http://www.republika.co.id/
PUCUK ILALANG
walau angin tak henti mengoyak tulang
walau rimis menggenang di desah malam
untukMu, sekuntum bunga telah kupersiapkan
kalaupun tiba hari keputusan itu datang
izinkan kutuntas perjamuan
laksana nyanyian tafakur burung
di pucuk ilalang
November 2008
WAJAH SENGKETA
seperti kau saksikan,
kawasan hijau nenek moyang
kini berstatus sengketa
pasar malam diam-diam digelar
di tanah kuburan. jual beli pengetahuan
tawar menawar nilai kehormatan
adobsi sampai aborsi janin keluhuran
nampaknya sudah jadi hal biasa
jika dijadikan kudapan atau barang muntahan
bila semua mengaku teman saudara seiman
lantas mengapa lapak topeng dan belati laris
berjualan di pintu gerbang?
sesekali ada baiknya
melakukan seppuku di muka cermin
agar dapat memandang dan memeriksa
bahkan menyunat rupa kemaluan yang ada
daripada berbondong-bondong
(keliaran di tanah kuburan)
sambil membandrol harga diri
sesuai selera yang diagungkan
daripada meneriakkan nama-nama Tuhan
sementara barisan kurung batang
menyaksikan sambil cekikikan
September 2007
PEDANG BERLUBANG
ketika ditanya apa yang di butuhkan?
maka di katakannya: pedang
ketika di tanya
berapa banyak yang di butuhkan?
maka di katakannya: delapan
kembali ditanya, mengapa
begitu sulit melukis kata-kata pedang?
pedang berlubang menjawab
19 hal masihlah berupa teori
tapi 20 yang sebenarnya
adalah ilmu yang paling sempurna
inilah sebab mengapa ilmu kaligrafi pedang
begitu sarat mengandung pasukan
(sesarat purba tafakur alam)
dan inilah sebab mengapa ilmu kaligrafi pedang
mampu melesat sesempurna kilau cahaya
2006-2008.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 30 Januari 2009
Sajak-Sajak Raudal Tanjung Banua
http://www.suarakarya-online.com/
Bahasa Mercusuar yang Dikuburkan
: bagi indra tjahyadi, "si ekspedisi waktu"
Berabad-abad, waktu (bukan terumbu), terus tumbuh
Mekar, tak tersentuh tangan penyelam
di kedalaman
Bukan. Waktu, berabad-abad waktu, bahkan
bukan bangkai kapal kayu, hantu laut dan hening hiu
di kediaman dasar yang jauh
Detak dan laju watak dari waktu.
Mengalirkan kapal-kapal ke daratan baru
Pun kapal selam masuk ke kedalaman
berbekal zat asam
-dan merasa begitu sempurna penemuan!
Tapi adakah yang lebih berdenyut
dari arus, lebih kencang dari hanyut?
Adalah kami yang terus menggali
Reruntuhan mercu suar yang dikuburkan
Adalah kami yang membahasakan kembali
Isyarat dan kilau pilu cahaya pulau
yang dimusnahkan
Sampan kami dari kiambang. Zona kami
zona terlarang. Tak tersentuh logam dan mulut kapal
Kami tak butuh pelampung dan zat asam, bahkan
pada cuaca kami tak lagi bersandar derita
Kami hanya menabur garam, dilimbur pasang
bagi ular jahanam
di pokok menara yang kami nyalakan
dengan cinta. Dan berdenyut waktu
abad-abad bisu di pantaimu
Bangunlah! Kelip mercu suar yang dikuburkan
diam-diam merangkai kata, bahasa pasir bahasa lokan
Menawarkan gagasan baru kepadamu,
bukan impian baru di mana kau jauh dari waktu
Percayalah, percayalah, manisku
/1999-2004
Bahasa di Pantai Masih yang Dulu
untuk bpk. max arifin
Pemandangan di pantai tidak mengubah
rangkaian bahasa dan keyakinan kita
walau samanera, panji-panji serta bendera
telah berganti warna. Berkibaran
setinggi pucuk daun kelapa
di pelabuhan, di rumah-rumah kelabu
gudang tua serta menara
semua bicara dalam bahasa lama:
urusan dagang, popor senapang, poster-poster
setengah telanjang. Juga
gema panjang lorong tambang. Aroma rempah-rempah
dan lambung kapal para maskapai. Sampai-
pendaratan demi pendaratan
menggerus pantai dan pulau karang yang kita jaga
dengan keyakinan nganga luka punggung terbuka
Maka berbicaralah engkau, niscaya setiap suku-kata
terbakar di udara. Terasa sengau dan baja
Tapi di sebuah menara api terdekat
yang mengobarkan kepergian
dan pendaratan kapal-kapal
kita bertahan: membangun kerajaan sendiri
dari sunyi dan puisi.
/Yogya, 2003
Bulan untuk Ibu
Ibu, di tubuhmu yang tabu untuk kusentuh
Kulabuhkan ingatan keparat dan menyesakkan
demi sebait puisi yang menjadikan engkau bulan.
Akan bangkit gairah yang runtuh
Meski ajal dan kepulangan terlanjur sudah dijanjikan.
Tungku-tungku telah dinyalakan
Kutu-kutu telah ditindas
dari rambut. Sagu-sagu telah ditebang
dari lahan gambut. Susu-susu sudah diperas
dari setiap daging yang tumbuh
Padi-padi telah ditumbuk
dari lumbung dan lesung
Lalu, apalagikah yang belum genap
dari tubuhmu, Ibu?
Di tubuhmu bersarang seluruh:
rangrang dan burung-burung
luruh sayap. Pisau tak bersarung
Alu yang berderap. Pun sepatu dan debu
Bumbu-bumbu dan warung kopi
penuh cakap
tapi tidak tentang kepulangan! Biarlah, Ibu,
kepulangan menjadi milikku seorang;
milik ajal dan gairah tak tertahankan
Agar bangkit segala yang runtuh;
hingga tubuhmu tak lagi tabu aku sentuh
dengan tangan panjang kenanganku;
Begitulah ibu, tubuhmu menjelma jadi sepotong labu
dalam arus pikiranku
hijau, telanjang, berlumut, terapung hanyut
ke laut pengembaraan
Maka di ujung puisi ini, sebelum turun hujan
Kujadikan engkau bulan.
/yogyakarta, agustus 2001
Pantun Beruntun Penuntun Pulang
Pandan tumbuh
duri pun tumbuh
tumbuh di pematang
di tepi ladang
menyiang separuh
hari 'lah petang
petang menyerah
ke kelabunya
Badan rusuh
hati pun rusuh
rusuh dirintang
bernyanyi dendang
dendang menyuruh
'rang dagang pulang
pulang berserah
ke ibunya.
/yogya, 2001
Romansa
Ladangku di sebalik bukit
dan putih kabut
Tempat urat-urat ungu merambat hening
Di ubun dan kening ibuku
Mulut lumut dingin terkatub
Neteskan embun, mengecupnya.
Kecup aku, o, sari embun
Lumut, licinkan keping batu di bibirku,
dan luncurkanJadikan kataku labu,
terapung di jauhan
Jatuh dari sebalik bukit kelabu.
Selamat tinggal lubang tugal,
Selamat tinggal hantu manis kebinasaan
Biji yang berkecambah di tepi rimba
Busuk disiram hujan asam.
Berapa jarak pondok ladang
tempat aku memandang
lengkung-lebam punggung ibu?
Mungkin hanya sejulang asap,
pisang panggang dan jerit enggang
Tapi akar liar yang membelit kakiku
sudah lama tak membuka pintu pulang
Para kelana dan petualang.
Bunda, pulangkan aku, ke ladang gandum
Angin, kuakkan akar hitam di kakiku liar
telanjangkan jalan coklat berlumpur
dan matangkan buah cinta
peraman kolong pondok ladang
manislah, sayang, labu-labu anggur penantian.
1998/2005
Kupilih Kisah di Antara Keluh-Kesah
Sebuah kampung begitu setia
menampung kisah dan keluh-kesah
seperti talempa ditimpa air sirih
kunyahan seorang nenek tua
Atau seperti meja lepau
tabah menerima tumpahan kopi
dari mereka yang berjaga sampai pagi.
Nenek itu duduk menganyam tikar pandan
sambil merangkai kisah 1001 malam
miliknya sendiri. Dan selembar tikar
telah menundanya dari kekalahan bilik bosan.
Sementara para lelaki yang berjaga
terus bicara 1001 perkara
yang bukan miliknya lagi. Debat dan seteru
memberi mereka rasa jantan
penawar jemu dan kelu malam.
Dan pada hari kesekian,
tikar nenek itu selesai sudah
mungkin dengan sisa cerita yang belum genap
tersampaikan, dengan ranji atau silsilah
yang belum selesai tersebutkan.
Tapi selesailah segalanya, meski mulut masih merah
memberi kesan perih akhir kisah!
Tinggal aku sendiri, cucu paling setia
memungut sisa duri dari merah kata-kata
kini mesti memilih: kisah yang perih
atau keluh-kesah ringan berbagi?
Kupilih kisah daripada keluh-kesah!
Meski sepi, tak tertebak alur dan akhirnya:
Segetir gambir, segalir pinang dibelah dua
Begitulah mesti kukunyah pahit sirih
daun nasibku.
hingga merah pula mulut dan lidah
memamah kisah-kisah!
Dan di antaranya duduk saudaraku
Penuh keluh dan gerutu
tersihir kartu-kartu!
/Rumahlebah Yogyakarta, 2003-2004.
Bahasa Mercusuar yang Dikuburkan
: bagi indra tjahyadi, "si ekspedisi waktu"
Berabad-abad, waktu (bukan terumbu), terus tumbuh
Mekar, tak tersentuh tangan penyelam
di kedalaman
Bukan. Waktu, berabad-abad waktu, bahkan
bukan bangkai kapal kayu, hantu laut dan hening hiu
di kediaman dasar yang jauh
Detak dan laju watak dari waktu.
Mengalirkan kapal-kapal ke daratan baru
Pun kapal selam masuk ke kedalaman
berbekal zat asam
-dan merasa begitu sempurna penemuan!
Tapi adakah yang lebih berdenyut
dari arus, lebih kencang dari hanyut?
Adalah kami yang terus menggali
Reruntuhan mercu suar yang dikuburkan
Adalah kami yang membahasakan kembali
Isyarat dan kilau pilu cahaya pulau
yang dimusnahkan
Sampan kami dari kiambang. Zona kami
zona terlarang. Tak tersentuh logam dan mulut kapal
Kami tak butuh pelampung dan zat asam, bahkan
pada cuaca kami tak lagi bersandar derita
Kami hanya menabur garam, dilimbur pasang
bagi ular jahanam
di pokok menara yang kami nyalakan
dengan cinta. Dan berdenyut waktu
abad-abad bisu di pantaimu
Bangunlah! Kelip mercu suar yang dikuburkan
diam-diam merangkai kata, bahasa pasir bahasa lokan
Menawarkan gagasan baru kepadamu,
bukan impian baru di mana kau jauh dari waktu
Percayalah, percayalah, manisku
/1999-2004
Bahasa di Pantai Masih yang Dulu
untuk bpk. max arifin
Pemandangan di pantai tidak mengubah
rangkaian bahasa dan keyakinan kita
walau samanera, panji-panji serta bendera
telah berganti warna. Berkibaran
setinggi pucuk daun kelapa
di pelabuhan, di rumah-rumah kelabu
gudang tua serta menara
semua bicara dalam bahasa lama:
urusan dagang, popor senapang, poster-poster
setengah telanjang. Juga
gema panjang lorong tambang. Aroma rempah-rempah
dan lambung kapal para maskapai. Sampai-
pendaratan demi pendaratan
menggerus pantai dan pulau karang yang kita jaga
dengan keyakinan nganga luka punggung terbuka
Maka berbicaralah engkau, niscaya setiap suku-kata
terbakar di udara. Terasa sengau dan baja
Tapi di sebuah menara api terdekat
yang mengobarkan kepergian
dan pendaratan kapal-kapal
kita bertahan: membangun kerajaan sendiri
dari sunyi dan puisi.
/Yogya, 2003
Bulan untuk Ibu
Ibu, di tubuhmu yang tabu untuk kusentuh
Kulabuhkan ingatan keparat dan menyesakkan
demi sebait puisi yang menjadikan engkau bulan.
Akan bangkit gairah yang runtuh
Meski ajal dan kepulangan terlanjur sudah dijanjikan.
Tungku-tungku telah dinyalakan
Kutu-kutu telah ditindas
dari rambut. Sagu-sagu telah ditebang
dari lahan gambut. Susu-susu sudah diperas
dari setiap daging yang tumbuh
Padi-padi telah ditumbuk
dari lumbung dan lesung
Lalu, apalagikah yang belum genap
dari tubuhmu, Ibu?
Di tubuhmu bersarang seluruh:
rangrang dan burung-burung
luruh sayap. Pisau tak bersarung
Alu yang berderap. Pun sepatu dan debu
Bumbu-bumbu dan warung kopi
penuh cakap
tapi tidak tentang kepulangan! Biarlah, Ibu,
kepulangan menjadi milikku seorang;
milik ajal dan gairah tak tertahankan
Agar bangkit segala yang runtuh;
hingga tubuhmu tak lagi tabu aku sentuh
dengan tangan panjang kenanganku;
Begitulah ibu, tubuhmu menjelma jadi sepotong labu
dalam arus pikiranku
hijau, telanjang, berlumut, terapung hanyut
ke laut pengembaraan
Maka di ujung puisi ini, sebelum turun hujan
Kujadikan engkau bulan.
/yogyakarta, agustus 2001
Pantun Beruntun Penuntun Pulang
Pandan tumbuh
duri pun tumbuh
tumbuh di pematang
di tepi ladang
menyiang separuh
hari 'lah petang
petang menyerah
ke kelabunya
Badan rusuh
hati pun rusuh
rusuh dirintang
bernyanyi dendang
dendang menyuruh
'rang dagang pulang
pulang berserah
ke ibunya.
/yogya, 2001
Romansa
Ladangku di sebalik bukit
dan putih kabut
Tempat urat-urat ungu merambat hening
Di ubun dan kening ibuku
Mulut lumut dingin terkatub
Neteskan embun, mengecupnya.
Kecup aku, o, sari embun
Lumut, licinkan keping batu di bibirku,
dan luncurkanJadikan kataku labu,
terapung di jauhan
Jatuh dari sebalik bukit kelabu.
Selamat tinggal lubang tugal,
Selamat tinggal hantu manis kebinasaan
Biji yang berkecambah di tepi rimba
Busuk disiram hujan asam.
Berapa jarak pondok ladang
tempat aku memandang
lengkung-lebam punggung ibu?
Mungkin hanya sejulang asap,
pisang panggang dan jerit enggang
Tapi akar liar yang membelit kakiku
sudah lama tak membuka pintu pulang
Para kelana dan petualang.
Bunda, pulangkan aku, ke ladang gandum
Angin, kuakkan akar hitam di kakiku liar
telanjangkan jalan coklat berlumpur
dan matangkan buah cinta
peraman kolong pondok ladang
manislah, sayang, labu-labu anggur penantian.
1998/2005
Kupilih Kisah di Antara Keluh-Kesah
Sebuah kampung begitu setia
menampung kisah dan keluh-kesah
seperti talempa ditimpa air sirih
kunyahan seorang nenek tua
Atau seperti meja lepau
tabah menerima tumpahan kopi
dari mereka yang berjaga sampai pagi.
Nenek itu duduk menganyam tikar pandan
sambil merangkai kisah 1001 malam
miliknya sendiri. Dan selembar tikar
telah menundanya dari kekalahan bilik bosan.
Sementara para lelaki yang berjaga
terus bicara 1001 perkara
yang bukan miliknya lagi. Debat dan seteru
memberi mereka rasa jantan
penawar jemu dan kelu malam.
Dan pada hari kesekian,
tikar nenek itu selesai sudah
mungkin dengan sisa cerita yang belum genap
tersampaikan, dengan ranji atau silsilah
yang belum selesai tersebutkan.
Tapi selesailah segalanya, meski mulut masih merah
memberi kesan perih akhir kisah!
Tinggal aku sendiri, cucu paling setia
memungut sisa duri dari merah kata-kata
kini mesti memilih: kisah yang perih
atau keluh-kesah ringan berbagi?
Kupilih kisah daripada keluh-kesah!
Meski sepi, tak tertebak alur dan akhirnya:
Segetir gambir, segalir pinang dibelah dua
Begitulah mesti kukunyah pahit sirih
daun nasibku.
hingga merah pula mulut dan lidah
memamah kisah-kisah!
Dan di antaranya duduk saudaraku
Penuh keluh dan gerutu
tersihir kartu-kartu!
/Rumahlebah Yogyakarta, 2003-2004.
Sajak-Sajak Bernando J. Sujibto
http://www.padangekspres.co.id/
PROSESI XXV
tubuh ini adalah bastar di sebuah altar yang dingin
menjumpai hari-hari seperti patung di malam buta
lengking percakapan demi percakapan kaum paria tertelan
gerhana dan malam celaka eksodus ke kampung ingatan
padamkan matamu, padamkan mataku, rilke
aku akan kembali kepada kepekatan hikayat nenek moyang
menyerahkan tubuh kepada bunga-bunga musim di jalannya
memeram reguk-keminyan dan ritual agung di sebuah goa
tanpa borgol dan kunci-kunci keserakahan tengek dunia
gema doa menajamkan kilap batu akik, juga sorot mata kita
menembus dinding batu dan langit yang membuka selangkang
jalan-jalan menawarkan bunga kepada para pelayatnya
sumarah juntai tetangkai bulan-bulan terbuai, aduhai....
nyalakan mataku, nyalakan matamu, rilke
aku akan menjemputmu dengan nyala mata pelangi
mengajakmu kembali kepada masa silam kita sendiri
di sini akan tergali jalan-jalan takdir yang tak terhenti
2007/2008
Lambai Nyiur Teluk Bayur, ii
1/
liuk nyiur berderai
ke simpang lambai
terberai setangkai
jatuh tergadai lebai
2/
jika laut tak lagi mengombak
pasir karang menabung maut
bukan cuma rambut terjambak
ingatan jua lumpuh berlumut
3/
ke rantau jangan bawa pisau
tanah rantau leluhur ibu jua
jika laut kabarkan segala risau
kembali, tanah tak ada dusta
4/
lambai nyiur tersekat diam
di lembar senja yang karam
tubuhmu makin menghitam
apa yang dipasrahkab malam?
2008
Mengejar Senja -sujoyoko
1/
Senja diam di sebuah stasiun
Ataupun di ujung dermaga seberang
Tanpa lambai selain kedip gugur alismu
Senja tak pernah beranjak menunggu
Menguji kesetiaan di jalan yang simpang
Ada aroma keminyan dan rekah kembang
Sesekali peluit dingin meniup gugu
Saat ini, apa yang hendak dirisaukan
Dari akhir matahari menjelang malam
Untuk sesuatu yang menunggu?
2/
Tubuh kita berlarian ke pesisir selatan
Mengejar senja yang akan karam di lautmu
Di sini langit terbakar, bisikmu
Gunung-gunung melepas cadar
Menyaksikan perjumpaan
Melunaskan ingatan
Tak perlu kembali ke pulau ini lagi, pesanmu
Setelah matahari berkubur di mata kita masing-masing
2008
Sumur Kecil di Ngalau Indah
dari balik bukit itu ada bisik rancak
memanggil rinduku kepada hijau semak
sisa gerimis mencair dari julur bibir ilalang
semak membuka selangkang jalan-jalan lapang
di ujung lembah sebuah lereng sawah
bayanganku berkaca-kaca ke dalam lubuk
air sumur kecil yang mengalir sendiri ke bawah
kaki bukit yang mulai ranggas—ke akar-akar
mata air sumur kecil itu dari akar-akar
menjemput laut dari juntai kedipannya
kualirkan darahku ke lubukmu yang entah
menggali palung istirah dari dasar jantung
kepada rukuk dhuhur-ashar yang ku-qashar
tanah merekapku seperti akar-akar
hapus wajah asinku hingga ke pucuk
aku akan kembali kepada kuncup
sumur kecil di sebuah bukit mungil
sumur kecil mencipta sungai
memalung lautan sendiri
gelombangnya berdzikir
sederas darah jantungku
Payakumbuh, April 2008
PROSESI XXV
tubuh ini adalah bastar di sebuah altar yang dingin
menjumpai hari-hari seperti patung di malam buta
lengking percakapan demi percakapan kaum paria tertelan
gerhana dan malam celaka eksodus ke kampung ingatan
padamkan matamu, padamkan mataku, rilke
aku akan kembali kepada kepekatan hikayat nenek moyang
menyerahkan tubuh kepada bunga-bunga musim di jalannya
memeram reguk-keminyan dan ritual agung di sebuah goa
tanpa borgol dan kunci-kunci keserakahan tengek dunia
gema doa menajamkan kilap batu akik, juga sorot mata kita
menembus dinding batu dan langit yang membuka selangkang
jalan-jalan menawarkan bunga kepada para pelayatnya
sumarah juntai tetangkai bulan-bulan terbuai, aduhai....
nyalakan mataku, nyalakan matamu, rilke
aku akan menjemputmu dengan nyala mata pelangi
mengajakmu kembali kepada masa silam kita sendiri
di sini akan tergali jalan-jalan takdir yang tak terhenti
2007/2008
Lambai Nyiur Teluk Bayur, ii
1/
liuk nyiur berderai
ke simpang lambai
terberai setangkai
jatuh tergadai lebai
2/
jika laut tak lagi mengombak
pasir karang menabung maut
bukan cuma rambut terjambak
ingatan jua lumpuh berlumut
3/
ke rantau jangan bawa pisau
tanah rantau leluhur ibu jua
jika laut kabarkan segala risau
kembali, tanah tak ada dusta
4/
lambai nyiur tersekat diam
di lembar senja yang karam
tubuhmu makin menghitam
apa yang dipasrahkab malam?
2008
Mengejar Senja -sujoyoko
1/
Senja diam di sebuah stasiun
Ataupun di ujung dermaga seberang
Tanpa lambai selain kedip gugur alismu
Senja tak pernah beranjak menunggu
Menguji kesetiaan di jalan yang simpang
Ada aroma keminyan dan rekah kembang
Sesekali peluit dingin meniup gugu
Saat ini, apa yang hendak dirisaukan
Dari akhir matahari menjelang malam
Untuk sesuatu yang menunggu?
2/
Tubuh kita berlarian ke pesisir selatan
Mengejar senja yang akan karam di lautmu
Di sini langit terbakar, bisikmu
Gunung-gunung melepas cadar
Menyaksikan perjumpaan
Melunaskan ingatan
Tak perlu kembali ke pulau ini lagi, pesanmu
Setelah matahari berkubur di mata kita masing-masing
2008
Sumur Kecil di Ngalau Indah
dari balik bukit itu ada bisik rancak
memanggil rinduku kepada hijau semak
sisa gerimis mencair dari julur bibir ilalang
semak membuka selangkang jalan-jalan lapang
di ujung lembah sebuah lereng sawah
bayanganku berkaca-kaca ke dalam lubuk
air sumur kecil yang mengalir sendiri ke bawah
kaki bukit yang mulai ranggas—ke akar-akar
mata air sumur kecil itu dari akar-akar
menjemput laut dari juntai kedipannya
kualirkan darahku ke lubukmu yang entah
menggali palung istirah dari dasar jantung
kepada rukuk dhuhur-ashar yang ku-qashar
tanah merekapku seperti akar-akar
hapus wajah asinku hingga ke pucuk
aku akan kembali kepada kuncup
sumur kecil di sebuah bukit mungil
sumur kecil mencipta sungai
memalung lautan sendiri
gelombangnya berdzikir
sederas darah jantungku
Payakumbuh, April 2008
Sajak-Sajak Badruddin Emce
http://www.republika.co.id/
RUMAH ORANG TUA
: Raudal Tanjung Banua
Adakah masa kanakku
masih di tangan mereka?
Di ruang tengah rumah mereka
duka gembira tak dibuat-buat
tak perlu menjadi terang.
Coba lempar pandang ke luar!
Kebun samping mereka
telah kutanami tanaman semestinya.
Tetapi kepada rumput, kata hati
yang keprucut, mereka bisa maklum.
Setengahnya bahkan kagum.
Kawan, jika engkau bertamu
ke rumah pinggir jalan besar itu
hingga kemalaman
ada tersedia dekat ruang tamu, sebuah kamar
bagi yang ingin lepas yang sulit dilepas!
Maka engkau akan lebih merindukan mereka
dari pada merindukanku.
Dan mereka akan sering tanyakan kabarmu
kepadaku.
Cemburu aku!
Kroya, 2008
TEMAN ABADI
Sore itu, menjelang maghrib
demamku naik lagi.
Adakah udara sekitar turut mendidih?
Di dahan rambutan depan rumah
beberapa ekor burung jempalitan
seperti mendamba sesuatu
yang menyegarkan
Lalu aku mengigau!
Tentu kebahagiaan tersendiri
jika kata-kata penuh birahi ini
bagimu menyemangati
Dan kau tak halangi ini jadi abadi
Kroya, 2008
JERAMI
Bara kembali menjadi api. Dan marak setumpuk jerami yang disiram kesedihan murni. Mungkin kau juga turut menyiram jerami-jerami itu dengan kebasahan sempurna yang disukai api.
Anak-anak yang tertangkap usai mengambil yang ia sukai dan memamerkannya pada yang merasa mempunyai. Usai menjual beberapa butir yang ia tak pernah kenal rasa dan baunya, kini entah di mana. Mungkin tengah meringkuk dalam kandungan. Menghisap puting doa dan lamunan istrimu.
Bengkak matanya, tetapi tak kapok mentertawai semua yang kebingungan mencarinya, mencarinya untuk melepas kembali ke jalanan yang sama. Tetapi kita memang suka direpotkan.
Jalan-jalan sore hanya untuk berpapasan kembali dengan anak berwajah tak pernah dilahirkan itu, penasaran sekali lagi sebelum sempat mendandani sebagai manusia sejati.
Kroya, 2007
RUMAH ORANG TUA
: Raudal Tanjung Banua
Adakah masa kanakku
masih di tangan mereka?
Di ruang tengah rumah mereka
duka gembira tak dibuat-buat
tak perlu menjadi terang.
Coba lempar pandang ke luar!
Kebun samping mereka
telah kutanami tanaman semestinya.
Tetapi kepada rumput, kata hati
yang keprucut, mereka bisa maklum.
Setengahnya bahkan kagum.
Kawan, jika engkau bertamu
ke rumah pinggir jalan besar itu
hingga kemalaman
ada tersedia dekat ruang tamu, sebuah kamar
bagi yang ingin lepas yang sulit dilepas!
Maka engkau akan lebih merindukan mereka
dari pada merindukanku.
Dan mereka akan sering tanyakan kabarmu
kepadaku.
Cemburu aku!
Kroya, 2008
TEMAN ABADI
Sore itu, menjelang maghrib
demamku naik lagi.
Adakah udara sekitar turut mendidih?
Di dahan rambutan depan rumah
beberapa ekor burung jempalitan
seperti mendamba sesuatu
yang menyegarkan
Lalu aku mengigau!
Tentu kebahagiaan tersendiri
jika kata-kata penuh birahi ini
bagimu menyemangati
Dan kau tak halangi ini jadi abadi
Kroya, 2008
JERAMI
Bara kembali menjadi api. Dan marak setumpuk jerami yang disiram kesedihan murni. Mungkin kau juga turut menyiram jerami-jerami itu dengan kebasahan sempurna yang disukai api.
Anak-anak yang tertangkap usai mengambil yang ia sukai dan memamerkannya pada yang merasa mempunyai. Usai menjual beberapa butir yang ia tak pernah kenal rasa dan baunya, kini entah di mana. Mungkin tengah meringkuk dalam kandungan. Menghisap puting doa dan lamunan istrimu.
Bengkak matanya, tetapi tak kapok mentertawai semua yang kebingungan mencarinya, mencarinya untuk melepas kembali ke jalanan yang sama. Tetapi kita memang suka direpotkan.
Jalan-jalan sore hanya untuk berpapasan kembali dengan anak berwajah tak pernah dilahirkan itu, penasaran sekali lagi sebelum sempat mendandani sebagai manusia sejati.
Kroya, 2007
Sajak-Sajak Jafar Fakhrurozi
http://www.republika.co.id/
PULANG KAMPUNG
aku selalu rindu kampung
rindu rumah dan sangkar walet
sepasang sahabat yang teduh
kami karib setiap kali hujan
aku selalu rindu sawah
rumah bagi segala gundah
anak-anak lumpur yang galau
menangis tersengat semut api
aku rindu irama malam
riang anak-anak mengaji di surau
anak-anak qur’an yang lugu
melantunkan nyanyian malam
ah, aku benar-benar rindu
memutar lagu-lagu itu
Am, 2008
ANTARA ISTIQLAL DAN KATEDRAL
antara istiqlal dan katedral
aku mematung di hitam kali ciliwung
melafalkan zikir atau nyanyi kemanusiaan
sebagaimana yang kudengar kala subuh
serta denting lonceng di ceruk pagi
dapatkah aku pahami
seumpama banjir menyapu kota tua ini
sekejap melenyapkan baris tangis di sini
begitulah, antara istiqlal dan katedral
aku senantiasa bermimpi
menjadi gerimis yang lembut
menyirami taman kelelahan zaman
Am, 2008
TAMAN SUROPATI
aku melamun di sini bersama dengkur merpati
memasuki halaman gedung berpagar langit
merebut senapan dari sangkur penjaga
menyelinap senyap ke kamar-kamar amarah
menyimpan bom di bawah ranjang obama
lalu meledaklah, binasalah segala luka dunia
di taman suropati ini aku telah berjanji
untuk membangun puing-puing mimpi
dari negeri yang dipapah tangan penjarah
Am, 2008
DI PUNCAK MONAS AKU INGIN TERJUN
berdiri tegak di puncak monas
aku seperti pangeran di punggung luka
menjaga mahkota emas yang cemas
maka dari puncak monas aku ingin terjun
ke dalam lautan tangis ciliwung
menyelami senyum gubuk-gubuk papa
yang dipajang indah di museum hujan
kita pun basah menakar nasib yang raib
di hutan kota metropolitan
di jari-jari ciliwung
anak-anak murung memulung puntung
tangan-tanggan yang berlimbah
tubuh-tubuh yang berselimut sampah
serta mata yang selalu terbelalak
selalu terjaga, barangkali maut luput
dalam lengah langkah kami
dari menara cemas ini
aku ingin meghitung setiap kelok jalan
melingkar-lingkar bagai ular yang lapar
melahap semua yang terlelap waktu
menabur racun di sekujur tubuh ibu
ibu dari segala kota yang terluka
kematian adalah mimpi paling nyata
dari abad yang kian entah
sedang aku menunggu saatnya tiba
saat tugu ini runtuh diamuk waktu
Am, 2008
PULANG KAMPUNG
aku selalu rindu kampung
rindu rumah dan sangkar walet
sepasang sahabat yang teduh
kami karib setiap kali hujan
aku selalu rindu sawah
rumah bagi segala gundah
anak-anak lumpur yang galau
menangis tersengat semut api
aku rindu irama malam
riang anak-anak mengaji di surau
anak-anak qur’an yang lugu
melantunkan nyanyian malam
ah, aku benar-benar rindu
memutar lagu-lagu itu
Am, 2008
ANTARA ISTIQLAL DAN KATEDRAL
antara istiqlal dan katedral
aku mematung di hitam kali ciliwung
melafalkan zikir atau nyanyi kemanusiaan
sebagaimana yang kudengar kala subuh
serta denting lonceng di ceruk pagi
dapatkah aku pahami
seumpama banjir menyapu kota tua ini
sekejap melenyapkan baris tangis di sini
begitulah, antara istiqlal dan katedral
aku senantiasa bermimpi
menjadi gerimis yang lembut
menyirami taman kelelahan zaman
Am, 2008
TAMAN SUROPATI
aku melamun di sini bersama dengkur merpati
memasuki halaman gedung berpagar langit
merebut senapan dari sangkur penjaga
menyelinap senyap ke kamar-kamar amarah
menyimpan bom di bawah ranjang obama
lalu meledaklah, binasalah segala luka dunia
di taman suropati ini aku telah berjanji
untuk membangun puing-puing mimpi
dari negeri yang dipapah tangan penjarah
Am, 2008
DI PUNCAK MONAS AKU INGIN TERJUN
berdiri tegak di puncak monas
aku seperti pangeran di punggung luka
menjaga mahkota emas yang cemas
maka dari puncak monas aku ingin terjun
ke dalam lautan tangis ciliwung
menyelami senyum gubuk-gubuk papa
yang dipajang indah di museum hujan
kita pun basah menakar nasib yang raib
di hutan kota metropolitan
di jari-jari ciliwung
anak-anak murung memulung puntung
tangan-tanggan yang berlimbah
tubuh-tubuh yang berselimut sampah
serta mata yang selalu terbelalak
selalu terjaga, barangkali maut luput
dalam lengah langkah kami
dari menara cemas ini
aku ingin meghitung setiap kelok jalan
melingkar-lingkar bagai ular yang lapar
melahap semua yang terlelap waktu
menabur racun di sekujur tubuh ibu
ibu dari segala kota yang terluka
kematian adalah mimpi paling nyata
dari abad yang kian entah
sedang aku menunggu saatnya tiba
saat tugu ini runtuh diamuk waktu
Am, 2008
Sajak-Sajak Endang Supriadi
http://www.republika.co.id/
SURAT YANG BELUM SEMPAT
TERKIRIM BUAT IBU
Tak bosan kujelaskan lagi padamu, Ibu,
bahwa pikiran-pikiran kami seperti halaman koran hari ini
selalu bersambung ke halaman lain.
Tapi, sejak anak-anakmu tumbuh jadi benalu di rumah sendiri
engkau tak pernah lagi melihat matahari bertengger di atas kepala kami.
Kami sudah belajar dari buku, dari sejarah atau dari para musafir yang mati sia-sia.
Tapi kami merasa telah jadi kecoa dalam tabung.
Bagaimana kami bisa berkata-kata lagi
bila lidah kami terjepit pagar kemunafikan?
Di musim menangis ini,
engkau tak pernah memegang sapu tangan.
Benang kesabaran dan ketabahan telah menghapus airmatamu.
Tapi, katakan, Ibu, harus di mana kami tinggal.
Harus bagaimana kami berjalan.
Sejak kebebasan terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan, kami jadi lumpuh.
Di tubuh kami cuma ada darah dan mata yang masih bisa bergerak.
Entah di mana pikiran kami.
Orang-orang belajar menggali sumur dari dalam rumah sakit.
Satu keluarga atau mungkin sendirian menaiki tangga hari
dengan hati was-was dan gelisah
namun kami tetap menanam keyakinan bahwa air matamu
bisa memercikkan api semangat pada kami yang terkungkung.
Tak bosan kujelaskan lagi padamu Ibu,
bahwa kami sudah tak punya tempat untuk melukis wajahmu yang sejuk.
Kami sudah kehilangan ruang dan waktu untuk bicara.
Entah di mana kami terdampar.
Semua gelap dan kami tak bisa melihat.
Tengoklah, Ibu,
anak-anakmu kini tengah mengais-ngais kebenaran di jalan berdebu.
Jakarta, April 1998
BAU KEMATIAN
di sini, di dada yang segera busuk ini
tengah bermukim seribu kegaduhan dan pekik
kelelawar. juga suara kran air yang tak
dimatikan, bertumpuk-tumpuk di benak yang
paling dalam. dan pada diamku, ada sebuah
cermin yang kotor. seperti serbuk belerang
yang ditiup angin atau seperti kepak sayap burung
yang mengatup dan membuka di udara, begitu risih
aku sujud di balik malam, mengupas irama jengkrik
dan bau kematian. hutan yang tertidur telah
mencuri semangatku. tapi sebuah cahaya dari
seekor kunang-kunang yang terbang sendiri,
telah meneteskan gambar-gambar sebuah perjalanan
yang berujung pada sebuah telaga. aku ingin
bertanya pada keranda waktu: seperti apakah
kematian yang tak ditangisi oleh mayatnya sendiri?
di sini, di dada yang segera busuk ini
aku sedang menikmati proses peleburan diri
ke dalam suasana yang baru. dan engkau,
takkan percaya kalau aku tak mengundang bulan
atau matahari untuk menyaksikan ketiadaanku
tapi aku telah merasa bahwa kematian ini amatlah
berharga bagi para cacing, dan embun yang membungkus
diriku di dalam kubur.
Jakarta, 2000
SURAT YANG BELUM SEMPAT
TERKIRIM BUAT IBU
Tak bosan kujelaskan lagi padamu, Ibu,
bahwa pikiran-pikiran kami seperti halaman koran hari ini
selalu bersambung ke halaman lain.
Tapi, sejak anak-anakmu tumbuh jadi benalu di rumah sendiri
engkau tak pernah lagi melihat matahari bertengger di atas kepala kami.
Kami sudah belajar dari buku, dari sejarah atau dari para musafir yang mati sia-sia.
Tapi kami merasa telah jadi kecoa dalam tabung.
Bagaimana kami bisa berkata-kata lagi
bila lidah kami terjepit pagar kemunafikan?
Di musim menangis ini,
engkau tak pernah memegang sapu tangan.
Benang kesabaran dan ketabahan telah menghapus airmatamu.
Tapi, katakan, Ibu, harus di mana kami tinggal.
Harus bagaimana kami berjalan.
Sejak kebebasan terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan, kami jadi lumpuh.
Di tubuh kami cuma ada darah dan mata yang masih bisa bergerak.
Entah di mana pikiran kami.
Orang-orang belajar menggali sumur dari dalam rumah sakit.
Satu keluarga atau mungkin sendirian menaiki tangga hari
dengan hati was-was dan gelisah
namun kami tetap menanam keyakinan bahwa air matamu
bisa memercikkan api semangat pada kami yang terkungkung.
Tak bosan kujelaskan lagi padamu Ibu,
bahwa kami sudah tak punya tempat untuk melukis wajahmu yang sejuk.
Kami sudah kehilangan ruang dan waktu untuk bicara.
Entah di mana kami terdampar.
Semua gelap dan kami tak bisa melihat.
Tengoklah, Ibu,
anak-anakmu kini tengah mengais-ngais kebenaran di jalan berdebu.
Jakarta, April 1998
BAU KEMATIAN
di sini, di dada yang segera busuk ini
tengah bermukim seribu kegaduhan dan pekik
kelelawar. juga suara kran air yang tak
dimatikan, bertumpuk-tumpuk di benak yang
paling dalam. dan pada diamku, ada sebuah
cermin yang kotor. seperti serbuk belerang
yang ditiup angin atau seperti kepak sayap burung
yang mengatup dan membuka di udara, begitu risih
aku sujud di balik malam, mengupas irama jengkrik
dan bau kematian. hutan yang tertidur telah
mencuri semangatku. tapi sebuah cahaya dari
seekor kunang-kunang yang terbang sendiri,
telah meneteskan gambar-gambar sebuah perjalanan
yang berujung pada sebuah telaga. aku ingin
bertanya pada keranda waktu: seperti apakah
kematian yang tak ditangisi oleh mayatnya sendiri?
di sini, di dada yang segera busuk ini
aku sedang menikmati proses peleburan diri
ke dalam suasana yang baru. dan engkau,
takkan percaya kalau aku tak mengundang bulan
atau matahari untuk menyaksikan ketiadaanku
tapi aku telah merasa bahwa kematian ini amatlah
berharga bagi para cacing, dan embun yang membungkus
diriku di dalam kubur.
Jakarta, 2000
Sajak-Sajak Husnul Khuluqi
http://www.republika.co.id/
PEREMPUAN DI SABUK LINDU
ketika kecil menjelang tidur
ibu sering bercerita tentang seekor naga raksasa
yang tidur di perut bumi, jauh di bawah akar-akar
pohon besar
ia akan marah melihat anak-anak nakal
anak-anak yang suka memusuhi teman
anak-anak yang melawan orang tua
anak-anak yang malas mandi dan pergi
tidur tanpa mencuci kaki
karena itu, sebelum tidur kau pun mencuci
kaki, lalu berangkat ke dekapan ibu seraya
berharap naga tidak menggerakkan buntut
atau tubuhnya sehingga kau bisa bermimpi pergi
ke istana peri hingga pagi
sebab sedikit saja naga bergerak
bumi bergetar. pohon-pohon tumbang
lampu-lampu bergoyang. dan angin mendadak
berhenti berputar
sekarang, kau tak lagi mendengar dongeng itu
ketika rumah-rumah rata dengan tanah
jalan-jalan menjulur terbelah, ternak-ternak mati
tak bisa lari. kau lihat di sekelilingmu hanya
tumpukan mayat dengan bau yang menyengat
dan perihmu akan selalu menggunung
setiap kali tanah di kakimu berguncang
menggetar tulang
Tangerang, 2006
LANGGAM BANTEN
(1)
aku sampai juga padamu
saat senja mulai pucat layu
burung-burung di udara
satu-satu telah menyingkir
bersama sisa-sisa kicauannya
di sunyi tepian jalan
daun dan ranting kering
berderak berjatuhan
(2)
aku sampai juga padamu
tapi di mana dirimu?
di ujung kota yang berdebu
di tempat yang pernah kau janjikan
tak ada jejak kau tanggalkan
akh, aku jadi ragu
mungkin sekadar aku bermimpi
memiliki cinta dan tubuhmu
Tangerang, 2006
SELEMBAR DAUN KUNING
selembar daun kuning
rontok di musim kering
matahari merah melintas
meninggalkan jejak di punggungnya
yang letih dan rapuh
ia lalu mengembara
disapu angin ke mana suka
diam dan hanya bisa pasrah
pada hal ia ingin dikubur
dipeluk hangat
jemari tanah
selembar daun kuning
yang rontok di musim kering
ia telah kehilangan pohon silsilah
tempat dulu melantunkan doa
dengan hijau hatinya
Tengerang, 2006
RUMAH BAMBU
aku pulang kepadamu
masih seperti dulu wajahmu
pohon randu di belakangmu
pohon waru di pojok depanmu
ilalang tumbuh di halaman
meliuk menggelombang selalu
seperti nyanyian rindu hatiku
bila musim kering tiba
kulihat engkau tetap bersahaja
meski pohon randu mulai tegak merana
dan pohon waru menjatuhkan daun
daun kuningnya
di sepetak halaman yang gersang
tak berwarna
Tangerang, 2006
PADI TAK MENGUNING
padi tak menguning
wajah bapak kering
tatapan mata ibu garing
di manakah tumbuh padi-padiku
sehampar sawah di samping rumah
diam-diam pergi berlalu
jadi sehampar tanah retak
mengendap di jiwa yang gundah?
di mana pula nyanyian hujan dulu
yang mencumbu pucuk-pucuk randu
yang bening berkilau di atas daun-daun lumbu
yang kujentik dengan jari-jari nakalku
yang lalu berguling pecah di basah tanah?
padi tak menguning
bapak pergi dengan wajah kering
tinggal ibu sendiri dengan tatap mata garing
meniti hari-hari tanpa sungging
Tangerang, 2006
JALAN BATU
apakah yang dapat kutulis di sini
jalanan ini begitu keras, menghempaskan
seonggok tubuhku dan menenggelamkannya
pada carut-marut waktu
di tepiannya, hanya tebing curam
bukit kapur, dan pohon-pohon meranggas
menunggu di tebang tangan-tanganmu
tangan-tangan yang rindu api kayu
apakah yang bisa kucatat di sini
bulan merah jambu pun cuma lagu
yang bayangnya jatuh gagu
di muram batu-batu
Tangerang, 2006
RINDU MUSI
di minggu pagi
hatiku sering ditikam rindu
pada Musi
pernah aku berdiri di tepiannya
memandang perahu-perahu lalu lalang
mengangkut orang-orang dengan wajah riang
di langit bening, matahari ramah berkirim salam
di atas permukaan sungai
burung-burung air bermain dan bercermin
mencari bayang mungil tubuhnya
yang hanyut terbawa arus ke hilir
di minggu pagi
hatiku sering dicekam rindu
pada Musi
sekali waktu aku termenung di tepiannya
di atas pasir dan tanah yang masih dingin
aku menulis sebaris sajak cinta
pada sungai yang membelah kota
pada Musi yang melintas jauh
hingga dusun-dusun tua
dan di bawah kokoh jembatannya
dengan warna cat merah menyala
aku tercenung diam seorang diri
tak sadar, Musi mengalun dalam hati
Tangerang, 2006
MENGGAMBAR MUSI
"bila kaurindu kotaku
gambarlah Musi dengan sepuluh jari,"
katamu di senja yang beku
maka dengan pucuk-pucuk jari
kugambar Musi di tanah halaman rumah
di sana ada kecipak air, tempat aku
mengaitkan seutas rindu. ada perahu
perahu melenggang di subuh dini. dan ada
burung-burung sungai dengan paruh runcing
mematuk-matuk hatiku hingga biru
"bila kaurindu kotaku
gambarlah Musi dengan air matamu,"katamu lagi
seraya membaca helai-helai rindu yang menari
di rambutku
dan aku pun menggambar Musi
dengan air yang tak putus mengalir
di sana, di atas perahu-perahu kayu
anak-anakku berlayar jauh
menembus gelapnya malam
menuju kampung-kampung baru
kampung-kampung yang tak pernah
tersentuh kaki dan mimpiku
Tangerang, 2006
HUJAN SORE
ia ingin memetik mawar merah di halaman
tapi hujan keburu datang, menahan tangannya
yang mulai memainkan runcing tubuh gunting
mawar tak terpetik, hujan tak berhenti
di bibir jendela kamarmu, sendiri kau membisu
menunggu setangkai mawar merah kirimannya
mawar merah tak sampai, ia tak datang
perlahan kau menutup daun jendela dengan bimbang
seraya menimbang arti cinta dan kesetiaan
Tangerang, 2006
MAWAR KERTAS
di kamar sunyi kau berdiam
sendiri dan sembunyi
dari rintik hujan
dari sengat terik siang
dari dekap cahaya bulan
bahkan sejak diciptakan
kau telah melupakan
sepetak halaman
Tangerang, 2006
PEREMPUAN DI SABUK LINDU
ketika kecil menjelang tidur
ibu sering bercerita tentang seekor naga raksasa
yang tidur di perut bumi, jauh di bawah akar-akar
pohon besar
ia akan marah melihat anak-anak nakal
anak-anak yang suka memusuhi teman
anak-anak yang melawan orang tua
anak-anak yang malas mandi dan pergi
tidur tanpa mencuci kaki
karena itu, sebelum tidur kau pun mencuci
kaki, lalu berangkat ke dekapan ibu seraya
berharap naga tidak menggerakkan buntut
atau tubuhnya sehingga kau bisa bermimpi pergi
ke istana peri hingga pagi
sebab sedikit saja naga bergerak
bumi bergetar. pohon-pohon tumbang
lampu-lampu bergoyang. dan angin mendadak
berhenti berputar
sekarang, kau tak lagi mendengar dongeng itu
ketika rumah-rumah rata dengan tanah
jalan-jalan menjulur terbelah, ternak-ternak mati
tak bisa lari. kau lihat di sekelilingmu hanya
tumpukan mayat dengan bau yang menyengat
dan perihmu akan selalu menggunung
setiap kali tanah di kakimu berguncang
menggetar tulang
Tangerang, 2006
LANGGAM BANTEN
(1)
aku sampai juga padamu
saat senja mulai pucat layu
burung-burung di udara
satu-satu telah menyingkir
bersama sisa-sisa kicauannya
di sunyi tepian jalan
daun dan ranting kering
berderak berjatuhan
(2)
aku sampai juga padamu
tapi di mana dirimu?
di ujung kota yang berdebu
di tempat yang pernah kau janjikan
tak ada jejak kau tanggalkan
akh, aku jadi ragu
mungkin sekadar aku bermimpi
memiliki cinta dan tubuhmu
Tangerang, 2006
SELEMBAR DAUN KUNING
selembar daun kuning
rontok di musim kering
matahari merah melintas
meninggalkan jejak di punggungnya
yang letih dan rapuh
ia lalu mengembara
disapu angin ke mana suka
diam dan hanya bisa pasrah
pada hal ia ingin dikubur
dipeluk hangat
jemari tanah
selembar daun kuning
yang rontok di musim kering
ia telah kehilangan pohon silsilah
tempat dulu melantunkan doa
dengan hijau hatinya
Tengerang, 2006
RUMAH BAMBU
aku pulang kepadamu
masih seperti dulu wajahmu
pohon randu di belakangmu
pohon waru di pojok depanmu
ilalang tumbuh di halaman
meliuk menggelombang selalu
seperti nyanyian rindu hatiku
bila musim kering tiba
kulihat engkau tetap bersahaja
meski pohon randu mulai tegak merana
dan pohon waru menjatuhkan daun
daun kuningnya
di sepetak halaman yang gersang
tak berwarna
Tangerang, 2006
PADI TAK MENGUNING
padi tak menguning
wajah bapak kering
tatapan mata ibu garing
di manakah tumbuh padi-padiku
sehampar sawah di samping rumah
diam-diam pergi berlalu
jadi sehampar tanah retak
mengendap di jiwa yang gundah?
di mana pula nyanyian hujan dulu
yang mencumbu pucuk-pucuk randu
yang bening berkilau di atas daun-daun lumbu
yang kujentik dengan jari-jari nakalku
yang lalu berguling pecah di basah tanah?
padi tak menguning
bapak pergi dengan wajah kering
tinggal ibu sendiri dengan tatap mata garing
meniti hari-hari tanpa sungging
Tangerang, 2006
JALAN BATU
apakah yang dapat kutulis di sini
jalanan ini begitu keras, menghempaskan
seonggok tubuhku dan menenggelamkannya
pada carut-marut waktu
di tepiannya, hanya tebing curam
bukit kapur, dan pohon-pohon meranggas
menunggu di tebang tangan-tanganmu
tangan-tangan yang rindu api kayu
apakah yang bisa kucatat di sini
bulan merah jambu pun cuma lagu
yang bayangnya jatuh gagu
di muram batu-batu
Tangerang, 2006
RINDU MUSI
di minggu pagi
hatiku sering ditikam rindu
pada Musi
pernah aku berdiri di tepiannya
memandang perahu-perahu lalu lalang
mengangkut orang-orang dengan wajah riang
di langit bening, matahari ramah berkirim salam
di atas permukaan sungai
burung-burung air bermain dan bercermin
mencari bayang mungil tubuhnya
yang hanyut terbawa arus ke hilir
di minggu pagi
hatiku sering dicekam rindu
pada Musi
sekali waktu aku termenung di tepiannya
di atas pasir dan tanah yang masih dingin
aku menulis sebaris sajak cinta
pada sungai yang membelah kota
pada Musi yang melintas jauh
hingga dusun-dusun tua
dan di bawah kokoh jembatannya
dengan warna cat merah menyala
aku tercenung diam seorang diri
tak sadar, Musi mengalun dalam hati
Tangerang, 2006
MENGGAMBAR MUSI
"bila kaurindu kotaku
gambarlah Musi dengan sepuluh jari,"
katamu di senja yang beku
maka dengan pucuk-pucuk jari
kugambar Musi di tanah halaman rumah
di sana ada kecipak air, tempat aku
mengaitkan seutas rindu. ada perahu
perahu melenggang di subuh dini. dan ada
burung-burung sungai dengan paruh runcing
mematuk-matuk hatiku hingga biru
"bila kaurindu kotaku
gambarlah Musi dengan air matamu,"katamu lagi
seraya membaca helai-helai rindu yang menari
di rambutku
dan aku pun menggambar Musi
dengan air yang tak putus mengalir
di sana, di atas perahu-perahu kayu
anak-anakku berlayar jauh
menembus gelapnya malam
menuju kampung-kampung baru
kampung-kampung yang tak pernah
tersentuh kaki dan mimpiku
Tangerang, 2006
HUJAN SORE
ia ingin memetik mawar merah di halaman
tapi hujan keburu datang, menahan tangannya
yang mulai memainkan runcing tubuh gunting
mawar tak terpetik, hujan tak berhenti
di bibir jendela kamarmu, sendiri kau membisu
menunggu setangkai mawar merah kirimannya
mawar merah tak sampai, ia tak datang
perlahan kau menutup daun jendela dengan bimbang
seraya menimbang arti cinta dan kesetiaan
Tangerang, 2006
MAWAR KERTAS
di kamar sunyi kau berdiam
sendiri dan sembunyi
dari rintik hujan
dari sengat terik siang
dari dekap cahaya bulan
bahkan sejak diciptakan
kau telah melupakan
sepetak halaman
Tangerang, 2006
Sajak-Sajak Rukmi Wisnu Wardani
http://www.infoanda.com/
MAKRIFAT CENTHINI
setua umur bumi inilah aku datang dan pergi
berganti rupa untuk yang kesekian kali
tanpa tahu batas waktu menunggu
sekalipun sukmaku dan sukmaMu satu
sekalipun Kau berada di dalamku
dan aku berada di dalamMu
tetap saja, aku tak dapat mendahuluiMu
sebab tirai itu harus Kau yang buka
kalaupun asmara ini melahirkan agama
hingga setumpuk kitab suci
semua hanya sebatas rambu
tapi bukan pintu
: al maut! al maut!
inilah kebangkitan asmara yang sesungguhnya
inilah purba harta dalam tembang sakral kebirahian jawa
inilah perjalanan menuju arasy tanpa wadaqnya
inilah hakikat moksa seiring tarian mahabahnya
sesempurna rekah wijaya kusuma di hening malam
yang menyisakan wanginya di tepian subuh
Mei, 2005
TIRAI MALAM
laksana ego yang terkikis kematangan ombak
Kau telanjangi kebetinaanku selapis demi selapis
dan seutuh purnama itulah akhirnya
Kau jinakkan birahiku yang asma
mari, singkap lagi tarian purba nirwana itu
seperti ketika Kau lilit aku dalam cumbu paling nyala
ini aku merak betinaMu, datang lagi
dihantar gending jawa juga wewangian sukma
menyambutMu di perbatasan tirai malam
Juni, 2005
NGGER
memang, aneka bunga itu terlihat cantik
bila kautabur di atas kuburnya
apalagi selama segar terjaga,
harum berzikir di sana
tapi setelah layu, tidak lagi.
seinstan itukah cintamu padanya? duh ngger,
jangan biarkan ritual berjalan
seperti kuda tanpa penunggang
(sia sia ngger, sia sia)
bukankah telah kaumiliki kunci keabadian sejati?
pergunakanlah kunci itu sebagaimana mestinya
dan sering-seringlah masuk kedalamnya
agar dapat kau lawat kedalaman rahasia dibalik rahasia
ingat ngger, tanpa inti nyawa
segala yang ada hanyalah benda mati
August, 2005
MAKRIFAT CENTHINI
setua umur bumi inilah aku datang dan pergi
berganti rupa untuk yang kesekian kali
tanpa tahu batas waktu menunggu
sekalipun sukmaku dan sukmaMu satu
sekalipun Kau berada di dalamku
dan aku berada di dalamMu
tetap saja, aku tak dapat mendahuluiMu
sebab tirai itu harus Kau yang buka
kalaupun asmara ini melahirkan agama
hingga setumpuk kitab suci
semua hanya sebatas rambu
tapi bukan pintu
: al maut! al maut!
inilah kebangkitan asmara yang sesungguhnya
inilah purba harta dalam tembang sakral kebirahian jawa
inilah perjalanan menuju arasy tanpa wadaqnya
inilah hakikat moksa seiring tarian mahabahnya
sesempurna rekah wijaya kusuma di hening malam
yang menyisakan wanginya di tepian subuh
Mei, 2005
TIRAI MALAM
laksana ego yang terkikis kematangan ombak
Kau telanjangi kebetinaanku selapis demi selapis
dan seutuh purnama itulah akhirnya
Kau jinakkan birahiku yang asma
mari, singkap lagi tarian purba nirwana itu
seperti ketika Kau lilit aku dalam cumbu paling nyala
ini aku merak betinaMu, datang lagi
dihantar gending jawa juga wewangian sukma
menyambutMu di perbatasan tirai malam
Juni, 2005
NGGER
memang, aneka bunga itu terlihat cantik
bila kautabur di atas kuburnya
apalagi selama segar terjaga,
harum berzikir di sana
tapi setelah layu, tidak lagi.
seinstan itukah cintamu padanya? duh ngger,
jangan biarkan ritual berjalan
seperti kuda tanpa penunggang
(sia sia ngger, sia sia)
bukankah telah kaumiliki kunci keabadian sejati?
pergunakanlah kunci itu sebagaimana mestinya
dan sering-seringlah masuk kedalamnya
agar dapat kau lawat kedalaman rahasia dibalik rahasia
ingat ngger, tanpa inti nyawa
segala yang ada hanyalah benda mati
August, 2005
Rabu, 28 Januari 2009
Sajak-Sajak W.S. Rendra*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
BULAN KOTA JAKARTA
Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya!
O, gerilya kulit limau!
O, betapa lunglainya!
Bulan telah pingsan.
Mama, bulan telah pingsan.
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya.
Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
bocah pucat tanpa mainan,
pesta tanpa bunga.
O, kurindu napas gaib!
O, kurindu sihir mata langit!
Bulan merambat-rambat.
Mama, betapa sepi dan sendirinya!
Begitu mati napas tabuh-tabuhan
maka penari pejamkan mata-matanya.
Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya.
Bulanku! Bulanku!
Tidurlah, Sayang, di hatiku!
KALANGAN RONGGENG
Bulan datang, datanglah ia!
dengan kunyit di wajahnya
dan ekor gaun
putih panjang
diseret atas kepala-kepala
dirahmati lupa.
Atas pejaman hati
yang rela
bergerak pinggul-pinggul bergerak
ronggeng palsu yang indah
para lelaki terlahir dari darah.
Wahai manis, semua orang di kalangan
tahu apa bahasa bulan!
Kabur bulan adalah muka-muka
adalah hidup mereka
menggelepar bayang-bayang
ikan-ikan ditangguk nasibnya.
Gamelan bertahta atas nestapa
kuda di padang berpacuan
mengibas sepi merangkul diri,
angin tak diharapkan
cari sarang dan tersia.
Ditolaknya sandaran nestapa
betapa gila ditolaknya!
Dan bila bertumbuk ke langit
terpantul kembali ke bumi.
Lalu si jagoan bersorak
pada harap adalah gila yang lupa.
Penyaplah, penyap,
nestapa yang hitam ditolaknya.
Balik pula.
Pula ditolaknya.
Dan selalu ditolaknya.
Wahai, Manis, semua orang di kalangan
tahu apa derita bulan.
LELAKI SENDIRIAN
Kirjomulyo duduk di depanku -
memandang ke luar jendela.
Dan ia diam juga
lembah yang dalam
kabut biru di perutnya.
Tapi di hatinya
pucuk-pucuk cemara
dipukuli angin hitam.
Bagai kerbau kelabu ia
lelaki dengan rambut-rambut rumput.
Dan ia diam juga.
Tapi di hatinya ada hutan
dilanda topan.
Lelaki yang mengandung dendam
lelaki yang mengandung kesunyian
mengutuki debu-debu kiriman angin
mengutuki birunya kejemuan.
Bagai kerbau kelabu ia
lelaki dimakan dan memuntahkan kutuk
bara menyala tanpa air siraman.
PISAU DI JALAN
Ada pisau tertinggal di jalan
dan mentari menggigir atasnya.
Ada pisau tertinggal di jalan
dan di matanya darah tua.
Tak seorang tahu
dahaga getir terakhir
dilepas di mana:
Tubuh yang dilumpuhkan
terlupa di mana.
Hari berdarah terluka
dan tak seorang berkabung.
Ajal yang hitam
tanpa pahatan.
Dan mayat biru
bakal dilupa.
Tanpa air siraman.
Tanpa buah-buah lerak
kulitnya merut berdebu.
Awan yang laknat
dengan maut-maut di kantongnya
melarikan muka
senyum laknat sendirinya.
Ada pisau tertinggal di jalan
dan mentari menggigir atasnya.
*) dari “Empat Kumpulan Sajak” terbitan Pustaka Jaya.
BULAN KOTA JAKARTA
Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya!
O, gerilya kulit limau!
O, betapa lunglainya!
Bulan telah pingsan.
Mama, bulan telah pingsan.
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya.
Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
bocah pucat tanpa mainan,
pesta tanpa bunga.
O, kurindu napas gaib!
O, kurindu sihir mata langit!
Bulan merambat-rambat.
Mama, betapa sepi dan sendirinya!
Begitu mati napas tabuh-tabuhan
maka penari pejamkan mata-matanya.
Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya.
Bulanku! Bulanku!
Tidurlah, Sayang, di hatiku!
KALANGAN RONGGENG
Bulan datang, datanglah ia!
dengan kunyit di wajahnya
dan ekor gaun
putih panjang
diseret atas kepala-kepala
dirahmati lupa.
Atas pejaman hati
yang rela
bergerak pinggul-pinggul bergerak
ronggeng palsu yang indah
para lelaki terlahir dari darah.
Wahai manis, semua orang di kalangan
tahu apa bahasa bulan!
Kabur bulan adalah muka-muka
adalah hidup mereka
menggelepar bayang-bayang
ikan-ikan ditangguk nasibnya.
Gamelan bertahta atas nestapa
kuda di padang berpacuan
mengibas sepi merangkul diri,
angin tak diharapkan
cari sarang dan tersia.
Ditolaknya sandaran nestapa
betapa gila ditolaknya!
Dan bila bertumbuk ke langit
terpantul kembali ke bumi.
Lalu si jagoan bersorak
pada harap adalah gila yang lupa.
Penyaplah, penyap,
nestapa yang hitam ditolaknya.
Balik pula.
Pula ditolaknya.
Dan selalu ditolaknya.
Wahai, Manis, semua orang di kalangan
tahu apa derita bulan.
LELAKI SENDIRIAN
Kirjomulyo duduk di depanku -
memandang ke luar jendela.
Dan ia diam juga
lembah yang dalam
kabut biru di perutnya.
Tapi di hatinya
pucuk-pucuk cemara
dipukuli angin hitam.
Bagai kerbau kelabu ia
lelaki dengan rambut-rambut rumput.
Dan ia diam juga.
Tapi di hatinya ada hutan
dilanda topan.
Lelaki yang mengandung dendam
lelaki yang mengandung kesunyian
mengutuki debu-debu kiriman angin
mengutuki birunya kejemuan.
Bagai kerbau kelabu ia
lelaki dimakan dan memuntahkan kutuk
bara menyala tanpa air siraman.
PISAU DI JALAN
Ada pisau tertinggal di jalan
dan mentari menggigir atasnya.
Ada pisau tertinggal di jalan
dan di matanya darah tua.
Tak seorang tahu
dahaga getir terakhir
dilepas di mana:
Tubuh yang dilumpuhkan
terlupa di mana.
Hari berdarah terluka
dan tak seorang berkabung.
Ajal yang hitam
tanpa pahatan.
Dan mayat biru
bakal dilupa.
Tanpa air siraman.
Tanpa buah-buah lerak
kulitnya merut berdebu.
Awan yang laknat
dengan maut-maut di kantongnya
melarikan muka
senyum laknat sendirinya.
Ada pisau tertinggal di jalan
dan mentari menggigir atasnya.
*) dari “Empat Kumpulan Sajak” terbitan Pustaka Jaya.
Minggu, 25 Januari 2009
Sajak-Sajak Bakdi Sumanto
http://sastrakarta.multiply.com/
DASA KANTA
1. TIKAR
Dengan tegas tegar
Kita menyatakan
Bahwa kita ini tikar
Orang-orang tua duduk berdoa
Orang-orang muda bercanda
Mudi-muda ciuman
Yang berselingkuh berdekapan
Dan berbadan
Pencuri menghitung curian
Koruptor berbagi hasil
Dengan kroni dan koleganya
Guru menilai pekerjaan siswa
Ahli bahasa mencari kesalahan karya-karya
Bayi-bayi ngompol
Balita-balita ek-ek
Penyair-penyair jongkok sambil ngrokok
Aktor-aktor latihan gerak indah
Pelukis-pelukis nglamun
Politikus cari akal mendepak teman seiring
Anggota DPR bikin rencana naikkan gaji
Dan studi banding ke luar negeri
Lalu, para penjudi membanting kartu-kartu
Kita ini tikar
Ketika datang kasur
Tikar akan segera digulung-gusur
Dibakar atau dibuang ke tong sampah
Dan dilupakan oleh sejarah
Oberlin, Okt 1986
2. HUJAN
Hujan tak turun
Ketika petani memerlukan air
Tetapi air tetap mengucur
Dari pori-pori tubuhnya
Membasah pada kaos
Yang sudah tiga hari
Tak dicuci air
Sekali air disuntak dari langit
Dan di sawah & ladang
Terjadi banjir-bandang
Matahari menyengat
Tapi hidup tak hangat
Sebab air setinggi leher
Hampir mengubur kehidupan
Ini siklus alam
Atau ulah "kebudayaan"
Tak pernah ada jawab
Apalagi tindakan
Untuk menjaga peradaban
Illinois 1986
3. L’OMBRE
Barangkali yang paling nyata
Adalah bayang-bayang
Ketika janji tak pernah jadi
Ketika mimpi
Menemu senja di pagi hari
Mencintai bayang-bayang adalah solusi
Setia sampai mati pada bayang-bayang
Adalah jawaban
Untuk tak bunuh diri
Pada pagi dini
Ketika hari
Baru
Seakan
Abad baru
Kehidupan baru
Aku mencintaimu bayang-bayang
Dengan sepenuh hatiku
Sebab bayang-bayang
Menjadikanku
Nyata:
Bahwa hanya dalam bayang-bayangmu
Aku merasa ada.
Kyoto, 1987
4. SALJU
Salju mengingatkan dirimu
Di kamar sendiri
Menanti
Salju meratakan bumi dalam putih
Dan desah kehidupan
Terdengar
Di antara hampar
Salju
Tersandung sepatu
Matahari menyala
Di langit biru
Dingin menggigit
Sampai di kalbu
Dalam salju aku mengenangmu
Sendiri di kamar
Menunggu
Berita
Apa yang terjadi denganmu…
Beritanya:
Aku mengenangmu
Dalam salju
Cambridge, 1995
5. LANGIT
Langit biru
Tetap membisu
Bumi lebu
Tetap membisu
Rakyat kelu
Tetap membisu
Dalam dendam
Yang terus merajam
Dalam
Ketika yang harus diucapkan
Tak menemu kata
Sebab
Sudah dihapus dari kamus
Oleh para ahli bahasa
Pasar Minggu, 1969
6. KUTANG
Selembar kutang
Tergantung di pemeyan
Kutang perempuan jenisnya
Kutang jawa identitasnya
Agak mambu
Tak terlalu menyengat
Adapun namanya:
Entrok
Begitu sebutannya.
Menghampiri kutang
Menghirup aromanya
Terkenang budaya Jawa:
Wasta lungset ing sampiran
Kain kusut di gantungan
Tapi siang itu
Embok memakainya
Dan dengan kutang itu
Ia bekerja keras
Menghidupi keluarga
Sedang suaminya
Masih ngorok di tempat tidur…
Entrok dengan ambu-nya yang khas
Bangkit melawan sang dominan
Sejarah yang tak ramah kepada perempuan.
Pati, 1991
7. UPA
Tiba-tiba
Mas Sarsadi merasa dirinya
Sebutir nasi:
Upa sebuatannya
Aku ini upa
Aku ini upa
Aku tak takut nuklir
Hanya takut ayam
Nanti saya dithothol
Aku tak takut tank
Aku tak takut panser
Aku tak takut bazooka
Aku tak takut metraliyur
Hanya takut ayam
Nanti saya dithothol
Hidup kita adalah upa
Tak usah nuklir,
Tak usah tank
Tak usah panser
Tak uysah bazooka
Tak usah metraliyur
Cukup seekor ayam kecil: kuthuk
Menothol upa
Tamatlah kita
Begitu sederhana
Begitu nrima
Begitu lega-lila
Dan begitu konyol
Kadisobo, 1985 (pamit ke USA)
8. KURUSETRA
Hyderabat merapat
Kepada senja
Dan lamput-lampu
Di Universitas Kurusetra menyala
Terbayang Abimanyu gugur
Kena kutuk panah seribu
Yang diucapkan diri sendiri
Kepada Utari
Di malam dalam kamar sendiri.
Terbayang Gathotkaca tersungkur
Karena Kuntawijayadanu
Senjata Karna
Terbayang Dursasana
Dirobek mulutnya oleh Bima
Yang melampiaskan dendam
Untuk Drupadi kakak iparnya
Kurusetra merekam dendam
Kurusetra melaksanakan penyucian
Kurusetra menjadi ajang pelaksanaan
Rencana rahasia para dewa
Hidup adalah
Juga ajang pelaksanaan
Rencana para dewa
Yang tersirat pada lembar misteri
Kita tak pernah bisa memeri
Sambil melangkah
Kita berada
Di antara mabuk & tahu
Dan tak pernah pasti
Hyderabad, 1996
9. KATA
Pada awalnya adalah bunyi
Yang dirangkai menjadi silabi
Dan dari silabi
Menjadi kata
Lalu menjadi sabda
Ketika di sana ada kehendak
Yang bertenanga
Dan tenaga
Berangkat dari niat
Dari dalam datangnya
Dari kesucian
Yang bersumber
Pada sunyi
Di dalam suatu kedalaman
Tak terduga
Suatu kejujuran
Ketanpamrihan
Juga keluguan
Tatabahasa
Hanyalah berkutat pada pengertian
Dan logika
Ia tak berurusan dengan tenaga
Yang berdaya sihir
Hanya puisi
Yang berawal dari mousike
Yang mampu membawa getar
Dan menggugah matahari bangkit
Sebelum waktunya…
Tetapi,
Siapa bersedia mendengar puisi
Tatkala telinga hanya menangkap sepi?
Kratonan, 1976
10. GEMPA
bumi gonjang-ganjing
selama hampir semenit
dan langit bersih membiru
tapi hari kecut-kemerucut
dan kelabu
kaki gemetar
pandang pudar
awan terlihat air
Ingatkan tsunami aceh
dan rumah-rumah berantakan
rata dengan tanah
orang-orang ke utara takut bah
takut muntahan merapi
yogya bagai kota Sodom dan gomorah
dikutuk karena terlalu banyak mall
menggusur sekaten
mencuekin bangunan kuna
kurang memperhatikan keris-keris pusaka
dan acuh pada para pendiri yogya
mencurigai kebatinan
dan mencampur-adukkan politik, uang
dan iman…
tiba-tiba hidup berubah tenda
nasi bungkus, selimut, air bersih
dan pembalut perempuan
apa artinya ini
kita tak tahu
yang jelas
kita menjadi faham
yogya tak hanya dikepung wayang
tetapi juga dikepung potensi lindhu
dan bahaya muntahan merapi
kita jug dikepung polusi
yang kita buat sendiri
kita juga dikepung sesak tempat
karena ulah sendiri
yogya tak lagi nyaman dihuni
karena setiap hari
diguncang gempa
adapun gempa itu
adalah gempa hati
gempa ruh
gempa pengangan hidup
dan gempa 26 Mei
adalah kumulasi
gempa
yang terus-menerus
diulang
dan terulang
serta berulang
bagai ritus kehidupan
2006
DASA KANTA
1. TIKAR
Dengan tegas tegar
Kita menyatakan
Bahwa kita ini tikar
Orang-orang tua duduk berdoa
Orang-orang muda bercanda
Mudi-muda ciuman
Yang berselingkuh berdekapan
Dan berbadan
Pencuri menghitung curian
Koruptor berbagi hasil
Dengan kroni dan koleganya
Guru menilai pekerjaan siswa
Ahli bahasa mencari kesalahan karya-karya
Bayi-bayi ngompol
Balita-balita ek-ek
Penyair-penyair jongkok sambil ngrokok
Aktor-aktor latihan gerak indah
Pelukis-pelukis nglamun
Politikus cari akal mendepak teman seiring
Anggota DPR bikin rencana naikkan gaji
Dan studi banding ke luar negeri
Lalu, para penjudi membanting kartu-kartu
Kita ini tikar
Ketika datang kasur
Tikar akan segera digulung-gusur
Dibakar atau dibuang ke tong sampah
Dan dilupakan oleh sejarah
Oberlin, Okt 1986
2. HUJAN
Hujan tak turun
Ketika petani memerlukan air
Tetapi air tetap mengucur
Dari pori-pori tubuhnya
Membasah pada kaos
Yang sudah tiga hari
Tak dicuci air
Sekali air disuntak dari langit
Dan di sawah & ladang
Terjadi banjir-bandang
Matahari menyengat
Tapi hidup tak hangat
Sebab air setinggi leher
Hampir mengubur kehidupan
Ini siklus alam
Atau ulah "kebudayaan"
Tak pernah ada jawab
Apalagi tindakan
Untuk menjaga peradaban
Illinois 1986
3. L’OMBRE
Barangkali yang paling nyata
Adalah bayang-bayang
Ketika janji tak pernah jadi
Ketika mimpi
Menemu senja di pagi hari
Mencintai bayang-bayang adalah solusi
Setia sampai mati pada bayang-bayang
Adalah jawaban
Untuk tak bunuh diri
Pada pagi dini
Ketika hari
Baru
Seakan
Abad baru
Kehidupan baru
Aku mencintaimu bayang-bayang
Dengan sepenuh hatiku
Sebab bayang-bayang
Menjadikanku
Nyata:
Bahwa hanya dalam bayang-bayangmu
Aku merasa ada.
Kyoto, 1987
4. SALJU
Salju mengingatkan dirimu
Di kamar sendiri
Menanti
Salju meratakan bumi dalam putih
Dan desah kehidupan
Terdengar
Di antara hampar
Salju
Tersandung sepatu
Matahari menyala
Di langit biru
Dingin menggigit
Sampai di kalbu
Dalam salju aku mengenangmu
Sendiri di kamar
Menunggu
Berita
Apa yang terjadi denganmu…
Beritanya:
Aku mengenangmu
Dalam salju
Cambridge, 1995
5. LANGIT
Langit biru
Tetap membisu
Bumi lebu
Tetap membisu
Rakyat kelu
Tetap membisu
Dalam dendam
Yang terus merajam
Dalam
Ketika yang harus diucapkan
Tak menemu kata
Sebab
Sudah dihapus dari kamus
Oleh para ahli bahasa
Pasar Minggu, 1969
6. KUTANG
Selembar kutang
Tergantung di pemeyan
Kutang perempuan jenisnya
Kutang jawa identitasnya
Agak mambu
Tak terlalu menyengat
Adapun namanya:
Entrok
Begitu sebutannya.
Menghampiri kutang
Menghirup aromanya
Terkenang budaya Jawa:
Wasta lungset ing sampiran
Kain kusut di gantungan
Tapi siang itu
Embok memakainya
Dan dengan kutang itu
Ia bekerja keras
Menghidupi keluarga
Sedang suaminya
Masih ngorok di tempat tidur…
Entrok dengan ambu-nya yang khas
Bangkit melawan sang dominan
Sejarah yang tak ramah kepada perempuan.
Pati, 1991
7. UPA
Tiba-tiba
Mas Sarsadi merasa dirinya
Sebutir nasi:
Upa sebuatannya
Aku ini upa
Aku ini upa
Aku tak takut nuklir
Hanya takut ayam
Nanti saya dithothol
Aku tak takut tank
Aku tak takut panser
Aku tak takut bazooka
Aku tak takut metraliyur
Hanya takut ayam
Nanti saya dithothol
Hidup kita adalah upa
Tak usah nuklir,
Tak usah tank
Tak usah panser
Tak uysah bazooka
Tak usah metraliyur
Cukup seekor ayam kecil: kuthuk
Menothol upa
Tamatlah kita
Begitu sederhana
Begitu nrima
Begitu lega-lila
Dan begitu konyol
Kadisobo, 1985 (pamit ke USA)
8. KURUSETRA
Hyderabat merapat
Kepada senja
Dan lamput-lampu
Di Universitas Kurusetra menyala
Terbayang Abimanyu gugur
Kena kutuk panah seribu
Yang diucapkan diri sendiri
Kepada Utari
Di malam dalam kamar sendiri.
Terbayang Gathotkaca tersungkur
Karena Kuntawijayadanu
Senjata Karna
Terbayang Dursasana
Dirobek mulutnya oleh Bima
Yang melampiaskan dendam
Untuk Drupadi kakak iparnya
Kurusetra merekam dendam
Kurusetra melaksanakan penyucian
Kurusetra menjadi ajang pelaksanaan
Rencana rahasia para dewa
Hidup adalah
Juga ajang pelaksanaan
Rencana para dewa
Yang tersirat pada lembar misteri
Kita tak pernah bisa memeri
Sambil melangkah
Kita berada
Di antara mabuk & tahu
Dan tak pernah pasti
Hyderabad, 1996
9. KATA
Pada awalnya adalah bunyi
Yang dirangkai menjadi silabi
Dan dari silabi
Menjadi kata
Lalu menjadi sabda
Ketika di sana ada kehendak
Yang bertenanga
Dan tenaga
Berangkat dari niat
Dari dalam datangnya
Dari kesucian
Yang bersumber
Pada sunyi
Di dalam suatu kedalaman
Tak terduga
Suatu kejujuran
Ketanpamrihan
Juga keluguan
Tatabahasa
Hanyalah berkutat pada pengertian
Dan logika
Ia tak berurusan dengan tenaga
Yang berdaya sihir
Hanya puisi
Yang berawal dari mousike
Yang mampu membawa getar
Dan menggugah matahari bangkit
Sebelum waktunya…
Tetapi,
Siapa bersedia mendengar puisi
Tatkala telinga hanya menangkap sepi?
Kratonan, 1976
10. GEMPA
bumi gonjang-ganjing
selama hampir semenit
dan langit bersih membiru
tapi hari kecut-kemerucut
dan kelabu
kaki gemetar
pandang pudar
awan terlihat air
Ingatkan tsunami aceh
dan rumah-rumah berantakan
rata dengan tanah
orang-orang ke utara takut bah
takut muntahan merapi
yogya bagai kota Sodom dan gomorah
dikutuk karena terlalu banyak mall
menggusur sekaten
mencuekin bangunan kuna
kurang memperhatikan keris-keris pusaka
dan acuh pada para pendiri yogya
mencurigai kebatinan
dan mencampur-adukkan politik, uang
dan iman…
tiba-tiba hidup berubah tenda
nasi bungkus, selimut, air bersih
dan pembalut perempuan
apa artinya ini
kita tak tahu
yang jelas
kita menjadi faham
yogya tak hanya dikepung wayang
tetapi juga dikepung potensi lindhu
dan bahaya muntahan merapi
kita jug dikepung polusi
yang kita buat sendiri
kita juga dikepung sesak tempat
karena ulah sendiri
yogya tak lagi nyaman dihuni
karena setiap hari
diguncang gempa
adapun gempa itu
adalah gempa hati
gempa ruh
gempa pengangan hidup
dan gempa 26 Mei
adalah kumulasi
gempa
yang terus-menerus
diulang
dan terulang
serta berulang
bagai ritus kehidupan
2006
Sajak-Sajak Asa Jatmiko
http://www.kompas.com/
Kamar Pengantin
akhirnya aku menjumpaimu di sini
di antara wangi kenanga dan warna biru
berkubang dalam satu gerabah
puncak dari perjalanan yang rumit
dan setelah kita meroncenya
menjadi perhiasan di sanggulmu dan leherku
tetapi cinta bukanlah sajak
juga bukan keindahan itu sendiri
di dalam satu gerabah
kita bertukar jawab dengan jujur
aku menjumpai huruf yang tercipta di hatimu
kamu pun akan tahu betapa ringkihnya aku
di sini kita beradu rasa cemas
karena kenyataan memang lebih menyakitkan
turunlah, kutunggu kamu di sini
berkubang dalam satu gerabah
agar kita tahu pantaskah kita bernama cinta
Kudus, Oktober 2008
Nol
sudah aku serahkan semuanya padamu
kacamata, topi, hanger, baju, sarung
termasuk nasib baik yang mestinya aku terima
hari ini kau meminta lagi
apapun yang masih aku miliki
padahal kau tahu aku tak punya apa apa lagi
mestinya kau tahu jika kau terus memaksaku
akhirnya aku berani melawanmu
Kudus, Oktober 2008.
Daun Telinga yang Perawan
ingin aku membisikkan kata
di ujung daun telingamu yang perawan
hitamnya masa depan
susahnya membebaskan diri dari ketakmampuan
aku berharap banyak darimu
matahari yang menguak gelap kehidupan
dan hanya suara belalang
tersisa hingga engkau anggukan kepala
barangkali aku ayah yang ceroboh
membagi cerita pahit kepadamu
dan mengandaikan keindahan
mesti direbut dengan tangan keras
padahal mestinya aku tersenyum
demi telingamu yang perawan
dan anggukan kepalamu
yang sesungguhnya mengiris hatiku
aku membisikkan kata yang lain
yang terakhir kali
di ujung daun telingamu yang masih perawan
tentang kekuatan cinta yang harus dipercaya
tentang matahari yang menerbitkan keberanian.
Kudus, Januari 2008.
Rumah
rumah yang kubangun
dari cinta cinta yang tumbuh
yang kuberi ruang
dan kurawat di setiap saat
memang bukan dari kaca
atau marmer istimewa
kadang solfatara
mengapung di atas asbak
dan menyela perbincangan
temboknya berlumut
lumut yang bisa bicara
coretan dinding
yang berbisik dalam gelap
lalu pot pot yang seakan diam
menjaring informasi gerimis
gelas dan dentingnya
melempar fenomena
di tengah kepongahan
lalu aku hanya membiarkan
semuanya menjulur ke langit
menjalar ke tanah tanah basah
atau menjala semua ikan ikan
yang terbawa angin senja
di situlah kami tumbuh
hingga tak mengenal mati.
Kudus, Januari 2008.
Swara di Suralaya
dan menggelayut swara tetabuhan
menggiring perginya sang jendral
yang pernah menodongkan tongkatnya
ke hidung pribumi yang tak seiya,
entah slendro, entah pelog
tangis dikabarkan dari puncak giri
entah slendro, entah pelog
klothekan bocah bocah pangon
bertemu swara di suralaya
menghentikan lawatan sang jendral
menuju muara
di situ ia masih sempat terpana
hidup sungguh begitu nikmatnya
kalau saja ada kesempatan kedua
akan dirampungkannya segala
atau dirampoknya segala
sampai kita menyerahkan cinta.
Kudus, Januari 2008.
Negeri Tragikomedi (1)
langitku retak
bumiku lebam
lalu laut berderak
dan gunung berdentam
seperti pisau puisi
bahkan lebih ngeri
siapapun membaca
siapapun merasa
dari kolam sajak di koran pagi
meloncatlah ia ke kehidupan
karena hati tak lagi mau dengar
karena jiwa tak ada lagi ruang
ia terentaskan
tapi jiwanya mati
tak terselamatkan
Kudus, 2007-2008.
Negeri Tragikomedi (2)
aku pasti menulis sajak dan akan terus bersajak
meski pohon pohon hilang roh air hilang muara
batu batu mendesak ruang dan jiwa nglambrang tak berarah,
aku pasti pistol yang telah meledakkan kepalamu
sesaat kau hendak bangkit dari kursi kuasamu…
di belakang kita telah ada yang pengintai,
lalu merekam apa yang telah kita lakukan
untuk dijelmakan bom
saat logika tak bisa menjelaskan
kenapa kita telah begitu kecewa dengan kesewenangan ini….
wajarkanlah kemarahan kami seperti debur lumpur yang menggelora,
dan tak perlu hati bicara jika hidup saja sudah dibunuh
layaknya sapi di pejagalan,
terlunta lunta sudah perjalanan ini
hingga tak sempat lagi kami punya birahi terhadap apapun….
keempat anak anak kuhadapkan tuhan
karena dialah yang mestinya bertanggungjawab,
karena pohon pohon yang hilang roh air hilang muara
dan batu batu mendesak ruang hingga tersampir di bibir pembaringan,
seperti ketekunan para pendoa yang tak pernah terkabul doanya
dan aku akan terus menulis sajak sajak dalam sunyiku
Kudus, 2007-2008.
Tapal Batas
jika jalan
patah sudah
kemana kaki
jika malam
pecah sudah
kemana hari
jika angan
tumbuh kembali
kemana angin
jika cinta
pulang kembali
kemana hati
jika engkau
tanyakan aku
dimana dirimu
jika engkau
tanyakan engkau
disitulah dirimu
tak pergi
tak pulang
di sini
membaca bintang
mencatat sungai
kita akan menuai
di ladang sajak
Kudus, 2007-2008.
Kamar Pengantin
akhirnya aku menjumpaimu di sini
di antara wangi kenanga dan warna biru
berkubang dalam satu gerabah
puncak dari perjalanan yang rumit
dan setelah kita meroncenya
menjadi perhiasan di sanggulmu dan leherku
tetapi cinta bukanlah sajak
juga bukan keindahan itu sendiri
di dalam satu gerabah
kita bertukar jawab dengan jujur
aku menjumpai huruf yang tercipta di hatimu
kamu pun akan tahu betapa ringkihnya aku
di sini kita beradu rasa cemas
karena kenyataan memang lebih menyakitkan
turunlah, kutunggu kamu di sini
berkubang dalam satu gerabah
agar kita tahu pantaskah kita bernama cinta
Kudus, Oktober 2008
Nol
sudah aku serahkan semuanya padamu
kacamata, topi, hanger, baju, sarung
termasuk nasib baik yang mestinya aku terima
hari ini kau meminta lagi
apapun yang masih aku miliki
padahal kau tahu aku tak punya apa apa lagi
mestinya kau tahu jika kau terus memaksaku
akhirnya aku berani melawanmu
Kudus, Oktober 2008.
Daun Telinga yang Perawan
ingin aku membisikkan kata
di ujung daun telingamu yang perawan
hitamnya masa depan
susahnya membebaskan diri dari ketakmampuan
aku berharap banyak darimu
matahari yang menguak gelap kehidupan
dan hanya suara belalang
tersisa hingga engkau anggukan kepala
barangkali aku ayah yang ceroboh
membagi cerita pahit kepadamu
dan mengandaikan keindahan
mesti direbut dengan tangan keras
padahal mestinya aku tersenyum
demi telingamu yang perawan
dan anggukan kepalamu
yang sesungguhnya mengiris hatiku
aku membisikkan kata yang lain
yang terakhir kali
di ujung daun telingamu yang masih perawan
tentang kekuatan cinta yang harus dipercaya
tentang matahari yang menerbitkan keberanian.
Kudus, Januari 2008.
Rumah
rumah yang kubangun
dari cinta cinta yang tumbuh
yang kuberi ruang
dan kurawat di setiap saat
memang bukan dari kaca
atau marmer istimewa
kadang solfatara
mengapung di atas asbak
dan menyela perbincangan
temboknya berlumut
lumut yang bisa bicara
coretan dinding
yang berbisik dalam gelap
lalu pot pot yang seakan diam
menjaring informasi gerimis
gelas dan dentingnya
melempar fenomena
di tengah kepongahan
lalu aku hanya membiarkan
semuanya menjulur ke langit
menjalar ke tanah tanah basah
atau menjala semua ikan ikan
yang terbawa angin senja
di situlah kami tumbuh
hingga tak mengenal mati.
Kudus, Januari 2008.
Swara di Suralaya
dan menggelayut swara tetabuhan
menggiring perginya sang jendral
yang pernah menodongkan tongkatnya
ke hidung pribumi yang tak seiya,
entah slendro, entah pelog
tangis dikabarkan dari puncak giri
entah slendro, entah pelog
klothekan bocah bocah pangon
bertemu swara di suralaya
menghentikan lawatan sang jendral
menuju muara
di situ ia masih sempat terpana
hidup sungguh begitu nikmatnya
kalau saja ada kesempatan kedua
akan dirampungkannya segala
atau dirampoknya segala
sampai kita menyerahkan cinta.
Kudus, Januari 2008.
Negeri Tragikomedi (1)
langitku retak
bumiku lebam
lalu laut berderak
dan gunung berdentam
seperti pisau puisi
bahkan lebih ngeri
siapapun membaca
siapapun merasa
dari kolam sajak di koran pagi
meloncatlah ia ke kehidupan
karena hati tak lagi mau dengar
karena jiwa tak ada lagi ruang
ia terentaskan
tapi jiwanya mati
tak terselamatkan
Kudus, 2007-2008.
Negeri Tragikomedi (2)
aku pasti menulis sajak dan akan terus bersajak
meski pohon pohon hilang roh air hilang muara
batu batu mendesak ruang dan jiwa nglambrang tak berarah,
aku pasti pistol yang telah meledakkan kepalamu
sesaat kau hendak bangkit dari kursi kuasamu…
di belakang kita telah ada yang pengintai,
lalu merekam apa yang telah kita lakukan
untuk dijelmakan bom
saat logika tak bisa menjelaskan
kenapa kita telah begitu kecewa dengan kesewenangan ini….
wajarkanlah kemarahan kami seperti debur lumpur yang menggelora,
dan tak perlu hati bicara jika hidup saja sudah dibunuh
layaknya sapi di pejagalan,
terlunta lunta sudah perjalanan ini
hingga tak sempat lagi kami punya birahi terhadap apapun….
keempat anak anak kuhadapkan tuhan
karena dialah yang mestinya bertanggungjawab,
karena pohon pohon yang hilang roh air hilang muara
dan batu batu mendesak ruang hingga tersampir di bibir pembaringan,
seperti ketekunan para pendoa yang tak pernah terkabul doanya
dan aku akan terus menulis sajak sajak dalam sunyiku
Kudus, 2007-2008.
Tapal Batas
jika jalan
patah sudah
kemana kaki
jika malam
pecah sudah
kemana hari
jika angan
tumbuh kembali
kemana angin
jika cinta
pulang kembali
kemana hati
jika engkau
tanyakan aku
dimana dirimu
jika engkau
tanyakan engkau
disitulah dirimu
tak pergi
tak pulang
di sini
membaca bintang
mencatat sungai
kita akan menuai
di ladang sajak
Kudus, 2007-2008.
Sabtu, 10 Januari 2009
Sajak-Sajak Mardi Luhung
http://cetak.kompas.com/
Seperti Adam yang Bersepeda
Seperti Adam yang bersepeda, aku juga bersepeda di pantai. Sepeda besar, ban besar dengan tuter yang berat dan gembung. Yang jika dipukul bergaung dan menembusi setiap yang telah dan akan dilalui. Membukai arah-arah yang baru. Seperti sepeda Adam, sepedaku juga berwarna ungu. Dan setiap terkayuh, jejak bannya menggoresi pasir. Membentuk selang-seling yang dalam. Yang kelak akan dibaca sebagai awal huruf. Huruf di dalam setiap lekukan lidah. Dan seperti Adam yang turun dari sepedanya, aku juga turun dari sepedaku. Menghampiri tepi pantai. Memasang umpan. Lalu melemparkan mata pancing. Seloroh gertak akaran dan karang: Apa yang ingin kau pancing? Jawabku, sama seperti jawaban Adam: Aku ingin memancing Eden. Memang, setelah pengusiran dulu, Eden terus ditenggelamkan di pantai. Dedasaran menyimpannya di suatu ceruk. Yang kata kabar dari entah: Akan menyembul jika dipancing. Dipancing tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut. Tapi anehnya, waktu tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut itu, juga seperti ditenggelamkan. Lenyap dalam keabadian. Jadinya, meski dipancing, Eden tetap tak menyembul. Pantai tetap tenang. Penuh rahasia. Hanya degup sendiri yang terdengar. Dan keluhku, sama seperti keluh Adam: Jika memang tak bisa dipancing agar menyembul, maka aku akan meminta langsung. Ya, aku, seperti cara Adam, pun meminta dengan mendongak ke langit. Mencari-Nya. Mengintai-Nya. Tapi, adakah Dia melintas dan sedikit mengerling? Akh, seperti Adam yang kembali bersepeda, aku juga kini kembali bersepeda di pantai. Bersepeda sambil mendongak. Sesekali mengayuh. Sesekali memukul tuter. Dan sesekali mencari: Di mana Dia melintas, menyeret Eden. Dan di mana juga Dia mengerling, mengembalikan yang terusir?
(Gresik, 2008)
Sumur Merah
belajar dari al falaq
Sumurku telah menjadi merah. Sebab telah kau racuni dan kau lukai. Di dasarnya kau letakkan anak kunci. Agar aku tak dapat membuka pintu kamarku. Dan tidur di dalam kedinginan luar yang memar. Dari kerahasiaan yang tak aku ketahui, kau pun mengirimkan tulahmu. Seperti debu, tulah itu menelusup lewat jalusi. Dan seperti udara, menyembul lewat lubang-lubang. Dan aku melihat tulahmu bekerja dengan mata gasalnya. Memotongi malam dan menyeretnya seperti ternak. Ternak yang kau tawarkan di pasar-pasar. Sambil berbisik: “Di dalam kerahasiaan, tak ada yang tahu, jika kejahatan dapat aku tiup dengan sempurna.” Lalu aku yang tak jahat ini apa melawanmu? Dadaku memang telah penuh bisik-bisik. Agar menengadah dan bangkit seperti pohon-pohon yang menghadang. Tapi, sekali lagi, aku tak akan melawanmu. Aku hanya berlindung sambil memanjangkan rambut. Lihatlah rambutku yang keemasan. Dan lihatlah juga bagaimana rambutku teranyam, membuat bulatan liat untukku. Bulatan benderang yang begitu tak tertembus. Dan lewat bulatan benderang itu aku akan leluasa melampaui kerahasiaan kejahatanmu. Dan aku pun yakin, sumurku yang telah menjadi merah itu tentu akan kembali bening. Dan kamarku yang terkunci, tentu akan terbuka dengan sendirinya. Aku memang akan bernyanyi, dan kau akan kecewa berat. Dan aku menari, kau terus memotongi malam dan menawarkannya. Berapa keping emas yang kau dapat? Berapa kerahasiaan kejahatan lagi yang kau kirimkan? Berapa dan berapa? Lihatlah lagi: Aku yang bersujud di puncak pagi. Dan dari puncak pagi itu, bulatan benderangku terus melayari jagat. Seperti pelayaran kerahasiaan lain yang bukan kerahasiaan kejahatanmu. Tapi kerahasiaan yang sederhana. Dan lewat kerahasiaan yang sederhana itu, kau akan tahu, jika aku memang bukan apa- apa. Aku hanyalah si yang biasa-biasa. Yang sesekali berkata: “Kegentaranku yang utama, adalah kegentaranku sendiri.” Dan aku pun merasa, semuanya jadi demikian enteng…
(Gresik, 2008)
Zahrotul
langgam blambangan
Peri belia yang menunggang daun menyusuri Kalisetail. Mencari kekasihnya yang katanya dikirim lewat kereta Rogojampi. Kereta yang juga mengirim nyali para penyabung. Yang telah memasang taji di keningnya. Agar dapat menempur para penyeleweng di lereng Kumitir. Para penyeleweng yang kerap memotong sabuk tanggul. Sampai arus kedung menghilang ke Alas Purwa. Dan, ya, Kang Mas, Kang Mas... begitu harapan peri belia. Seperti harapan belalang di lubang gembok-gerbang-kampung Sempusari. Belalang yang punya sungut melengkung. Dan warna sesamar hantu Pakis bulan yang keenam. Hantu Pakis yang menangis lewat kelok jurang Mrawan. Tangisan yang membuat semua yang tampak jadi menyurut. Untuk kemudian melepuh. Dan melepuhi tiap genting. Juga tiap genting yang dimiliki orang-orang Using yang tak asing itu. Tapi, adakah, adakah kekasih peri belia itu akan segera tersua? Sayangnya tidak. Dan sayangnya juga, peri belia yang menunggang daun itu cuma bisa terus menyusuri Kalisetail. Dan di sepanjang susurannya (mulai dari Glenmore sampai ujung Kalipahit) peri belia pun cuma mendapat gelap. Dan di dalam gelap itu, ada yang terdengar sedang menyamak Gandrung. Ada yang terdengar sedang mendengung. Dan ada juga yang dengan diam-diam menjulurkan lengannya. Seperti juluran lengan milik sang Menak Blambangan. Lengan yang persis di otot pusatnya terselip sekepal saga yang tampak begitu menjantung. Tampak begitu ingin meronta. Meronta di dalam kelebat harapan yang tak akan pernah sempat terjamah. Lihatlah, kereta Rogojampi pun lewat sudah!
(Gresik, 2008)
Ular-Tangga
merah-mudanya lan fang
Kau pergi ke bulan. Dengan gairah dan bualan yang pernah mengawetkan jalur sulur air matamu. Sebab di inangmu, kau telah bosan menunggu dia. Dia yang akan turun dengan langkah-langkahnya yang berjingkat. Berjingkat dengan seluruh kegemetaran di rahangnya. Yang akan mengunyah tiap inci tubuhmu. Kunyahan yang selalu kembali dimuntahkannya kecil-kecil. Untuk kemudian dibentuknya lagi. Ketika pagi tiba. Dan ketika encikmu, si penghafal Yasin itu, menceritakan hidupnya: Hidup yang ingin jadi pengiman. Sebab tak ingin sekedar berdagang beras dan kelontong kiloan. Tapi runtukmu: “Mengapa, mengapa dia cuma mau mengunyahku. Mengapa tidak sekalian melahapnya?” Dan matamu yang sipit seakan terjepit itu pun terus saja mengarah ke langit. Mengarah ke setiap titik angkasa. Titik yang begitu lenggang. Seperti lenggangnya gaun satin Kwan Im. Saat dijadikan pembungkus potongan dua belah lengannya sendiri. Ketika dipinta si raja. Sebagai obat penawar (yang akan dikeringkan dan ditumbuk) bagi sebuah pagebluk yang telah digariskan oleh siasat. Oleh semacam permainan ular-tangga yang berhasrat menjungkirkan isyarat mandala istana. Tapi ketika bulan sudah tampak, mengapa tiba-tiba gairahmu buyar? Buyar menjadi biji-biji warna yang berlesatan. Membuat angkasa benderang. Benderang seperti sirip bianglala yang terbuka. Oh, di antara bukaan-bukaannya itu, kau pun lagi-lagi kembali cuma mendengar suara encikmu, si penghafal Yasin itu. Si penghafal tentang hari akhir dan perkaliannya. Serta sebuah penghalang, yang seandainya dipasang, tentu akan membuatmu tak akan bisa ke atas dan ke bawah. Diam di tempat. Seperti diamnya sebentang papan ular-tangga yang tergeletak. Ditinggalkan teka-teki kejelian dan keraguan dadunya!
(Gresik, 2008).
Seperti Adam yang Bersepeda
Seperti Adam yang bersepeda, aku juga bersepeda di pantai. Sepeda besar, ban besar dengan tuter yang berat dan gembung. Yang jika dipukul bergaung dan menembusi setiap yang telah dan akan dilalui. Membukai arah-arah yang baru. Seperti sepeda Adam, sepedaku juga berwarna ungu. Dan setiap terkayuh, jejak bannya menggoresi pasir. Membentuk selang-seling yang dalam. Yang kelak akan dibaca sebagai awal huruf. Huruf di dalam setiap lekukan lidah. Dan seperti Adam yang turun dari sepedanya, aku juga turun dari sepedaku. Menghampiri tepi pantai. Memasang umpan. Lalu melemparkan mata pancing. Seloroh gertak akaran dan karang: Apa yang ingin kau pancing? Jawabku, sama seperti jawaban Adam: Aku ingin memancing Eden. Memang, setelah pengusiran dulu, Eden terus ditenggelamkan di pantai. Dedasaran menyimpannya di suatu ceruk. Yang kata kabar dari entah: Akan menyembul jika dipancing. Dipancing tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut. Tapi anehnya, waktu tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut itu, juga seperti ditenggelamkan. Lenyap dalam keabadian. Jadinya, meski dipancing, Eden tetap tak menyembul. Pantai tetap tenang. Penuh rahasia. Hanya degup sendiri yang terdengar. Dan keluhku, sama seperti keluh Adam: Jika memang tak bisa dipancing agar menyembul, maka aku akan meminta langsung. Ya, aku, seperti cara Adam, pun meminta dengan mendongak ke langit. Mencari-Nya. Mengintai-Nya. Tapi, adakah Dia melintas dan sedikit mengerling? Akh, seperti Adam yang kembali bersepeda, aku juga kini kembali bersepeda di pantai. Bersepeda sambil mendongak. Sesekali mengayuh. Sesekali memukul tuter. Dan sesekali mencari: Di mana Dia melintas, menyeret Eden. Dan di mana juga Dia mengerling, mengembalikan yang terusir?
(Gresik, 2008)
Sumur Merah
belajar dari al falaq
Sumurku telah menjadi merah. Sebab telah kau racuni dan kau lukai. Di dasarnya kau letakkan anak kunci. Agar aku tak dapat membuka pintu kamarku. Dan tidur di dalam kedinginan luar yang memar. Dari kerahasiaan yang tak aku ketahui, kau pun mengirimkan tulahmu. Seperti debu, tulah itu menelusup lewat jalusi. Dan seperti udara, menyembul lewat lubang-lubang. Dan aku melihat tulahmu bekerja dengan mata gasalnya. Memotongi malam dan menyeretnya seperti ternak. Ternak yang kau tawarkan di pasar-pasar. Sambil berbisik: “Di dalam kerahasiaan, tak ada yang tahu, jika kejahatan dapat aku tiup dengan sempurna.” Lalu aku yang tak jahat ini apa melawanmu? Dadaku memang telah penuh bisik-bisik. Agar menengadah dan bangkit seperti pohon-pohon yang menghadang. Tapi, sekali lagi, aku tak akan melawanmu. Aku hanya berlindung sambil memanjangkan rambut. Lihatlah rambutku yang keemasan. Dan lihatlah juga bagaimana rambutku teranyam, membuat bulatan liat untukku. Bulatan benderang yang begitu tak tertembus. Dan lewat bulatan benderang itu aku akan leluasa melampaui kerahasiaan kejahatanmu. Dan aku pun yakin, sumurku yang telah menjadi merah itu tentu akan kembali bening. Dan kamarku yang terkunci, tentu akan terbuka dengan sendirinya. Aku memang akan bernyanyi, dan kau akan kecewa berat. Dan aku menari, kau terus memotongi malam dan menawarkannya. Berapa keping emas yang kau dapat? Berapa kerahasiaan kejahatan lagi yang kau kirimkan? Berapa dan berapa? Lihatlah lagi: Aku yang bersujud di puncak pagi. Dan dari puncak pagi itu, bulatan benderangku terus melayari jagat. Seperti pelayaran kerahasiaan lain yang bukan kerahasiaan kejahatanmu. Tapi kerahasiaan yang sederhana. Dan lewat kerahasiaan yang sederhana itu, kau akan tahu, jika aku memang bukan apa- apa. Aku hanyalah si yang biasa-biasa. Yang sesekali berkata: “Kegentaranku yang utama, adalah kegentaranku sendiri.” Dan aku pun merasa, semuanya jadi demikian enteng…
(Gresik, 2008)
Zahrotul
langgam blambangan
Peri belia yang menunggang daun menyusuri Kalisetail. Mencari kekasihnya yang katanya dikirim lewat kereta Rogojampi. Kereta yang juga mengirim nyali para penyabung. Yang telah memasang taji di keningnya. Agar dapat menempur para penyeleweng di lereng Kumitir. Para penyeleweng yang kerap memotong sabuk tanggul. Sampai arus kedung menghilang ke Alas Purwa. Dan, ya, Kang Mas, Kang Mas... begitu harapan peri belia. Seperti harapan belalang di lubang gembok-gerbang-kampung Sempusari. Belalang yang punya sungut melengkung. Dan warna sesamar hantu Pakis bulan yang keenam. Hantu Pakis yang menangis lewat kelok jurang Mrawan. Tangisan yang membuat semua yang tampak jadi menyurut. Untuk kemudian melepuh. Dan melepuhi tiap genting. Juga tiap genting yang dimiliki orang-orang Using yang tak asing itu. Tapi, adakah, adakah kekasih peri belia itu akan segera tersua? Sayangnya tidak. Dan sayangnya juga, peri belia yang menunggang daun itu cuma bisa terus menyusuri Kalisetail. Dan di sepanjang susurannya (mulai dari Glenmore sampai ujung Kalipahit) peri belia pun cuma mendapat gelap. Dan di dalam gelap itu, ada yang terdengar sedang menyamak Gandrung. Ada yang terdengar sedang mendengung. Dan ada juga yang dengan diam-diam menjulurkan lengannya. Seperti juluran lengan milik sang Menak Blambangan. Lengan yang persis di otot pusatnya terselip sekepal saga yang tampak begitu menjantung. Tampak begitu ingin meronta. Meronta di dalam kelebat harapan yang tak akan pernah sempat terjamah. Lihatlah, kereta Rogojampi pun lewat sudah!
(Gresik, 2008)
Ular-Tangga
merah-mudanya lan fang
Kau pergi ke bulan. Dengan gairah dan bualan yang pernah mengawetkan jalur sulur air matamu. Sebab di inangmu, kau telah bosan menunggu dia. Dia yang akan turun dengan langkah-langkahnya yang berjingkat. Berjingkat dengan seluruh kegemetaran di rahangnya. Yang akan mengunyah tiap inci tubuhmu. Kunyahan yang selalu kembali dimuntahkannya kecil-kecil. Untuk kemudian dibentuknya lagi. Ketika pagi tiba. Dan ketika encikmu, si penghafal Yasin itu, menceritakan hidupnya: Hidup yang ingin jadi pengiman. Sebab tak ingin sekedar berdagang beras dan kelontong kiloan. Tapi runtukmu: “Mengapa, mengapa dia cuma mau mengunyahku. Mengapa tidak sekalian melahapnya?” Dan matamu yang sipit seakan terjepit itu pun terus saja mengarah ke langit. Mengarah ke setiap titik angkasa. Titik yang begitu lenggang. Seperti lenggangnya gaun satin Kwan Im. Saat dijadikan pembungkus potongan dua belah lengannya sendiri. Ketika dipinta si raja. Sebagai obat penawar (yang akan dikeringkan dan ditumbuk) bagi sebuah pagebluk yang telah digariskan oleh siasat. Oleh semacam permainan ular-tangga yang berhasrat menjungkirkan isyarat mandala istana. Tapi ketika bulan sudah tampak, mengapa tiba-tiba gairahmu buyar? Buyar menjadi biji-biji warna yang berlesatan. Membuat angkasa benderang. Benderang seperti sirip bianglala yang terbuka. Oh, di antara bukaan-bukaannya itu, kau pun lagi-lagi kembali cuma mendengar suara encikmu, si penghafal Yasin itu. Si penghafal tentang hari akhir dan perkaliannya. Serta sebuah penghalang, yang seandainya dipasang, tentu akan membuatmu tak akan bisa ke atas dan ke bawah. Diam di tempat. Seperti diamnya sebentang papan ular-tangga yang tergeletak. Ditinggalkan teka-teki kejelian dan keraguan dadunya!
(Gresik, 2008).
Sajak-Sajak Ahmadun Yosi Herfanda
http://sastrakarta.multiply.com/
NYANYIAN KEBANGKITAN
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku, bunda pertiwiku
Dipasung orang asing itu?
Mulutnya yang kelu
Tak mampu lagi menyebut namamu
Berabad-abad aku terlelap
Bagai laut kehilangan ombak
Atau burung-burung yang semula
Bebas di hutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Yang terkunci pintu-pintunya
Tak lagi bebas mengucapkan kicaunya
Berikan suaramu, kemerdekaan
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang kupilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Orang asing itu berabad-abad
Memujamu di negerinya
Sementara di negeriku
Ia berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantoro
Bangkitlah semua dada yang terluka
“Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatanku akan memancar dari genggaman itu.”
Suaramu sayup di udara
Membangunkanku
Dari mimpi siang yang celaka
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Atau mendobraknya atas namamu
Terlalu pengap udara yang tak bertiup
Dari rahimmu, kemerdekaan
Jantungku hampir tumpas
Karena racunnya
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia!
(Matahari yang kita tunggu
Akankah bersinar juga
Di langit kita?).
Mei 1985/2008.
MONOLOG SEORANG VETERAN YANG TERCECER DARI ARSIP NEGARA
Bendera-bendera berkibar di udara
Dan, orang-orang berteriak ‘’telah bebas negeri kita”
Tapi aku tertatih sendiri
Di bawah patung kemerdekaan yang letih
Dan tersuruk di bawah mimpi reformasi
Kau pasti tak mengenaliku lagi
Seperti dulu, ketika tubuhku terkapar penuh luka
Di sudut stasiun Jatinegara, setelah sebutir peluru
Menghajarku dalam penyerbuan itu
Dan negeri yang kacua mengubur
Sejarah dalam gundukan debu
Setengah abad lewat kita melangkah
Di tanah merdeka, sejak Soekarno-Hatta
Mengumumkan kebebasan negeri kita
Lantas kalian dirikan partai-partai
Juga kursi-kursi kekuasaan di atasnya
Gedung-gedung berjulangan
Hotel-hotel berbintang, toko-toko swalayan
Jalan-jalan layang, mengembang bersama
Korupsi, kolusi, monopoli, manipulasi,
Yang membengkakkan perutmu sendiri
Sedang kemiskinan dan kebodohan
Tetap merebak di mana-mana
Dan, aku pun masih prajurit tanpa nama
Tanpa tanda jasa, tanpa seragam veteran
Tanpa kursi jabatan, tanpa gaji bulanan
Tanpa tanah peternakan, tanpa rekening siluman
Tanpa istri simpanan
Meskipun begitu, aku sedih juga
Mendengarmu makin terjerat hutang
Dan keinginan IMF yang makin menggencet
Kebijakan negara.
Karena itu, maaf, saat engkau
menyapaku, “Merdeka!”
Dengan rasa sembilu
Aku masih menjawab, “Belum!”
Jakarta, 1998-2008.
RESONANSI INDONESIA
bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa
kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
kau dan aku
berjuta kata satu jiwa
kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, cina, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa
ya, apalah artinya jarak pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam genggaman
burung garuda
Jakarta, 1984/1999.
RESONANSI BUAH APEL
buah apel yang kubelah dengan pisau sajak
tengadah di atas meja. Dan, dengan kerlingnya
mata pisau sajakku berkata, ''Lihatlah, ada puluhan
ekor ulat besar yang tidur dalam dagingnya!''
memandang buah apel itu aku seperti
memandang tanah airku. Daging putihnya
adalah kemakmuran yang lezat dan melimpah
sedang ulat-ulatnya adalah para pejabat
yang malas dan korup
tahu makna tatapanku pisau itu pun berkata,
''Kau lihat seekor ulat yang paling gemuk
di antara mereka? Dialah presidennya!''
buah apel dan ulat
ibarat negara dan koruptornya
ketika buah apel membusuk
ulat-ulat justru gemuk di dalamnya
Jakarta, 1999/2003.
SAJAK MABUK REFORMASI
tuhan, maafkan, aku mabuk lagi
dalam pusingan anggur reformasi
menggelepar ditindih bayang-bayang diri
seember tuak kebebasan mengguyurku
membantingku ke ujung kakimu
luka-luka kepalaku, luka-luka dadaku
luka-luka persaudaraanku
luka-luka hati nuraniku
aku mabuk lagi, terkaing-kaing
di comberan negeriku sendiri. peluru tentara
menggasak-gasakku, pidato pejabat
merobek-robek telingaku, penggusuran
menohokku, korupsi memuntahiku
katebelece meludahiku, suksesi
mengentutiku, demonstrasi mengonaniku
likuidasi memencretkanku, kemiskinan
merobek-robek saku bajuku
tuhan, maafkan, aku mabuk lagi
menggelinding dari borok ke barah
dari dukun ke setan, dari maling ke preman
dari anjing ke pecundang, dari tumbal
ke korban, dari krisis ke kerusuhan
dari bencana ke kemelaratan!
aku mabuk lagi, mana maling mana polisi
mana pahlawan mana pengkhianat, mana
pejuang mana penjilat, mana mandor
mana pejabat, mana putih mana hitam
mana babi mana sapi, mana pelacur
mana bidadari, mana perawan mana janda
mana tuhan mana hantu? semua nyaris seragam
begitu sulit kini kubedakan
tuhan, maafkan, aku mabuk lagi!
berhari-hari, berbulan-bulan
tanpa matahari
Jakarta, Mei 1998/2007.
NYANYIAN KEBANGKITAN
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku, bunda pertiwiku
Dipasung orang asing itu?
Mulutnya yang kelu
Tak mampu lagi menyebut namamu
Berabad-abad aku terlelap
Bagai laut kehilangan ombak
Atau burung-burung yang semula
Bebas di hutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Yang terkunci pintu-pintunya
Tak lagi bebas mengucapkan kicaunya
Berikan suaramu, kemerdekaan
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang kupilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Orang asing itu berabad-abad
Memujamu di negerinya
Sementara di negeriku
Ia berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantoro
Bangkitlah semua dada yang terluka
“Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatanku akan memancar dari genggaman itu.”
Suaramu sayup di udara
Membangunkanku
Dari mimpi siang yang celaka
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Atau mendobraknya atas namamu
Terlalu pengap udara yang tak bertiup
Dari rahimmu, kemerdekaan
Jantungku hampir tumpas
Karena racunnya
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia!
(Matahari yang kita tunggu
Akankah bersinar juga
Di langit kita?).
Mei 1985/2008.
MONOLOG SEORANG VETERAN YANG TERCECER DARI ARSIP NEGARA
Bendera-bendera berkibar di udara
Dan, orang-orang berteriak ‘’telah bebas negeri kita”
Tapi aku tertatih sendiri
Di bawah patung kemerdekaan yang letih
Dan tersuruk di bawah mimpi reformasi
Kau pasti tak mengenaliku lagi
Seperti dulu, ketika tubuhku terkapar penuh luka
Di sudut stasiun Jatinegara, setelah sebutir peluru
Menghajarku dalam penyerbuan itu
Dan negeri yang kacua mengubur
Sejarah dalam gundukan debu
Setengah abad lewat kita melangkah
Di tanah merdeka, sejak Soekarno-Hatta
Mengumumkan kebebasan negeri kita
Lantas kalian dirikan partai-partai
Juga kursi-kursi kekuasaan di atasnya
Gedung-gedung berjulangan
Hotel-hotel berbintang, toko-toko swalayan
Jalan-jalan layang, mengembang bersama
Korupsi, kolusi, monopoli, manipulasi,
Yang membengkakkan perutmu sendiri
Sedang kemiskinan dan kebodohan
Tetap merebak di mana-mana
Dan, aku pun masih prajurit tanpa nama
Tanpa tanda jasa, tanpa seragam veteran
Tanpa kursi jabatan, tanpa gaji bulanan
Tanpa tanah peternakan, tanpa rekening siluman
Tanpa istri simpanan
Meskipun begitu, aku sedih juga
Mendengarmu makin terjerat hutang
Dan keinginan IMF yang makin menggencet
Kebijakan negara.
Karena itu, maaf, saat engkau
menyapaku, “Merdeka!”
Dengan rasa sembilu
Aku masih menjawab, “Belum!”
Jakarta, 1998-2008.
RESONANSI INDONESIA
bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa
kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
kau dan aku
berjuta kata satu jiwa
kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, cina, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa
ya, apalah artinya jarak pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam genggaman
burung garuda
Jakarta, 1984/1999.
RESONANSI BUAH APEL
buah apel yang kubelah dengan pisau sajak
tengadah di atas meja. Dan, dengan kerlingnya
mata pisau sajakku berkata, ''Lihatlah, ada puluhan
ekor ulat besar yang tidur dalam dagingnya!''
memandang buah apel itu aku seperti
memandang tanah airku. Daging putihnya
adalah kemakmuran yang lezat dan melimpah
sedang ulat-ulatnya adalah para pejabat
yang malas dan korup
tahu makna tatapanku pisau itu pun berkata,
''Kau lihat seekor ulat yang paling gemuk
di antara mereka? Dialah presidennya!''
buah apel dan ulat
ibarat negara dan koruptornya
ketika buah apel membusuk
ulat-ulat justru gemuk di dalamnya
Jakarta, 1999/2003.
SAJAK MABUK REFORMASI
tuhan, maafkan, aku mabuk lagi
dalam pusingan anggur reformasi
menggelepar ditindih bayang-bayang diri
seember tuak kebebasan mengguyurku
membantingku ke ujung kakimu
luka-luka kepalaku, luka-luka dadaku
luka-luka persaudaraanku
luka-luka hati nuraniku
aku mabuk lagi, terkaing-kaing
di comberan negeriku sendiri. peluru tentara
menggasak-gasakku, pidato pejabat
merobek-robek telingaku, penggusuran
menohokku, korupsi memuntahiku
katebelece meludahiku, suksesi
mengentutiku, demonstrasi mengonaniku
likuidasi memencretkanku, kemiskinan
merobek-robek saku bajuku
tuhan, maafkan, aku mabuk lagi
menggelinding dari borok ke barah
dari dukun ke setan, dari maling ke preman
dari anjing ke pecundang, dari tumbal
ke korban, dari krisis ke kerusuhan
dari bencana ke kemelaratan!
aku mabuk lagi, mana maling mana polisi
mana pahlawan mana pengkhianat, mana
pejuang mana penjilat, mana mandor
mana pejabat, mana putih mana hitam
mana babi mana sapi, mana pelacur
mana bidadari, mana perawan mana janda
mana tuhan mana hantu? semua nyaris seragam
begitu sulit kini kubedakan
tuhan, maafkan, aku mabuk lagi!
berhari-hari, berbulan-bulan
tanpa matahari
Jakarta, Mei 1998/2007.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae