatas perjalanan di emperan matahari
pada bibir sungai batanghari
 
pada bibir sungai ini kita rajut batubatu
penyekat ruangwaktu penahan laju erosi puisi
nisannisan mengapung dari hilir ke huluan
melayarkan beribu rindu cericit burung
layarlayar pun berkibar ketika dengar guritmu
yang menjeritkan ayatayat:
siapa tersayatsayat?
 
bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-01-28
 
 
 
Mengayuh Biduk
: cerita cinta sang bohemian yang kasmaran
 
biduk diatas air membawa ari melintasi pulau birahi
menuju pulau berhalo yang memisteri
menguak bianglala dan cakwawala
di dada nelly
 
nelly adalah sajak yang paling tuak
yang kautenggak di teras ketika menunggu kereta senja
gerak malam terasa berwarna
ketika kautanam sungai rembulan
di belakang taman makam pahlawan
di rindang reranting kamboja
 
telah kauziarahi kota mimpi
membakar matahari bersama nelly
menjelajahi kerinduan bintang yang menggelegar
meledakkan perkampungan mimpimimpi ani abunjani
merekontruksi requim kota kenangan
kemudian mengubur rumah bangkai
di dasar sungai batanghari pada dini hari
 
bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-01-28
 
 
 
Mendulang Kerlip Bintang
: beri aku sajak yang paling tuak!
 
batanghari tak lelah mengarus
menimang tongkang dengan ayunan gelombang
bidukbiduk tersuruk pada tumpukan sajak yang sesak:
beri aku sajak paling tuak!
 
acep syahril nggigil mindah nasib sendiri
ketika indonesia berlari. ari setya menatah matahari
mewarnai pelangi di atas sungai rembulan
dimas dan thomas membalut perasan dan perasaan
cemas dengan selendang mak inang:
beri aku sajak yang paling tuak!
 
sungai memanen riak sajak
di antara semaksemak. ghazali burhan riodja
mendaki lereng kerinci memilih bertapa
dan memanen makna di bawah kamboja
dengan filosofi diam iif rentakersa
membangun oratorium puisi
budi telah jadi veteran
iriani duduk di tanggo rajo
menggambar zulkifli dan aurduri—pada rambutnya
terselip bunga tulip dan matanya kian sipit:
beri aku sajak yang paling tuak!
 
bebintang hanyut ke seberang lalu tersangkut
di jaringjaring nelayan. muhammad husya’iri
menyairkan ayatayat
sang yogiswara memuja padma di situs kemingking
mang alloy, nanang, kang didin menyanyikan seloko
diiring nyaring rampak gendang—perkusi—kecapi—seruling
yang melengkinglengking
di tengah pedalaman bukit duabelas
al-murtawy menyanyikan lagu bocah kubu
merindu bukubuku:
beri aku sajak yang paling tuak!
 
bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-01-28
 
 
 
Meminang Batu
: bersama diah hadaning
 
di tanah berbatu senja begitu renta
waktu belum mengenal pesan singkat
tapi kita begitu dekat. cuaca memang bening
di kerut kening:
bacakan sajak paling enak, dimas
 
aku pun menuju dan meninju podium batu
gelegar, petir menyambar mimbar
serpihan batu mengotori gaun hitam. selendangmu
berkibar:
lihat segitiga sama sisi, dimas
 
langit: segalanya tampak wingit
bumi: sejuta gelisah yang membuncah
laut: riak dan ombak berontak.
di kedalaman sajak:
bercak dan isak!
 
bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-03-22
 
***
Dimas Arika Mihardja adalah pseudonim Sudaryono, lahir di Jogjakarta 3 Juli 1959. Tahun 1985 hijrah ke Jambi menjadi dosen di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Gelar Doktor diraihnya 2002 dengan disertasi “Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia” (telah dibukukan oleh Kelompok Studi Penulisan, 2003).
Sajak-sajaknya terangkum dalam antologi tunggal seperti Sang Guru Sejati (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1991), Malin Kundang (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1993), Upacara Gerimis (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994), Potret Diri (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri,1997), dan Ketika Jarum Jam Leleh dan Lelah Berdetak (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri danTelanai Printing Graft, 2003). Sajak-sajaknya juga dipublikasikan oleh media massa lokal Sumatera: Jambi, Padang, Palembang, Lampung, Riau, dan Medan; media massa di Jawa: surabaya, Malang, Semarang, Jogja, Bandung, dan Jakarta.

Antologi puisi bersama antara lain Riak-riak Batanghari (Teater Bohemian, 1988), Nyanyian Kafilah (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1991), Prosesi (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1992), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi, 1992, 1993), Serambi 1,2,3 (Teater Bohemian, 1991, 1992, 1993), Rendezvous (Orbit Poros Lampung (1993), Jejak, Kumpulan Puisi Penyair Sumbagsel (BKKNI-Taman Budaya Jambi, 1993), Luka Liwa (Teater Potlot Palembang, 1993), Muaro (Taman Budaya jambi 1994), Pusaran Waktu (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994), Negeri Bayang-bayang (Festival Seni Surabaya, 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ-TIM Jakarta, 1996), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa Bandung, 1997), Amsal Sebuah Patung: Antologi Borobudur Award (Yayasan Gunungan Magelang, 1997), Angkatan 2000 dalam Kesusastraan Indonesia (Gramedia, 2000), Kolaborasi Nusantara (KPKPK-Gama Media, 2006), Antologi Puisi Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2007), Tanah Pilih (Disbudpar Provinsi Jambi, 2008), Jambi di Mata Sastrawan: bungarampai Puisi (Disbudpar Provinsi Jambi, 2009). Novelnya Catatan Harian Maya dimuat secara bersambung di Harian Jambi Independent (2002). Cerpen, esai, dan kritik sastra yang ia tulis tersebar di berbagai media massa koran dan jurnal-jurnal ilmiah. Alamat Rumah: Jln. Kapt. Pattimura No. 42 RT 34 Kenali Besar, Kotabaru, Jambi 36129. e-mail: dimasarikmihardja@yahoo. co.id. atau dimasmihardja@gmail.com  http://sastra-indonesia.com/2021/07/sajak-sajak-dimas-arika-mihardja-3/

Tidak ada komentar:

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae